SURYA.co.id | SURABAYA – Bupati Jombang, Hj Mundjidah Wahab dan Wakil Bupati Jombang, Sumrambah terlihat sumringah saat foto bersama, selepas pelantikan dirinya di Gedung Grahadi, Senin (24/9/2018).
Menjabat dua periode, Munjidah dan Sumrambah mengaku masih akan melanjutkan program kepemimpinan sebelumnya hingga akhir 2018i. Barulah tahun 2019, melanjutkan janji politiknya.
Sejumlah program telah dipersiapkan untuk memperkenalkan Jombang hingga mancanegara. Satu di antaranya akan membuat acara semisal haul tokoh – tokoh nasional asal Jombang.
“Semuanya prioritas (kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi). Saat ini kami masih melanjutkan program 2018. Visi misi kami mulai 2019, kami efektifkan dan kami tuntaskan terlebih dahulu yang 2018,” kata Munjidah didampingi Wakil Bupati, Sumrambah.
Terkait peningkatan kreativitas pondok pesantren, pasangan ini mengaku sudah merumuskan sejumlah konsep.
“Kita akan membuat pelatihan untuk anak pesantren, sehingga ketika dia keluar dari pesantren, dia pulang bawa keterampilan dan soft skill. Tidak hanya mengajarkan agama dan mengamalkan ilmunya tapi juga berusaha berkarya agar mandiri,” tambah Munjidah menanggapi tegas.
Ke depan dia dan Wabup akan semakin konsentrasi membuat program event-event nasional, khususnya peringatan haul dan mengenal para tokoh ulama di Jombang.
“Ya haul dan memperingati tokoh-tokoh bangsa di Jombang, supaya masyarakat Indonesia dan Asia semakin mengenal Jombang. Sekaligus meningkatkan pariwisata lokal dan asing,” tutupnya.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Yoni Gambar berada di tengah hamparan sawah yang berada di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Yoni Gambar, disebut demikian karena lokasinya yang berkaitan dengan Mbah Gambar, yang dianggap sebagai sesepuh desa setempat. Berbeda dengan rekannya yaitu Yoni Badas yang diduga sudah diboyong ke Museum Nasional Indonesia, lokasinya Yoni Gambar masih In Situ, yang artinya masih berada di tempat aslinya.
Untuk mencapai situs Yoni Gambar ini, cukup mudah. Lebih mudah dari menemukan lokasi Situs Grobogan karena Yoni Gambar letaknya tak jauh dari Jalan Raya Mojolegi. Dari arah Jombang kota, kita menuju ke timur ke arah terminal Mojoagung yang ada adik kecil menara air ringin conthong itu. Dari terminal Mojoagung, belok kanan ke selatan, lurus saja hingga sampai Desa Japanan. Untuk berhati-hati supaya tidak kebablasan, kita bisa bertanya pada penduduk setempat. Nanti kita akan ditunjukkan belokan gang yang mana yang akan menuju langsung ke Yoni Gambar.
Akses jalannya sudah beraspal dan bisa dilalui mobil. Meski jalannya kecil, namun relatif sepi dan hanya dilewati oleh kendaraan roda dua dan anak-anak yang bermain layangan maupun sepedaan. Dari kejauhan, kita bisa melihat Yoni Gambar teronggok di tengah sawah. Berhubung yoni ini berada di tengah sawah, kita bisa memarkir kendaraan di depan pematang sawah yang menjadi jalan masuk Yoni Gambar.
Bagi yang tidak terbiasa mbrasak-mbrasak sawah, mungkin harus tabah menghadapi kenyataan karena kadang kaki tergores rumput atau ranting-ranting tajam yang dilewati ketika menuju lokasi. Jadi, celana jeans rasanya bisa menjadi pelindung kaki dari serangga sawah dan rumput-rumput yang bisa membuat betis gatal.
Yoni Gambar sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya di era orde baru. Lokasinya sudah diberi pagar dan dikelilingi oleh taman yang tampak terawat. Meski pagarnya sudah karatan di sana-sini, tampak lokasi ini cukup asri dan terawat, sehingga sangat recommended dijadikan destinasi wisata sejarah di Jombang selain Candi Rimbi, Situs Grobogan, Prasasti Tengaran dan Candi Mireng.
Dulunya di atas Yoni Gambar terdapat cungkup yang melindungi Yoni dari sengatan sinar mentari dan derasnya air hujan. Namun karena hempasan angin puting beliung yang sempat melanda daerah ini, cungkup tersebut kemudian roboh dan belum diperbaiki hingga kini. Pemerintah sudah berjanji akan membangun kembali cungkupnya, namun pembangunannya dalam dua atau tiga bulan ke depan masih sebatas janji yang belum direalisasikan.
Kondisi Yoni Gambar masih lebih baik dibandingkan peninggalan purbakala lainnya di Jombang. Selain dilengkapi taman sederhana yang cukup asri, Yoni Gambar sudah diberi pagar pembatas maupun papan nama yang lumayan berkarat. Lokasi Yoni Gambar pun sudah dilindungi oleh Balai Purbakala Trowulan, sehingga payung hukum perlindungannya sudah jelas.
Berbeda dengan nasib banyak peninggalan sejarah di Jombang seperti Situs Sugihwaras, Situs Pandegong, Situs Sukorejo, dan Situs Karobelah. Bahkan Situs Karobelah yang sudah jelas merupakan bagian dari Kota Raja, masih menunggu kepastian yang belum terlihat ujung penantiannya.
Secara umum, kondisi Yoni Gambar tampak masih sangat baik, terlihat hampir semua bagiannya tidak ada yang hilang selain lingga yang tidak diketahui di mana keberadaannya. Padahal, yoni selalu berpasangan dengan lingga yang biasanya diletakkan di cekungan yoni.. Lingga mempresentasikan Dewa Siwa sedangkan yoni melambangkan Dewi Parwati, istri Siwa.
Yoni adalah perlambang ibu, kesuburan dan bumi pertiwi yang diwujudkan dalam sebuah pemukiman. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat seperti yang diletakkan di bilik bangunan candi adalah bukti bahwa dulunya lokasi terkait adalah peribadatan berupa pemujaan sekaligus menandakan daerah tersebut termasuk wilayah yang subur.
Tak heran, pemilihan lokasi peletakan Yoni Gambar berada di tengah sawah yang masih sangat produktif. Umumnya, lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan candi. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa bangunan atau bersamaan dengan kompleks candi.
Yoni adalah sebuah obyek cekung atau berlubang yang berfungsi sebagai tempat menampung air suci berenergi dewa untuk minum maupun membasuh wajah para peziarah maupun pengunjung yang dipercaya membawa keberkahan. Air suci dibawa sendiri oleh pengunjung, yang berasal dari mata air bertuah dari titik-titik yang dipercaya sebagai air suci.
Kemudian air suci dituang ke dalam cekungan lalu mengalir melaui cerat dan mengucur lewat lubang cerat. Konsep ini mirip dengan rutinitas wudhu sebelum sholat, yang mungkin juga dilakukan umat hindu penduduk Majapahit sebelum melakukan peribadatan.
Fungsi yoni selain sebagai petirtaan air suci bisa juga sebagai pengukuhan tahta seseorang yang berjaya di suatu tempat. Kadang yoni juga berfungsi sebagai penanda peringatan suatu peristiwa penting misalnya sebuah kemenangan dalam perang.
Biasanya Yoni berbentuk bundar, namun umumnya yoni Indonesia berbentuk persegi dengan empat sudutnya. Di beberapa daerah di Indonesia, yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung dari batu. Ada kalanya yoni di nusantara menyimpang dari pakem lingga yoni, berbentuk tidak lazim, unik, maupun dilengkapi dengan ukiran yang detail seperti Yoni Gambar di Japanan, Mojowarno. Keunikan bentuk yoni bisa juga karena faktor yang berbeda-beda sesuai letak geografis dan situasi politik maupun fungsi yang melatarbelakangi pembuatannya.
Dulunya, terdapat bata merah berukuran jumbo khas bata kuno peradaban Majapahit yang berserakan di kanan dan kiri Yoni Gambar. Ukuran bata ini mirip dengan situs Sumberboto yang berada tak jauh dari lokasi Yoni Gambar. Kemungkinan, bata-bata merah jumbo tersebut adalah sisa pondasi kompleks situs.
Namun, karena ketidaksadaran akan perawatan benda cagar budaya, banyak penduduk mengambilnya untuk tambahan bahan pembangunan rumah atau dapurnya. Bisa jadi karena dijarah warga kompleksnya pun rusak dan kemudian strukturnya hilang. Meski tidak berada dalam kompleks situs atau pondasinya sudah hilang seperti dua yoni naga raja lainnya di Mojokerto, Yoni Gambar tetap termasuk yoni yang istimewa.
Keistimewaan Yoni Gambar terletak pada ukurannya yang merupakan yoni terbesar yang ditemukan di kawasan Majapahit. Dengan ukuran garis tengah badan sebesar 204 cm dan tinggi 133 cm, menjadikan yoni berbahan batu andesit ini makin spesial. Yoni Gambar memang begitu besar, hampir setinggi perempuan dewasa spesies nJombangan seperti Jombang City Guide.
Bentuknya tidak polos dan tak sekedar persegi sederhana seperti yoni-yoni segi empat yang berada di Badas, Pandegong dan Sukorejo. Yoni-yoni polos nan sederhana itu biasanya bukan bagian dari proyek kerajaan, tapi termasuk yoni setingkat pedesaan yang dimiliki oleh penduduk jelata.
Yoni Gambar memiliki bentuk kerumitan tingkat tinggi. Dari atas, Yoni Gambar ini berbentuk segi delapan dengan ukiran rumit di setiap sisinya. Segi delapan juga merupakan lambang Wilwatikta, yang juga masuk dalam logo kerajaan. Beberapa lambang ornamen bunga kecil berbentuk wajik berjajar rapi mengelilingi sabuknya.
Lubang bekas lingga di cekungan yoni tampak sedikit tergenang air, karena cungkup yang ambruk tak lagi menaungi yoni yang indah ini. Meski demikian, bagian cerat yang digunakan untuk tempat keluarnya air, masih utuh, tidak seperti yoni persegi yang tercecer di Mojoagung yang sudah kehilangan ceratnya.
Lubang ceratnya berhiaskan pahatan yang mengingatkan kita pada pola yang ada di reruntuhan Candi Rimbi, yang kemudian menginspirasi pembuatan motif batik khas nJombangan produksi Rumah Batik Sekar Jati.
Kepala naga yang menghiasi Yoni Gambar yang berada di bawah ceratnya bertahtakan mahkota, seakan perlambang keagungan Sang Raja dan sentuhan istana dalam pembuatannya. Naga raja adalah binatang mitologi jelmaan Dewa Wasuki dalam Kitab Mahabharata. Filosofinya, tubuh naga itu membelit Gunung Mandhara. Kedua ujungnya ditarik dewa dan raksasa, sehingga gunung itu berputar mengebor air kehidupan.
Yoni berhias Kepala Naga Raja adalah bukti paling akurat yang memungkinkan yoni ini dibuat atas perintah istana. Bentuknya yang besar, bersegi delapan dengan berhias ukiran dan kepala naga raja menandakan Yoni Gambar memiliki fungsi yang tidak sekedar sebagai peitirtaan air suci. Kesimpulannya, perintah raja dalam pembuatan yoni ini pasti memiliki tujuan khusus dan fungsi tersendiri.
Selain dekat dengan Situs Grobogan, menurut Laskar Mdang, lokasi Yoni Gambar pun tak jauh dari Candi Japanan dan Candi Ruk Rebah yang tinggal reruntuhannya saja. Dilihat kepala naga raja yang menghadap lurus ke Timur menggambarkan posisi hadap Yoni Gambar yang menghadap ke Timur. Disinyalir, arah ini menggambarkan nun jauh di sana yaitu arah Situs Sumberboto yang disebut Jentong oleh penduduk setempat.
Yoni Gambar adalah satu dari empat yoni cantik berhiaskan kepala naga raja yang ditemukan di Jombang dan Mojokerto. Empat Yoni itu adalah Yoni Klintorejo, Yoni Lebak Jabung, Yoni Gambar dan Yoni Naga Raja yang kini ada di Museum Nasional Indonesia yang diduga berasal dari Badas, Sumobito. Dua yoni pertama, berada di wilayah Kabupaten Mojokerto, sedangkan sisanya ditemukan di Jombang.
Nurhadi Rangkuti dalam penelitiannya melakukan survey berdasarkan sebaran penemuan benda purbakala peninggalan Majapahit. Keberadaan empat Yoni Kepala Naga Raja melambangkan empat penjuru mata angin yang kemudian menguatkan dugaan bahwa pembuatannya yang difungsikan sebagai tapal batas kota. Meski tidak tercantum dalam Kitab Negarakertagama namun diyakini Yoni Gambar diyakini sebagai tapal batas barat daya Kota Raja.
Keyakinan mengenai fungsi yoni-yoni cantik ini karena adanya jarak antar yoni yang hampir presisi. Jarak antara Yoni Klintorejo dengan Situs Yoni Lebak Jabung di bagian selatannya adalah 11 km. Sedangkan Jarak dari Situs Yoni Lebak Jabung ke Yoni Gambar di bagian baratnya adalah 9 km. Masing-masing jarak antar situs memiliki kemiringan 5 derajat. Berdasarkan jarak itu pula, letak tapak batas sisi barat laut diperkirakan terdapat di Kecamatan Sumobito tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas.
Titik terakhir yang menghubungkan Yoni Klintorejo dan Yoni Gambar di Badas-Sumobito ini sayangnya titik ini masih menjadi misteri. Bila ditarik garis lurus yang menghubungkan keempat yoni cantik ini, akan didapat bentuk segi empat yang disinyalir sebagai batas Kota Raja Majapahit yang disebut Madyopuro. Kota Raja Majapahit pun bisa diperkirakan dari jarak-jarak ini dan diestimasi berukuran sebesar 11 x 9 km, tanpa dibatasi tembok keliling.
Meski tidak tercantum di kitab manapun, perdebatan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota raja Majapahit ini masih belum usai. Bantahan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota Majapahit muncul ketika ditemukannya yoni yang juga berhiaskan kepala naga raja di Kediri.
Pak Rohmat, penduduk setempat yang kebetulan melintas ketika Jombang City Guide mengamati Yoni Gambar, beliau menyatakan bahwa menurut cerita penduduk setempat, situs Yoni Gambar ini adalah situs peninggalan Jaka Suruh. Jaka Suruh adalah salah satu tokoh yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi yang tak lain adalah Raden Wijaya, Raja pertama Majapahit.
Dari dua dasar diatas, Jombang City guide berpendapat, bisa jadi yoni naga raja di Kediri adalah tapal batas kota raja Kerajaan Kediri. Karena Raden Wijaya merupakan mantan ksatria Kerajaan Singhasari kemudian mencoba meng-copy adat dan budaya kerajaan pendahulunya. Ketika mendirikan Wilwatikta, Sang Prabu yang memimpin Majapahit kemungkinan memerintahkan pembuatan Yoni Naga Raja seperti di Kediri untuk dibuat di Madyopuro sebagai tapal batas Kota Raja dari kerajaan yang didirikannya.
Yoni Gambar juga disebut Yoni Sedah, sebuah nama yang disematkan karena yoni ini berada di Dusun Sedah. Asal usul nama Sedah ini juga masih menyimpan misteri. Nama ini mengingatkan kita pada Mpu Sedah, yang merupakan ayah angkat dari Arya Wiraraja, penasihat militer Raden Wijaya, Sang Pendiri Wilwatikta.
Bisa jadi Sang Mpu yang menulis Kitab Bharatayudha pernah mendiami wilayah ini atau berasal dari daerah ini, sebelum akhirnya ‘berkarir’ sebagai penasihat Raja Jayabaya dari Kerajaan Panjalu di Kediri. Kerajaan Kediri, adalah kerajaan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Singhasari yang kemudian berlanjut menjadi Kerajaan Majapahit. Sayangnya tidak ada catatan sama sekali mengenai asal-usul Sang Pujangga selain kisah percintaannya dengan permaisuri Sang Prabu Jayabaya.
Ada banyak spekulasi mengenai asal-usul dusun ini, namun terdapat kemungkinan lokasi ini dinamai Dusun Sedah karena kedekatan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja sehingga dusun ini dijadikan bentuk penghormatan atas jasa Sang Mpu.
Banyak peninggalan purbakala di Jombang yang terbengkalai karena Jombang hanya memiliki sedikit porsi di Trowulan. Padahal jika ditilik lebih lanjut, istana Kerajaan Majapahit letaknya ada di Jombang dan mayoritas benda-benda di Museum Trowulan berasal dari Jombang. Nanti ketika Museum Mpu Sindok sudah terwujud, mungkin akan diadakan pengembalian benda purbakala yang dari Jombang untuk pulang ke kota asalnya.
Ayo-ayo, sudah pernah kunjungi langsung Si Yoni Gambar yang cantiknya bukan main ini?? Wisata gratis yang murah dan edukatif. Napak tilas sejarah asal-usul Jombang juga lhow….
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Jombang – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak selamanya berdampak negatif bagi pelaku usaha dalam negeri. Seperti di Jombang, pengrajin manik-manik justru meraup keuntungan dari naiknya kurs USD.
Mahalnya harga USD saat ini berbuah manis bagi Nur Wahid (48), pengrajin manik-manik di Desa Plumbon Gambang, Kecamatan Gudo, Jombang. Pasalnya, 70% penjualan produk kerajinan bapak 4 anak ini diekspor ke beberapa negara.
Antara lain ke Malaysia, Afrika, Amerika Serikat dan Vietnam. Sementara penjualan ke pasar lokal kebanyakan menyasar Bali, Toraja, Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ada yang dirangkai menjadi kalung, ada juga yang berupa gelang. Jenis dan bentuknya mencapai 200 lebih. Seperti manik monte salak, sevron, lamyang, burnao, irian, harmoni, haye dan manik Majapahit.
“Yang terus laku itu manik-manik etnis karena untuk kebudayaan,” ujarnya.
Proses pembuatan manik-manik terus dipercepat oleh Wahid seiring meningkatnya permintaan ekspor saat ini. Omzet ekspor manik-manik suami Anik Arumi (43) ini naik hingga dua kali lipat.
Untuk penjualan ke luar negeri, lanjut Wahid, rata-rata setiap bulannya dia mampu mengirim 3 koli manik-manik. Setiap koli berisi sekitar 1.000 kalung dan gelang manik-manik. Produk kerajinan itu dikirim langsung ke konsumen menggunakan jasa kargo.
“Harga per bijinya 1-5 USD. Kalau sebelumnya ekspor saya senilai 5-10 ribu USD, sekarang ini 15-30 USD,” ungkap pria yang sudah 28 tahun menekuni bisnis kerajinan manik-manik ini.
Tingginya kurs USD saat ini yang masih di angka Rp 14.761, kian mendongkrak keuntungan Wahid jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Pasalnya, pada Juni 2018 yang lalu, kurs USD masih di angka Rp 13.902.
“Alhamdulillah dengan dolar naik, kami diuntungkan. Karena dengan bahan baku lokal kami bisa ekspor dengan harga dolar. Keuntungan kami naik 30 persen lebih,” terangnya.
Wahid berharap di tengah terpuruknya nilai tukar rupiah, para pengusaha lokal bisa mengikuti jejaknya menembus pasar luar negeri. Dengan begitu akan semakin banyak USD yang masuk ke dalam negeri.
“Bagi para pengusaha supaya ditekuni terus agar menjadi besar dan bisa ekspor. Supaya bisa ekpor sesekali harus ikut pameran di luar negeri, pemasaran sering-sering memakai IT,” tandasnya.
(fat/fat)
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com
Jombang – Warga Kecamatan/Kabupaten Jombang punya tradisi khusus untuk menyambut tahun baru Islam 1440 H. Warga Desa Banjardowo, ini menggelar kenduri es dawet. Seperti apa keseruannya?
Keduri es dawet ini digelar warga di sepanjang jalan depan kantor Desa Banjardowo. Pihak panitia menyiapkan 40 baskom berisi es dawet yang ditata di atas meja berjajar memanjang.
Deretan meja yang menyediakan es dawet ini mencapai sekitar 150 meter. Ibu-ibu panitia kenduri bersiap di balik meja untuk menuangkan es dawet ke gelas yang dibawa.
“Untuk kenduri dawet ini kami habiskan 115 kg gula pasir untuk membuat sekitar 600 porsi es dawet,” kata panitia kenduri es dawet Siti Mariyam (48) kepada wartawan di lokasi, Selasa (11/9/2018).
Tak hanya ibu rumah tangga, para pria dan anak-anak tak mau ketinggalan mendapatkan dawet gratis. Ada pula yang membawa kantung plastik untuk membawa pulang sebanyak mungkin gelas plastik berisi es dawet.
Tak ayal belum sampai satu jam, ratusan porsi es dawet yang disediakan panitia, ludes diserbu warga.
“Ini tradisi di kampung kami untuk menyambut tahun baru Islam 1 Muharram. Kami berharap desa kami bebas dari malapetaka,” ujar Mariyam.
Meski harus berdesakan dan menunggu antrean, warga mengaku senang ikut meramaikan tradisi kenduri es dawet. Seperti yang dikatakan Ziah (30), pengunjung asal Desa Banjardowo.
“Senang sekali dapat dawet gratis, rasanya enak juga,” terangnya.
(fat/fat)
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com
Ada Pancasila dalam Gendongan Jamu Dewi Kamaratih
Beberapa cara mengekspresikan rasa cinta terhadap negara dapat dilakukan sejumlah orang, salah satunya melalui karya seni lukisan yang memiliki makna pesan perdamaian. Hal itu seperti yang dilakukan salah satu pelukis Jombang yang dua karyanya ditampilkan dalam pameran seni rupa santri bertema ‘Boten Sare’ dan bersub tema ‘Kebhinekaan dan Perdamaian’ yang digelar di Aula Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Jombang, di Jalan Dokter Sutomo 58, Jombang.
Yang menarik dari pameran seni rupa oleh Komunitas Pelukis (KOPI) Jombang bersama dengan sanggar musik Fai Low, 1-7 September 2018 itu, terdapat puluhan deretan lukisan berbagai aliran milik para pelukis-pelukis handal Jombang.
Dari sekian lukisan yang dipamerkan, ada dua karya yang sedikit berbeda dengan lukisan lainnya. Terletak pada baris kedua dan ketiga dalam deretan penempatan lukisan, terdapat makna yang tidak biasa di dua lukisan tersebut.
Pada lukisan pertama, terdapat logo sila-sila dalam pancasila yang dalam wadah rinjing dengan diikat lukisan selendang berwarna merah putih khas bendera negara, yang dibawa oleh tokoh pewayangan Dewi Kamaratih. Sementara pada lukisan lainnya, terlihat sebuah papan catur lengkap dengan buah atau bidak-bidak catur yang bercorak warna doreng TNI, logo-logo media sosial, buah catur terlihat bercorak bom waktu dan lagi-lagi terdapat tokoh pewayangan yakni Batara Kamajaya.
Bayu Setiawan, sang pelukis kedua lukisan tersebut menjelaskan, dua lukisan karyanya mengangkat tema kenegaraan. Sedangkan tokoh pewayangan itu merupakan Dewi Kamaratih dan Batara Kamajaya. “Dua wayang itu Kamaratih (Dewi Cinta) dan Kamajaya (Dewa Asmara) ini identik dengan watak perdamaian,” ujar Setiawan.
Diceritakannya, makna lambang pancasila dalam gendongan jamu yang dibawa oleh wayang Dewi Kamaratih dengan berhadapan dengan beberapa tokoh pewayangan berwatak jahat, bermakna agar generasi muda ini agar berjiwa pancasila dan memiliki karakter kuat.
“Agar menjamui generasi muda, dan tidak mudah berwatak buruk. Tokoh wayang Cakil, Sengkuni dan Batara Kala ini sebagai pesan agar jangan berwatak seperti mereka. Seperti Batara Kala yang kalau berkuasa itu selalu melakukan tindakan aji mumpung, rakus dan ganas,” rinci Setiawan, pria asal Ploso, Jombang tersebut.
Sementara dalam satu karya lain, Setiawan menggambarkan bahaya yang bisa mengancam negara saat ini sudah tidak sama dengan jaman perjuangan dahulu. Dulu negara langsung berhadapan dengan musuh yang nyata. Namun saat ini ancaman bisa masuk melalui media sosial.
“Ada pion bercorak loreng tentara mengelilingi pancasila, yang bermakna sebagai penjaga kedaulatan negara. Namun dari arah lain muncul pion lain yang seperti ini bergambar logo medsos. Datang lagi dari arah lain bom waktu. Ini menggambarkan ancaman saat ini yang bisa saja masuk melalui media sosial maupun ancaman lain oleh kelompok tertentu yang digambarkan dengan pion bom waktu,” terang Setiawan.
Dalam lukisan yang ia buat, Setiawan menggambarkan tantangan dan ancaman akan selalu ada namun dalam bentuk yang berbeda-beda mengikuti perkembangan zaman.
“Makanya di sini ada mendung mengelilingi gunung, dimana puncaknya gunung adalah merah putih. Maknanya adalah ancaman demi ancaman akan selalu ada namun kita tidak tahu bentuknya seperti apa. Aparat keamanan harus solid menangkal ancaman-ancaman terhadap negara,” paparnya. [arif yulianto]
Peace, Justice, and Strong Institution
Oleh Intan Dwi Mayangsari
Jombang sering disebut kota santri dan memiliki nama julukan lain yaitu Jombang Beriman yang maksudnya Jombang Bersih, Indah, dan Nyaman. Penduduk di Jombang sendiri tidak hanya beragama Islam saja, tetapi ada juga yang beragama Kristen, Katholik, Konghucu, Hindu, dan Buddha. Jombang terdiri atas penduduk yang beragam bukan hanya agamanya tetapi kesenian di daerahnya pun beragam. Namun, kesenian-kesenian tersebut sudah mulai hilang dan larut dalam zaman yang modern ini. Lalu bagaimanakah nasib kesenian-kesenian itu sekarang? Apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat khususnya bagi generasi muda Jombang?
Sekitar enam bulan yang lalu tepatnya tanggal 17 November 2017, saya dan ketiga teman saya ditunjuk untuk mewakili ekstrakulikuler teater di sekolah kami untuk mengikuti kegiatan Bengkel Seni/ Lokakarya Rekonstruksi, Revitalisasi, dan Eksperimentasi Budaya yang dilaksanakan di Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jombang. Di sana saya bertemu dengan para seniman dari Jombang antara lain Bapak Heru Cahyono dan Cucuk Espe. Mereka berbagi pengalaman serta wawasannya tentang kebudayaan yang ada di Jombang kepada seluruh peserta yang hadir. Dari kegiatan tersebut saya baru tahu bahwa kota kelahiran saya ini memiliki banyak kesenian yang harus tetap dilestarikan.
Keesokan harinya, saya mencoba untuk bertanya kepada teman sekelas saya kira-kira adakah yang bisa menyebutkan salah satu kesenian yang ada di Jombang, tetepi mereka tidak ada yang menjawab karena tidak ada yang tahu. Dan saat saya bertanya lagi tentang kesenian Besutan, hanya siswa tertentu saja yang tahu dan pernah mendengarnya. Dari ruang lingkup yang kecil itu saja, dapat saya tarik kesimpulan bahwa banyak para generasi muda kita yang kurang memiliki wawasan tentang kebudayaan yang ada di Jombang.
Bapak Heru Cahyono adalah seorang dalang. Saat kegiatan di Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jombang, Beliau menuturkan bahwa Kota Jombang ini memiliki banyak sekali kesenian daerah di antaranya Lerok, Besut, Ludruk, Tari Remo Bolet, Gabus Misri, Topeng Sandur Manduro, Topeng Jati Dhuwur, Pencak Bondan, Jaran Kepang, dan masih banyak lagi. Tetapi ironisnya, kesenian-kesenian tersebut sudah jarang kita temui karena kalah dengan zaman yang modern ini.
Kita lihat saja para remaja yang ada di sekitar kita, hampir semuanya memiliki handphone yang selalu dibawa saat kemana pun mereka pergi. Rasanya handphone adalah salah satu sumber kehidupan bagi mereka. Memang mengikuti perkembangan zaman itu perlu, tetapi kita harus bisa menggunakan teknologi dengan bijak agar bisa memberikan manfaat untuk kita nantinya. Misalnya saja kita menggunakan handphone untuk menggali lebih dalam tentang apa saja kebudayaan yang ada di Jombang lalu timbul tindakan untuk melestarikannya itu saja sudah lebih baik.
Memang, pengaruh budaya Barat sangat kuat dan sulit dihindari saat ini. Menurut saya, Kemajuan suatu bangsa ataupun daerah itu tergantung pada masyarakatnya khususnya para generasi muda. Mengapa demikian? Karena para generasi muda itu masih kuat, lebih kreatif dan inovatif, selain itu mereka juga lebih menguasai teknologi. Tapi banyak sekali dari mereka yang masih belum sadar bahwa dirinya itu sangat penting dan dibutuhkan untuk memajukan bangsanya maupun daerahnya.
Para generasi muda kita saat ini banyak sekali yang sudah terlena dan larut dalam kecanggihan teknologi. Mereka lebih suka menghabiskan waktu luangnya dengan hal-hal yang kurang berfaedah. Contohnya saja main game, menonton drama/film dari luar negeri, chating dengan topik yang kurang bermanfaat, hampir setiap hari membuat status di whatsapp, instagram, facebook, dan media sosial lainnya. Itu semua adalah kebudayaan yang salah dan sudah terlanjur membudaya sampai saat ini.
Mereka lebih suka melihat drama Korea dibandingkan melihat pertunjukan kesenian daerah. Mereka juga lebih suka mendownload dan menghafalkan lagu-lagu barat daripada lagu-lagu daerah ataupun religi. Rasanya segala sesuatu yang berbau lokal sudah tidak menarik lagi bagi mereka. Inilah salah satu penyebab mulai hilangnya kebudayaan-kebudayaan yang ada di Jombang. Hal ini harus segera kita atasi bersama-sama demi memajukan kota tercinta kita yang tidak lain adalah Kota Jombang.
Kita sebagai warga Jombang khususnya para generasi muda harus bisa menghidupkan kembali kesenian-kesenian di Jombang yang sudah lama hilang dan menjaganya agar tetap lestari kembali. Cara menghidupkan kesenian-kesenian di Jombang, salah satunya yaitu dengan membuat organisasi kesenian bagi para generasi muda di Jombang. Anggotanya ditujukan untuk mereka yang sudah menjadi mahasiswa maupun yang masih duduk di bangku SMA dan SMP. Nantinya para anggota yang berasal dari sekolah atau kampus yang berbeda dengan ide-ide kreatifnya diharapkan mampu untuk berbaur dan berkolaborasi bersama. Dan diharapkan organisasi kesenian tersebut dapat menjadi wadah yang akan memajukan Kota Jombang.
Dalam organisasi tersebut pastinya tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan dari para orang tua khususnya para seniman-seniwati yang ada di Jombang. Dalam seminggu, minimal satu kali pertemuan untuk mempelajari kesenian-kesenian Jombang. Setiap mempelajari kesenian Jombang, para anggota wajib melakukan praktik dengan mengadakan pementasan bersama sebagai wujud pelestarian budaya Jombang. Dan saat pementasan nanti kita bisa membuat tiket untuk menambah pendapatan daerah.
Untuk masalah biaya pementasan, kita bisa mencari donatur dengan mengajukan proposal kepada pihak-pihak yang akan menjadi sponsor kita dengan timbal balik kita harus menyediakan lapak untuk tempat menawarkan produk bagi para sponsor kita nantinya. Selain itu, kita juga akan menyertakan logo-logo para sponsor kita pada banner, brosur maupun tiket yang ada pada pementasan kita.
Dan generasi muda kita yang sudah mahir dalam menggunakan media sosial ini bisa kita gunakan untuk membantu proses penjualan tiket sekaligus mempromosikannya. Kita bisa membuat akun-akun baru seperti instagram, facebook, twitter, dan sebagainya yang nantinya akan kita gunakan untuk memposting kegiatan-kegiatan apa saja yang sudah kita lakukan selama berorganisasi. Bukan hanya itu, dengan adanya postingan tersebut kesenian di Kota Jombang akan menjadi lebih terkenal seiring berjalannya waktu. Jika kesenian kita dikenal oleh masyarakat luas apalagi sampai ke luar negeri, otomatis juga akan menambah pendapatan daerah dengan adanya wisatawan lokal maupun internasional.
Dengan demikian, kesenian daerah di Jombang yang kini telah lama hilang juga akan sangat berpengaruh dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakat Jombang. Bukan hanya menambah pendapatan tetapi juga akan membuat Kota Jombang lebih terkenal dan makmur.