JOMBANG – Kawasan Utara Brantas juga terkenal sebagai penghasil kerajinan gerabah. Salah satunya dapat ditemukan di Dusun Mambang, Desa Tandowulan, Kecamatan Plandaan. Kerajinan warga dusun ini, sudah menjangkau seluruh wilayah Jawa Timur.
Sejak masuk ke desa ini, pemandangan unik langsung tersaji. Puluhan rumah dihiasi gerabah setengah jadi hingga yang telah matang di depan rumahnya. Salah satu perajin gerabah yang masih aktif adalah Supinah, 82. Saat Jawa Pos Radar Jombang mengunjungi rumahnya kemarin, ia terlihat sedang sibuk membuat sebuah cobek kecil.
Dimulai dari mengumpulkan tanah liat khusus yang diambil dari sawah, Supinah kemudian mencampurnya dengan pasir. Dengan komposisi tertentu, tanah ini kemudian diuleni dengan tangan secara manual hingga membentuk adonan yang padat namun tetap lunak dibentuk.
Usai siap dibentuk, Supinah kemudian meletakkannya di atas alas kayu yang di bawahnya terdapat pemutar. Dengan menggunakan tangan kosong, nampak mudah baginya untuk membuat gerabah sederhana ini. Dengan sentuhan tangan terampilnya, satu cobek kecil mampu ia hanya buat hanya dalam waktu 10 menit saja. ’’Ini masih basah, sampai jadi harus dijemur dulu,” ucapnya.
Setelah pembuatan selesai, penjemuran harus dilakukan setidaknya seminggu hingga gerabah benar-benar kering dan siap bakar, itupun ketika cuaca sedang bersahabat. Penjemuran gerabah tak boleh dilakukan langsung di bawah terik matahari. “Kalau pas panas begitu ya seminggu, kalau pas sering hujan bisa lebih,” lanjutnya.
Per harinya, Supinah mengaku mampu membuat hingga puluhan gerabah kondisi basah. Tak hanya cobek, Supinah dan puluhan warga lain di desanya ini juga membuat banyak jenis gerabah lain seperti anglo, penggorengan dari tanah, gentong, jambangan, kendi hingga sejumlah alat lain yang semuanya terbuat dari tanah.
’’Ya macam-macam, ya cobek begini, ya anglo kalau saya, ada celengan juga untuk anak-anak SD biasanya yang minta ini. semuanya bisa dibuat di sini,” imbuh wanita empat anak ini. Gerabah-gerabah yang sudah jadi, biasanya akan disetor kepada pengepul untuk kemudian diedarkan ke seluruh Jawa Timur.
’’Di sini tempat kumpulnya saja, biasanya setiap bulan akan ada yang mengambil, ya ada yang dari kediri, Surabaya, Ponorogo dan banyak tempat lain. Yang jelas kalau produksi dari sini memang sudah terkenal bagus sejak puluhan tahun lalu kan,” terang Kalimah, 65, salah satu pengepul di Dusun Mambang. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
OMBANG – Mayoritas perajin gerabah di Dusun Mambang memang dikerjakan oleh orang-orang berusia lanjut tua. Produksinya hanya berkutat pada alat dapur yang harganya murah. Namun, beberapa generasi baru kini mulai menjajal pasar baru dengan bentuk karya bernilai jual tinggi.
Bagi Supinah, membuat gerabah memang sudah aktivitas rutinnya sejak lebih dari 70 puluh tahun lalu. Ya, Supinah mengaku memang sudah mulai membuat gerabah sejak neneknya berhenti dari usaha ini. ’’Saya membuat sejak masih jaman penjajahan dulu. Kalau diukur umur mungkin masih kelas 2 SD kalau anak sekarang, lha sekarang sudah 80 tahun lebih,” terangnya.
Supinah tak sendirian, masih ada puluhan perajin dengan usia yang tak jauh berbeda. Hal ini membuat produksi gerabah Dusun Mambang memang tak banyak bervariasi, hanya berkutat pada sejumlah alat dapur yang harganya rendah.
’’Ya memang di sini yang membuat rata-rata sudah tua, dan produksinya ya barang-barang sejak zaman dulu. Harganya mentok paling Rp 15 ribu, itu sudah besar sekali bentuknya. Ya memang murah ,” lanjutnya.
Namun, beberapa perajin generasi muda kini sudah mulai muncul dengan pasar baru. Seperti yang dilakukan Sumarlik, 33. Dengan ketrampilannya, ia mulai membawa kerajinan gerabah di desanya jadi bernilai tinggi dengan pembuatan sesuai pesanan.
“Kalau saya memang melayani pesanan, ada pot bunga besar, ada guci juga, selain itu gelas-gelas yang bentuknya etnik begitu,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Berbekal kemampuan dan beberapa kali pelatihan, di tangan Sumarlik gerabah-gerabah ini dibentuk dengan sangat baik. Meski pembuatannya manual, Sumarli mampu memberi detil ukiran hingga hiasan bahkan pewarnaan dan pelapisan pada gerabah buatannya. Alhasil, Tampilan gerabahnya pun jauh lebih indah, dan bernilai seni.
Dengan itu, ia mengaku mampu masuk ke sejumlah pasar baru, pelanggan yang kelasnya lebih tinggi. Tentu saja juga dengan harga yang lebih tinggi pula. ’’Kalau gelas itu bisanya yang pesan ya penginapan-penginapan, kalau guci biasanya dikirim ke hotel-hotel. Harganya sudah bisa mencapai Rp 300 ribu per bijinya untuk guci ini,” lanjutnya.
Meski begitu, ia mengaku masih sangat tergantung dengan jumlah pesanan yang masuk kepadanya. Karena itu di musim-musim tertentu, ia masih akan tetap membuat gerabah tradisional ketika pesanan sedang kosong. ’’Ya buat begini kan kalau ada pesanan, kalau tidak ya membuat gerabah biasa saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Musim liburan, ruang terbuka hijau (RTH) di Jombang tak kalah ramai dikunjungi masyarakat. Seperti yang terlihat di Taman Kebonrojo kemarin (29/12), mulai pagi hingga malam hari, tak pernah sepi pengunjung.
Salah satu lokasi yang paling padat adalah rumput sintetis di sisi barat daya Taman Kebonrojo yang dipenuhi anak-anak untuk bermain. Sedangkan orang tua tampak mengawasi di tepi rumput sintetis, sambil menikmati jajanan murah.
”Tempatnya memang bagus, warna-warni dan banyak permainannya. Anak-anak senang sekali diajak kesini sampai capek ngikutin anak lari-lari,” ujar Supariyono, salah satu pengunjung Kebonrojo.
Terdapat beberapa fasilitas permainan seperti ayunan, jungkat-jungkit, perosotan hingga rumah-rumahan yang sangat disukai anak-anak. Meski sudah ada papan larangan pada lokasi rumput sintetis namun kesadaran pengunjung masih rendah. Banyak diantara mereka yang tidak mengindahkan.
Bahkan makan minum di dalam areal rumput sintetis itu. Akibatnya, sampah juga terlihat berserakan disana sekitar lokasi meski sudah tersedia tempat sampah. ”Itu kan kesadaran masing-masing, padahal sudah jelas dilarang makan dan buang sampah,” tandasnya.
Sementara itu, air mancur di sisi timur laut juga menjadi lokasi favorit anak-anak bermain. Hanya saja, air mancur itu menyala pada sore hingga malam hari. Meski demikian, sore hari tetap banyak anak yang basah-basahan bermain air.
Malam harinya, air mancur semakin indah berwarna-warni lantaran lampu yang menyorot dari bawah. Tak heran, lokasi ini jadi surganya anak-anak di musim liburan karena bisa bermain sepuasnya gratis. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Kebanyakan kayu limbah yang sudah kering di hutan hanya dimanfaatkan untuk kayu bakar. Namun di tangan Eko Cahyono, warga Dusun/Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam kayu hutan mampu disulap jadi handmade atau produk kerajinan tangan yang memiliki nilai jual tinggi.
Kemarin (28/12), Eko Cahyono bersama beberapa warga tengah sibuk mengelupas bagian kulit yang kering. Beberapa kayu tampak biasa, tak ada bedanya dengan kayu garing yang ada di hutan. Ada kayu Jati, Sono mapun bonggol bambu yang sudah tua. Setelah dikelupas dan dibersihkan kulitnya, akhirnya mulai tampak keunikan masing masing kayu.
Eko biasanya membuat pajangan rumah, replika bunga bungaan dan lampu tidur. Eko menggunakan bahan utama dari kayu kering. ”Makin unik dan tua kayu bonggolnya, maka nilai seninya makin tinggi,’’ ujar Eko kemarin (28/12).
Awal mula Eko terinspirasi membikin kerajinan tangan dari kayu saat dirinya membeli replika bunga-bungaan di toko bunga. Eko melihat, kebanyakan yang dipakai adalah kayu kering biasa seperti kayu mangga yang tidak memiliki nilai seni.
Dari situ, Eko berpikir untuk membuat kerajinan tangan sendiri. ”Daripada beli, mending saya manfaatkan limbah kayu kering yang ada di hutan. Kebetulan di Desa Sumberjo ini adalah wilayah hutan sehingga mencari kayu seperti ini tidaklah sulit,’’ beber dia.
Beberapa kayu yang dipilih adalah kayu jati, sono dan bambu. Selain banyak dijumpai di hutan, ketiga jenis kayu cocok sebagai bahan dasar membuat kerajinan tangan. ”Kami ingin menonjolkan kesan alami hutan. Makanya kami gunakan kayu asli dari hutan Desa Sumberjo,’’ papar dia.
Lambat laun, akhirnya usaha Eko mulai dilirik warga lain. Bukannya, takut tersaingi justru Eko mengajak warga lain bergabung untuk menggeluti usaha kerajinan tangan dari olahan limbah kayu. Kini, ada beberapa warga yang mengerjakan pesanan seperti usaha Eko. ”Alhamdulillah sekarang mulai berjalan, dan orang-orang juga saling terbantu,’’ beber dia.
Bahkan, Eko sempat mengaku jika kerajinan tangannya diminati warga luar Jombang. Beberapa kali, Eko mengirim ke Mojokerto dan Surabaya. ”Paling banyak ya tingkat lokal saja,sementara untuk harga jual mulai yang paling kecil Rp 70 ribu hingga setinggi dua meter kurang lebih Rp 2,5 juta,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Usai merayakan Hari Raya Galungan yang diperingati setiap 210 hari sekali, kini umat Hindu di Dusun Wates, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang bersiap menyambut Hari Raya Kuningan yang akan diperingati awal Januari pekan depan.
Seperti terlihat di Pure Tribuana, Dusun Wates kemarin (28/12). Tampak Pinto, pemangku pure membersihkan beberapa sisa perayaan hari raya galungan yang diperingati Rabu (28/12) lalu. ”Jadi Hari Raya Galungan itu hari raya sebelum kuningan. Ini merupakan rangkian hari raya sebelum Nyepi nanti,’’ ujar dia.
Hari Raya Galungan diperingati umat Hindu secara sederhana. Umat Hindu hanya melakukan sembahyang di malam hari dan membuat beberapa sajian di Padmasana alias tempat sembahyang. ”Galungan artinya merayakan kemenangan dari dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan),’’ jelasnya.
Selain sajian, ada yang khas dari Hari Raya Galungan. Yakni umat Hindu membuat beberapa penjor semacam hiasan yang terbuat dari rangkaian janur. Penjor itu diletakkan di dalam pure dan rumah warga. ”Selain itu juga membuat canang sebagai tempat sajian,’’ beber dia.
Kini umat Hindu tengah bersiap menyambut Hari Raya Kuningan, yang diperingati setiap 210 hari dalam setahun. Di kalender umum, Hari Raya Kuningan diperingati 5 Januari tahun depan. ”Hari Raya Kuningan diperingati sebagai wujud menghormati orang tua. Biasanya, diwujudkan dalam bentuk membuat sesajian nasi kuning,’’ pungkas lelaki yang menjadi pemangku 28 tahun ini. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Warga Dusun Wonogiri, Desa Wonokerto dan sekitarnya tak pernah merasa kekurangan air. Sebab, ada sumber kucur aren yang selalu memenuhi kebutuhan air mereka. Sumber tersebut sudah ada sejak zaman Belanda.
Siang kemarin (26/12), tampak mendung di Desa Wonokerto. Awan hitam menggelayut di atas pemukiman warga. Namun hal itu tak menyurutkan warga tetap beraktiftas seperti biasanya.
Seperti yang dilakukan Naryanto, 40 warga setempat yang membersihkan sisa-sisa kotoran dan dedaunan pohon yang rontok pada sebuah bak penampungan berukuran sekitar 2 x 3 meter itu.
Ya, Naryanto ternyata membersihkan kotoran yang jatuh pada tempat penampungan air. Air tersebut berasal dari sumber kucur aren. ”Agar kotoran ini tidak terbawa ke pipa,’’ ujar dia sembari mengambil beberapa ranting, dan dedauan kering.
Dijelaskan, sumber kucur aren merupakan sumber mata air pegunungan yang terletak di Desa Wonokerto. Keberadaannya sudah ada sejak zaman Belanda.
”Terdapat tiga titik sumber yang masih mengeluarkan air,’’ jelas dia. Dinamakan kucur aren, karena sumber tersebut mengalir di sela sela pohon aren. Pohon aren tersebut usianya diperkirakan sudah ratusan tahun. Itu terlihat dari ukuran pohon yang sangat besar dan tinggi.
Tempat penampungan ukuran 2 x 3 meter tersebut sudah ada sejak zaman Belanda. Dahulu dipakai sebagai tempat penyuplai pabrik karet yang terletak di bawah sumber.
Namun kini yang tersisa hanya tempat penampungan kecil tersebut. ”Kalau pabriknya sudah dibongkar sejak tahun 80-an, beberapa pondasi juga sudah diambili warga untuk pondasi rumah mereka,’’ jelas dia.
Sumber Kucur Aren, hingga kini masih dimanfaatkan warga Dusun Wonogiri, Desa Wonokerto untuk kebutuhan sehari-hari. Air tersebut tak pernah kering walau musim kemarau panjang seperti beberapa bulan lalu.
”Ini hanya bisa dipakai untuk kebutuhan warga Dusun Wonogiri sebanyak 40 kepala keluarga (KK), sementara untuk Dusun Wonokerto tidak bisa lantaran letak dusunnya di atas sumber. Sehingga air tidak kuat mengalir ke atas pemukiman warga,’’ beber dia.
Di hutan tersebut, masih ada sekitar 60 pohon aren berukuran besar. warga setempat tidak berani menebang karena dipercaya dapat mengganggu sumber mata air.
”Dahulu pernah ditebang, namun airnya surut. Sehingga sampai sekarang dengan kebijakan dari desa dilarang menebang pohon tersebut,’’ papar bapak satu anak ini. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Lokasi wisata Sumber Biru, Dusun Wonotirto, Desa Wonomerto Kecamatan Wonosalam, mulai dikenal masyarakat. Kemarin (24/12), lokasi wisata tergolong anyar ini mulai banyak didatangi pengunjung, meningkat hingga dua kali lipat.
”Kalau hari normal pengunjung per hari mencapai 400-500 orang,’’ ujar Tekat Slamet pengelola wisata. Namun pada hari libur panjang, bertepatan dengan natal dan tahun baru ini jumlah pengunjung bisa mencapai 1.000 lebih per hari. ”Kami menghitung dari jumlah karcis yang keluar,’’ tambahnya.
Di wisata ini, pengunjung bisa makam sambil berendam di sungai. Pengunjung tampak krasan berlama-lama merendamkan kaki mereka di air. ”Apalagi beberapa hari ini tidak hujan, sehingga pengunjung makin banyak,’’ pungkasnya.
Dihubungi terpisah, Waluyo Adi, Kades Wonomerto mengaku jika wisata tersebut makin ramai. Masyarakat setempat terus bergotong-royong membangun fasilitas baru agar pengunjung makin betah.
”Mereka swadaya sendiri, pakai dana sendiri dan dikelola sendiri, dan Alhamdulilah sekarang semakin berkembang,’’ ujar dia. Wisata tersebut, berdiri di atas lahan seluas 4 hektare yang terbagi dalam 11 setifikat hak tanah warga.
Dahulunya, area wisata tersebut merupakan tempat pembuangan akhir (TPA). Namun warga setempat bekerja keras selama delapan bulan membangun wisata. ”Dan Alhamdulilah sekarang bisa mendongkrak perekonomian warga setempat,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Selain berziarah, pengunjung juga dapat berbelanja di seputar kawasan sentra oleh-oleh yang terdapat di luar komplek makam. Di sana pedagang menjual berbagai macam merchandise khas Gus Dur. Mulai dari tasbih, sarung, kopyah hingga gantungan kunci model Gus Dur.
Di destinasi wisata religi makam Gus Dur, terbagi menjadi beberapa blok. Pertama, kawasan Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari dan Monumen Asmaul Husna, kedua kawasan sentra PKL dan oleh-oleh dan ketiga makam gus Dur sendiri. ”Benar, jadi dari awal pintu masuk peziarah akan disambut beberapa spot selfi di kawasan makam parkir Gus Dur,’’ ujar Iskandar, kepala Pondok Pesantren Tebuireng.
Di sana peziarah dapat berswafoto dan mengabadikan momen di berbagai spot yang disediakan. Bahkan peziarah tak perlu khawatir jika tak sempat foto-foto. Sebab, ada komunitas fotografer kawasan makam Gus Dur yang sudah membidik saat peziarah saat melintas di kawasan parkiran. Biaya per foto dibandrol Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu.
Rute selanjutnya, pengunjung berjalan sekitar 500 meter untuk sampai ke makam Gus Dur. Di makam Gus Dur peziarah akan disambut aula yang untuk ngaji dan berdoa didepan makam Gus Dur dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU). ”Di sana kami juga menyediakan tempat istirahat bagi peziarah yang kelalahan,’’ papar dia.
Usai melakukan ziarah, pengunjung dapat berbelanja membawa oleh-oleh khas Gus Dur. Karena di sepanjang sentra oleh-oleh itu, pedagang menjual berbagai macam kebutuhan peziarah. Mulai dari kuliner, suvenir hingga buku dan kitab Alquran. ”Semuanya ada di sana, mulai dari tasbih, hingga kaos bergambar Gus Dur atau pahlawan nasional KH Hasyim Asy’ari,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Kejuaraan Tenis Meja Spido Cup 2018 se-Kabupaten Jombang berlangsung semarak dan sukses, Sabtu – Minggu (22-23/12). Sejumlah klub yang ada di Jombang pun sangat antusias mengikuti kejuaraan ini.
Sebanyak 109 peserta terdiri dari 89 peserta tunggal dan 20 peserta ganda yang berpartisipasi pada lomba tenis meja dalam rangka HUT Partai Hanura ke-12 ini yang dihelat di Desa Sambongdukuh, Kecamatan Jombang.
”Alhamdulillah pelaksanaan lomba tenis meja ini berjalan sukses dan lancar,” ujar penyelenggara acara Pulung Legowo dan Aminudin dan Ketua Panitia Spido Cup 2018.
Pada nomor tunggal putra juara pertama diraih oleh Alfian yang berhasil mengalahkan Andi Widarto pada babak puncak. Andi Widarto pun menjadi juara kedua, sedangkan juara ketiga diraih Budi Suwarsono.
Sedangkan pada nomor ganda putra, juara pertama diraih Alfian dan Andi yang sukses menundukkan Sutrisno dan Wahyu yang menjadi juara kedua. Juara ketiga ganda putra pun diraih Ahmada dan Yusuf.
”Ke depanya kegiatan lomba tenis meja ini akan semakin sering dilaksanakan pada tempat berbeda,” jelas Pulung Legowo, penyelenggara acara. Harapannya, event ini menjadi motivasi anak-anak, remaja hingga orang tua di Kabupaten Jombang untuk semakin mencinta tenis meja.
Tenis meja sendiri olahraga yang murah dan mudah serta tidak membutuhkan tempat yang luas. Melalui kejuaraan ini diharapkan tenis meja semakin merakyat, sehingga dapat turut mengembangkan bakat dan mencetak generasi atlet tenis meja yang berprestasi.
”Jombang sudah memiliki atlet tenis meja berprestasi sampai peringkat 16 Asia Tenggara, harapan ke depan bisa sampai peringkat 3 Asia Tenggara,” tandasnya.
Ditambahkan, kalau event-event kejuaraan tenis meja sering digelar, maka bisa menjaring bibit-bibit muda berbakat. Apalagi di Jombang telah memiliki klub tenis meja yang sangat aktif.
’’Kejuaraan tenis meja sudah rutin digelar, tetapi kalau ditambah lagi maka hasilnya akan lebih bagus. Misalnya event untuk hari-hari besar. Tentu ini juga butuh dukungan dari Pemkab Jombang juga,’’ tambah Pulung Legowo. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Wisata religi makam Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terletak di kompleks Pesantren Tebuireng seolah menjadi medan magnet bagi peziarah. Pasalnya, makam ini tak pernah sepi peziarah dari berbagai penjuru Indonesia.
Makam Gus Dur sejak 31 Desember 2009, terus dikunjungi ribuan peziarah setiap harinya. Sebelum Gus Dur meninggal, sudah ada makam dua pahlawan nasional di komplek makam tersebut, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahid Hasyim. Dahulu, jumlah peziarah memang sudah banyak, namun tak sebanyak sekarang ketika ada makam Gus Dur.
Ketika masuk di area makam Gus Dur, peziarah bakal disambut lorong panjang yang disamping kanan-kirinya ada puluhan pedagang oleh-oleh. Dahulu, lorong itu merupakan kamar-kamar para santri namun kini berubah menjadi lorong yang dilewati peziarah untuk menuju makam Gus Dur.
Di kompleks makam Gus Dur, ada sekitar 45 orang yang dimakamkan. Mulai dari pendiri Pesantren Tebuireng, pengasuh pondok, keluarga hingga dzuriah. Makam Gus Dur sendiri terletak di sebelah pojok utara. Terdapat tanda batu maesan unik bertuliskan: di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan’’ dalam empat bahasa. Yakni bahasa Indonesia, Arab, Inggris dan China.
Kawasan makam Gus Dur dibuka dalam dua sesi. Pertama mulai pukul 07.00 hingga 16.00 dan sesi kedua mulai pukul 20.00 hingga 03.00. Jumlah pengunjung makam Gus Dur seolah tak bisa dihitung dengan mata. Saking banyaknya, peziarah berjubel hingga lesehan di beberapa sudut makam. ”Kalau hari-hari biasa mulai Senin – Kamis itu jumlah pengunjung 2- 3 ribu per hari. Namun kalau sudah masuk Jumat, Sabtu dan Minggu itu bisa masuk sampai 10 ribu peziarah per hari,’’ ujar Iskandar, Kepala Pesantren Tebuireng kemarin (23/12).
Bahkan momentum, haul Gus Dur yang ke-9 ini, jumlah pengunjung makin bertambah. Apalagi, minggu-minggu ini sudah memasuki liburan sekolah. ”Jadi karena bertepatan dengan musim libur panjang, jumlah pengunjung bisa 15 – 20 ribu,’’ sambungnya.
Makam Gus Dur dikelola oleh Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT). Hasil dari infaq peziarah, dikelola dan disalurkan untuk masyarakat. ”Ada beberapa program yang dikelola LSPT mulai dari pendidikan maupun sosial. Biasanya, kami sering melakukan kegiatan sosial kemanusiaan saat ada bencana,’’ papar dia.
Kawasan makam Gus Dur mulai dipersolek pemerintah dua tahun sejak Gus Dur wafat. Pada 2011 Kemendikbud RI dan Pemkab Jombang mulai membangun Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asyari dan kawasan parkir di makam Gus Dur. ”Itu dibangun mulai 2011. Sekarang pemerintah juga mulai membangun sentra PKL di sebelah barat,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com