Jombang – Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), dalam kunjungan kerjanya. Jokowi juga berziarah ke makam presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ziarah dilakukan Jokowi setelah menggelar pertemuan dengan Gus Sholah di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa (18/12/2018). Jokowi bersama rombongan mendoakan arwah Gus Dur dan nama-nama lain yang dimakamkan di lokasi.
Jokowi juga menabur bunga ke makam Gus Dur. Di lokasi itu, juga dimakamkan dua pahlawan nasional, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.
Jokowi langsung bertolak menuju lokasi peresmian Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari. Lokasinya berjarak sekitar 10 menit berjalan kaki dari Ponpes Tebuireng.
Jokowi mengingatkan perjuangan para ulama dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI. Mereka disebut telah berjihad di jalan Allah.
“Saat membayangkan besarnya perjuangan beliau, besarnya rasa cinta beliau beserta ulama kepada Tanah Air kita, Indonesia, sehingga KH Hasyim Asy’ari dengan keteguhan hati mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan RI sebagai jihad fisabilillah,” kata Jokowi.
|
Agenda kerja Jokowi akan dilanjutkan dengan mengunjungi Ponpes Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Kabupaten Jombang. Di tempat ini, rencananya Jokowi akan meluncurkan program Bank Wakaf Mikro.
Pada petangnya, Jokowi akan menuju Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Kabupaten Jombang, untuk bersilaturahmi dengan para santri.
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com
JOMBANG – Haul almarhum Presiden RI ke-4 KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang ke-9 digelar Minggu (16/12) malam. Meski dihelat secara sederhana di samping makam Gus Dur komplek Pesantren Tebuireng, namun terasa begitu istimewa.
Pasalnya, haul tidak hanya dihadiri para dzuriah, namun sejumlah tokoh penting era Gus Dur juga ikut datang. Haul dimulai tepat pukul 20.00. Di bangku paling ujung, tampak Yenny Wahid anak kedua Gus Dur.
Diikuti Lily Chodidjah Wahid (adik Gus Dur), Bupati Jombang Mundjidah Wahab, Gubernur Jatim terpilih Khofifah Indar Parawansa, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Bondan Gunawan (Mensegneg Era Gus Dur), Wahyu Muryadi (kepala Protokol Istana era Gus Dur) dan Kwik Kian Gie (Menko Perekonomian era gus Dur).
Dalam sambutannya, Yenny menyampaikan jika dirinya rindu dengan nasihat sang ayah Gus Dur. Khususnya saat memasuki tahun politik seperti ini, yang paling sering terjadi adalah maido alias saling menghujat satu sama lain.
Gus Dur pada waktu itu sering mengingatkan, pentingnya toleransi dan saling menghormati untuk menjaga kondusifitas tahun politik. ”Yang paling sering terdengar dalam tahun politik adalah maido,’’ ujar Yenny disambut geliat tawa.
Untuk menjaga suhu tahun politik tetap kondusif, kata Yenny menceritakan nasihat Gus Dur, kuncinya saling menghormati pendapat satu sama lain. Saling toleransi terhadap orang yang berbeda agama dan tidak saling menjelek-jelekan satu sama lain.
”Seperti bu Khofifah ini kan sering dijelek-jelekan, tapi beliau Alhamdulilah bisa mengontrol sehingga suasana tetap kondusif,’’ tandasnya. Hal senada juga disampaikan, Bondan Gunawan Mensegneg era Gus Dur. Dia menceritakan, Gus Dur adalah sosok gus yang berbeda dengan gus gus lain.
”Kalau gus-gus lain itu keluar pondok sebentar saja sudah merasa seperti ulama, tapi Gus Dur ini berbeda, dia tetap rendah hati dan kerjaannya menyapa masyarakat bawah,’’ ujar dia.
Haul ke-9 Gus Dur berakhir sekitar pukul 23.30 WIB. Terlalu ramainya, jamaah sampai tumplek-blek memadati jalan provinsi di depan Pesantren Tebuireng. Mereka rela duduk duduk di jalan sambil mendengarkan sambutan undangan melalui pengeras suara. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Satu lagi, karya unik dihasilkan dari tangan warga Jombang. Kipas dari kain yang dijuluki sebagai kipas sakti ini dibuat Suwandi, 61, warga Desa Sentul, Kecamatan Tembelang. Penggemar kipasnya hingga luar negeri.
Meski terlihat sepele, ternyata di pasaran kipas ini memiliki daya jual yang cukup tinggi. Bahkan kipas ini tidak lagi dibeli untuk memenuhi kebutuhan, tapi banyak juga yang membeli untuk koleksi karena bentuknya yang unik.
’’Banyak yang beli bukan hanya untuk kipasan karena udara panas. Tapi karena memang unik, dijual di wilayah yang cukup dingin, kipas ini tetap laku,” kata Suwandi. Menurut Suwandi, saat ini ia adalah satu-satunya dan yang pertama membuat kipas lipat di Jombang.
Sejarah pembuatan kipas produksi rumahan ini cukup berliku. Awalnya Suwandi yang tak memiliki pekerjaan tetap itu prihatin melihat banyaknya kain perca yang dibuang teman penjahit.
Banyaknya kain perca rupanya membuatnya berpikir untuk mengambil peluang usaha dari kain tersebut. Tapi membuat kipas lipat awalnya sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Awalnya ia hanya membuat sarung bantal. Tapi sarung bantal saat itu tidak ramai di pasaran, sehingga ia mencoba inovasi baru dengan membuat tas, dompet dan juga gantungan kunci yang bahan dasarnya juga kain perca.
Tapi lagi-lagi usaha tersebut hanya laku apa adanya saja, tidak laku keras hingga membuahkan omzet yang cukup tinggi. Akhirnya, ia mendapat ide membuat kipas lipat di awal tahun 2006.
Awalnya, kipas lipat buatannya tidak begitu ramai di pasaran. Tapi lebih baik dibandingkan tas dan dompet sehingga ia tetap mempertahankannya. Kemudian ia mulai merasakan manisnya buah usahanya pada 2008. ’’Saya mengikuti banyak pameran yang diadakan pemerintah, akhirnya produk saya semakin dikenal dan mulai banyak pemesan,” tambahnya.
Masa jayanya saat itu hanya sebatas lapak offline, dikenal melalui pameran dan dari mulut ke mulut. Ia mulai berada di puncak kejayaan saat Gubernur Jatim Soekarwo memesan 5.000 kipas untuk sebuah acara besar. Mulai saat itulah ia kebanjiran order dari banyak tempat.
Kipas yang sekarang sudah mulai dikenal hingga mancanegara ini awalnya hanya olahan yang serba limbah. Kain perca yang didapatkan dari konveksi, gagang kipas yang terbuat dari botol oli dan diburu dari pengepul rongsokan, serta kawat baja yang dibeli dari limbah kawat di Surabaya.
Kawat baja dipilih karena lebih lentur dan mudah dibentuk tapi tetap kembali pada bentuk semula. ’’Semua serba limbah pokoknya, dulu botol oli bekas itu diplong sendiri, lalu digunting sendiri pokoknya masih manual semua, tapi sekarang sudah tidak,” ungkap bapak tiga anak ini.
Menurutnya, kualitas dari gagang plastik yang dipesan dari pabrik dengan gagang limbah botol sama saja. Hanya saja limbah botol tidak memiliki banyak warna, paling banyak warna merah. Sedangkan jika pesan bisa warna apa saja.
Sementara itu kawat baja jika harus beli di pabrik harus dalam jumlah besar, minimal satu ton. Dan harganya juga tidak murah. Sehingga ia memilih mencari limbah pabrik saja yang ia beli dari pengepul limbah. “Kalau beli limbahnya, harganya murah, dan bisa beli kiloan,” imbuhnya.
Banyaknya permintaan membuatnya tidak lagi membuat dari barang limbah seadanya. Kain perca yang dari konveksi juga sudah tidak bisa memenuhi jumlah permintaan, sehingga ia membeli perca di toko dan di konveksi besar. Sedangkan gagang dari botol oli juga tidak bisa menutupi jumlah permintaan, sehingga harus beli.
Satu kipas membutuhkan kain satin 25 x 30 centimeter. Kawat baja yang digunakan sepanjang 90 centimeter harus dipipihkan dulu. Meski terlihat sederhana, menurut Suwandi, proses pembuatan kipas ini lumayan rumit. Pemotongan kain harus pas, kadar baja pada kawat harus pas, dan pemasangan juga harus betul, agar saat dilipat memiliki bentuk yang bagus.
Dibantu dengan sejumlah karyawan, satu hari, Suwarno bisa membuat minimal 100 kipas. Namun banyaknya kipas yang dibuat disesuaikan dengan jumlah pemesanan. Satu bulan ia bisanya bisa menjual kipas sebanyak 3.000 kipas.
Pembeli kipas paling banyak dari Kalimantan, Jakarta dan Bali. Juga dipesan dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan NTT. Untuk Jombang sendiri pemasarannya di kawasan wisata religi makam Gus Dur.
Permintaan juga datang dari luar negeri. Seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Afrika, hingga India. Kipasnya banyak di kenal warga mancanegara dari pameran internasional yang pernah ia ikuti di Jakarta. ’’Sudah banyak yang kenal, kita juga kirim ke beberapa negara. tapi tidak banyak,” tambahnya.
Pemasarannya kini tidak hanya melalui pameran saja, tapi juga melalui media online, tapi kebanyakan pembeli yang datang adalah pelanggan tetap.
Harga kipasnya beragam, mulai dari yang paling murah Rp 6 ribu hingga Rp 9 ribu. Rp 6 ribu yang memiliki bentuk standar, tapi jika permintaan ada sablon tulisan, dan sablon wajah atau khusus kampanye, harganya bisa sampai Rp 9 ribu. Tidak hanya dijual dalam bentuk kipas, tak jarang ia mendapatkan banyak pesanan untuk suvenir pernikahan. ’’Kalau suvenir ditambah boks mika harganya bisa sampai Rp 12 ribu, tergantung modelnya juga,’’ ujarnya.
Satu bulan, ia bisa meraup omzet hingga Rp 18 juta dari penjualan kipas yang dihitung rata-rata Rp 6 ribu per biji. Desember, permintaan sedang tinggi. ’’Desember gedhe-gedhene sumber,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Surya.co.id | JOMBANG – Cerita tentang mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seolah tak pernah habis.
Ada saja pengalaman menarik dari orang-orang yang pernah ‘bersama’ Gus Dur semasa hidup.
Seperti cerita Kwik Kian Gie, mantan Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) era Presiden Gus Dur.
Kwik mengaku sangat kaget dan tak pernah menyangka dirinya akan diberi jabatan menteri koordinator (Menko) oleh Gus Dur.
“Bayangkan saja. Saya ini keturunan Tionghoa yang tidak ganti nama dan istri orang Belanda, diangkat menjadi menko ekuin,” kata Kwik Kian Gie.
Kisah Kwik Kian Gie ini disampaikan dalam acara Haul Ke-9 Gus Dur di Ponpes Tebuireng, Jombang, Minggu (16/12/2018) menjelang tengah malam.
Kwik lantas berkisah, saat itu, 1999, dia baru saja menghadiri pelantikan Megawati, yang memenangkan pilihan wakil presiden di MPR, mendampingi Gus Dur sebagai presiden.
Begitu pelantikan selesai, kata Kwik, dia dihampiri ajudan Presidein Gus Dur agar setelah selesai acara pelantikan langsung menuju ke wisma negara di Istana Merdeka.
Saat sampai di sebuah ruang di wisma negara di situ sudah berkumpul belasan orang yang seluruhnya adalah ketua partai politik dan ketua fraksi, kecuali Kwik Kian Gie.
Saat itu, imbuh dia, Gus Dur menyatakan kepada peserta pertemuan, yang intinya, dalam membentuk kabinet, tidak akan menggunakan hak prerogatifnya secara mutlak, kecuali untuk dua jabatan menteri.
“Yakni Menteri Agama yang dijabat oleh Tolchah Hasan dan Menteri Luar Negeri yang dijabat oleh Alwi Shihab,” ungkap Kwik Kian Gie yang juga mantan Ketua DPP PDIP ini.
Selanjutnya, para ketua parpol dipersilakan memasukkan usulannya untuk jabatan menteri, dengan cara memasukkan nama calonnya dalam amplop tertutup keesokan harinya.
Pada saat itulah, Wiranto yang mewakili Fraksi ABRI menyatakan dirinya tidak mengetahui struktur kabinet yang diinginkan Gus Dur.
Wiranto juga mengaku punya usulan struktur kabinet.
Dalam struktur kabinet yang diusulkan Wiranto, tidak terdapat Menko Kesejahteraan Rakyat.
Yang ada, kata Kwik, menko ekuin dan menko polkam.
Mendengar ini, lanjut Kwik, Gus Dur langsung menggunakan hak prerogatifnya, dengan menentukan Wiranto sebagai Menko Polkam dan Kwik Kian Gie sebagai Menko Ekuin.
“Terkejutlah semua hadirin.
Tapi sayalah yang paling terkejut karena tidak menyangka sedikitpun kedudukan menko ekuin akan diberikan kepada orang Tionghoa yang tidak mengganti namanya, dan beristrikan orang Belanda,” tandas Kwik, disambut tepuk tangan hadirin.
Kwik juga berkisah, selama menyertai Gus Dur dalam perjalanan ke luar negeri, dia melihat kebesaran Gus Dur.
Dia mengaku melihat dan merasakan sendiri, selain dihormati sebagaimana layaknya seorang presiden, Gus Dur juga dihormati sebagai humanis, universalis, dan pluralis.
“Tidak pernah ada seorang presiden RI sebelumnya dan sesudahnya yang memiliki penasihat-penasihat internasional yang secara sungguh-sungguh dan ikhlas memberikan nasihatnya.
Sebut saja, antara lain, Henry Kissinger (mantan Menlu AS) dan Lew Kuan Yew (Singapura),” tutur Kwik.
Haul ke-9 Gus Dur selain dihadiri mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, juga mantan Mensesneg Bondan Gunawan, serta mantan Kepala Protokol Istana era Gus Dur, Wahyu Muryadi. Meredka masing-masing juag meberikan testimoninya.
Hadir pula keluarga besar Gus Dur, seperti anak Gus Dur, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny Wahid), adik Gus Dur Lily Chotidjah Wahid, dan Dr Umar Wahid.
Tak ketinggalan, menteri Pemberdayaan Perempuan Era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa yang juga gubernur terpilih Provibnsi Jawa Timur.
Haul berlangsung hingga lepas tengah malam ditutup dengan ceramah agama oleh KH Nazaruddin Umar, imam besar masjid Istiqlal Jakarta.
Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa tak bisa lepas dari peran sosok keempat dalam jabatan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.
Perlu diketahui, Gus Dur adalah orang yang pertama menyudahi diskriminasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur ketika itu mencabut instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.
Di dalam peraturan itu, kelompok Tionghoa tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok, dan hanya dibolehkan di lingkungan keluarga.
Alasannya, ketika itu, Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa telah menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.
Alhasil, perayaan Tahun Baru Imlek pun tidak dilakukan terbuka selama masa Orde Baru.
Pada Masa Orde Baru pula, semua warga keturunan Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama Tionghoa-nya ke bahasa Indonesia.
Begitu menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu.
Dia meyakini bahwa warga Tionghoa sebelumnya dibedakan dari warga negara Indonesia sehingga mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalani keyakinannya.
Pada tahun 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa hari raya Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif.
Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur.
Kebijakan itu kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekanorputri yang menetapkan hari raya tersebut sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.
Gus Dur pun menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.
Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama, sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa. (*)
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
JOMBANG – Pendopo Kabupaten yang terletak di Jl Alun Alun Jombang nomor 1 Kaliwungu, Kecamatan/Kabupaten Jombang menyimpan sejarah sejak awal pemerintahan di Kabupaten Jombang.
Di pendopo telah terukir sejarah tentang awal mula masa pemerintahan di Jombang sejak dipimpin R.A.A. Soeroadiningrat V (Kanjeng Sepuh) masa jabatan 1910-1930 hingga Bupati Jombang Mundjidah Wahab (2018-2023).
Di dalam Pendopo Kabupaten, hingga kini masih tersimpan beberapa peninggalan lama yang masih dijaga dan tetap terawat. Ciri khas pendapa Jombang adalah pohon beringin kunting yang berusia ratusan tahun. Pohon itu, sudah beberapa kali dipangkas namun hingga sekarang masih tumbuh.
Disebut kunting, karena pohon tersebut tidak bisa tumbuh maksimal. Tidak memiliki akar gantung laiknya pohon beringin pada umumnya.
Salah satu budayawan Jombang, Dian Sukarno mengatakan, Pendopo Kabupaten pertama kali dibangun pada era R.A.A. Soeroadiningrat V. ”Jadi pertama dibangun pada era Kanjeng Sepuh R.A.A. Soeroadiningrat V, setelah mendapatkan beselit alias surat pengangkatan dari batavia yang dibawa oleh penghulu Sumobito bernama Imam Zaid,’’ ujar dia kemarin (16/12).
Pembangunan Pendopo Kabupaten bersamaan dengan dibangunnya Ringin Tjontong, sekitar Februari 1910, dengan penanaman empat pohon ringin kunting di pendopo dan pembangunan Masjid Jamik Baitul Mukminin.
Lalu, pada era bupati ke-13 Tarmin Hariadi (1988-1993) Pendopo Kabupaten mengalami perombakan setelah adanya pemisahan Kecamatan Bandarkedungmulyo dengan Perak. Beberapa ornamen dan perabotan asli pendopo di bawa ke Balai Kecamatan Bandarkedungmulyo.
”Pada saat itu joglo dan lain-lain Kanjeng Sepuh dipindahkan ke Bandakedungmulyo,’’ jelas dia. Ciri khas lain dari pendopo, adalah dua bangunan yang berusia sangat lama.
Yakni rumah dinas bupati (bagian belakang) dan pendopo utama yakni bangunan tanpa dinding. Baik rumah dinas bupati dan pendapa memiliki bentuk atap yang hampir mirip. Bentuknya lancip seperti rumah tradisional zaman dahulu.
Pendopo utama memiliki delapan tiang penyangga. Namun di bagian tengah ada empat tiang berukuran besar. Di atasnya ada sebuah lampu gantung tua yang memiliki bentuk cukup unik. Di bagian kanan pendapa sendiri, masih ada satu set alat gamelan.
Mulai dari kendang, bonang, saron, hingga gong masih tertata rapi. Gamelan itu, ditempatkan di pojok selatan dengan ukiran kayu berwarna emas.
Sedangkan di sisi utara, ada sebuah kentongan yang cukup unik. Kentongan berkepala naga dengan mulut memanjang dengan lubang kentongan. Tingginya sekitar dua meter. (Pewarta: ANGGI FRIDIANTO)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Penemuan potongan arca kepala brahma dan kucur candi di areal Punden Pandegong menguak fakta baru terkait lokasi penemuan arca yaitu di makam keramat Pandegong, yang diyakini sebagai lokasi makam yang dipercaya sebagai pesarean Mbah Nambi Suro dan Mbah Ijo. Dua leluhur ini merupakan orang yang pertama kali membangun kampung dengan membabat Desa Kwasen yang dulunya merupakan hutan belantara
Tempat punden tak jauh dari jalan utama desa, dan mudah terlihat dari jalan dimana warga berlalu-lalang. Ada jalan setapak kecil untuk mencapai lokasi dengan menyusuri lahan dari bibir jalan raya desa.
Ketika Jombang City Guide berkunjung banyak orang sedang berada di areal makam. Sepertinya sudah banyak wartawan dari media lokal yang telah mengunjungi makam keramat ini.
Sekitar pukul tujuh pagi, areal makam ini sudah ramai oleh orang-orang seperti biasanya, entah sekedar nongkrong atau berziarah. Beberapa pria tua dan muda, bahkan anak-anak berada di lokasi punden. Sayangnya, anak-anak seusia SD di masa liburan sekolah jeda semester itu diantaranya sedang bergantian merokok
Menurut KBBI, punden adalah tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa. Memang, areal makam Pandegong adalah lokasi makam dua pendiri desa kwasen yang disemayamkan bersebelahan di areal punden ini. Namun hanya terdapat satu nisan di punden ini. Ini disebabkan kesalahan pembangunan nisan dan keterbatasan dana. Sehingga hanya makam Mbah Nambi Suro yang diberi nisan dan dinaungi terpal biru. Sedangkan Makam Mbah Ijo di sampingnya, sudah rata dengan tanah.
Makam keramat Pandegong, berdiri di atas sebuah lahan yang berada di ketinggian yang melebihi sawah di sekelilingnya. Menurut Cak Jayadi, di pinggiran areal makam ini dulunya ada sebuah liang yang bisa dimasuki orang seperti terowongan. Karena tidak berani merusak pondasi makam dan tidak berani melanjutkan penggalian dan khawatir merusak tempat keramat, liang tersebut ditutup.
Saat Jombang City Guide memasuki area punden, terlihat banyak tumpukan bata berserakan di sekitar makam, yang dikumpulkan di bawah pohon. Puing-puing batu bata tersebut berukuran besar, lebih besar dari batu bata produksi zaman modern. Ini merupakan bukti bahwa batu bata ini berasal dari zaman kuno yang memiliki nilai sejarah. Batu bata tersebut banyak yang sudah terpecah, dan berwarna hijau karena ditumbuhi jamur karena saking tak terperhatikannya.
Di sisi timur makam yang masih dalam satu area, terdapat batu bata yang tersusun rapi dan sedikit menyembul di permukaan tanah. Seperti tumpukan bata lainnya, ukurannya jauh lebih besar dari bata pada umumnya. Meski tidak terlihat bentuk bangunannya karena terkubur dalam tanah, namun tatanan batu bata kuno itu seperti sebuah pondasi bangunan.
Saat Jombang City Guide mengamati tatanan bata itu, Cak Jayadi mengambil salah satu bata tersebut. Semua bata yang tertata rapi itu berukuran jumbo, lebih besar dari bata produksi zaman modern. Menariknya saat bata diambil, masih ada bata lain yang tertata rapi di bawahnya. Begitu seterusnya.
Tatanan bata ini sepertinya adalah sebuah bangunan yang ditumpuk menggunakan metode gesek, yang merupakan metode bangunan zaman dulu dimana belum ada semen. Hebatnya, hanya dengan metode gesek teknologi lampau ini tanpa semen bangunan sudah bisa berdiri dengan tatanan yang terpasang rapi.
Dari pengamatan tersebut, disinyalir bangunan di samping Punden Pandegong dulunya adalah pondasi sebuah candi atau bangunan dari kerajaan kuno. Dalam kultur masyarakat Hindu kuno, di sebuah desa setidaknya terdapat sebuah bangunan suci. Situasinya mirip dengan di zaman sekarang dimana umat islam di Indonesia memiliki masjid dan mushollah untuk ibadah.
Bangunan yang terdapat dalam area punden dianggap suci oleh masyarakat setempat, berfungsi sebagai pemujaan atau penghormatan terhadap leluhur terkait. Biasanya, di dalam bangunan suci tersebut ada sebuah arca dewa yang merupakan arca perwujudan. Karena fungsinya sebagai tempat persembahyangan, masyarakat kemudian menganggapnya sebagai tempat keramat yang biasanya punya nuansa mistis.
Banyak pohon yang tumbuh di atas areal makam, dan ukurannya tidak kecil. Karena tinggi dan besarnya, pepohonan itu mengayomi bagian bawahnya sehingga punden terasa sejuk dan rindang. Pohon-pohon itu salah satunya roboh yang kemudian berujung penemuan potongan arca kepala brahmana dan kucur candi oleh Cak Hari, sapaan akrab Pak Jayadi
Bagian tubuh arca masih belum ditemukan begitu pula dengan bagian lain dari kucur candi. Entah hilang atau masih terkubur di dalam tanah. Belum diketahui pasti bagaimana kedua benda itu bisa terkubur di dalam tanah. Bisa jadi memang bagian yang lain dari dua bongkahan benda kuno itu masih terkubur di dalam tanah, atau bisa jadi merupakan benda pusaka yang sengaja disimpan leluhur Desa Kwasen di punden, mengingat tempat tersebut adalah makam pendiri desa yang dikeramatkan.
Selain itu terdapat yoni dari batu andesit berbentuk segi empat di di samping makam. Dulunya juga terdapat lingga perlambang Dewa Siwa di samping tumpukan bata kuno diantara pohon. Lingga biasanya diletakkan di cekungan yoni, dimana lingga biasanya juga berbentuk arca perwujudan yang dipuja di dalam bangunan. Sayangnya,lingga di punden Pandegong sudah hilang dicuri orang.
Yoni adalah sebuah obyek cekung atau berlubang yang umumnya di Indonesia berbentuk persegi dengan empat sudutnya. Di beberapa daerah di Indonesia, yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung dari batu. Namun ada kalanya yoni di nusantara menyimpang dari pakem lingga yoni, berbentuk tidak lazim, unik, maupun dilengkapi dengan ukiran yang detail seperti Yoni Gambar di Japanan, Mojowarno, tak jauh dari Kwasen. Keunikan tersebut terjadi karena faktor yang berbeda-beda sesuai letak geografis dan situasi maupun politik yang melatarbelakangi pembuatannya.
Yoni ini sebagai tempat menampung air suci berenergi dewa untuk minum maupun membasuh wajah para peziarah untuk mendapatkan keberkahan. Sampai sekarang, beberapa peziarah datang ke tempat ini untuk memanjatkan doa. Tampak di sekitar yoni masih ada sesajen berupa bunga-bungaan yang ditebarkan. Pemujaan juga dilakukan sengan cara membawa sesembahan utama berupa kepala hewan. Sedangkan sayur-sayuran, buah-buahan, bunga-bungaan dan wewangian tergolong sebagai pelengkap.
Meskipun masyarakat zaman sekarang tidak lagi memperayai animisme dan dinamisme, anggapan bahwa punden sebagai pemberi berkah dan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kelimpahan rezeki pada masyarakat masih tetap ada. Terbukti, peziarah Punden Pandegong ini datang dari berbagai kota, tak hanya dari Jombang saja. Beberapa dari Ngajuk, Blitar, dan Mojokerto yang biasanya datang di siang hari hingga sore.
Yoni berpasangan dengan lingga. Lingga mempresentasikan dewa siwa secara simbolik sedangkan yoni melambangkan Dewi parwati, istri siwa. Yoni adalah perlambang ibu, kesuburan dan bumi pertiwi yang diwujudkan dalam sebuah pemukiman. Fungsi yoni selain sebagai petirtaan air suci juga sebagai pengukuhan tahta seseorang yang Berjaya di suatu tempat, dan memperingati suatu peristiwa penting misalnya sebuah kemenangan dalam perang.
Lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan candi. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa bangunan. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat seperti yang diletakkan di bilik bangunan candi adalah bukti bahwa dulunya lokasi Punden Pandegong adalah peribadatan berupa pemujaan sekaligus menandakan daerah tersebut termasuk wilayah yang subur.
Dengan ditemukannya arca brahma ini makam keramat ini bisa ‘dibaca’ sebagai tempat suci untuk pemujaan kaum brahmana. Arca Dewa Brahma adalah simbol pemujaan, mengingat Dewa Brahma adalah salah satu dewa dalam agama Hindu, yang dianut masyarakat kuno di zaman kerajaan terdahulu, termasuk Kerajaan Majapahit.
Belum jelas kerajaan mana yang memiliki dan membangun situs ini, namun diperkirakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang memang biasanya membangun beberapa bangunan dengan pondasi bata. Karena tidak ditemukan angka tahun dalam situs, belum diketahui pasti kapan era candi ini , apakah di masa awal atau akhir kerajaan. Maka perlunya peninjauan lebih lanjut dan eskavasi untuk benar-benar memastikan fungsi candi.
Meski diyakini kompleks ini dulunya adalah tempat suci di era kerajaan Majapahit, menurut arkeolog Jombang dari tim Laskar Mdang telah berani memastikan bahwa candi ini dulunya adalah pura pemujaan yang ada di pemukiman kaum brahmana yang berada di luar areal istana. Tampak dari yoni yang berbentuk segi empat tanpa ukiran dan adanya arca brahmana sehingga situs ini diyakini tidak dibangun atas perintah istana. Selain itu tim Laskar Mdang menyimpulkan, wilayah Kwasen dulunya memang bukan bagian dari Madyopuro atau Kota Raja yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama.
Punden yang dijaga oleh Pak Jayadi dipercaya sebagai makam Mbah Nambi dan Mbah ijo ini memang dianggap keramat oleh warga sekitar hingga kini. Belum diketahui apa hubungan Mbah Nambi Suro dengan Patih Nambi yang merupakan salah satu patih di era Kerajaan Majapahit pendahulu Patih Gajah Mada yang paling tersohor itu, apakah orang yang sama atau memiliki kesamaan nama saja.
Wajarlah bila Cak Jayadi, Sang Penemu potongan arca kepala Brahma dan kucur candi sekaligus juru kunci makam memberikan syarat penyerahan benda temuannya untuk Balai Purbakala Trowulan dan pemerintah untuk memugar makam keramat dan membangun kuncup di atas punden kuno beserta fasilitas areal makam supaya lebih layak.
Ditengarai masih banyak yang terkubur dalam situs Pandegong mengingat ada banyak bata kuno yang berserakan di samping makam dan tempat ini tersusun dari pondasi bata berukuran jumbo yang tertata rapi, mirip seperti Situs Sugihwaras dan Situs Karobelah yang ditemukan di tahun yang sama.
Kondisi candi memang sudah rusak dan tidak memungkinkan dilakukan pemugaran. Meski kondisi candi sudah rusak dan tak diketahui bentuk aslinya, tetap diperlukan adanya koordinasi dari pemerintah kabupaten supaya bisa menyelamatkan sisa candi. Setidaknya reruntuhan yang ada bisa diamankan supaya tidak semakin rusak.
Masih ditunggu upaya dan izin eskavasi dari pihak berwenang terutama dari Disbudpar Jombang sehingga harapan bisa menemukan badan brahma dan candinya sekaligus bisa terwujud. Besar harapan warga Jombang tempat ini bisa dijadikan destinasi ziarah maupun spot wisata baru yang akan menambah deretan peninggalan kerajaan kuno yang ada di Jombang.
Keseriusan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan benda cagar budaya ini sangat dinantikan karena merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai UU nomor 11 Tahun 2010. Selain itu juga sangat penting untuk generasi mendatang, terutama anak muda di Jombang yang harus berbangga karena dulunya di Kota Santrilah berdiri ibukota salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di nusantara.
Selain itu, guru-guru sejarah di Jombang dan seluruh nusantara hendaknya memotivasi para siswanya untuk menghargai peninggalan sejarah bangsanya, supaya bila ditemukan lagi situs bersejarah yang menjadi cikal bakal perjalanan bangsa ini, benda kuno tersebut bisa diselamatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga niat menjual benda cagar budaya seperti yang hampir dilakukan Pak Jayadi dan Rizal tidak lagi terjadi karena sudah adanya kesadaran tinggi atas nilai-nilai sejarah bangsa ini. Selanjutnya, kita sebagai generasi muda yang bertanggung jawab menjaga peninggalan kuno ini supaya tetap lestari.
Peninggalan sejarah itu sepertinya terkubur rapi di bawah tanah, mengingat adanya bencana alam dan letusan gunung meletus yang mengakibatkan terkuburnya banyak situs kuno di Jombang. Memang, wilayah ibukota kerajaan majapahit dan beberapa kerajaan pendahulunya berada di daerah Jombang. Tinggal menunggu waktu saja penemuan-penemuan ini menyeruak ataupun tak sengaja ditemukan.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
JOMBANG – Dusun Patuk, Desa Kertorejo, Kecamatan Mojowarno, sudah bertahun-tahun menjadi sentra kerajinan anyaman bambu. Bahkan hingga kini hampir 70 persen warga setempat masih bekerja sebagai penganyam bambu.
Budi Santoso dan keluarganya adalah salah satu contoh pengrajin, yang sudah 25 tahun menggeluti usaha kerajinan anyaman bambu. Di rumahnya, beraneka macam hasil anyaman bambu dibikin. Mulai dari kukusan, tempeh, wakul (tempat nasi), hingga model model baru seperti tempat tisu dan pensil.
Ya, Budi adalah salah satu dari sejumlah perajin ayaman bambu yang masih eksis. ”Saya sudah belajar ngayam sejak masih di bangku SMP. Kira-kira tahun 93,” ujar dia sembari mengayam kemarin (14/12). Sebetulnya, lanjut bapak dua anak ini, kerajinan anyaman bambu di dusun setempat sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Lalu, pada masa Bupati Suyanto sering ada pelatihan dari Dinas Perindustrian tentang bagaimana membuat anyaman yang bisa mengikuti perkembangan zaman. “Nah sejak saat itu saya mulai tertarik dengan model-model yang baru. Misalnya tempat tisu dan tempat bolpoin,” sambungnya.
Model lama seperti wakul, tempeh dan kukusan memang masih diminati. Setiap dua bulan sekali, dirinya mengirim pesanan ke Surabaya hampir 200 buah. “Tapi, yang paling diminati pelanggan akhir-akhir ini ya tempat tisu,” jelas dia. Dirinya membuat anyaman tempat tisu terinspirasi saat melihat tempat tisu yang dinilai terlalu monoton dan biasa-biasa saja.
Lalu, muncul ide bagaimana membuat tempat tisu terlihat memiliki nilai seni dan tidak membuat bosan. “Akhirnya saya coba-coba, mulai dari menghitung ukuran hingga bahan-bahan yang saya siapkan,” jelas dia. Tak butuh waktu lama bagi dia untuk bisa membuat tempat tisu itu. Dengan kelihaiannya, tempat tisu anyaman bambu pun siap dipasarkan.
“Saya belajarnya otodidak. Kebetulan kan sudah punya skill menganyam,” papar dia. Tak semua bambu bisa digunakan untuk membuat anyaman tempat tisu. Bambu yang dipilih adalah jenis bambu apus. Itu karena karakter bambu apus lebih tipis dan ulet dibandingkan bambu ori atau bambu jenis Jawa.
“Saat dianyam juga lebih enak, karena lentur,” papar dia. Dalam memproduksi kerajinan anyaman bambu, Budi dibantu beberapa tetangganya. Budi kadang mengambil atau membeli hasil anyaman mentah dari tetangganya. “Untuk satu lembar anyaman saya mengambilnya Rp 4 ribu, lalu saya lanjutkan membuat dengan model saya sendiri,” papar dia.
Namun sebelum dibuat jadi tempat tisu, bambu tersebut harus dijemur di bawah terik matahari selama dua hari. Itu dilakukan untuk menghilangkan kadar air yang ada di dalam bambu. Semakin kering anyaman tersebut, semakin awet produknya.
“Karena tidak mudah dimakan totor dan bisa bertahan hingga lima tahun,” jelas dia. Satu buah tempat tisu buatannya dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Mulai Rp 4 ribu hingga Rp 10 ribu. Ada juga model ukuran jumbo yang dijual dengan harga Rp 25 ribu.
Dalam seminggu Budi bisa menghasilkan 50 buah tempat tisu. “Kadang saya juga membuat berdasarkan pesanan. Biasanya pesanan terbanyak dari Surabaya,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
OMBANG – Kabar gembira untuk publik Kabupaten Jombang datang dari cabang olahraga paralayang. Satu atlet yang dikirim untuk mengikuti Kejuaraan Daerah Paralayang tingkat Jawa Timur di perbukitan Donomulyo, Kabupaten Malang, berhasil meraih medali emas.
Atlet paralayang peraih emas tersebut adalah Ilham Erwahyudha, yang bertanding di kategori lintas alam. “Kejuaraan berlangsung tiga hari, dan Alhamdulillah dapat satu emas,” kata Salikul Imam, Ketua Paralayang Kabupaten Jombang. Hasil yang diraih Yudha cukup bagus, sebab cuaca di arena kejuaraan cukup mendukung.
Tim paralayang Jombang sebenarnya memiliki peluang untuk menambah emas. Tapi sayang di kategori ketepatan mendarat, atlet yang bertanding hanya mampu finish di peringkat ke-5. Meski gagal, tim pelatih tetap memberikan apresiasi atas capaian yang diraih. Sebab para atlet masih butuh tambahan jam terbang dari setiap kejuaraan.
“Karena persaingannya ketat, pilot Jatim hebat-hebat,” tambahnya. Salikul menyebut, emosi dan mental atlet akan dijadikan tim pelatih sebagai bahan evaluasi utama. “Di paralayang, semakin kecil nilai ketepatan mendarat, semakin bagus,” ujarnya.
Selain evaluasi emosi dan mental, tim pelatih juga akan berupaya meningkatkan porsi latihan dan tanding. Sebab selama ini beberapa atlet paralayang Jombang yang masih duduk di bangku sekolah, tidak memiliki jam latihan dan jam tanding yang cukup. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Tim cricket Kabupaten Jombang pulang dengan kepala tegak usai mengikuti kejuaraan terbuka tingkat nasional di Surabaya yang baru berakhir beberapa hari lalu. Juara kedua diraih tim putri setelah di babak final kalah melawan tim asal Surabaya.
Sedangkan dua tim putra gagal menciptakan All Jombang final, setelah dua tim yang bertanding di babak semifinal kalah melawan tim asal Surabaya dan Bali. Meski gagal meraih hasil lebih maksimal, namun satu tim putra berhasil meraih predikat best fielding atau pertahanan terbaik.
Ketua Persatuan Cricket Indonesia (PCI) Jombang Khoirul Hasyim mengatakan, hasil yang didapat dari kejuaraan ini menurutnya tidak buruk. “Sudah masuk semifinal saja cukup membanggakan, jika dilihat usia PCI Jombang yang baru lahir tahun lalu. Juga diukur dari peralatan yang digunakan untuk latihan, tertinggal jauh dengan tim yang juara,” katanya.
Karena fasilitas yang minim itu, tim harus beradaptasi dulu dengan perlengkapan pertandingan. “Butuh pembiasaan dulu, dan itu cukup sulit dilakukan atlet. Sehingga masuk semi final ini menurut kami sudah sangat luar biasa,” lanjut Hasyim.
Ia mengatakan, pemain cricket Jombang selama ini hanya menggunakan alat pokok saja untuk latihan. Seperti bola dan pemukul, sedangkan untuk pelindung seperti pad atau pelindung kaki, helm untuk pelindung kepala, dan gloves atau pelindung tangan, bagi para atlet masih sangat asing.
“Jombang belum punya alat-alat pelindung, sedangkan di kejuaraan alat itu digunakan. Di latihan kaki gerak bebas, sedangkan di pertandingan nasional pemain pakai pelindung lengkap untuk menghindari cidera,” tambahnya. Hasyim menyebut hasil dari kejuraan ini akan dilaporkan pihaknya ke KONI Jombang.
Langkah ini dilakukan agar tim cricket mendapat perhatian yang lebih baik dari lembaga otoritas keolahragaan kabupaten tersebut. “Harapannya KONI bisa mendorong pemerintah daerah lebih peduli dengan olahraga ini. Sekelas Jombang dengan alat yang seadanya, meraih hasil ini sudah sangat bagus,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Petani kopi di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang mulai tertarik untuk mengembangkan lagi kopi varietas liberika. Kopi jenis ini sebenarnya sudah lama dikembangkan, namun tidak begitu diminati karena jarang disukai para penikmat kopi.
Jawa Pos Radar Jombang kemarin mendatangi salah satu kebun kopi di Dusun/DesaPanglungan, Kecamatan Wonosalam. Cuacanya kebetulan cukup teduh, beberapa tanaman kopi mulai dari varietas arabica (asisah), robusta, hingga jenis yang cukup langka, yakni liberika masih terlihat. Kebun ini milik Choirulanwar, 38, salah satu petani ini masih ada beberapa pohon kopi jenis liberika.
Sekilas, pohon ini tak jauh berbeda dengan jenis lain. Namun, jika dilihat dengan seksama, baik ukuran daun maupun buah kopi jauh berbeda. Pertama, ukuran daun kopi jenis liberika ini lebih besar dan tebal dari pada daun jenis asisah dan robusta alias bestak. Lalu, biji kopinya lebih besar dan berat.
”Jadi kopi jenis liberika ini memang sudah langka. Di Wonosalam sendiri hanya ada beberapa wilayah saja, misalnya Panglungan ini,”ujarnya di sela-sela merawat pohon.
Kopi jenis ini, adalah kopi induk andaria sisah atau belum pernah dilakukan kawin silang dengan varietas kopi lainnya. Sehingga baik bentuk tanaman atau pun buah kopi besar-besar.
Pada beberapa tahun sebelumnya, kopi jenis ini masih begitu mudah dijumpai di beberapa kebun kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, kopi ini sangat sulit ditemukan khususnya di Kecamatan Wonosalam. Misalnya di wilayah Desa Wonomerto dan Galengdowo, kopi ini sudah hampir langka. Namun di beberapa wilayah yang lebih tinggi seperti Desa Panglungan dan Carangwulung masih ada beberapa pohon.
”Kopi liberika di kebun ini tinggal beberapa pohon saja, dulu banyak. namun banyak yang ditebang karena tidak laku,”sambung bapak satu anak ini. Dijelaskan, kopi ini sempat hilang dari pasaran karena minim peminat. Alasannya berbeda-beda, misalnya karena harganya yang cukup mahal. Bijinya yang dinilai terlalu besar sehingga berpengaruh pada nilai ekonomis.
”Saat itu harganya anjlok hingga per kilonya hanya Rp 24-26 ribu saja,”beber dia.Namun setelah ada kelompok alias asosiasi petani kopi Wonosalam, kopi jenis ini mulai diminati dan dikenalkan ke beberapa penikmat kopi. Banyak penikmati kopi menilai aroma kopi liberika sangat kuat. Aromanya wangi seperti buah nangka, dan rasanya asam seperti jeruknipis.
”Mulai dikenalnya kopi ini karena beberapa perubahan dalam metode penanaman dan pengolahan. Karena berbeda pengolahan akan menghasilkan rasa yang berbeda,”jelasnnya.
Kopi ini sendiri memiliki berat sekitar9,1 gram berbeda dengan kopi asisah yang hanya memiliki berat 1,6 gram. di tingkat petani kopi, untuk satu kilogram kopi liberika dijual sehargaRp 80 ribu.”Memanglebih mahal dibandingkan dengan kopi asisah yang hanyaRp 50 ribu, dan lebih murah lagi dengan kopi bestak (robusta) yang hanya dihargai RP 40 ribu per kilogram,”tandasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com