Jombang – Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), dalam kunjungan kerjanya. Jokowi juga berziarah ke makam presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ziarah dilakukan Jokowi setelah menggelar pertemuan dengan Gus Sholah di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa (18/12/2018). Jokowi bersama rombongan mendoakan arwah Gus Dur dan nama-nama lain yang dimakamkan di lokasi.
Jokowi juga menabur bunga ke makam Gus Dur. Di lokasi itu, juga dimakamkan dua pahlawan nasional, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.
Jokowi langsung bertolak menuju lokasi peresmian Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari. Lokasinya berjarak sekitar 10 menit berjalan kaki dari Ponpes Tebuireng.
Jokowi mengingatkan perjuangan para ulama dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI. Mereka disebut telah berjihad di jalan Allah.
“Saat membayangkan besarnya perjuangan beliau, besarnya rasa cinta beliau beserta ulama kepada Tanah Air kita, Indonesia, sehingga KH Hasyim Asy’ari dengan keteguhan hati mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan RI sebagai jihad fisabilillah,” kata Jokowi.
|
|
Agenda kerja Jokowi akan dilanjutkan dengan mengunjungi Ponpes Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Kabupaten Jombang. Di tempat ini, rencananya Jokowi akan meluncurkan program Bank Wakaf Mikro.
Pada petangnya, Jokowi akan menuju Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Kabupaten Jombang, untuk bersilaturahmi dengan para santri.
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com
JOMBANG – Haul almarhum Presiden RI ke-4 KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang ke-9 digelar Minggu (16/12) malam. Meski dihelat secara sederhana di samping makam Gus Dur komplek Pesantren Tebuireng, namun terasa begitu istimewa.
Pasalnya, haul tidak hanya dihadiri para dzuriah, namun sejumlah tokoh penting era Gus Dur juga ikut datang. Haul dimulai tepat pukul 20.00. Di bangku paling ujung, tampak Yenny Wahid anak kedua Gus Dur.
Diikuti Lily Chodidjah Wahid (adik Gus Dur), Bupati Jombang Mundjidah Wahab, Gubernur Jatim terpilih Khofifah Indar Parawansa, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Bondan Gunawan (Mensegneg Era Gus Dur), Wahyu Muryadi (kepala Protokol Istana era Gus Dur) dan Kwik Kian Gie (Menko Perekonomian era gus Dur).
Dalam sambutannya, Yenny menyampaikan jika dirinya rindu dengan nasihat sang ayah Gus Dur. Khususnya saat memasuki tahun politik seperti ini, yang paling sering terjadi adalah maido alias saling menghujat satu sama lain.
Gus Dur pada waktu itu sering mengingatkan, pentingnya toleransi dan saling menghormati untuk menjaga kondusifitas tahun politik. ”Yang paling sering terdengar dalam tahun politik adalah maido,’’ ujar Yenny disambut geliat tawa.
Untuk menjaga suhu tahun politik tetap kondusif, kata Yenny menceritakan nasihat Gus Dur, kuncinya saling menghormati pendapat satu sama lain. Saling toleransi terhadap orang yang berbeda agama dan tidak saling menjelek-jelekan satu sama lain.
”Seperti bu Khofifah ini kan sering dijelek-jelekan, tapi beliau Alhamdulilah bisa mengontrol sehingga suasana tetap kondusif,’’ tandasnya. Hal senada juga disampaikan, Bondan Gunawan Mensegneg era Gus Dur. Dia menceritakan, Gus Dur adalah sosok gus yang berbeda dengan gus gus lain.
”Kalau gus-gus lain itu keluar pondok sebentar saja sudah merasa seperti ulama, tapi Gus Dur ini berbeda, dia tetap rendah hati dan kerjaannya menyapa masyarakat bawah,’’ ujar dia.
Haul ke-9 Gus Dur berakhir sekitar pukul 23.30 WIB. Terlalu ramainya, jamaah sampai tumplek-blek memadati jalan provinsi di depan Pesantren Tebuireng. Mereka rela duduk duduk di jalan sambil mendengarkan sambutan undangan melalui pengeras suara. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Satu lagi, karya unik dihasilkan dari tangan warga Jombang. Kipas dari kain yang dijuluki sebagai kipas sakti ini dibuat Suwandi, 61, warga Desa Sentul, Kecamatan Tembelang. Penggemar kipasnya hingga luar negeri.
Meski terlihat sepele, ternyata di pasaran kipas ini memiliki daya jual yang cukup tinggi. Bahkan kipas ini tidak lagi dibeli untuk memenuhi kebutuhan, tapi banyak juga yang membeli untuk koleksi karena bentuknya yang unik.
’’Banyak yang beli bukan hanya untuk kipasan karena udara panas. Tapi karena memang unik, dijual di wilayah yang cukup dingin, kipas ini tetap laku,” kata Suwandi. Menurut Suwandi, saat ini ia adalah satu-satunya dan yang pertama membuat kipas lipat di Jombang.
Sejarah pembuatan kipas produksi rumahan ini cukup berliku. Awalnya Suwandi yang tak memiliki pekerjaan tetap itu prihatin melihat banyaknya kain perca yang dibuang teman penjahit.
Banyaknya kain perca rupanya membuatnya berpikir untuk mengambil peluang usaha dari kain tersebut. Tapi membuat kipas lipat awalnya sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Awalnya ia hanya membuat sarung bantal. Tapi sarung bantal saat itu tidak ramai di pasaran, sehingga ia mencoba inovasi baru dengan membuat tas, dompet dan juga gantungan kunci yang bahan dasarnya juga kain perca.
Tapi lagi-lagi usaha tersebut hanya laku apa adanya saja, tidak laku keras hingga membuahkan omzet yang cukup tinggi. Akhirnya, ia mendapat ide membuat kipas lipat di awal tahun 2006.
Awalnya, kipas lipat buatannya tidak begitu ramai di pasaran. Tapi lebih baik dibandingkan tas dan dompet sehingga ia tetap mempertahankannya. Kemudian ia mulai merasakan manisnya buah usahanya pada 2008. ’’Saya mengikuti banyak pameran yang diadakan pemerintah, akhirnya produk saya semakin dikenal dan mulai banyak pemesan,” tambahnya.
Masa jayanya saat itu hanya sebatas lapak offline, dikenal melalui pameran dan dari mulut ke mulut. Ia mulai berada di puncak kejayaan saat Gubernur Jatim Soekarwo memesan 5.000 kipas untuk sebuah acara besar. Mulai saat itulah ia kebanjiran order dari banyak tempat.
Kipas yang sekarang sudah mulai dikenal hingga mancanegara ini awalnya hanya olahan yang serba limbah. Kain perca yang didapatkan dari konveksi, gagang kipas yang terbuat dari botol oli dan diburu dari pengepul rongsokan, serta kawat baja yang dibeli dari limbah kawat di Surabaya.
Kawat baja dipilih karena lebih lentur dan mudah dibentuk tapi tetap kembali pada bentuk semula. ’’Semua serba limbah pokoknya, dulu botol oli bekas itu diplong sendiri, lalu digunting sendiri pokoknya masih manual semua, tapi sekarang sudah tidak,” ungkap bapak tiga anak ini.
Menurutnya, kualitas dari gagang plastik yang dipesan dari pabrik dengan gagang limbah botol sama saja. Hanya saja limbah botol tidak memiliki banyak warna, paling banyak warna merah. Sedangkan jika pesan bisa warna apa saja.
Sementara itu kawat baja jika harus beli di pabrik harus dalam jumlah besar, minimal satu ton. Dan harganya juga tidak murah. Sehingga ia memilih mencari limbah pabrik saja yang ia beli dari pengepul limbah. “Kalau beli limbahnya, harganya murah, dan bisa beli kiloan,” imbuhnya.
Banyaknya permintaan membuatnya tidak lagi membuat dari barang limbah seadanya. Kain perca yang dari konveksi juga sudah tidak bisa memenuhi jumlah permintaan, sehingga ia membeli perca di toko dan di konveksi besar. Sedangkan gagang dari botol oli juga tidak bisa menutupi jumlah permintaan, sehingga harus beli.
Satu kipas membutuhkan kain satin 25 x 30 centimeter. Kawat baja yang digunakan sepanjang 90 centimeter harus dipipihkan dulu. Meski terlihat sederhana, menurut Suwandi, proses pembuatan kipas ini lumayan rumit. Pemotongan kain harus pas, kadar baja pada kawat harus pas, dan pemasangan juga harus betul, agar saat dilipat memiliki bentuk yang bagus.
Dibantu dengan sejumlah karyawan, satu hari, Suwarno bisa membuat minimal 100 kipas. Namun banyaknya kipas yang dibuat disesuaikan dengan jumlah pemesanan. Satu bulan ia bisanya bisa menjual kipas sebanyak 3.000 kipas.
Pembeli kipas paling banyak dari Kalimantan, Jakarta dan Bali. Juga dipesan dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan NTT. Untuk Jombang sendiri pemasarannya di kawasan wisata religi makam Gus Dur.
Permintaan juga datang dari luar negeri. Seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Afrika, hingga India. Kipasnya banyak di kenal warga mancanegara dari pameran internasional yang pernah ia ikuti di Jakarta. ’’Sudah banyak yang kenal, kita juga kirim ke beberapa negara. tapi tidak banyak,” tambahnya.
Pemasarannya kini tidak hanya melalui pameran saja, tapi juga melalui media online, tapi kebanyakan pembeli yang datang adalah pelanggan tetap.
Harga kipasnya beragam, mulai dari yang paling murah Rp 6 ribu hingga Rp 9 ribu. Rp 6 ribu yang memiliki bentuk standar, tapi jika permintaan ada sablon tulisan, dan sablon wajah atau khusus kampanye, harganya bisa sampai Rp 9 ribu. Tidak hanya dijual dalam bentuk kipas, tak jarang ia mendapatkan banyak pesanan untuk suvenir pernikahan. ’’Kalau suvenir ditambah boks mika harganya bisa sampai Rp 12 ribu, tergantung modelnya juga,’’ ujarnya.
Satu bulan, ia bisa meraup omzet hingga Rp 18 juta dari penjualan kipas yang dihitung rata-rata Rp 6 ribu per biji. Desember, permintaan sedang tinggi. ’’Desember gedhe-gedhene sumber,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com