SURYA.co.id | JOMBANG – Ada yang menarik saat upacara pengibaran bendera memperingati hari Sumpah Pemuda ke 90 di Alun-alun Jombang, Senin (29/10/2018).
Ketika upacara sampai kepada tahap pembacaan naskah ikrar sumpah pemuda, terlihat puluhan pemuda dan pemudi mengenakan beraneka busana adat se Nusantara.
Mereka berpasang-pasangan lelaki dan perempuan, kemudian bersama-sama membaca naskah sumpah pemuda. Naskah tersebut merupakan ikrar, yang pertama kali dibacakan oleh pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, atau 90 tahun silam.
Puluhan pemuda berpakaian adat tersebut adalah para perwakilan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) di Jombang. Mereka yang semua berbaris di pinggir lapangan, kemudian menuju tengah lapangan upacara dan membentuk barisan setengah lingkaran.
Selanjutnya, dipimpin personel dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jombang, mereka bersama-sama membaca Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan membaca ikrar hasil kongres pemuda tahun 1928, di hadapan para pejabat yang hadir.
Hadir dalam upacara itu, Wakil Bupati Jombang Sumrambah yang bertindak sebagai inspektur upacara. Kemudian jajaran Forkopimda, Sekda Akhmad Jazuli, para kepala organisasi perangkat daerah, para camat dan para veteran.
“Ini sebagai pencerminan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa namun tetap satu, yakni Indonesia,” kata Wabup Sumrambah mengomentari para pemuda yang berbusasa aneka pakaian adat.
Tentang tema hari Sumpah Pemuda ke-90, yakni Bangun Pemuda Satukan Indonesia, Sumrambah menjelaskan tema ini diambil atas dasar pentingnya pembangunan kepemudaan untuk melahirkan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan.
“Yang berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945 dalam kerangka NKRI,” cetus Sumrambah.
Sumrambah lantas membandingkan, jika pemuda generasi terdahulu mampu keluar dari sikap-sikap primordial suku, agama, ras dan kultur, menuju persatuan dan kesatuan bangsa, maka tugas pemuda saat ini harus sanggup membuka pandangan ke luar batas tembok kekinian dunia.
“Itu semua demi menyongsong masa depan dunia yang lebih baik,” tandas Sumrambah juga adik kandung mantan Bupati Jombang Suyanto ini.
Hari ini, lanjut Sumrambah, kita semua berhutang budi kepada para tokoh pemuda tahun 1928 yang telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda, sehingga menjadi pelopor pemuda untuk membangun kesadaran kebangsaan sekaligus komitmen menjaga persatuan dan kesatuan.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
SURYA.co.id | JOMBANG – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jombang, terus melakukan Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP), dengan berbagai cara. Salah satunya dengan memanfaatkan acara Car Free Day (CFD) di sepanjang Jl KH Wahid Hasyim, Jombang, Minggu (28/2018).
Upaya itu dilakukan guna memastikan warga Jombang yang sudah punya hak pilih agar terdaftar dalam daftar pemilih pemilu 2019. Dengan cara itu diharapkan dapat menjangkau para pemilih pemilu lebih dekat lagi.
Di acara yang menafaatkan keramaian orang ber-CFD itu, jajaran anggota KPU Jombang, mengajak masyarakat yang sedang berolah raga di area CFD untuk secara langsung mengecek data dirinya dengan KTP Elektronik.
Caranya membuka portal www.lindungihakpilihmu.kpu.go.id yang sudah disiapkan KPU melalui layar LCD (liquid crystal display) TV di lokasi CFD.
Komisioner KPU Kabupaten Jombang Divisi Data, Abdul Wadud Burhan Abadi, mengungkapkan, kegiatan bertujuan memfasilitasi masyarakat dalam hal pengecekan data pemilih Pemilu 2019.
“Tujuan akhirnya, untuk memastikam masyarakat Jombang yang sudah punya hak pilih agar terdaftar dalam daftar pemilih Pemilu 2019,” ujar Burhan kepada Surya.
Selain diajak melakukan pengecekan daftar pemilih pemilu melalui layar LCD, KPU juga berkeliling menghampiri warga untuk melakukan pengecekan melalui aplikasi di smartphone dengan nama aplikasi KPU RI PEMILU 2019.
“Aplikasi ini semata-mata untuk memudahkan masyarakat Jombang dalam memastikan yang bersangkutan sudah betul-betul masuk dalam daftar pemilih Pemilu 2019,” tandasnya.
Salah satu peserta CFD, Setianingsih (40), warga Desa/Kecamatan Jombang mengaku terbantu dengan kegiatan yang digelar KPU, dan memudahkan melakukan pengecekan daftar pemilih.
Cukup memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) melalui aplikasi android itu, Setianingsih bisa mengetahui dirinya sudah masuk daftar pemilih pemilu 2019.
“Tinggal masukkan NIK sama nama depan kita, langsung keluar nama dan data lengkap di aplikasinya (aplikasi KPU RI PEMILU 2019). Ini memudahkan untuk mengecek mau nyoblos di TPS mana,” terangnya.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Program Njombangan Menari: Upaya Melestarikan Tari Remo Jombang.
Njombangan Menari merupakan salah satu kegiatan yang diinisiasi oleh komunitas Njombangan. Program ini telah dimulai sejak bulan Juli 2018. Dalam menjalankan program tersebut, Njombangan berkolaborasi dengan sebuah perpustakaan di Desa Kepuhdoko, Tembelang. Les tari ini dilakukan selama tiga bulan secara gratis, tanpa pungutan apapun dan terbuka untuk umum. Di perpus tersebut, anak-anak belajar tari remo dengan seorang guru sanggar profesional dari Jombang Kota. Program ini dilakukan secara rutin satu kali dalam seminggu.
Di akhir kegiatan, peserta diminta menampilkan tarian remo di akhir bulan Oktober 2018. Pada acara yang disebut dengan Try Out Tari Remo Njombangan ini, seluruh peserta berhasil menampilkan performa terbaiknya. Kegiatan ini dinilai oleh tim dewan juri yang terdiri dari pelatih tari remo dan perwakilan Njombangan. Dari penilaian tersebut, diambil 3 orang terbaik yang berhak mendapatkan hadiah dan piala dari Njombangan. Namun, kami juga memberikan apresiasi yang luar biasa kepada adik-adik yang telah berpartisipasi dalam upaya pelestarian tari remo Jombang melalui kegiatan ini. Sehingga, Njombangan juga memberikan piagam penghargaan dan bingkisan berupa alat tulis dan merchandise kepada seluruh peserta.
Selain itu, acara juga sangat meriah karena dihadiri oleh anak-anak lain di desa tersebut. Mereka memberikan dukungan dan semangat kepada teman-temannya yang tampil. Oleh karena itu, acara Try Out juga diisi dengan berbagai games yang dipandu oleh Mas Ade dari Njombangan. Semua orang terlihat sangat bahagia dan terhibur dengan penampilan tarian remo dan games tersebut. Terlebih, kami juga menyediakan hadiah bagi adik-adik yang bisa menjawab pertanyaan. Di akhir acara, kami juga membagikan merchandise kepada seluruh anak yang hadir pada acara tersebut.
Pada kesempatan tersebut, kami juga menyampaikan piagam penghargaan dan pemberian merchandise Njombangan sebagai bentuk terima kasih kepada pihak penyelenggara kegiatan dan pelatih yang telah menyediakan tempat dan meluangkan waktu untuk memberikan pelatihan tari remo kepada adik-adik di Kepuhdoko. Program ini tidak akan berjalan tanpa adanya bantuan dari Mbak Lay sebagai pelatih tari remo dan Mbak Heni yang terus memberikan semangat kepada peserta les tari. Dengan berakhirnya program tersebut, kami berharap untuk memulai program baru di desa-desa lainnya. Semoga upaya ini akan memantik semangat yang lebih besar dari semua pihak demi kelestarian budaya Jombang.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia masih menjadi permasalahan besar di abad ke 21. Pada era digital saat ini, sebenarnya kita memiliki banyak kemudahan untuk mendapatkan informasi, salah satunya melalui internet. Sayangnya, masyarakat cenderung menggunakannya sebatas untuk bercengkrama di media social. Padahal, riset dari Central Connecticut University pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong ke dalam kategori minat baca yang sangat rendah. Dari 61 negara yang diteliti, Indonesia menduduki posisi ke 60. Oleh karena itu, Njombangan mengawali program Njombangan Berbagi Buku di akhir tahun 2018 sebagai langkah kecil mengatasi permasalahan tersebut.
Sejak pengumuman dilakukan pada bulan Oktober, kami sudah dihubungi oleh berbagai pihak yang tertarik dan membutuhkan tambahan buku bacaan. Sejauh ini, sudah ada 18 pihak yang terpilih dan berhak menerima satu kardus buku donasi dari Njombangan. Pihak itu berasal dari sekolah, rumah baca, pesantren, maupun TPQ aktif yang berada di berbagai wilayah di Kabupaten Jombang.
Berdasarkan penyeleksian kegiatan tersebut, kami mengetahui bahwa kebutuhan warga Jombang terhadap buku bacaan fisik terbilang masih tinggi. Padahal, lembaga-lembaga tersebut memiliki banyak anggota yang membutuhkan buku bacaan yang berkualitas. Oleh karena itu, Njombangan berharap minat baca tersebut akan semakin meningkat dengan adanya sedikit bantuan yang kami berikan. Semoga kegiatan ini juga memberikan inspirasi kepada berbagai pihak terutama lembaga yang berkepentingan untuk memberikan terobosan terhadap permasalahan tersebut.
SURYA.co.id | JOMBANG – Ratusan personel Polres Jombang mengenakan peci saat apel konsolidasi di Halaman Malpores Jombang, Senin (22/10/2018). Hal ini dilakukan guna menyemarakkan peringatan hari santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober.
“Ini wujud kebanggaan polres jombang sert apresiasi terhadap peringatan hari santri di Kabupaten Jombang Jawa Timur,” ujar Kapolres Jombang, AKBP Fadli Widiyanto usai apel Gelar Pasukan di Mapolres Jombang kepada Surya.
Ia menambahkan, sebenarnya banyak juga anggota Polres Jombang berasal kalangan santri. “Bahkan saya pribadi juga pernah ‘nyantri’ di Kabupaten Jombang saat remaja dulu,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan, peran santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga nilai – nilai kejuangan tersebut harus diteladani.
“Tadi juga ada ikrar santri saat apel santri di alun-alun. Kami sepakat karena dalam ikrar tersebut ada poin menjaga keamanan bersama polri, serta berideologi pancasila. Tentu dengan doktrin seperti itu akan sangat berperan dalam kehidupan mendatang,” pungkasnya.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Jombang – Jombang punya cara sendiri menyambut Hari Santri Nasional yang jatuh 22 Oktober 2018. Mereka menggelar lomba senam dayung antar pelajar tingkat SMA. Seperti apa keseruannya?
Perlombaan yang mengusung tema Energi Jombang untuk Indonesia ini digelar selama dua hari di Lapangan Tenis Indoor, Jalan Kusuma Bangsa, Jombang. Pada hari pertama, Sabtu (20/10), 33 regu berlomba untuk lolos dari babak penyisihan.
Setiap regu terdiri dari 20 pelajar tingkat SMA/SMK/MA di Jombang. Sementara hari ini, 10 regu terbaik kembali dilombakan untuk memperebutkan piala Ketua Umum KONI Jombang.
“Saat Asian Games Jakarta-Palembang yang lalu, senam dayung dan lagu Meraih Bintang ini sangat viral. Itu yang membuat kami terinspirasi menggelar lomba senam dayung ini,” kata Ketua Panitia Lomba Senam Dayung Hari Santri Nasional Agus Budi Hartono kepada detikcom di lokasi, Minggu (21/10/2018).
Dalam perlombaan ini, setiap regu dituntut untuk menampilkan gerakan senam dayung terbaik. Yang menarik, peserta tak melulu memakai kostum olahraga. Ada juga yang menggunakan pakaian adat sehingga nampak lebih berwarna.
Diiringi lagu Meraih Bintang yang dipopulerkan penyanyi dangdut Via Vallen, setiap regu nampak energik memperagakan gerakan senam dayung. Yaitu senam yang terinsipirasi gerakan spontan Presiden Jokowi pada pembukaan Asian Games 2018 di Geloa Bung Karno, Jakarta beberapa waktu lalu.
Di akhir performance, setiap regu juga wajib menampilkan yel-yel sebagai wujud kekompakan mereka.
“Penilaian juri meliputi teknik gerak, kesesuaian antara gerak dengan musik, formasi dan penampilan,” terang Agus.
Selain Ketua Umum KONI Jombang Tito Kadar Isman, final lomba senam dayung ini juga disaksikan Wakil Bupati Jombang Sumrambah dan Komandan Kodim 0814 Jombang Letkol Arm Beni Sutrisno.
Agus menjelaskan, lomba senam dayung antar pelajar tingkat SMA sederajat ini digelar untuk menyambut Hari Santri Nasional yang jatuh 22 Oktober 2018. Pihaknya berharap, melalui senam dayung para pelajar dan santri di Jombang menjadi lebih sehat.
“Selain sehat jasmani dan rohani, kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif para pelajar kita juga lebih meningkat,” ungkapnya.
Regu dari MAN 1 Jombang sukses menyabet piala Ketum KONI Jombang setelah dinobatkan menjadi juara 1. Disusul SMK PGRI Jombang dan MA Darussalam sebagai juara 2 dan 3.
SMAN 1 Jombang, SMAN Jogoroto dan SMAN 2 Jombang puas menjadi juara harapan 1, 2 dan 3. MAN 1 Jombang juga sukses meraih penghargaan Best Costum dalam perlombaan ini.
Salah seorang peserta dari MAN 1 Jombang Suti Nur Habibah menuturkan, kesuksesan regunya meraih juara tak lepas dari ketekukan dalam berlatih. Kesibukan belajar tak menghalangi semangat mereka untuk menjadi yang terbaik.
“Kami rutin latihan waktu istirahat. Hari Jumat dan Sabtu sepulang sekolah kami juga berlatih. Sehingga tak mengganggu belajar,” ujarnya.
Bagian paling sulit dalam senam dayung, tanbah Habibah, lebih pada menggalang kekompakan regu. Menciptakan gerakan yang senada di antara 20 pelajar, bukan lah perkara mudah.
“Kerjasama antar tim sangat penting,” tandasnya. []
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com
Pariwisata Jombang bagian utara sedikit kurang diekspos. Padahal, wilayah bagian utara Ringin Conthong itu dulunya diduga merupakan bagian dari ibukota Kerajaan Mdang yang didirikan Mpu Sndok dan wilayah yang akrab dengan Prabu Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan. Salah satu peninggalan Sang Prabu bahkan masih ada dan menjadi ikon wisata Kecamatan Kudu ; Sendang Made.
Lokasi Wisata Sendang Made dapat dicapai dengan rute melintasi Jembatan Ploso, belok kanan dan lurus saja hingga kita menemukan papan penunjuk jalan menuju Desa Made dan Wisata Sendang Made.
Banyak penunjuk jalan ke lokasi, dan kita akan menyusuri jalan lapis beton yang bisa dilalui mobil sehingga tak perlu lagi berjalan kaki untuk mencapai tempat petilasan. Sebelum sampai di lokasi, kita akan melewati Makam Desa Made dan Makam Mbah Nodi.
Untuk memasuki lokasi wisata, pengunjung tidak dipungut biaya. Sebagai gantinya, kita hanya diwajibkan membayar biaya parkir kendaraan. Untuk mobil ditarif seharga selembar lima ribu rupiah dan bisa memarkir kendaraan di tengah lokasi wisata. Sedangkan untuk motor, bisa diparkir di halaman rumah juru kunci yang masih berada di dalam kompleks petilasan Sendang Made.
Memasuki lokasi wisata, kita akan disuguhkan pemandangan pepohonan tua yang akarnya begitu kokoh dan besar. Pepohonan ‘kuno’ itu tinggi menjulang, sehingga ranting dan dedaunannya menghalagi cahaya mentari menembus bagian bawahnya. Saat Jombang City Guide berkunjung cuaca benar-benar terik, namun terasa teduh dan sejuk karena naungan pepohonan di lokasi wisata.
Sendang Made berada di wilayah Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, sekitar 20 km dari titik nol Kota Santri. Lokasinya terletak di lereng Pegunungan Kendeng, dan berdampingan dengan Makam Desa Made. Kini Sendang Made menjadi ikon destinasi andalan Kecamatan Kudu sebagai wisata budaya dan sejarah petilasan Raja Airlangga.
Dinamakan sendang, karena ada banyak kolam di kompleks petilasan Raja Airlangga ini. Ada satu kolam utama berukuran sekitar 8 x 11 meter yang dinamakan Sendang Gede.
Ada kolam-kolam lain yang berukuran lebih kecil di sekitar Sendang Made. Setiap kolam bahkan punya nama sendiri-sendiri, yaitu :
Ada ikan yang hidup di dalam kolam-kolam yang tak pernah kering itu. Ikan-ikan itu tak boleh diambil dan diganggu serta punya mitos lengkap dengan cerita magisnya. Konon, ikan-ikan itu melambangkan perkembangan dan kondisi zaman. Katanya, bila terlihat hanya sedikit ikan dalam kolam tandanya zaman sulit. Sedangkan bila ikan terlihat banyak dan gemuk, maka pertanda murah sandang pangan.
Saat Jombang City Guide mampir, kondisi air tampak keruh, dan bahkan ada satu kolam yang tidak ada airnya. Hanya ada satu kolam yang berisi ikan koi. ikan di kolam terlihat banyak dan besar, namun tidak terlihat di kolam lain. Waaah.. kalau demikian pertanda apa ya???
Kolam-kolam tersebut dikuras secara berkala oleh para pengurus petilasan, dengan bergotong-royong bersama warga desa. Pengurasan kolam dilakukan secara manual, namun karena dilakukan secara bergotong-royong aksi bersih sendang ini berlangsung cukup singkat.
Akhir-akhir ini, peserta pengurasan kolam makin sedikit yang hadir. Bisa jadi karena perkembangan zaman, sehingga mulai menipisnya warga yang mempercayai berbagai mitos yang ada di Sendang Made. Selain itu, faktor teknologi juga menjadikan aktivitas kuras kolam menjadi lebih mudah karena didatangkannya mesin penguras kolam sehingga tak perlu lagi kehadiran banyak warga untuk melakukannya. Sungguh ini merupakan bukti bahwa tenaga mesin sudah mulai mengurangi peran tenaga manusia.
Sendang Made adalah situs petilasan bersejarah peninggalan Prabu Airlangga. Sendang Made berasal dari kata sendang yang artinya kolam dan Made yang merupakan nama desa dimana kolam-kolam yang tak pernah kering itu berada. Sendang Made dulu dikenal sebagai Dempo Madukoro, yang mungkin kemudian disingkat menjadi ‘dema’ dan dibalik menjadi Made yang lalu menjadi nama desa. Mungkin lho.
Namun dasar yang lebih kuat didapat dari kultur budaya Bali dimana Prabu Airlangga berasal. Sang Prabu yang berasal dari Bali dan nama Made identik dengan panggilan di Pulau Dewata. Made sendiri berarti kebesaran dan bisa juga diartikan pertengahan. Tak heran nama Made selalu menjadi sebutan anak kedua di Bali.
Tidak ada bukti apapun yang membuktikan bahwa Sendang Made adalah peninggalan Raja Airlangga. Namun Cerita turun-temurun sudah menjadi bukti paling kuat yang merujuk pada sejarah tempat ini. Ada kemungkinan Sang Prabu menggunakan nama ‘Made’ sebagai nama samarannya ketika dalam pelarian, yang kemudian menjadi asal-usul nama desa.
Awal ceritanya, Sang Raja yang merupakan seorang pangeran dari Bali ini sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dewi Sekarwati yang merupakan anak dari paman matrilinealnya. Ketika pesta pernikahan sedang digelar, tiba-tiba ada serangan dari tentara Raja Wura-Wuri dari Tulungagung. Sang Pangeran Bali dan pengantinnya lari ke pedalaman Made di Jombang ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan pengikutnya termasuk para dayang.
Pedalaman Made yang dipilih untuk lokasi persembunyian adalah lokasi Wisata Sendang Made sekarang. Dulunya, Desa Made adalah hutan belantara, sehingga lokasi ini dirasa cukup aman dari kejaran tentara Tulungagung yang memburunya. Lokasi itu kemudian menjadi rumah persembunyian Sang Raja.
Sang Prabu ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan para dayang hidup selama tiga tahun di Sendang Made. Selama masa pelarian ini Raja Airlangga menyamar menjadi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembuat kerajinan, pengrajin emas, dan sesekali berprofesi sebagai grup kesenian keliling.
Selain sebagai destinasi wisata sejarah petilasan Raja Airlangga, Sendang Made juga menjadi destinasi wisata budaya karena adanya ritual adat kungkum yang rutin dilakukan di Sendang Made. Kungkum yang dalam bahasa Jawa artinya berendam atau mandi di kolam, dulunya dilakukan oleh Raja Airlangga.
Sang Prabu dulunya sering melakukan nyepi di kolam ini. Aktivitas nyepi ini semacam meditasi yang dilakukan dengan mandi berendam dalam sendang. Kolam-kolam ini semacam ‘bath tube’ yang berfungsi sebagai tempat Sang Raja membersihkan diri, tapi dalam versi alami dan tradisionalnya. Bisa jadi, setelah mandi beliau tampak bersih dan segar setelah tandak ngamen keliling, sehingga penampilannya makin menarik dan makin laris sebagai pengamen.
Karena makin laris dalam aktivitasnya dalam tandak ngamen, masyarakat pun meyakini dengan melakukan ritual ini akan laris tanggapan seperti yang dialami Raja Airlangga saat menyamar menjadi pengamen. Selain itu keinginan Sang Prabu juga terpenuhi. Dari kisah ini akhirnya muncul tradisi kungkum yang digelar setiap tahun pada bulan Suro.
Ritual kungkum alias berendam ini kemudian menjadikan Sendang Made sebagai lokasi jujugan para sinden, atau siapapun yang ingin mendapatkan ‘kejayaan’ dalam karirnya. Dipercaya, siapa yang melakukan ritual kungkum di dalam kolam Sendang made akan mendapat apa yang diinginkan dan mitos-mitos itu seakan menjadi kenyataan. Menurut Mbah Supono Sang Juru Kunci, berendam dalam kolam hanya sebagai media. Meminta hajat tetap pada Allah Sang Pencipta, dan yang paling penting adalah keyakinan.
Orang-orang yang kungkum di Sendang Made umumnya memiliki harapan tersediri. Biasanya, orang yang ingin peningkatan dalam karirnya segera terwujud, atau dalang makin terampil dalam menggerakkan lakonnya. Para sinden juga kemari berharap suara sinden tersebut bisa semerdu istri Sang Prabu, yang diduga kuat berperan menjadi ‘vokalis’ Sang Raja saat menyamar menjadi pengamen keliling.
Ritual ini dilakukan sendiri oleh yang memiliki hajat dengan berendam (maaf) telanjang dalam salah satu kolam yang diinginkan, dengan didampingi oleh Sang Juru Kunci yang memandu dari di tepi kolam. Seluruh tubuh dicelupkan ke dalam air hingga tiga kali sambil berdoa meminta kepada Yang MahaKuasa. Banyak kepala desa maupun artis yang konon sudah melakukan ritual ini. Termasuk Inul Daratista yang kini sudah menjadi pedangdut papan atas tanah air.
Ritual ‘privat’ ini dilakukan tak hanya di siang hari, tapi juga tengah malam. Tak heran inilah mengapa Sendang Made buka 24 jam, mengingat banyaknya pengunjung yang ingin melakukan ritual dalam waktu tertentu sesuai amalan yang dipercaya mampu mengabulkan keinginan. Contohnya di malam kamis legi, lokasi ini pasti ramai oleh para peziarah yang mencari wangsit maupun berkunjung ke petilasan.
Sedangkan ritual ‘pelantikan’ sinden biasanya dihelat setahun sekali di Bulan Suro, dan dilakukan bersamaan. Seorang perempuan yang akan menjadi sinden, atau Sang Dalang dalam pementasan wayang harus dimandikan terlebih dahulu di Sendang Made, karena mengikuti aktivitas yang menjadi cikal bakal ritual yang dilakukan Raja Airlangga selama tergabung dalam grup kesenian keliling. Ritual mandi di Sendang Made adalah sebuah perlambang untuk terjun ke dunai seni tradisional dari berbagai macam profesi seni.
Kumkum sinden ini juga dilakukan untuk pembersihan jiwa semua pelaku seni agar selalu menghasilkan karya yang semakin baik. Selain itu juga sebagai bentuk penobatan profesionalisme, tujuan agar tidak terjadi kesenjangan diantara sesama seniman.
Biasanya ada puluhan sinden dan dalang yang hadir untuk ‘diwisuda’, yang bertujuan supaya suaranya makin merdu dan orderan manggung tak pernah surut. Ritual penglaris ini juga dipercaya membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda serta auranya terpancar. Beberapa orang meyakini, sinden yang pernah mandi di Sendang Made selalu tampak anggun dan mempesona.
Prosesi unik dimulai dengan mengguyur air sendang ke tubuh para peserta ritual. Dengan kebaya merah dan jarik, para sinden ini berjajar untuk melakukan ritual kungkum. Saat air sendang diguyurkan oleh tokoh masyarakat setempat, para calon sinden dan dalang dianjurkan berdoa meminta apa yang diinginkan kepada Yang MahaKuasa. Lalu dituangkan air yang sudah diberi doa ke dalam guci yang boleh dibawa pulang oleh para peserta pelantikan.
Setelah selesai dilantik sebagai sinden, para peserta penobatan dikalungkan selendang hijau yang menandakan mereka sudah sah sebagai sinden. Selendang hijau yang dikalungkan tampak kontras dengan kebaya merah yang mereka kenakan. Kebaya merah adalah jati diri mereka dan pengalungan selendang hijau sebuah perlambang para sinden ini resmi masuk dalam dunia seni tradisional. Merah dipadukan dengan hijau, sesuai dengan warna perlambang kota Jombang.
Destinasi wisata ini masih benar-benar alami dan kuno, sehingga masih banyak diperlukan penataan. Kolam yang ada di Kompleks Sendang Made masih terjaga dengan aman. Bangunan-bangunan tersebut juga dilarang untuk dirombak karena ada kepercayaan khusus yang masih dipegang teguh pengelola dan juru kunci. Entah apa tujuan dari pantangan ini, setidaknya dengan adanya larangan ini nilai historis dari Sendang Made masih terjaga.
Meski sudah ada ‘papan nama lokasi’ yang tanpa papan sebetulnya dan upaya pengelola untuk menghiasnya dengan sebuah spot selfie, bangunan kuno juga masih dipertahankan berikut bangunan yang diduga juga menjadi tempat peristirahatan Raja Brawijaya saat singgah, dan beberapa rumah kecil yang diyakini oleh sebagian orang sebagai makam.
Memang, di dalam kompleks Sendang Made dipercaya terdapat makam Dewi Pandansari yang merupakan keturunan Raja Brawijaya, meski Mbah No Sang Juru Kunci belum yakin benar atau tidaknya adanya makam itu. Namun kepercayaan yang sudah beredar luas ini menjadikan makan ini sebagai tempat pemujaan sekelompok orang. Di hari-hari tertentu, mereka membawa sesajen termasuk bunga dan kemenyan untuk diletakkan dalam makam.
Pak Supono atau Mbah No, merupakan juru kunci Sendang Made yang sudah bertugas sejak tahun 1980. Kediaman Mbah No berada di dalam kompleks Sendang Made, di dekat parkir motor. Pak Supono sudah berperan sebagai juru kunci Sendang Made ketika menginjak usia 20 tahun. Sejak menjadi juru kunci, entah mengapa Pak Supono kerap dipanggil dengan sebutan Mbah yang berarti Kakek, padahal usianya masih muda ketika itu.
Mbah No merupakan urutan ke-delapan para juru kunci Sendang Made. Juru kunci sebenarnya adalah peran yang diwariskan turun temurun, sedangkan Mbah No sebenarnya bukan keturunan juru kunci terdahulu. Beliau mewarisi peran Juru Kunci itu karena menikah dengan putri dari juru kunci sebelumnya.
Meski Mbah No bukan keturunan langsung dari para juru kunci sebelumnya, namun istimewanya Mbah No lah yang menemukan banyak pemikiran tentang Sendang Made. Pemikiran tersebut didapat dari tirakat yang dilakukan Mbah No dan menghasilkan sekelibat penampakan yang diyakini sebagai kehadiran Sang Raja dalam salah satu sendang.
Terdapat dua patung kecil yang berada di samping salah satu pohon di dekat kolam, di balik papan peringatan dari BPCP Trowulan ,tak jauh dari ‘papan nama lokasi’ Sendang Made. Dua patung ini berbentuk manusia dan dibalut selimut dan sesajen di sekitarnya. Kepercayaan animisme dan dinamisme kejawen sepertinya masih dipegang oleh sejumlah orang yang datang, dan patung-patung tersebut bisa jadi salah satu medianya.
Banyak artefak yang merupakan peninggalan raja airlangga di Sendang Made, seperti prasasti yang menandakan jika tempat ini sudah eksis sejak abad XI. Di beberapa kolam masih tampak batu bata kuno yang terbalut jamur berserakan di pinggir sendang. Jika memang demikian, berarti lokasi ini sudah berumur lebih dari seribu tahun.
Beberapa penelitian akademis sudah pernah dilakukan di Sendang Made, termasuk dari seorang mahasiswa dari universitas yang namanya berasal dari nama Sang Prabu yang dulu pernah mendiami lokasi Sendang Made ini. Btw Jombang City guide juga alumni lho… 😎
Adanya sarana pendukung seperti musholla dan toilet serta dua warung yang bisa digunakan oleh para pengunjung. Aneka jajanan dan mainan anak-anak yang dijajakan oleh pedagang di lokasi memastikan para pengunjung yang membawa putra-putrinya tak risau akan kebutuhan hiburan buah hatinya dan membuat tempat ini makin ramai.
Sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah, Sendang Made dilengkapi pendopo yang berfungsi untuk perhelatan acara pelantikan sinden maupun acara adat lainnya. Terkadang dihelat pula acara desa seperti perkemahan pramuka, workshop, seminar, bahkan lomba mewarnai anak TK Desa Made di sini.
Di samping pendopo, pengelola meletakkan dua replika papan nama jalan yang berisi nama jalan lucu yaitu Jalan In Dulu dan Jalan Bareng Yuk. Replika jalan ini merupakan salah satu pemanis dan bentuk kreativitas pengurus sebagai upaya meningkatkan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Sendang Made. ‘Penghias’ ini ditambahkan dalam lokasi untuk mengikuti arus perkembangan tren pariwisata yang didominasi generasi milenial yang selalu haus akan spot selfie yang instagramable.
Kini Sendang Made sebagai wisata sejarah, juga dilengkapi dengan sebuah spot selfie berupa Hiu. Hiu yang dipajang sebenarnya bukan hiu melainkan jenis Paus Pembunuh atau Paus Orca sebelumnya merupakan properti karnaval dari kerangka dan terpal yang kemudian diletakkan di Sendang Made sebagai tambahan penghias lokasi wisata.
Meski ada pantangan dilarang membuang sampah sembarangan di kompleks Sendang Made, tampaknya pengunjung zaman now agak abai terhadap larangan ini. Lokasi Sendang yang dulunya digadang-gadang sebagai tempat wisata yang bersih sepertinya sudah tidak relevan lagi. Tampak beberapa sampah berserakan di areal wisata, termasuk di dalam salah satu kolam yang tak berisi air yang malah dijadikan tempat membuang sampah oleh para pengunjung.
Wisata Sendang Made ini tergolong low budget tourism. Selain tempat masuknya gratis, pengunjung juga bisa berwisata sejarah dengan menikmati suasana tempat petilasan Sang Raja dan berwisata budaya dengan memahami nilai adat yang mengiringi keberadaan Sendang Made. Cocoklah untuk wisata tipis-tipis tapi multimanfaat. Ya rekreasi, ya belajar sejarah, ya mengenal budaya setempat.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulteng menggerakkan banyak elemen masyarakat untuk membantu meringankan para warga terdampak bencana tersebut.
Termasuk Paguyuban Patrol Jombang (PPJ).
Minggu (14/10/2018), belasan anggotanya berupaya membantu korban gempa dan tsunami di Sulteng tersebut dengan mengumpulkan dana dengan cara mengamen di perempatan Taman Kebonrojo, Jombang.
Aksi mereka dimulai sekitar pukul 08.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Selama sekitar 4 jam tersebut, puluhan anggota PPJ berkumpul PPJ menggalang dana untuk korban di Sulteng, di perempatan Kebonrojo.
Dengan menabuh alat musik patrol yang kini lagi ngetren di Jombang tersebut, para musikus PPJ ini mendulang rupiah untuk korban gempa dan tsunami di Suteng yang menewaskan ribuan orang itu.
Para pengguna jalan yang melintas pun banyak yang tergugah. Buktinya, para pengguna jalan segera merogoh dompet dan meletakkan lembaran rupiah ke kotak kotak amal yang disediakan PPJ.
“Alhamdulillah terkumpul uang sebesar Rp 4,8 juta Kepedulian warga terhadap korban bencana alam di Donggala dan Palu, lumayan tinggi,” ujar Pembina PPJ, Adi Susanto, usai acara kepada Surya.
Rencananya, sambung Adi Susanto, dana yang terkumpul akan disalurkan ke korban di Sulteng melalui rekening korban gempa dan tsunami di Donggala dan Palu.
Adi Susanto juga menyampaikan terima kasih kepada pengguna jalan yang ikut berbagi membantu korban bencana di Sulteng tersebut.
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Patrol Kyai Mojo Jombang
Sudahri, perajin warangka atau sarung keris sedang merampungkan hasil karyanya, dan pembeli warangka sedang memilih warangka hasil karya Sudahri di kiosny.(sutono)
SURYA.co.id, JOMBANG – Datangnya bulan Suro selalu menjadi berkah tersendiri bagi Sudahri (48) warga Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.
Sebab, sebagai perajin warangka atau sarung keris, dia selalu kecipratan berkah Suro derngan membanjirnya pesanan pembuatan warangka.
Ini tak lain karena erat berkaitan dengan tradisi Jawa yang ‘mengharuskan’ kolektor keris untuk mencuci benda pusakanya pada bulan pertama penanggalan Jawa tersebut, serta melakukan perawatan, termasuk mengganti warangka jika sudah tidak layak.
Sudahri menjadi ‘jujugan’ para kolektor maupun pemilik benda pusaka atau tosan aji lebih-lebih karena dialah satu-satunya perajin warangka di Kabupaten Jombang.
Apalagi, selain membuat warangka, dia juga sekaligus menyediakan jasa perbaikan pusaka serta mencuci atau ‘marangi’ (memberi warangan) dan menjamasi keris, sehingga keris memunculkan kembali pamornya.
Ditemui di toko kecilnya, di Pasar Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung Sudahri yang kelahiran Sumenep, Madura ini mengaku, sebelum dan setelah memasuki bulan Suro, pesanan untuk kerajinan warangkanya naik hingga 80 persen.
Karena banyak pesanan, dia dibantu ayahnya sendiri, Sudjini (68). “Iya, biasa setiap bulan Suro tiba, pesanan pembuatan warangka memang naik, termasuk jasa untuk menjamasi maupun marangi,” kata Sudahri, Kamis (4/10/2018).
Sudahri sendiri mematok harga bagi hasil karyanya berupa warangka secara bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan ukuran warangka dan bahan bakunya. Namun berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per buah.
Dengan harga relatif murah tersebut, Sudahri tak hanya diminati kolektor dari Jombang saja, melainkan juga pecinta tosan aji luar daerah. Seperti Kediri, Mojokerto, Nganjuk, dan daerah lain di Jawa Timur.
Menurut Sudahri, pembuatan warangka sebenarnyha tidak terlalu rumit. Hanya saja membutuhkan ketelitian serta wawasan tentang perkerisan, dan punya cita rasa seni perkerisan atau benda pusaka.
Sedangkan kayu untuk bahan baku, antara lain, dari kayu sawo, mentaos, asem, jati, setigi, timongo, cendana. “Yang paling mahal dari kayu gaharu,” terang Sudahri.
Kayu-kayu pilihan tersebut selanjutnya dipola mengikuti alur keris. Kemudian, kayu digergaji sesuai pola dan dihaluskan, sebelum diukir sesuai selera pemesan.
Selanjutnya bahan setengah jadi warangka itu dilubangi secara membujur menggunakan peralatan khusus. Dan akhirnya, warangka yang sudah jadi tersebut dipelitur dengan bahan khusus.
Sudahri mengaku membuat warangka dan membersihkan pusaka itu merupakan keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun sejak kakek moyangnya mengabdi di Kerajaan, Sumenep, Madura.
Berbekal keterampilan dan kecintaan terhadap benda pusaka, Sudahri bertekad tetap konsisten membuat bermacam warangka dan membersihkan aneka macam pusaka dari pelosok Nusantara.
“Jika sepi pesanan, saya membuat warangka untuk stok. Dengan begitu, jika sewaktu-waktu ada order secara berbarengan, tidak keteteran,” ungkap ayah dua anak ini. Sudahri bertekad menekuni profesi perajin warangka sampai ajal menjemput.
Krisna Hari Sukemi, kolektor tosan aji asli Surabaya mengaku sudah beberapa waktu lamanya menjadi pelanggan Sudahri untuk merawat koleksinya.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Quality Education
Oleh Choirun Nadzir
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, khususnya ekstrakurikuler drama/ teater, merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran yang membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka. Kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Mental karakter peserta didik dapat dibangun dengan satu bentuk terapi kegiatan seni salah satunya adalah teater. Teater terdiri dari lebih dari sekadar akting. Seperti musik, teater, dan tari menggunakan bentuk seni sebagai batu loncatan untuk proses pembelajaran yang lebih mendalam, dan lebih bermakna. Terapi teater membimbing orang melalui serangkaian kegiatan yang disengaja yang memungkinkan mereka untuk membuat adegan yang mewakili cara mereka ingin menjalani kehidupan mereka. Peserta didik dapat melihat terapi teater mempengaruhi perubahan dalam perilaku mereka, keadaan emosi, pertumbuhan pribadi, dan adaptasi keterampilan. Peserta didik yang menggunakan terapi teater sering dapat meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal mereka melalui partisipasi aktif.
Dengan nilai- nilai yang dibawa dalam proses teater, diharapkan hal ini akan memperbaiki karakter peserta didik. Secara teknis proses minimal akan dilaksanakan selama tiga bulan meliputi: bedah naskah, reading, lepas naskah, blocking, pendalaman karakter, lalu latihan bersama dengan artistik yang lain seperti, tata busana, musik, setting properti dan make up. Dalam proses terapi teater seorang aktor akan menjalani sebuah imitasi terhadap karakter lain dan mengharuskannya merubah 70% menjadi orang lain dengan menyisakan kontrol diri 30%. Ketika aktor mendapatkan peran menjadi seorang dokter, guru, profesor, atau peran yang lain, seorang aktor akan belajar psikologis, sosiologis, dan fisiologis dari karakter yang akan dimainkannya. Di dalam proses ini seorang aktor akan mendapatkan sebuah katarsis/ pencerahan. Dalam teater juga ada terapi casting juga bisa sebagai pembentukan karakter, dimana karakter yang dimainkan oleh aktor mempunyai karakter yang berlawanan dengan diri aktor, misal aktor pendiam akan mendapatkan peran yang mengharuskannya banyak bicara.
Jombang adalah kota kecil yang sudah memulai menanamkan kesenian teater pada ekstrakulikuler di sekolah. Mereka menghidupkan teater di sekolahnya masing- masing dan mulai membuat satu proses mandiri yang ajek. Di tahun 2017-2018 beberapa teater pelajar berhasil melangsungkan pementasan mandiri mereka, seperti:
Teater sebagai sebuah terapi yang dilakukan oleh pegiat teater pelajar ini belum disadari sepenuhnya, nyatanya teater mempunyai peran sebagai terapi perilaku. Ketika kegiatan ini dipertahankan akan menjadi sebuah habitual yang positif, maka generasi muda mendatang akan lebih bisa mengontrol laju perkembangan zaman.
Dengan harapan teater di Jombang akan semakin membudaya di kalangan remaja. Menjadikan Jombang sebagai kota teater pelajar mungkin bukan hal yang berlebihan. 5 tahun mendatang mimpi menjadikan Jombang sebagai kota teater pelajar bisa saja terwujud.