• info@njombangan.com

Monthly ArchiveJanuary 2017

Seni Budaya Jombang Nasibmu Kini

Berbicara tentang seni dan budaya memang tidak ada habisnya. Apalagi yang bersifat tradisional dan diwariskan dari generasi ke generasi. Nah, berbicara tentang seni budaya tradisional ini maka banyak rasa kecemasan dan keprihatinan karena kekayaan tradisi ini semakin lama semakin hilang dan kurang diminati. Masyarakat di berbagai daerah cenderung berganti preferensi ke bentuk seni budaya yang merasa lebih kekinian. Hal serupa juga terjadi di Jombang. Beberapa saat lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke basecamp Ludruk Budhy Wijaya yang ada di Kecamatan Ngusikan. Ini adalah pertama kali saya berkunjung ke kecamatan yang ada di ujung timur Kabupaten Jombang ini, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Mojokerto ini.

 

 

Obrolan yang berlangsung bersama Mas Didik selaku generasi kedua dari Ludruk Budhy Wijaya selama kurang lebih empat jam berjalan dengan seru. Banyak poin-poin yang dibicarakan dalam obrolan tersebut, antara lain:

 

Tentang Popularitas Seni Tradisional Khususnya Ludruk

Saat ini memang masyarakat preferensinya sudah berubah. Dulu ludruk dan kesenian tradisional memang sangat digandrungi namun saat ini sudah lewat masa keemasannya. Walaupun demikian, bahwa kerinduan masyarakat akan seni tradisi ini masih bisa dirasakan. Begitu juga di kalangan generasi muda, makin banyak bahkan dari mereka yang tidak mengetahui ludruk, besut dan kesenian lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan. Beruntung Ludruk Budhy Wijaya masih bisa bertahan dan menjadi satu dari sedikit sekali grup ludruk yang masih hidup. Alasannya adalah masih banyaknya undangan tampil di berbagai daerah di Jawa Timur atau bahkan di luar provinsi. Jika tidak, maka tentu para seniman/ seniwati juga akan kurang semangat.

 

Pekerjaan Para Seniman Seniwati di Luar Ludruk

Dalam kesehariannya, mereka juga memiliki pekerjaan lain misalnya bertani, berdagang, menjadi guru dan lainnya. Hal ini mengingat karena tanggapan ludruk tidak terjadi setiap hari sehingga mereka juga perlu tambahan sumber pendapatan lainnya. Nah, kecintaan mereka pada seni ludruk ini yang membuat mereka terus bertahan dan berkesenian.

 

Perhatian Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah masih dirasa kurang memperhatikan seni budaya tradisional khas Jombang baik ludruk atau lainnya baik terkait pendataan, promosi, pelestarian dan apresiasi terhadap seniman seniwati. Beberapa tahun lalu sempat diadakan festival ludruk, namun kemudian hal tersebut dirasakan kurang memberikan manfaat karena kurangnya greget regenerasi. Yang tampil akhirnya grup ludruk itu-itu saja, padahal diharapkan ada grup baru atau setidaknya pemain ludruk yang lebih junior. Ada juga festival tari remo masal, namun yang ini sifatnya juga insidental dan selebrasi sesaat setelah itu tidak ada kelanjutan, tidak ada perhatian pada pelestarian dan promosi lebih lanjut agar tari ini semakin dikenal masyarakat.

Tentang Kekompakan Mengembangkan Tim Ludruk

Ya membina tim yang berasal dari latar belakang yang beragam dan umur yang beragam pula memang tidak mudah. Ada perbedaan pandangan dan ekspektasi akan tim namun kecintaan pada ludruk menyatukan para anggota tim ini. Dan hal ini pula yang membuat tim kompak termasuk soal pembagian honor ketika pentas. Sebagian honor disisihkan untuk ditabung. Sebagian lagi ada bagian yang disisihkan untuk kegiatan sosial untuk santunan anak-anak yatim, piatu dan yatim piatu di desa tersebut. Hal ini menjadi bakti sosial mereka untuk membantu sesama. Begitu juga kepedulian kepada sesama anggota ludruk, jika ada yang sekiranya sakit atau kenapa-napa maka mereka akan kompak saling membantu satu sama lain.

 

Tentang Regenerasi

Regenerasi dipercaya sebagai salah satu faktor penting dalam melestarikan seni dan budaya. Nah, ini pula yang dirasakan oleh Ludruk Budhy Wijaya. Harapan adalah ada kampung ludruk yang dibangun di sini. Ada panggung permanen dimana anak-anak bisa belajar ludruk sambil bermain. Dan siapapun dari manapun yang tertarik untuk belajar ludruk dapat ikut serta di kampung ludruk ini. Nah, sebagai salah satu bentuk regenerasi adalah diajarkannya ludruk di salah satu sekolah dasar di sana. Anak-anak SD tersebut belajar secara sukarela dan tanpa dipaksa. Mereka terlihat menikmati belajar ludruk gratis tersebut. Mereka juga biasa tampil dalam acara SD misalnya saat perpisahan kelas dengan membawakan lakon timun mas. Para orang tua pun mendukung adanya aktivitas tersebut. Bahkan kadangkala, mereka datang ke rumah mas Didik dan membawa hasil bumi sebagai ucapan terima kasih. Sungguh apresiasi yang priceless dari masyarakat apapun itu bentuknya. Selain berlatih ludruk, anak-anak ini juga berlatih bermain gamelan.

 

 

Tentang Regenerasi Lewat Institusi Pendidikan

Regenerasi memang patut menyasar kepada anak-anak idealnya siswa SD dan SMP. Sebenarnya hal ini pernah dipikirkan dimana beberapa anggota dari ludruk Budhy Wijaya ini memiliki kemampuan untuk mengajar. Kemudian mereka juga tersebar di beberapa daerah di Jombang. Dengan demikian kemudian dilakukan pemetaan, satu orang seniman sekiranya dapat mengajar di berapa sekolah dalam seminggu. Seniman-seniman ini yang kemudian dibayar oleh sekolah. Akhirnya terjadi simbiosis mutualisme bahwa seniman mendapatkan penghasilan tambahan plus memiliki kesempatan untuk regenerasi seni budaya sedang anak-anak juga terfasilitasi minat dan bakatnya. Pada akhirnya diharapkan ludruk dan seni budaya tradisional lainnya akan terus lestari. Namun konsep dan pemikiran ini baru sebatas ide dan wacana, entah kapan akan direalisasikan.

 

Ludruk setidaknya masih digemari. Walau di Jombang peminat dan pegiatnya makin sedikit, namuan setidaknya seni budaya ini masih berkembang pula di daerah lainnya di Jawa Timur. Beberapa kesenian lain seperti Tari Topeng Bapang Manduro dan Wayang Topeng Jatiduwur bahkan nasibnya lebih memprihatinkan. Semoga makin banyak pihak yang peduli akan warisan luhur nenek moyang ini sebagai suatu identitas yang kaya dan wajib disyukuri serta dilestarikan. Ayo cintai dan lestarikan seni dan budaya Njombangan!

 

Penulis:

Article courtesy:

Photo courtesy:

Lika-liku Penggiat Ludruk di Surabaya ini Bisa Bertahan

Surabaya – Melestarikan kesenian lokal saat ini memang tidak mudah, selain jaman yang terus berubah juga harus berjuang sendiri untuk terus bisa berkarya.

Misalnya, komunitas ludruk Luntas atau Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. Di usinya yang pertama, Luntas membuktikan bisa eksis menggelar 8 kali pentas ludruk tanpa bantuan anggaran dari pemerintah.

Koordinator Komunitas Ludruk Luntas Robert Bayonet menceritakan lika-liku bergelut dengan dunia kesenian khas Surabaya ini. Robert mengaku dukungan dari pemerintah dirasa belum ada.

Komunitas Luntas sendiri pun tidak terlalu memperdulikan perhatian pemerintah asal bisa tetap berkarya. Bermodal keikhlasan para pemain di dalam komunitasnya, Luntas optimis akan terus mempertahankan budaya pusaka kesenian ludruk ini.

“Pemerintah peduli ya syukur, tidak ya tidak apa-apa. Kami masih punya pemain yang tetap mau berkarya meski tak dibayar,” kata Robert kepada detikcom disela-sela pementasan ludruk dengan judul ‘Suster Gepeng’ di Gedung Pringgondani Taman Hiburan Rakyat (THR), Sabtu (21/1/2017) malam.

Pria yang telah menekuni ludruk sejak duduk di bangku SMP ini menceritakan kekuatan Komunitas Ludruk Luntas memang ada pada orang-orang di dalamnya. Meski berangkat dari latar belakang yang berbeda, kecintaannya pada ludruk mampu mempertahankan eksistensi ludruk yang kian lama gaungnya kian tak terdengar.

“Kami tidak menjanjikan bayaran apa-apa kepada mereka, kami hanya menunjukkan ini loh budaya yang harusnya kalian lestarikan. Mau gabung ya silakan, mau keluar ya silakan. Karena Luntas bukan tempat bekerja tapi tempat menimba ilmu,” paparnya.

Robert juga menceritakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang terkesan tak acuh pada gedung kesenian di THR Surabaya termasuk Gedung Pringgondani yang biasa digunakan oleh Komunitas Luntas.

“Padahal THR ini legenda, pernah menjadi kebanggaan warga Kota Surabaya juga,” beber Robert.

Terkait dana, Robert mengaku Luntas tak banyak menarget. Asal biaya produksi sudah tertutup maka tak jadi masalah. Dana ini diperoleh dari tiket masuk para penonton yang menyaksikan kebolehan mereka.

“Biasanya dua juta atau setara dengan 200 penonton dan Alhamdulillah Luntas tak pernah sepi penonton. Minimal 150 setiap pentasnya padahal di THR ini 50 orang saja sudah bagus,” lanjut Robert.

Dengan terus ikhlas berkarya, Robert berharap komunitas ini mampu menyandingkan kesenian tradisional ludruk dengan kehidupan metropolitan yang makin modern. Salah satunya dengan terus memodifikasi dan menyesuaikan cara pementasan dengan model masa kini seperti penggunaan efek suara, lagu-lagu modern hingga black man.

 

Penulis: Ugik

Article courtesy: Detik.com

Photo courtesy: Detik.com

Wow… Arek Jombang Bakal Main di Turnamen Kasta Tertinggi Sepakbola Indonesia

KABARJOMBANG.COM – Kerinduan prestasi sepak bola arek-arek Jombang, tampaknya akan sedikit terobati. Betapa tidak, Dody Al Fayed, pemuda asal Desa Kepatihan Kecamatan/Kabupaten Jombang bakal menjadi skuad Pusamania Borneo FC, klub Sepakbola asal Samarinda, Kalimantan Selatan yang ikut dalam kompetisi Indonesia Soccer League (ISL).

Kabar ini diketahui Ade Fajar, kakak pemuda kelahiran 30 Agustus 1998, saat dihubungi lewat telephone selulernya. Menurutnya, sang adik akan dikontrak selama 3 musim oleh Pusamania Borneo (PB) FC. Sehingga saat ini dia (Dody, red) sudah berada di markas klub tersebut untuk menjalani latihan dan uji coba. “Insya Allah minggu ini dia akan teken kontrak,” katanya.

Kepastian pemuda asal Kota Santri akan memperkuat tim besutan Dragan Djukanovic ini diketahui dalam rilisan resmi di website resmi milik Pesut Etam, julukan PB FC, Senin (16/1/2017).

Dalam rilis tersebut disebutkan, jelang laga di Indonesia Super League (ISL) atau Liga 1, Maret 2017 mendatang, dari total 27 pemain yang sudah memastikan diri memakai logo pesut di dada mereka, salah satu nama tersebut adalah Dody Al Fayed. Pemuda yang pernah memperkuat Tim Frenz United Indonesia di Malaysia.

Berikut daftar nama sementara skuad Pusamania Borneo FC 2017, dimulai dari tiga kiper yakni Muhammad Ridho, Nadeo Arga Winata dan Gianluca Pandeynuwu. Mereka bertiga merupakan skuad Pesut Etam musim lalu, Nadeo dan Ridho di tim senior. Sedangkan Gianluca di skuad junior.

Di posisi belakang, kehadiran Helder Lobato Ribeiro asal Brazil akan menambah kuat pertahanan tim juara Divisi Utama Liga Indonesia 2014 ini. Pasalnya, terdapat sejumlah bek kawakan seperti Leonard Tupamahu, Rachmat Latief, Firly Apriansyah, Diego Michiels, Fathul Rachman, Ricky Akbar Ohorella dan pemain junior, Amin Rais Ohorella.

Di lini tengah, nama-nama tenar tampak mengisi posisi ini. Sebut saja, Flavio Beck Junior (Brazil), Ponaryo Astaman, Asri Akbar, Sultan Samma, Oktavianus Maniani akan berjibaku bersama sejumlah pemain muda lainnya seperti Abdul Aziz, Terens Puhiri, Muhammad Nur Hidayat, Wahyudi Hamisi, Dody Al Fayed, Rival Lastori dan Riswan Yusman.

Sedangkan di lini depan, persaingan mendapatkan posisi inti akan berlangsung ketat. Deretan bomber PB FC saat ini diisi oleh Lerby Eliandry, Patrich Wanggai, Febri Setiadi Hamzah dan pemain muda Fernando Gomes.

“Ini skuad sementara, masih ada pemain yang akan didatangkan, mungkin dua tiga pemain lagi, sesuai kebutuhan. Tunggu dan mohon doa serta dukungannya, karena kami ingin yang terbaik untuk tim ini,” kata Nabil Husein Said Amin, Presiden Klub dalam website resmi milik PB FC, beberapa waktu lalu. (aan)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Tribunnews.com

Ingin Dekatkan Ludruk ke Kaum Muda, The Luntas Sajikan Konsep Baru Pagelaran Ludruk

Surabaya – The Luntas, Luntas adalah singkatan dari Ludruk Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. The Luntas adalah nama sebuah komunitas seniman ludruk berjiwa muda yang kini kian eksis di panggung kesenian Kota Surabaya. Sabtu depan, 21 Januari 2017, ludruk The Luntas akan mementaskan lakon dengan judul “Suster Gepeng” di gedung Pringgondani Kampung Seni THR Surabaya, tepatnya pada pukul 20.00 WIB. ” Iya cerita Suster Gepeng adalah cerita yang cukup menarik dan melegenda bagi warga Kota Surabaya. Sabtu depan akan kami pentaskan, ” terang Cak Robert, yang jadi pimpinan dalam komunitas ludruk The Luntas ini.

Dalam setiap pagelarannya, ludruk The Luntas menampilkan konsep yang agak berbeda dibandingkan dengan komunitas atau grup ludruk lainnya. Dan sudah kesekian kalinya di tampilkan, seperti pada lakon : Bangkit dari Kubur, The Doekoen, Pesugian Nyi Blorong, Sawung Kampret, Sarip Reborn, dsb.

Sederhananya, menurut Cak Robert, pagelaran ludruk The Luntas disajikan dengan konsep yang ringan dan dipadu dengan sentuhan modern. Seperti misal pada penggunaan sound efeknya, pilihan jenis musiknya, digunakan sentuhan yang modern. Namun, tetap tidak meninggalkan unsur-unsur ludruk seperti pada umumnya.  ” Remo, jula-juli, bedayan, dan lawakan pembuka tetap kami tampilkan, ” tambah suami dari Aixa Paramita. Mereka berdua dikaruniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan.

” Ternyata banyak penggemarnya, terutama kalangan anak muda. Oleh karenanya, kami akan berusaha konsisten menampilkan pagelaran ludruk dengan cara seperti ini. Hitung-hitung biar jadi ikon ludruk The Luntas lah ?! ” ujar Cak Robert, yang juga sering belajar dari Cak Kartolo.

Bagi Cak Robert dan teman-temannya, yang penting saat ini kesenian ludruk bisa tetap eksis, dan bisa diminati masyarakat. Dari situ, mudah-mudahan muncul keinginan untuk mempelajari kesenian ludruk yang lebih dalam lagi.  Terpenting lagi bagi mereka ludruk bisa digemari anak-anak muda. Dengan demikian kesenian ludruk bisa tetap lestari, tidak ditelan jaman. ” Kesenian ludruk kan juga merupakan kekayaan bangsa, jadi harus kita lestarikan. Syukur-syukur ada tanggapan ke luar negeri, ” selorohnya.

Saat ini Ludruk The Luntas, selain Cak Robert sendiri juga diperkuat oleh pemain lainnya, diantaranya seperti Aixa Paramita, Ipoel Bayoned, Anam Kecenk, Joe Vicky, Graham al malik, Ribut, Yudha, Ronny Good, Devi, Istyanisa, Anita, dll.

Nizar, salah satu penggemar ludruk The Luntas mengatakan, kalau dirinya dan teman-temannya sangat menyukai pementasan ludruk ala The Luntas. ” Dulu kami nggak suka ludruk, tapi kalau lihat ludruk Luntas main jadi pingin lihat. Soalnya lucu dan menghibur, ” katanya. (*jkp)

 

Penulis: –

Article courtesy: pdiperjuangan-surabaya.com

Photo courtesy: pdiperjuangan-surabaya.com

Pementasan Ludruk Berlakon Susi Duyung di Jakarta

Malam itu, Kamis 11 Desember 2014, suara 5 orang sinden memecah suasana riuh acara pembukaan pameran seni rupa di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Kawasan Palmerah Jakarta Barat. Pameran yang bertema ‘Asam Garam Bentara’. tersebut menampilkan berbagai karya seni berupa lukisan dan patung karya 5 kurator BBJ. Dan pentas ludruk Budhi Wijaya menjadi acara lanjutannya.

oleh dibilang inilah pertama kali pentas ludruk Budhi Wijaya di Bentara Budaya Jakarta. Suara 5 orang pesinden yang bernyanyi sambil menari membuat orang tertarik dan berkumpul memenuhi areal halaman depan rumah Kudus di BBJ yang disulap menjadi panggung terbuka tersebut sehingga penuh oleh penonton. Ludruk Budhi Wijaya bisa pentas di Jakarta karena difasilitas oleh GM Sindhunata yang sudah terkenal kiprahnya di industri media serta pelestarian budaya Indonesia.

Acara dibuka dengan berbagai sambutan, salah satunya adalah tamu ‘spesial’ yakni Tarsan. Tarsan adalah seniman dan komedian nasional terkemuka yang juga lahir dari ludruk. Orang mengenalnya lewat acara TV Srimulat yang ngetop di akhir tahun 1990-an. ‘Saya ini lahir dari ludruk dan sudah berkesenian ludruk sejak SMP!’ begitu katanya. Selain itu, dia berharap agar makin banyak pihak yang peduli akan kelestarian ludruk. ‘Saya berharap agar Pemerintah Kabupaten Jombang dan lainnya ikut serta dalam melestarikan dan menghidupkan kembali ludruk. Misalnya ketika ada peringatan hari besar nasional, maka ya sebaiknya nanggap ludruk. Kalau bisa seluruh masyarakat ketika punya hajatan diwajibkan nanggap ludruk’. Lebih jauh lagi, dia berharap agar acara pementasan ludruk di BBJ bisa menjadi ujung tombak kebangkitan ludruk ini.

 

Ludruk memang merupakan kesenian asli Jombang. Lahir pada masa penjajahan, ludruk menjadi salah satu wahana berjuang masyarakat akar rumput melawan ketidakadilan penjajah. Pada awal perkembangannya, ludruk menjadi alat untuk kritik sosial terhadap penguasa. Secara etimologis, kata ludruk berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata, yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan keluarlah kata-kata yang membawakan kidung, dan dialog. Sedangkan gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari di pentas. Ludruk kemudian berkembang ke berbagai daerah di Jawa Timur dan akhirnya menjadi salah satu ikon kesenian Jawa Timur.

 

 

Pentas malam itu membawa judul ‘susi duyung’, tema yang sama dengan pameran seni rupa 5 kurator BBJ. Tema ini diambil sebagai bentuk respon atas fenomena seorang menteri bernama Susi Pudjiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan. Sejalan dengan salah satu slogan utama pemerintah Presiden Jokowi ‘jaya giri, jaya bahari’, bahwa pemerintah ingin menegakkan dan mewujudkan kejayaan Bangsa Indonesia baik di bumi maupun lautan. Indonesia memiliki wilayah lautan yang luasnya 2/3 dari luas wilayah Indonesia, namun sayangnya nasib nelayan selama ini kurang diperhatikan. Masih banyak dari mereka yang miskin dikarenakan kebijakan dan pengelolaan potensi laut Indonesia yang  kurang optimal. Susi lahir dari masyarakat nelayan di Pangandaran Jawa Barat. Sosoknya hadir dan dianggap nyeleneh karena walau hanya lulusan SMP namun bisa memiliki perusahaan kelas internasional. Dikenal sebagai seorang yang dermawan, Susi banyak dikritik dan dipertanyakan kemampuannya dalam memegang tampuk kementerian. Namun Susi tak goyak dalam melakukan gebrakan, salah satunya adalah dengan melakukan penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di Indonesia.

Kembali ke ludruk Budhi Wijaya, ludruk asli Ngusikan Jombang ini datang dengan 40 orang dalam rombongan mulai pemain ludruk, sinden, niyaga dan lainnya. Acara ludruk dimulai dengan pementasan tari ngremo kreasi yang disajikan secara apik dan enerjik, kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘jali-jali’ lagu daerah Betawi sebagai penghormatan akan Jakarta dan masyarakat Betawi sebagai tuan rumah acara. Lantas pastinya dilanjutkan dengan jula-juli.

 

 

Ludruk ini menceritakan tentang proses pemilihan kepala desa di Desa Ngliyep yang ada di pesisir pantai selatan Jawa. Acara ini diikuti oleh 2 orang yakni Carik Broto yang kaya raya dan Darmo yang datang dari kalangan biasa. Carik Broto dan pengikutnya sangat berambisi untuk menjadi penguasa desa dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya. Mereka kemudian menjalankan politik uang dengan memberikan sejumlah uang kepada warga, dengan pesan agar mereka memilih Carik Darmo dalam pemilihan desa tersebut.

 

 

Pada saat penghitungan suara, ternyata Darmo mendapatkan 9 suara sedang Carik Broto hanya mendapatkan 8 suara, akhirnya Darmo keluar sebagai kelapa desa yang baru. Tidak terima dengan kekalahan tipis tersebut, Carik Broto berusaha untuk mencari cara lain untuk merebut kekuasaan. Dia dan pengikutnya kemudian mendengungkan isu penyebaran penyakit pageblug di desa dan mereka kemudian menghadap lurah Darmo. ‘Desa kita kena pageblug dan sebagai lurah, Lurah Darmo harus mencari jalan keluarnya’. Lantas mereka kemudian mengatakan bahwa ada semacam obat atau tombo yang harus Darmo cari di salah satu goa di daerah Ngliyep tersebut. Mereka lantas bersama-sama mencari obat tersebut dan hal licik dilakukan. Darmo kemudian didorong masuk ke dalam bagian goa yang curam dan dia terjatuh dan kemudian hilang, tidak diketahui nasibnya apakah hidup atau mati.

Broto lantas menjadi lurah baru. Banyak kebijakan merugikan rakyat yang dilakukannya. Salah satunya adalah dengan menutup kantor kepala desa dan memindahkan semua kegiatan pemerintahan desa di rumah pribadinya. Setiap pengurusan perizinan harus disertai dengan alas (lemek) uang. Dia juga tidak iba sedikitpun kepada warga yang membutuhkan pertolongan namun mereka dulu tidak memilihnya ketika pemilihan kepala desa berlangsung. Aroma dendam dan ingin balik modal membuat Broto menjadi buta mata. Bahkan broto sempat melakukan pemerkosaan terhadap bunga desa di Ngliyep tersebut. Tidak hanya itu, dia juga melakukan pemerasan terhadap masyarakat nelayan yang mayoritas ada di sana.

Melihat itu semua, Susi salah seorang wanita desa itu tidak tinggal diam, dia didukung oleh penduduk lokal lainnya melakukan perlawanan. Namun, Susi tidak cukup kuat dan digdaya untuk melawan pendukung Broto. Susi yang kemudian dibuang ke laut kemudian dalam salah satu mimpinya, setelah dibuang oleh pendukung Broto, bertemu dengan Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul kemudian mengatakan bahwa niatan Susi yang mulia untuk menyelamatkan penduduk desa akan dia dukung sepenuhnya. Kemudian Sang Ratu memberinya pusaka berupa keris yang disebut dengan pusaka duyung. Semenjak itu nama susi berubah menjadi susi duyung, seorang wanita utomo (ksatria) yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk selalu melindungi masyarakat.

Dengan pusaka duyung, Susi duyung kemudian menemui Broto dan pasukannya. Susi yang sekarang digdaya dengan mudah berhasil mengalahkan mereka. Masyarakat desa merasa sangat gembira dengan hal itu. Namun, kemurahan hati masyarakat desa akhirnya mengampuni Broto dan pasukannya agar tobat dan tidak berbuat jahat lagi. Jadi pemimpin itu harus adil dan welas asih terhadap rakyatnya.

Acara ludruk ini berlangsung dengan apik. Lawakan dibawakan dengan sangat baik dan tentunya membuat penonton terpingkal-pingkal. Gaya bahasa yang dibawa pun sangat khas Njombangan dan Suroboyan. Dan tentunya yang paling penting adalah pesan yang dibawa dalam ludruk ini sangatlah mendalam: bahwa menjadi manusia janganlah menghalalkan segala cara dan rakus akan kekuasaan. Kita sebagai manusia harus tahu mana yang hak kita dan mana yang tidak. Serta tentunya kita harus gigih dalam membela yang benar dan tertindas.

 

‘Pementasan ludruk kali ini benar-benar bagus dan berhasil karena berhasil membuat masyarakat Jakarta yang menontonnya tertawa dan terhibur’ ujar Krihastuti, salah seorang penonton.

Semoga dengan makin banyaknya pementasan ludruk, maka seniman juga semakin meningkatkan kreativitas dan mendapat apresiasi masyarakat. Sehingga akhirnya ludruk akan tetap lestari dan dicintai.

 

Penulis: Johar Zauhariy

Article Courtesy: joharjohar.com

Photo Courtesy: joharjohar.com

Mahasiswa Unesa Angkat Besutan untuk Kembalikan Teater Tradisi

SURYA.co.id | SURABAYA – Perkembangan budaya ke arah globalisasi membuat banyak tradisi yang telah dimodifikasi. Termasuk Besutan, teater tradisi yang mengalami distorsi sejak dimainkan oleh remaja agar bisa diterima oleh kalangannya.

Untuk itu, mahasiswa tingkat akhir Program Studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik), Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS Unesa) kembali mengangkat Besutan untuk tugas akhir mereka.

Mereka yaitu Yusup Eko Nugroho sebagai Sutradara sekaligus aktor dalam teater tradisi asal Jombang ini. Kemudian Muhammad Samsudin Yahya yang memainkan peran sebagai aktor utama si Besutan dan Ferika Ratna Ayu yang mengambil tugas akhir artistik sekaligus aktris dalam teater ini.

Yahya, pemeran Besutan mengungkapkan peraiapan teater ini mereka lakukan selama setahun. Mulai dari wawancara narasumber yang merupakan sumber terdekat dengan cerita Besutan ini hingga belajar dialek yang berneda dengan kesehariannya.

“Saya harus memahami peran dengan bertanya langsung pada sumbernya di Jombang,” ungkapnya pada SURYA.co.id saat mempersiapkan latihan terakhirnya di kampus Unesa Lidah Wetan, Minggu (1/1/2017).

Revisi demi revisi mulai dari pencarian kidung, cara berperan hingga memainkan dialek khas warga Jombang telah ia jalani. Hingga pekan liburan juga harus dihabiskan untuk latihan.

Teater “Besutan Wani” ini menceritakan upaya si Besutan sebgaia pribumi asal Jombang yang memiliki kecerdikan dan kepolosan layaknya Abunawas. Dalam kisahnya Besutan berhasil memakai kecerdikannya untuk mengalahkan lawannya yang merupakan antek Belanda.

Sementara itu, Ucup, sapaan akrab sutradara “Besutan Wani” ini mengungkapkan kesulitan terbesar memang dalam penguasaan dialek oleh 20 aktor yang terlibat dalam teater ini. Apalagi ia tak hanya menghadapi teman kuliahnya, banyak di antara alumnus Sendratari juga terlibat di dalamnya.

“Yang pasti kesulitan dalam mengolah dialog dan dialek dari setiap aktor. Dialek arek yang sangat puitis dibungkus dengan paribasan dan sanepan sangat sulit,” jelasnya.

Pekan libutan selalu diambil untuk pementasan yang terbagi menjadi 3 tahap ini. Besok, Senin (2/1/2017) merupakan pementasan final mereka dari 1 tahun mempelajari Besutan.

“Kami latihan tiap hari Senin sampai Jumat, kalau ambil liburan sekalian memaksimalkan peran. Karena tidak ada beban kuliah atau apa,”ujarnya.

Meskipun cukup sulit, bagi Ucup dan teman-temannya, memainkan teater tradisi merupakan suatu kebanggan. Pasalnya hal ini dapat ditularkan pada generasibmuda untuk kembali mencintai budaya Indonesia.

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Situs Pemandian Kuno Diduga dari Zaman Majapahit Ditemukan di Jombang

TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Bangunan kuno yang diduga merupakan situs peninggalan sejarah ditemukan warga di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngoro, Jombang.

Bangunan itu menyerupai bangunan bekas kolam atau pemandian besar.
Untuk mengungkap keberadaan situs tersebut, pihak desa sudah melaporkan ke Pemkab Jombang.

Di lokasi bangunan kuno yang diduga sebagai bekas pemandian zaman kuno itu, terdapat struktur bangunan batu bata merah berukuran lumayan besar.

Batu bata ini tersusun rapi di pinggir bekas pertambangan bahan pasir, tanah, dan batu.

Sebagian bangunan kuno sudah rusak, tercecer dari susunan bangunan.

Meski demikian, struktur bangunan yang ditemukan sejak dua bulan lalu masih bisa terlihat, dan menyerupai lokasi pemandian atau kolam besar.

Sebelumnya, sudah ditemukan pula bangunan yang menyerupai gapura di sekitar lokasi tersebut.

Kepala Desa Sugihwaras, Feri Mulyatno menyatakan, adalah warga yang menemukan situs tersebut.

Saat itu, warga sedang menggali tanah pada bekas pertambangan bahan galian C.

“Kami sudah melaporkan temuan tersebut ke pemerintah setempat dan katanya akan diteruskan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Mojokerto untuk di teliti lebih lanjut,” kata Feri Mulyatno, Minggu (1/1/2017).

Menurut Feri, di sekitar lokasi, selain pernah ditemukan bangunan gapura kuno, juga ditemukan banyak uang logam kuno.

“Tapi kalau arca memang tidak ditemukan. Hanya pecahan genting, pondasi batu bata dan uang logam,” ujar Feri.

Situs kuno yang berada di bekas tambang bahan galian C yang saat ini dalam proses reklamasi itu diyakini warga setempat sebagai pemandian atau kolam zaman Majapahit.

 

“Karakter bata merah yang berukuran besar, memang mirip dengan struktur pada candi peninggalan zaman Majapahit yang banyak ditemukan di Mojokerto,” jelas Feri.

Lebih-lebih, sambungnya, berdasarkan cerita turun-temurun yang dipercaya warga setempat, di lokasi penemuan situs kuno itu dipercaya sebagai Kedaton.

“Namun, memang belum ada bukti kuat yang menunjang cerita rakyat tersebut. Belum ditemukan prasasti. Entah kalau digali lebih dalam lagi,” tutur Feri.

Untuk mengungkap sejarah di balik dugaan situs kuno ini, Feri sudah melapor ke Pemkab Jombang, dan berharap peneliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulansegera turun tangan.

Sayangnya, tak ada pengamanan pada situs kuno ini, sehingga berpotensi kian rusak. Sebab, banyak orang berdatangan ingin menonton situs tersebut dari dekat.

 

Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Detik.com