• info@njombangan.com

Monthly ArchiveFebruary 2020

Proses Produksi Kerupuk Ceplok Khas Jombang Dikerjakan Manual

Jombang – Kerupuk ceplok merupakan kerupuk legendaris di Jombang. Rasanya yang legit dominan asin, menjadi ciri khas tersendiri yang tak pernah berubah sejak dulu.

Salah satu rumah produksi kerupuk ceplok yang masih eksis hingga saat ini berada di Gatot Subroto Jombang. Beberapa waktu lalu Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke tempat produksi ini.

Seperti pada umumnya pabrik kerupuk, terlihat ada satu pekerja yang mengaduk dan membanting adonan dalam tepung. Sementara satu pekerja lainnya sibuk dengan mesin. Beberapa wanita paruh baya tengah asyik membawa tampah.

“Ya begini ini proses pembuatan kerupuk. Kita biasa sebut kerupuk ceplok, ada juga yang menyebut kerupuk kelet atau kerupuk lengket,” ucap Sumarsono, 62, pemilik usaha.

Meski terlihat kecil dan sederhana, pembuatan kerupuk ini melalui proses cukup panjang. Dimulai dengan pembuatan adonan yang dilakukan pekerja pria. Setelah jadi, baru adonan dimasukkan mesin. “Tapi mesinnya juga masih manual, hanya dipress saja, semua yang menjalankan juga tetap manusia,” lanjutnya.

Bahan utama dari adonan ini adalah tepung tapioka. Tepung ini  membuat tekstur kerupuk buatan Sumarsono sangat khas. Tentunya dengan bumbu rahasia yang diwariskan dari orang tuanya. Dari mesin, kerupuk kemudian dicetak seukuran tampah. Baru setelah itu dilakukan proses pencetakan.

Pekerjaan inilah yang dilakukan pekerja wanita yang sibuk dengan alat plongnya. “Proses ini yang membuat kerupuk ini dinamakan kerupuk ceplok, karena prosesnya diceplok pakai besi,” tambah Sumarno.

Proses selanjutnya pengovenan. Dia juga menggunakan alat manual berupa lubang pada lantai pabrik. Lubang ini telah dipanasi bagian bawahnya dengan api dan air, yang kemudian ditutup dengan besi pada bagian atasnya. Proses ini berlangsung beberapa menit untuk membuat adonan matang. “Baru setelah itu dijemur sampai benar-benar kering. biasanya produksi hari ini, baru bisa digoreng besok,” tambahnya.

Untuk penggorengan, lanjut dia, biasanya dilakukan sore hari. Proses ini akan dilakukannya sendiri. Penggorengan bukan dengan kompor, melainkan penggunaan tungku kayu. Setelah matang, kerupuk akan berwarna polos, putih namun agak keruh. Namun hal ini yang disebut Sumarno menjadi ciri khas kerupuk ceplok buatannya.

Karena tak menggunakan pemutih juga pewarna, hasil kerupuk memang terlihat tak bersih. “Makanya ada yang bilang juga kerupuk elek karena warnanya seprti ini. Tapi bukti kalau tidak ada pewarna tambahan, sejak ayah saya membuka 1951 dulu tetap,” sambung pria yang telah menjalankan usaha sejak 1980 ini.

Setiap hari, ia bisa mengolah hingga ribuan bungkus kerupuk ceplok berisi lima keping. Kerupuk-kerupuk ini biasanya langsung ludes diborong tengkulak untuk diedarkan di sejumlah warung. “Kalau harganya Rp 1000 tiap bungkus isi lima keping,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Kotokan Daun Racun Khas Wonosalam, Pelengkap Sarapan dan Makan Malam

Jombang – Pernah mencicipi sayur daun racun? Anda bisa datang ke Kecamatan Wonosalam. Tanaman unik yang tumbuh subur di di kaki lereng Gunung Anjasmara ini bisa diolah menjadi oseng-oseng dan kotokan. Biasanya, olahan ini sebagai pelengkap sarapan dan makan malam.

Hawa sejuk menyelimuti Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang pagi kemarin (26/2). Di sebuah warung sederhana pinggir jalan, tercium aroma sedap masakan lokal. Tampak sekelompok ibu-ibu merebus beberapa daun racun yang dipetik dari kebun. Daun racun sendiri didapat dari pohon kastuba.

Meski namanya terdengar berbahaya, namun daun ini sama sekali tak mengandung racun atau toxic maupun senyawa berbahaya lainnya. Daun ini justru sering dimanfaatkan warga setempat untuk olahan kotokan (baca; sayur). ”Tanaman racunan ini tumbuh subur di Desa Panglungan,’’ ujar Yadu’ah, salah seorang pemilik warung yang menjual kotokan daun racun. 

Sejak zaman dahulu, daun racun menjadi menu pelengkap untuk sarapan maupun makan malam. Biasanya, warga mengolah dalam bentuk oseng-oseng maupun kotokan yang dicampur petai, tahu maupun tempe. Namun pecinta kuliner tak perlu repot-repot memasak, sebab di warung Yadu’ah ini sudah disediakan dengan harga terjangkau. ”Murah, seporsi mulai Rp 5 ribu – Rp 10 ribu,’’ tambah ibu dua anak ini.

Yadu’ah dan suaminya, Dwi Cahyo Utomo sudah tiga tahun ini menjual menu sayur daun racun. Begitu tersentuh di pucuk lidah, maka rasa sayur terasa gurih. Aroma langu dan pahit juga hilang setelah direbus dan dimasak dengan bumbu khusus yang sudah disiapkan sejak awal. ”Rasanya seperti daun singkong, namun tidak ada pahit maupun langu,’’ jelas dia.

Awal mula dia menjual menu sayur daun racun karena ingin mengenalkan olahan lokal yang sudah ada turun temurun di Wonosalam. Sejak menu tersebut ada pengunjung dari Sidoarjo maupun Surabaya selalu penasaran dan ingin mencoba. ”Kini mereka menjadi langganan, setiap tahun selalu banyak yang kesini,’’ tandasnya.

Tak hanya itu, tanaman daun racun kini juga mulai banyak dibudidayakan warga. Menyusul banyaknya permintaan dari pecinta kuliner. ”Sekarang kami minta mereka menanam di rumah, untuk antisipasi kalau dapat pesanan banyak,’’ pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Alumni PP Denanyar Usulkan Gelar Kepahlawanan untuk KH Bisri Syansuri

Jombang – Puluhan foto semasa hidup KH Bisri Syansuri tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar dipamerkan kemarin (24/2). Ribuan santri berbondong-bondong untuk melihat dari dekat kegiatan Kiai Bisri berjuang, sebelum wafat 41 tahun silam.

Pantauan di lokasi, beberapa rombongan santri perempuan tampak antusias melihat foto yang dipajang di lantai 2 Aula KH Bisri Syansuri. Total ada 69 foto. Beberapa foto yang dipajang itu tidak hanya foto kegiatan di Ponpes Denanyar, melainkan foto saat kegiatan DPR RI.

Semasa hidup, sosok Kiai Bisri dikenal sosok yang teguh dalam memegang prinsip. Baik prinsip fikih maupun pemahaman pendapat. ”Beliau terkenal teguh dalam memegang prinsip fikihnya,” ujar ujar Zufa Al Husna, salah satu cicit KH Bisri Syansuri usai melihat foto.

Seperti pendapat kiai Bisri menyikapi drum band, ia menganggap seorang perempuan tidak boleh karena ada kemaksiatan yang diumbarkan. Namun, pendapat KH Wahab Chasbullah pendiri NU masih diperbolehkan asal tidak aneh-aneh. ”Beliau berdua memiliki pendapat masing-masing namun sebagai sahabat hal itu tidak masalah,” sambungnya.

Selain sebagai tokoh NU, lanjut dia, kiai Bisri juga dikenal sebagai seorang politisi yang aktif memperjuangkan nasib rakyat kecil di DPR RI. Yang paling dikenang adalah perjuangan tentang pentingnya keluarga berencana. ”Hal itu dapat dilihat dari foto perjuangan beliau,” tegasnya.

Sementara, Aziz Ja’far, Ketua Umum Ikatan Alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif (IKAPPMAM) di Haul Kiai Bisri ke 41, akan diusulkan gelar kepahlawanan ke Kemensos RI. ”Pengusulan gelar kepahlawanan Mbah Bisri sudah diproses,  dokumen harus dilampirkan, contohnya foto-foto,” ujar dia.

Usulan tersebut murni inisiatif alumni yang didukung keluarga pondok. Saat ini usulan sudah dikaji di Dinas Sosial Jombang untuk selanjutnya diajukan ke Dinsos Jatim hingga menunggu keputusan Kemensos. ”Nanti kami akan diundang untuk presentasi, selanjutnya akan diproses di Kementrian Sosial,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Dari Kulit Afkir, Produksi Cecek Gambiran Capai Tiga Kuintal Per Hari

Jombang – Kulit sapi dan kambing memang memiliki nilai jual tinggi. Selain digunakan untuk bahan dasar industri tekstil, kulit juga bisa digunakan sebagai bahan pembuatan sandal sepatu.

Namun demikian, tidak semua kulit sapi digunakan bahan produksi.  Sebab, kulit sapi juga banyak diburu untuk bahan pembatan cecek.  Salah satunya yang digeluti Juwati, 50, warga Desa Gambiran, Kecamatan Mojoagung.

Meski banyak memanfaatkan kulit afkir (sisa lebih produksi, Red), namun dalam sehari, dari rumah priduksinya itu dia bisa menghasilkan 3 kuintal cecek siap jual. ”Biasa ambil kulit afkir yang tak bisa diolah pabrik tekstil. Makanya biasanya yang datang lebih banyak bagian kepala, buntut, kaki sama bagian perut yang potongan kecil. Karena selain kulit itu kan biasanya bisa diolah jadi bahan lain,” lanjutnya.

Proses pengolahan kulit sapi untuk dijadikan cecek.

Proses pengolahan kulit sapi untuk dijadikan cecek. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

Menurut Juwati, proses pembuatan cecek memang membutuhkan waktu relatif panjang. ”Kelihatannya sederhana bentuknya, namun prosesnya panjang, jadi pekerjaannya memang cukup njelimet,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Proses awal dimulai dari pengolahan bahan dasar bahan pembuatan cecek, yakni kulit sapid an kambaing. Pertama-tama,  dia harus mencuci dan merebus kulit. Proses ini cukup memakan waktu dan butuh kesabaran.

Setelah selesai proses perebusan, proses selanjutnya penjemuran. ”Harus dikeringkan terlebih dulu. Dipanaskan di terik matahari,” bebernya. Selesai proses penjemuran, selanjutnya dilanjutkan proses  pembakaran. Tujuannya menghilangkan bulu yang menempel pada permukaan kulit sapi.

Tak berhenti sampai di situ, sambil menunggu proses pembakaran selesai, Juwati dibantu delapan karyawannya menyiapkan sejumlah tungku besar untuk tempat merebus bahan dasar cecek itu. ”Dibakar itu biar bulunya hilang, setelah itu direbus lagi satu malam, biar permukaanya lentur,” lanjutnya.

Keluar dari tungku, penampakan cecek sudah mulai berwarna kecoklatan, namun perlu pembersihan dan perebusan sekali lagi sampai akhirnya cecek ini benar-benar bersih dan siap jual.

Dalam sehari, rumah produksi Juwati bisa memproduksi hingga sebanyak 3 kuintal cecek. ”Ya tergantung, kalau sedang ramai bisa sampai mencapai 3 kuital, tapi kadang-kadang kalau sepi juga sedikit, tidak sampai satu kuintal juga pernah,” lontar ibu empat anak ini.

Harga Murah, Paling Mahal Bagian Kulit Kepala

TERHITUNG sekarang, usaha pembuatan cecek yang digeluti Juwati sudah mencapai 22 tahun. Produknya pun banyak diburu para pelanggaan. Tidak hanya di wilayah Jombang,banyak konsumennya juga datang dari luar Kabupaten Jombang.

”Kuncinya kita jaga kualitas. Nggak pake bahan aneh-aneh, sehingga merugikan pelanggan,” terang Juwati. Menurut Juwati, selain menjaga kualitas, salah satu yang menjadikan permintaan cecek tinggi, yakni harga jual terjangkau.

Untuk satu kilo produk ceceknya, Juwati biasa menjual dengan harga antara Rp 8 ribu-Rp 17 ribu. ”Memang harganya bisa berbeda, bagian kulit juga mempengaruhi harga, sebab rasanya berbeda,” imbuhnya.

Misal cecek yang dihasikan dari kulit bagian ekor dan perut sapi, harganya cukup terjangkau. Selain rasa, juga memiliki permukaan lebih tipis. ”Kalau untuk yang tipis, dari buntut, atau perut bawah, itu biasanya lebih murah,” rincinya.

Berbeda dengan cecek yang dihasilkan dari bahan kulit di bagian kepala, memiliki permukaan yang lebih tebal dan rasanya lebih mantap. ”Kalau cecek yang bagus, bagian kepala misalnya, itu bisa terjual Rp 17 ribu per kilogram,” bebernya.

Selain mendatangkan pundi-pundi uang, Juwati juga bisa memberdayakan sejumlah warga sekitar. ”Saya punya delapan karyawan. Awalnya dulu saya kerjakan sendiri, belum punya karyawan,” bebernya.

Untuk menjual produk, Juwati sudah tak kesulitan. Pasalnya, setiap harinya sudah banyak konsumen yang antri mengambil produk ceceknya. Bahkan tidak hanya di local Jombang saja, produk cecek Juwati juga sudah merambah sjeumlah pasar di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur. ”Kalau Jombang sendiri sudah penuh mungkin. Produk saya ini dijual ke  Kediri, Gresik, Sidoarjo, dan beberapa kota lain di Jawa Timur,” pungkas Juwati. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Tangan Kreatif Dicky Santoso Sulap Limbah Kayu Jadi Miniatur Truk

Jombang – Kerajinan miniatur mobil di Kabupaten Jombang semakin digandrungi masyarakat. Kali ini dilakukan Dicky Santoso, 23, pemuda asal Desa Wringinpitu, Kecamatan Mojowarno yang mengolah potongan-potongan kayu bekas menjadi miniatur truk.

Maklum, di desa ini hampir semua rumah mempunyai usaha mebel. Tak heran banyak tumpukan kayu yang tidak terpakai di daerah itu. Melihat banyaknya sisa kayu yang tak terpakai, mendorong Dicky untuk memanfaatkannya.

”Saya masih baru membuat truk ini,” ujarnya. Ide muncul untuk membuat truk ini berawal dirinya melihat banyak yang membuat miniatur truk berbahan kayu. Lantaran, di daerahnya banyak sekali kayu bekas mebel yang tidak digunakan.  

”Pertama kali ya sangat sulit membuatnya. Namun, sekarang sudah terbiasa ya cukup mudah,” katanya.

Menurutnya, paling rumit pada saat membuat kepala truk. Karena harus sedetail mungkin mulai dari membuat jok dan setir di dalamnya. Selain itu memasang kaca dan lampu.

“Untuk kacanya sendiri menggunakan mika agar mudah ditekuk,” katanya. Ia menambahkan, agar kualitas truk yang dibuat terjamin dan sangat kuat, dia menggunakan  kayu jati. Tak heran mainan buatannya terlihat sangat kokoh dan bisa dinaiki orang yang mempunyai berat badan sampai 70 kilogram.

”Saya buat semirip mungkin, saya kasih per juga seperti aslinya,” imbuhnya. Untuk membuat satu miniatur truk,  membutuhkan waktu sampai satu minggu. Kualitas hasil karyanya tetap dinomorsatukan. Tak heran, dirinya mematok harga minimal Rp 1 juta untuk satu miniatur truknya.

”Kalau ukuran yang lebih besar ya harganya beda lagi,” ungkapnya. Saat ini dirinya masih mengandalkan media sosial untuk penjualan.

Selain itu, dia sering ikut komunitas miniatur truk. Sehingga miniatur truknya bisa semakin dikenal orang banyak. ”Ya kan ini juga ada komunitasnya, kadang-kadang berkumpul di Kediri. Sehingga, saya juga pasarkan melalui komunitas itu,” pungkasnya. (*)

(jo/yan/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Kesenian Sandur Manduro, Cerita dan Topeng Diwariskan Turun-temurun

Jombang – Kesenian Sandur Manduro di  Desa Manduro,  Kecamatan Kabuh, yang sudah berusia  ratusan tahun, tetap bertahan hingga kini. Pemain dan penerusnya pun masih menjaga kelestarian cerita dan topengnya.  

Sebuah rumah di Dusun Guwo, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh menjadi saksi. Hanya di rumah milik Warito ini, topeng-topeng Sandur Manduro dan alat pementasannya disimpan.

Keranjang kotak besar kusam, juga jadi saksi karena sebagai tempat menyimpan delapan topeng berwajah manusia. Topeng Klono, Topeng Bapang, dua Topeng Panji dan dua Topeng Ayon-ayon diletakkan lengkap dengan beberapa aksesori sayap dan gelang.

Selain itu, ada sebuah karung, meski bukan karung yang berusia ratusan tahun, namun isi di dalamnya juga topeng kuno. Topeng Jepaplok, Manuk, Celeng dan Topeng Sapen yang mewakili hewan macan, burung, babi dan sapi disimpan di karung ini. “Kalau alat musiknya juga ada di dalam, disimpan juga,” ucap Warito kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Menurut Warito, topeng-topeng ini  kondisinya masih terawat hingga kini. Meski mulai terdapat beberapa kerusakan, ia mengaku tetap menggunakan topeng ini untuk pentas setiap kali ada tanggapan. “Semuanya masih asli, khususnya pada topengnya ini, ini sejak buyut masih dipakai. Jadi dulu dari buyut, ke mbah, ke bapak saya kemudian ke saya ini, saya turunan ke empat yang melanjutkan,” lanjutnya.

Maklum, kesenian yang kini dipimpinnya ini adalah satu dari dua kesenian Sandur Manduro yang hingga kini bertahan. Sayang, satu kelompok memilih berhenti beroperasi dan menjual seluruh topeng lamanya.

“Ya kan dulu sempat sepi sekali, mati suri lah istilahnya, jadi awalnya ada dua, kemudian yang satu dijual, tapi karena saya dapat pesan untuk tidak boleh menjual, ya saya pertahankan sampai sekarang,” lanjutnya. Hal inilah yang membuat keseniannya ini masih orisinil hingga kini.

Selain topeng, yang hingga kini masih dipertahankan adalah jalan cerita dalam Sandur Manduro. Warito menyebut, kendati bisa dilakukan variasi pada beberapa titik pementasan, secara umum pementasan Sandur Manduro pimpinannya tak berubah sejak dulu.

Pertunjukan biasanya diawali dengan  Tari Klono, dilanjut dengan Tari Bapang, Tari Gunungsari, Tari Panji dan Ayon-ayon. Ditutup dengan  lawak pada bagian sapen. “Nah di bagian sapen ini yang ada improvisasinya biasanya, lainnya tetap karena kan pakem, dan pamakai topeng tidak berdialog,” tambah mantan Sekdes Manduro ini.

Hanya yang berubah, pada sisi pemakaian bahasa. Karena yang mengundangnya tak melulu dari Desa Manduro yang biasa memakai Bahasa Madura, Warito menyebut bahasa dalam pertunjukan pun seringkali disesuaikan dengan wilayah pengundang.

“Jadi kalau yang mengundang dominan Jawa ya pakai Bahasa Jawa. Kalau pengundangnya orang Manduro ya pakai Bahasa Madura. Tapi tetap tidak merubah jalan cerita, karena ini sudah pakem dan diwariskan,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, warga Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang merupakan keturunan orang Madura, yang sejak ratusan tahun lalu hijrah ke Jombang. Setelah berhasil mbabat alas di Kecamatan Kabuh, mereka menamakan desanya Desa Manduro. Saat ini sebagian warganya masih menggunakan Bahasa Madura. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Tahu Bulat Ploso; Gurih Renyah, Resep Bumbu Khusus, Harga Terjangkau

Jombang – Salah satu produk industri rumahan yang dimiliki Kabupaten Jombang adalah IKM tahu bulat. Zaenal Abidin, 63, warga Dusun/Desa/Kecamatan Ploso sudah 20 tahun lebih menggeluti usaha rumahan ini. Hingga kini masih eksis.

Tak sulit menemukan rumah produksi tahu bulat milik Zainal. Lantaran rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter dengan bibir tanggul sungai Brantas.

Zaenal memanfaatkan sisa lahan kosong di belakang rumahnya untuk tempat memproduksi tahu bulatnya.

Kepada Jawa Pos Radar Jombang, dia pun menceritakan awal mula dia memproduksi tahu bulat yang sudah dirintisnya sejak 1990. “Jadi ini kan sebenarnya sisa dari irisan tahu goreng. Ternyata kok peminatnya banyak, jadi kita teruskan sampai sekarang,” terang Zaenal.

Menurut zaenal, proses pembuatan tahu bulat terbilang cukup mudah. Mula-mula potongan tahu yang tak simetris dikumpulkan dalam sebuah karung. Setelah terkumpul, potongan-potongan tahu itu kemudian diperas untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat pada potongan tahu.

Untuk proses ini, Zaenal memanfaatkan sejumlah bongkahan batu. “Ini untuk memeras air dalam tahu. Sebab, kalau untuk tahu bulat kan airnya harus sedikit, biar mudah dibentuk,” lanjutnya.

Proses ini memakan waktu sekitar dua jam. Sebab, dia harus memastikan kandungan air dalam potongan tahu benar-benar keluar.

Proses selanjutnya, yakni menghaluskan potongan dengan cara digiling. Hal ini dilakukan agar teksturnya menjadi lebih empuk. “Setelah proses penggilingan selesai, baru kemudian diberi bumbu, biar rasanya tidak hambar. Sebab, tahu bulat ini kan makanan camilan,” sambung Zaenal.

Untuk bumbu ini, Zaenal bener-bener menaruh perhatian. Sebab, jika racikan bumbunya maksimal, maka akan menghasilkan tahu bulat yang istimewa. Sejumlah bahan bumbu di antaranya, garam, hingga beberapa bumbu lainnya yang dia rahasiakan. ”Bumbu ini menentukan rasa. Jadi harus dari bahan pilihan,” bebernya.

Selanjutnya, keseluruhan bumbu tersebut dicampur pada adonan tahu dan diaduk hingga seluruhnya merata. Baru setelah itu, proses selanjutnya dibentuk menjadi bulatan-bulatan.

Prosesnya pun masih serba manual. Hanya mengandalkan tangan kosong, sedikit demi sedikit adonan tahu diputar-putar pada bagian permukaan piring hingga membentuk bulatan-bulatan. Besar kecilnya tergantung selera. “Biasanya kita buat dua macam ukuran. Ada ukuran besar dan kecil, setelahnya tinggal proses penggorengan,” lontarnya.

Dibantu istri, anak dan satu karyawannya, setiap harinya rumah prosuksi Zaenal bisa menghasilkan tiga keranjang besar tahu bulat. Untuk pemasaran produknya, Zaenal sudah punya sejumlah langganan tetap di sejumlah pasar.

Harga tahu bulat Zaenal cukup terjangkau. Untuk satu plastik berisi 10 butir tahu bulat, biasa dijual Rp 2.500 untuk tahu berukuran kecil. Dan untuk tahu bulat ukuran besar dipatok harga Rp 5.000. ”Jual ke pasar, kadang juga ada orang yang pesan untuk hajatan juga,” singkatnya.

Jumlah IKM Tahu Bulat Ploso Terus Menyusut

PADA 1990 an, wilayah Dusun/Desa/Kecamatan Ploso bisa dikatakan menjadi sentra Industri Kecil Menengah (IKM) tahu bulat. Sedikitnya lebih dari sepuluh warga yang menggeluti IKM tahu bulat.

Seiring berjalannya waktu, jumlahnya kian menyusut. Saat ini diperkirakan tinggal separo. ”Kalau dulu banyak warga sini yang buat tahu bulat, mungkin kalau sebelas orang ada. Sekarang terus berkurang, mungkin tinggal 5 – 6 saja yang masih bertahan,” bebernya.

Dia pun tak mengetahui persis penyebab menyusutnya jumlah pengusaha tahu bulat. Bisa jadi disebabkan kondisi pasar yang kurang bersahabat. “Kalau disebut berkurang ya berkurang. Produksi memang masih ada, cuma kalau dibanding sepuluh tahun yang lalu sudah beda jauh,” ucap Zaenal.

Menurutnya, pada era 1990an, jumlah pengusaha tahu bulat di wilayah kecamatan lain masih minim. Saat ini, banyak warga di kecamatan lain juga mengembangkan usaha produksi tahu bulat. ”Jadi pasarnya semakin sempit, sebab di wilayah lain sudah banyak yang juga buat tahu bulat mungkin,” bebernya.

Bahkan konsumen tahu bulat Zaenal sampai dipasarkan ke luar kota. ”Dulu kirim sampai ke Surabaya juga, sekarang hanya di wilayah sekitar Ploso saja,” bebernya. Meski begitu, dia tetap bersemangat melanjutkan usaha yang sudah menjadi mata pencaharian sehar-hari keluarganya tersebut. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Produksi Cincau Hitam di Plandi Jombang Puluhan Tahun Tetap Eksis

Jombang – Sebuah rumah di ujung timur Dusun/Desa Plandi, Kecamatan/Kabupaten Jombang terlihat berbeda dari rumah lain. Di depan rumah, terlihat kulit kayu kering menumpuk. Mendekati rumah, tercium aroma dedaunan sangat khas.

Terlihat dua pekerja sibuk di samping rumah. Satu orang terlihat mengaduk cairan hitam di dalam drum besar. Satu orang lainnya, menjaga nyala api pada tungku di bawahnya. Beberapa menit kemudian, orang di atas drum mulai mengambil air hitam itu dan menaruhnya di kaleng kotak.

Sementara, pekerja sebelumnya yang menjaga tungku, ikut mengaduk air dalam kaleng. Sejurus kemudian ia ikut menata kaleng berisi air hitam tersebut. “Ini sedang membuat janggelan, karena kita tidak pakai mesin, semuanya harus dikerjakan manual, masih tradisional,” ucap Abdul Rokhim, pemilik usaha janggelan.

Lebih dari 20 tahun, industri rumahan di Plandi Jombang eksis membuat janggelan atau cincau hitam sampai sekarang. Padahal, produksinya masih gunakan cara manual tanpa mesin.

Proses pembuatan janggelan disebutnya cukup rumit. Dimulai dari daun janggelan yang harus disiapkan terlebih dahulu. Kondisi daun harus sangat kering sebelum diproses. “Biasanya daun ini kita datangkan dari Ponorogo, Ngawi dan beberapa kota lain, di Jombang sendiri tidak ada,” lanjutnya.

Daun yang sudah kering kemudian direbus selama beberapa kali. Rebusan pertama untuk mengambil sari daun janggelan. Sedangkan rebusan kedua dilakukan untuk mencampur sari janggelan dengan tepung kanji agar teksturnya bisa kenyal. Dan rebusan terakhir, dilakukan untuk mematangkan janggelan sampai benar-benar sempurna.

“Prosesnya bisa sampai empat jam, setelah siap, baru dituang di wadah kotak itu, untuk dicetak jadi kotak. Baru bisa dijual keesokan harinya,” tambahnya. Produk rumahan miliknya hanya dikerjakan seorang diri dengan dibantu anaknya M Syarifuddin, beserta dua pekerja.

Meski begitu, Rokhim menyebut setiap hari bisa produksi hingga 20 kaleng janggelan. Bahkan, jumlah ini bisa lebih banyak ketika pesanan membeludak. “Kalau hari biasa 20 kaleng, kalau bulan Ramadan biasanya permintaan naik, jadi produksinya bisa dua kali lipat,” tambahnya.

Setiap hari, ia dan beberapa anggota keluarganya juga memasarkan sendiri produk janggelan ke beberapa pasar tradisional. “Kalau harga biasanya Rp 40 ribu satu kaleng, ya dijual sendiri, ditunggui sendiri di pasar,” pungkas dia. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Tak Lagi Diminati, Kerajinan Kipas Bambu di Jombang Semakin Meredup

J

OMBANG – Di Dusun Kedungbanteng, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang dulu terkenal sebagai sentra pembuat kipas bambu. Namun kini jumlah perajinnya semakin habis. Hanya satu perajin yang masih bertahan.

“Dulu satu desa semua bikin kipas bambu, tapi sekarang tidak ada, hanya tinggal saya yang menganyam, lumayan untuk ngisi waktu kosong,” ungkap Ngasiyah, 63, salah seorang warga Dusun Kedungbanteng.

Berdasarkan penuturan warga, satu-satunya yang masih bertahan hanya Ngasiyah yang rumahnya berada di gang kecil. Di teras rumahnya, penuh dengan tumpukan bambu yang siap dianyam. Saat ditemui koran ini ia juga sedang berada di kebun untuk membelah bambu.

“Daripada nganggur tidak ngapa-ngapain, begini saja sambil momong cucu, yang lain sudah tidak ada yang meneruskan,” tuturnya. Ngasiyah dengan telaten membelah bambu yang sudah dipotong. Dibelah tipis-tipis hingga menjadi banyak. Bambu basah setelah dibeli langsung dibelah. Karena kalau kering, proses pembelahan bambu akan sulit.

“Kalau bambunya terlanjur kering harus direndam dulu lama, kalau kering ngeratnya sulit,” ungkap ibu empat anak ini. Setelah itu, potongan bambu dijemur hingga kering. Proses penjemuran berlangsung kurang lebih satu hari. Setelah kering, bambu-bambu tersebut kemudian diberi warna. Ada merah, hijau, dan kuning. “Dulu waktu masih banyak, saya bikin banyak warna ada biru oranye, tapi sekarang nyari warna biru susah, warna oranye juga kelamaan, yang gampang-gampang saja,” tambahnya.

Pemberian warna dilakukan dengan cara direbus. Tidak lama, cukup lima menit, bambu kemudian dijemur lagi hingga kering. Setelah kering, bambu itu dibelah lagi kurang lebih setengah sampai satu sentimeter. Baru kemudian dianyam dengan memadukan tiga warna tersebut.

Untuk menganyam satu kipas, Ngasiyah hanya butuh waktu kurang lebih lima menit. Tangannya cukup cekatan. Ia menganyam dengan cepat dan membentuk pola yang bagus dengan perpaduan warna. Dalam sehari, dijalani dengan santai ia bisa menghasilkan 100 anyaman. “Tapi kalau lagi malas ya tidak sampai 100,” tambahnya lagi.

Setelah terkumpul 100, hasil anyaman kipas itu kemudian dijual ke pengepul untuk dirapikan sebagai proses terakhir. Untuk diberi kain di sisi samping dan gagang. “Sebetulnya bisa kasih sendiri, tapi lama dan modalnya juga besar,” imbuhnya. Per 100 anyaman kipas mentah biasanya dibeli dengan harga Rp 40 ribu.

Beberapa kali ia juga mendapat tawaran untuk membuat keranjang, atau kerajinan dari bambu lain. Tapi ia menolak dengan halus. Meski harga keranjang lebih mahal, namun ia tetap setia dengan kipas bambu yang bisa dikerjakan dengan santai. “Enak kipas saja, tidak terlalu ribet,” urai dia.

Selain menjual kipas, ia juga sering didatangi siswa untuk membeli bambu yang sudah diwarna. Bambu tersebut biasanya dipakai untuk praktik kerajinan di sekolah-sekolah. “Ada yang beli bambu saja ya saya jual, kemarin ada yang beli sampai Rp 100 ribu. Tapi kadang anak sekolah datang pingin lihat prosesnya saja,” jelasnya.

Ia tak ingat, sejak usia berapa belajar menganyam bambu. Namun yang pasti sejak ia kecil sudah diajarkan menganyam oleh orangtuanya. Kini, bahkan tak ada lagi yang berminat melestarikan kipas bambu di desanya. Termasuk anak muda  tak tertarik belajar menganyam.

“Kalau empat tahun terakhir jumlah yang bikin anyaman semakin berkurang, lama-lama habis, sekarang sama sekali tidak ada. Yang tua saja tidak mau dan yang muda malah tidak mau belajar sama sekali,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Budidaya Cacing ala Sulaiman; Tak Butuh Tempat, Hasilnya Menggiurkan

Jombang – Sebagian orang menganggap cacing sangat menjijikkan. Namun bagi Sulaiman, warga Dusun Surak, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, hewan ini sangat berharga karena bisa mendatangkan rupiah.

Di halaman rumah sederhana milik Sulaiman, diletakkan puluhan kotak berukuran sekitar 1×2 meter yang sudah diisi tanah. Di dalam kotak itu berisi ratusan bahkan ribuan cacing. Bapak satu anak ini harus berani membuang jauh-jauh rasa jijik terhadap cacing.

”Yang saya ternak ini cacing jenis fosfor, karena sangat mudah hidup,” ungkapnya sembari memilah cacing yang akan dijual. Pertama, dia mulai beternak cacing 2011 silam. Saat itu  dirinya mencari cacing untuk dijual ke tempat-tempat pemancingan dan penjualan burung.

”Dulu itu saya hanya mencari di sawah atau serapan limbah rumah tangga,” bebernya. Dalam satu hari, dia hanya bisa memperoleh 5-10 kilogram cacing. Lambat laun, permintaan cacingnya meningkat sehingga dia kewalahan kalau harus  mencari di sawah atau sampah rumah tangga.

”Kemudian saya berpikir ternak cacing sendiri,” ceritanya. Sebagaimana pelaku usaha yang lain, kali pertama beternak cacing juga tidak langsung berjalan mulus. Media tanah yang digunakan sering tidak cocok dengan cacing yang diternaknya. Sehingga cacingnya tidak bertambah banyak, justru bibit cacing semakin menyusut.

”Akhirnya saya cari tanah dengan campuran kotoran hewan ternak, biasanya di Papar Kediri. Tanah tersebut cocok dengan cacing,” terang dia. Saking cocoknya, bibit cacing sebanyak satu kilogram yang disebar di dalam kotak-kotak tersebut, bisa berkembang hingga 10 kilogram. Yang menguntungkan, perkembangan cacing yang cepat itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.

Dia menyebut, ternak cacing sangat mudah dan tidak ada perawatan khusus. Bahkan, makanan cacing sangat mudah  dicari dengan harga yang murah. Yaitu ampas tahu. ”Kalau musim hujan ini malah gampang sekali, tidak perlu perawatan khusus,” katanya.

Akan tetapi, pada musim kemarau, cacing peliharaannya setiap pagi dan sore harus disiram dengan air. Selain itu, Sulaiman harus bolak-balik cacing agar tidak kepanasan. ”Kalau kepanasan cacing jadi menyusut, tapi kalau musim penghujan seperti ini harga cacing biasanya turun,” ungkapnya.

Harga jual cacing sendiri, diakuinya memang cukup mengiurkan. Pria yang kerap disapa Cak Leman ini menjual dengan harga Rp 100 ribu per kilogram cacing. ”Kalau musim hujan harganya turun Rp 10 ribu, karena memang cacing sangat mudah berkembang,” imbuh dia.

Penjualan cacing pun tidak perlu dirisaukan karena dirinya sudah memiliki pelanggan yang siap mengambil. Selain dijual di tempat penjualan burung dan tempat pemancingan, Sulaiman juga mempunyai pelanggan khusus dari luar kota. ”Biasanya yang banyak dari Gresik dan Surabaya,” pungkasnya. (*)

(jo/yan/mar/JPR)