• info@njombangan.com

Monthly ArchiveJanuary 2020

Desa Jantiganggong Perak, Salah Satu Kampung Perajin Bambu di Jombang

Jombang – Perajin bambu di Jombang lumayan banyak. Satu di antaranya yang masih eksis di Dusun Bermanik, Desa Jantiganggong, Kecamatan Perak. Sejak puluhan tahun warga setempat menekuni kerajinan itu.

Waktu sudah memasuki siang hari. Aktivitas warga di Dusun Bermanik, Desa Jantiganggong, Kecamatan Perak nampak masih bersemangat. Rata-rata mereka tengah sibuk menghaluskan potongan bambu.

Beberapa di antaranya terlihat di halaman depan rumah membuat kandang ayam. Ada juga yang merangkai bambu untuk dibuat leyek atau semacam kursi bangku dari bambu. Ya, setiap hari aktivitas itu mereka lakukan. Maklum, di dusun setempat dikenal menjadi sentra perajin berbahan bambu. Di antaranya produk kandang ayam, kelinci hingga leyek.

Salah satunya Iswandi, yang mengaku sudah 20 tahunan menekuni kerajinan itu. “Sudah dari mbah-mbah saya dulu buat, sekarang tinggal neruskan,” katanya.

Saking lamanya, mayoritas warga setempat membuat kerajinan itu. “Pokoknya setiap rumah pasti ada yang buat, terkadang ada yang buruh. Kalau dihitung ada 10 orang lebih,” sebut dia.

Sembari melanjutkan aktivitasnya diceritakan, untuk kerajinan yang dia buat seperti perajin lainnya. Yakni leyek bambu dan kandang. “Yang paling banyak memang buat kandang, ada yang buat kandang ayam, kelinci. Pokoknya kandang binatang,” tutut lelaki usia 39 tahun ini.

Sedangkan leyek atau semacam dipan bambu tergantung perajin. “Ya ada yang buat kalau ada pesanan, kalau saya ini mesti buat. Soalnya sudah ada bagian jual sendiri,” beber dia.

Miliknya ada dua dipan yang siap dijual. Keduanya diletakkan di halaman depan rumah, menunggu diambil. Seluruhnya terbuat dari bambu ori. Menurut Iswandi, mayoritas bambu yang dipergunakan yakni bambu jenis ori. Karena dirasa lebih kuat dibanding bambu lainnya. “Buat bayang ini semua pakai bambu ori, untuk kandang sekarang sudah ada yang pakai kayu. Tetapi buat tiangnya saja, yang lain masih tetap pakai bambu,” terang bapak dua anak ini.

Bambu itu didapat dari berbagai daerah. Sementara perajin masih mengandalkan wilayah Jombang. “Kalau ini baru saja beli dari Bareng satu truk. Buat saya sama dijual lagi bambunya,” papar dia sembari memperlihatkan bambu ori.

Proses pembuatan leyek maupun kandang tak ada perbedaan. Sama persis pembuatan pada umumnya. Biasanya butuh waktu sekitar dua sampai tiga hari. “Dibersihkan dahulu, lalu dipotong sesuai ukuran. Kemudian dijemur satu hari, berikutnya baru dibuat. Pokoknya tergantung bahan, kalau sudah siap semua, bisa cepat selesai,” papar dia.

Harganya pun bervariatif, tergantung ukuran. Milik Iswandi misalnya, dipan bambu berukuran 170X70 centimeter ini dihargai Rp 80.000. Sedangkan kandang ayam paling murah dibandrol Rp 35.000. “Bayang yang ada sandarannya lebih mahal sampai Rp 90.000. Itu harga ke yang bagian jual, kalau ke konsumen langsung itu bisa sampai Rp 100.000 lebih,” rinci Iswandi.

Untuk pemasaran kata dia, rata-rata sudah ke berbagai daerah. Dia yang dulunya pernah menjadi pemasaran, pernah menjual hingga keluar Jombang. “Semua tergantung yang jual, mau dilarikan ke mana barangnya. Ada yang ke Mojokerto, Madiun, sampai ke Jember. Tetapi kalau yang jauh biasanya pesanan saja, kalau dijual keliling masih di Jombang,” pungkas dia. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Yuk Ikut Lomba Esai Pembangunan Njombangan (LEPEN) Tahun 2020!

Akhirnya lomba yang kalian tunggu-tunggu hadir kembali. Melalui LEPEN 2020, Njombangan ingin menginisiasi sebuah kampanye yang didedikasikan untuk wanita dan anak-anak. Tema yang kami usung adalah “Mewujudkan masyarakat yang memiliki pemahaman, kesadaran, dan komitmen akan pemenuhan hak serta potensi wanita dan anak-anak”. Hal ini dilandasi oleh adanya data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait jumlah wanita yang sama besarnya dengan populasi pria, termasuk di wilayah Kabupaten Jombang. Sehingga, hal ini mengindikasikan pentingnya peran wanita, layaknya kaum laki-laki, untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan baik. Kontribusi ini tidak sebatas di ranah domestic atau keluarga, tapi juga domain yang lebih luas seperti lingkungan masyarakat, maupun di kancah internasional.

Selain itu, pemenuhan lingkungan yang layak dan nyaman untuk anak juga penting untuk diperhatikan. Mengingat, peradaban saat ini masih belum mampu menyediakan ruang yang ramah terhadap wanita dan anak-anak. Oleh karena itu, Njombangan berharap banyak anak muda, khususnya yang memiliki keterikatan dengan Jombang, untuk memberikan sumbangsihnya melalui lomba esai ini.

Teman-teman bisa memilih sub-tema berikut sebagai topik tulisan:

  1. Masyarakat anti kekerasan fisik maupun non fisik terhadap perempuan;
  2. Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) untuk akses wanita dalam dunia politik dan pembuatan kebijakan;
  3. Pendidikan keluarga dan peran wanita dalam mewujudkan keluarga yang ideal;
  4. Wanita, pelestarian budaya, dan nilai-nilai luhurnya di era globalisasi;
  5. Mendorong pemikiran kritis dan partisipasi wanita dalam pembangunan;
  6. Pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak wanita dan anak di berbagai bidang.

Silakan mengirimkan karya orisinil kalian melalui link berikut atau kalian juga bisa mengirimkan e-mail ke njombangan@gmail.com dengan judul LEPEN 2020_Nama. Ditunggu karya terbaiknya!

Salam,

Njombangan

Di Tangan Warga Pulogedang, Buah Salak Disulap jadi Dodol dan Es Krim

Jombang – Selain di Kecamatan Bareng, Jombang juga memiliki sentra perkebunan salak lainnya, yaitu di Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang. Tak hanya sebagai penghasil buah salak, Desa Pulogedang juga terkenal dengan berbagai macam produk makanan hasil olahan salak.

“Disini salak bisa diolah menjadi banyak jenis makanan, tapi alatnya masih terbatas jadi yang dibuat warga yang gampang-gampang saja,” ungkap Zumrotul Mufidah, salah satu petani salak yang juga menekuni makanan olahan salak.

Banyak ragam olahan buah salak yang ditekuni petani di Pulogedang. Di antaranya minuman sari salak hingga es krim salak termasuk dodol salak. Zumrotul sendiri memilih membuat dodol salak dan minuman sari salak saja. Pasalnya, dua jenis makanan olahan tersebut paling mudah dibuat dan serta alatnya terjangkau.

Dodol misalnya, cara membuatnya cukup mudah, salak yang sudah dikupas dari kulitnya selanjutnya direbus dan dihaluskan. Kemudian dicampurkan dengan tepung ketan, gula dan santan.

Hanya saja membuat dodol membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih empat jam mengaduk olahan dodol.

Jika dilihat dodol salak tidak ada bedanya dengan dodol yang lain, berwarna coklat kehitaman. Hanya saja ketika dirasakan, rasa salak sudah sangat terasa, masam-masam manis.

dodol salak yang sudah jadi langsung dikemas dalam kemasan plastik saat masih hangat. “Kalau terlalu dingin nanti malah susah digulung kalau masih hangat pengemasannya mudah,” tambah ibu dua anak ini.

Dodol salak sudah cukup terkenal di kawasan Pulogedang, biasanya dipakai untuk hantaran, oleh-oleh hingga untuk lomba.

Sari salak malah lebih mudah lagi cara membuatnya yaitu dengan cara merebus salak kurang lebih 15 menit, diblender kemudian ditambahkan air, dan gula.

Sari salak rasanya sangat segar. Bahkan sari salak menjadi minuman sehari-hari siswa pulang sekolah dan gampang ditemui di toko-toko sekitar Pulogedang.

Harganya juga cukup murah, satu cup kecil sari salak hanya dijual Rp 1.000, sedangkan untuk ukuran botol kecil hanya Rp 3 ribu saja. Sedangkan dodol salak dikemas dalam kemasan mika, satu mika diisi empat dodol yang dijual dengan harha Rp 5.000.

Sebetulnya, banyak olahan salak yang bisa dibuat, kurma salak misalnya  bentuknya juga sama persis seperti kurma, kopi salak, es krim salak, hingga keripik salak. Sayangnya banyaknya ragam olahan salak tak diimbangi dengan jumlah alat yang bisa dipakai untuk mengolah salak.

Sehingga warga hanya membuat dengan alat sederhana yang bisa ditemui di rumah-rumah. “Ada alatnya untuk buat es krim tapi bantuan dari pemerintah jadi tidak bisa bikin banyak, yang gampang-gampang saja pakai alat yang ada di rumah, keripik salak juga bisa bikinnya kalau ada alatnya tapi belum ada,” tambahnya.

Olahan salak menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kerugian salak jika gagal panen. Apalagi musim hujan salak gampang busuk dan diserang hama tikus. Salak yang sudah mengalami tanda-tanda kerusakan langsung diambil, dikupas dan diolah. “Jadi harus rajin-rajin ke kebun, untuk melihat buah yang bisa diolah,” tambahnya.

Selain itu biasanya warga mengolah salak dari buah yang terlalu kecil dan tidak layak jika dijual, namun memiliki kualitas yang cukup baik. Tapi olahan salak pemasarannya masih belum terlalu luas, hanya warga Pulogedang dan sekitarnya saja yang sudah tak asing dengan olahan salak ini. “Salak yang diolah masih bagus tapi tidak layak jual, kalau busuk ya dibuang tidak diolah. Tapi kalau bisa jangan sampai busuk sudah diambil,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Pembuatan Dupa dari Limbah Kayu Gaharu di Ploso, Sehari 50 kilogram

Jombang – Limbah kayu gaharu di tangan Fachrur Rochman, 27, warga Dusun/Desa Bawangan, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang menjadi tak terbuang. Di rumahnya sendiri, limbah itu ia sulap menjadi dupa bernilai jual tinggi.

Industri rumahan dupa ini berada tak jauh dari Balai Desa Bawangan. Rochman, sang pemilik, menggunakan areal belakang rumahnya menjadi pusat pembuatan dupa. Puluhan ember penampungan berukuran besar terlihat dijajar di belakang rumah.

Sementara di dalam bangunan dari kayu itu dua orang terlihat sibuk dengan timba dan mesin. Satu orang, bertugas menggiling di depan mesin selep. Satu orang lagi terlihat menghadap bak besar dengan serbuk lembek di dalamnya. “Ya ini pembuatan dupa, masih proses awal, karena memang cukup panjang,” terangnya.

Ia menceritakan, proses pembuatan dupa diawali dengan mengumpulkan serbuk kayu. Serbuk kayu yang ia gunakan adalah serbuk kayu beraroma wangi. Pria yang juga membuat   gelang kayu ini menyebut seluruh bahan berasal dari limbah produksi gelang.

“Jadi semua serbuk kayu gaharu, tapi jenisnya macam-macam, jadi setelah dapat serbuk itu harus dikelompokkan dulu, tidak boleh dicampur,” lanjutnya. Setelah itu, proses berlanjut pada penggilingan serbuk. Penggilingan ini bertujuan untuk membuat serbuk menjadi halus. Jika sudah halus, serbuk dicampur air dan diaduk sampai menjadi adonan.

“Adonan itu biasanya didiamkan dulu seharian sampai keluar aroma,” tambahnya. Setelah siap, baru percetakan dupa siap dilakukan. Ia biasa menggunakan mesin khusus untuk proses ini. Lidi dupa terlebih dahulu disiapkan di belakang mesin, sementara adonan diletakkan di bagian atas mesin.

“Nah, tinggal pencet, nanti dupa akan terbentuk dengan sendirinya, jadi prosesnya memang semi otomatis, pengadukannya manual, tapi cetak kita harus pakai mesin, beda sama dupa celup,” lanjut Rochman.

Tak butuh lama, mesin pencetak ini bisa memproduksi puluhan hingga ratusan dupa tiap jam. Bahkan dengan mesin ini produksinya bisa mencapai 50 kilogram dupa setiap hari. Dupa yang telah dicetak, terlebih dahulu harus dijemur sebelum siap diedarkan.

Metode penjemuran ini juga bisa dilakukan dengan dua cara, yakni diangin-anginkan atau dipanaskan langsung di terik matahari. “Biasanya dupa yang harganya lebih mahal, adalah dupa yang diangin-anginkan, jadi butuh waktu dua hari sampai benar-benar kering, baru bisa dikemas dan dijual,” tambahnya.

Ia biasanya menjual dupa-dupa ini dengan harga bervariasi, tergantung jenis dupa dan kayu yang digunakan. “Kalau kayu bukan gaharu dengan tambahan parfum celup, murah biasanya, kalau dupa jenis alami pakai gaharu ini bisa jauh lebih mahal. Harganya mulai Rp 12 ribu sampai Rp 50 ribu tiap bungkus isi 12 batang,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

40 KK Tekuni Usaha Pembibitan, Dusun di Jombang Ini Jadi Kampung Bibit

Jombang – Kampung bibit Wedani merupakan kawasan yang terletak di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Dinamakan kampung bibit, karena banyak warganya memiliki usaha penyediaan jasa pembuatan persemaian, berbagai jenis tanaman hortikultura di sekitar rumahnya.

”Jadi dusun ini sudah dikenal sebagai kampung bibit ini puluhan tahun bahkan lebih dari 15 tahun,” ujar Sholichudin, Kepala Desa Badang, Kecamatan Ngoro. Tak heran, saat memasuki dusun ini, hampir semua rumah di depan maupun samping perkarangan rumah warga dijadikan tempat persemaian bibit sayur-mayur maupun buah-buahan. Bahkan, usaha pembibitan ini terus berkembang dari waktu ke waktu.

Usaha pembibitan ini mampu meningkatkan perekonomian rumah tangga di kawasan tersebut. ”Untuk di Dusun Wedani saja ada kurang lebih 40 kepala keluarga yang menekuni usaha ini,” bebernya. Bahkan, karena cukup menjanjikan, beberapa dusun lainnya seperti Dusun Sukotirto, Wonoasri, maupun Watulintang juga banyak masyarakat yang menekuni usaha persemaian bibit tersebut. 

Kampung bibit Wedani merupakan kawasan yang terletak di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang

Kampung bibit Wedani merupakan kawasan yang terletak di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang (Azmy Endiyana/Jawa Pos Radar Jombang)

Ditambahkan, keberadaan kampung bibit Wedani ini semakin lama semakin dikenal luas di masyarakat, bahkan sampai di luar kota seperti Mojokerto, Nganjuk dan Kediri.

”Banyak petani dari luar juga ambil bibit di Wedani,” ungkapnya. Dikarenakan, para petani juga mengandalkan kualitas dan kuantitas bibit. 

Diharapkan, masyarakat tetap konsisten dengan usaha yang dikembangkan sekarang. Sehingga,  Dusun Wedani ini benar-benar menjadi kampung bibit. ”Kami berharap konsistensi dalam kualitas dan kuantitas bibit yang dihasilkan. Sehingga  mampu mempertahankan pasar yang sudah ada, bahkan dapat mengembangkan menjadi lebih luas,” pungkasnya.

Di kampung bibit Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro ini menyediakan berbagai macam bibit. Diantaranya, terong, tomat, cabai kecil, cabai besar, bongkol, kubis dan pepaya. Untuk harganya, bervariatif tergantung jenis bibitnya.

Tohir, salah satu petani mengatakan, harganya ditentukan pada lama persemaian dan perawatan. Biasanya satu bibit dihargai Rp 120- 200 per biji. ”Untuk yang paling mahal pepaya sampai Rp 1.000 – Rp 1.500 per biji,” ungkapnya.

Pria yang sudah menekuni usaha sejak  1985 ini menjelaskan, selain benih yang harus berkualitas, hal yang perlu dipersiapkan saat melakukan persemaian yakni media tanahnya. Media   harus berkualitas baik, dari tingkat kandungan organiknya dan homogenitasnya. Media tersebut biasanya dari tanah dan kotoran hewan seperti sapi dan ulat. ”Harus dipaskan dan dilihat fisik tanah yang kelihatan sudah gembur dan berwarna agak pucat berarti sudah pas,” terangnya.

Setelah media sudah pas, persemaian dilakukan di dalam plastik yang sudah diisi dengan tanah. Ini  untuk memudahkan proses pemindahan dan menghindari kerusakan akar pada saat pengangkutan ke lahan. Plastik yang biasanya digunakan, plastik yang sudah dipotong kecil-kecil berukuran 6 centimeter dan berdiameter 5 centrimeter. ”Biasanya sayu jam bisa mendapatkan seribu biji,” ungkapnya.

Selanjutnya, dilakukan penyiraman dan pengendapan untuk menstabilkan kadar airnya. Setelah semuanya siap, baru dilakukan penanaman benih satu bulir per lubang. Perawatan rutin yang dilakukan penyiraman. ”Penyiraman dilakukan pagi dan sore untuk menghindari kekurangan kelembaban yang dapat menyebabkan kurang optimalnya pertumbuhan,” ungkapnya.

Ditambahkan, hama dan penyakit yang biasanya menyerang yakni ulat dan thirps. Pengamatan rutin harus dilakukan untuk menghindari serangan yang berakibat fatal. Jika serangan sudah sangat parah, akan dilakukan penyemprotan pestisida. ”Kalau pertumbuhan kurang bagus, biasanya dilakukan pemupukan menggunakan gombor plastik, dengan pupuk NPK dicampur dengan air,” bebernya.

Dijelaskan, lama waktu persemaian berbeda setiap jenis tanaman. Tanaman bongkol dan tomat memiliki waktu yang paling cepat yaitu antara 15-17 hari setelah semai, cabai besar dan terong membutuhkan waktu 25 hari, pepaya selama satu bulan. ”Cabai kecil memiliki waktu yang paling lama 36 hari setelah semai,” terangnya.

Untuk pemasaran,  para petani bibit di Dusun Wedani memilih mengerjakan pesanan dibandingkan menyediakan bibit tanpa ada pesanan. Karena, untuk pesanan, sudah jelas siapa nanti yang akan mengambil, sedangkan jika tanpa pesanan ada risiko tidak laku. Namun, mereka tetap menyediakan bibit dengan tanpa pesanan, akan tetapi jumlahnya tidak banyak. ”Biasanya ada yang mengambil sendiri, kadang-kadang dari luar Jombang juga ada,” pungkas Tohir. (*)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Banyu Biru, Destinasi Wisata yang Bermula dari Tempat Buang Sampah

Jombang – Wana wisata Banyu Biru yang terletak di Dusun Wonotirto, Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang dulu merupakan tempat tak terawat. Bahkan, sungai tersebut menjadi tempat pembuangan sampah (TPS) oleh warga sekitar. 

Jarak untuk bisa menuju wana wisata ini cukup jauh, sekitar 40 kilometer dari Jombang kota. Letak wisata yang masuk cukup dalam ke pelosok desa, membutuhkan niat tersendiri. Maklum, selain jalan berkelok dan kondisi jalan tak mulus, menjadi penghambat tersendiri. 

Kendati demikian, wisata konsep bernuansa alam itu tetap jadi jujugan masyarakat Jombang dan sekitarnya.  Saat gerbang wisata yang terbuat dari bambu terbaca, pengunjung langsung bisa merasakan kesejukan udara Wonosalam. Saat datang  siang hari pun, matahari tak begitu menyengat. 

Apalagi setelah masuk ke dalam, suguhan pemandangan  cukup menarik yang dibuat dari tangan-tangan kreatif masyarakat sendiri. Suara gemericik air di sungai dan air terjun buatan menambah kesejukan tersendiri. Terasa ada sensasi berbeda dari tempat lainnya sehingga pengunjung merasa betah berlama-lama. 

Pengunjung bisa makan-makan di atas aliran sungai yang jernih. “Dulu tempat ini bukan seperti ini, tapi tempat pembuangan sampah masyarakat. Karena masyarakat sekitar dulu kurang peduli dengan alam,” ujar Eko Wahyudi, salah satu pengelola. 

Disampaikan, pada 2016 lalu para pemuda sekitar punya niat untuk membersihkan sungai dari sampah yang dibuang  masyarakat. Sampah-sampah itu menumpuk setiap hari. Sehingga tidak ada rencana membuat wana wisata. “Ternyata itu tidak mudah, kadang sudah dibersihkan, tapi dibuangi kembali sama masyarakat. Bahkan kita sampai membuat pos penjagaan sampah,” ungkapnya. 

Selain membersihkan sampah, menurut dia, langkah anak-anak muda itu sekaligus menjaga situs yang diduga benda bersejarah di dalamnya. Hanya saja, niat membersihkan sampah itu sempat terhenti dengan berbagai kendala dan rintangan. “Karena ekonomi, yang biasa menjaga kerja semua,” kenang dia. ungkapnya. 

Kemudian di penghujung  2017, niat untuk membersihkan sungai kembali muncul agar sungai dijaga tetap bersih. Kemudian, ada inisiatif untuk menjadikan tempat tersebut menjadi ramai. “Kami mengadakan lomba memancing agar tempat itu menjadi ramai,” katanya. Kemudian ide membuat  kolam buatan muncul. Waktu itu dinamakan kolam cinta dan air terjun buatan yang terbuat dari pipa. Gayung bersambut,   kemudian ada wacana dari Pemkab Jombang, yang menyebut Wonosalam bakal dijadikan tempat wisata. 

Berjalannya waktu, akhir 2018 konsep wisata baru itu mulai diperkenalkan ke masyarakat melalui media sosial. “Ternyata antusias masyarakat sangat bagus, banyak yang datang sampai sekarang,” ceritanya. Hanya saja, memang lahan seluas 3 hektare tersebut belum bisa dikelola semua karena terbentur dengan pembiayaan. Selain itu, akses jalan menuju wisata ini juga sebagian masih rusak.

“Yang dikelola masih sekitar 1 hektare, masih terbentur biaya,” tambah dia. Karena itu dia berharap, ada bantuan dari pemerintah untuk pengembangan pengelolaan wisata tersebut. Apalagi dengan konsep yang ditawarkan masyarakat sekarang ini, perekonomian warga sekitar turut terdongkrak. “Dulu ibu-ibu hanya mengandalkan penghasilan suami, sekarang bisa berjualan. Kami berharap ada perhatian dari pemerintah karena masyarakat sudah bergerak,” harap Eko. 

Apalagi untuk masuk ke lokasi ini tidak merogoh kocek terlalu dalam.  “Parkir sepeda kami gratiskan, untuk mobil kita kenakan Rp 5 ribu,” tegasnya. Melihat kreasi masyarakat ini Agung, 25, warga Desa Blimbing, Kecamatan Gudo,  mengaku tidak bosan berkunjung ke wana wisata Banyu Biru. Bahkan, dia sudah tiga kali datang bersama teman-temannya. Menikmati makan sembari berendam di air sungai jarang ditemukan. 

Sehingga, setiap kali punya waktu luang atau liburan dirinya selalu berkunjung ke wisata bernuansa alam tersebut. “Airnya juga bersih. Sehingga betah lama-lama disini,” pungkasnya. (*)

(jo/yan/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Hanger Produksi Warga Plosokendal Tembus Pasar Luar Jombang

Jombang – Usaha pembuatan hanger dari bahan kawat dapat dijumpai di Dusun Plosokendal, Desa Plosogeneng, Kecamatan/Kabupaten Jombang. Dari industri rumahan ini ratusan lusin hanger kawat bisa dibuat setiap hari.

Beberapa hari lalu Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke salah satu tempat produksi hanger. Dari depan, satu orang terpantau sibuk memegang mesin dan memasukkan besi panjang ke dalam mesin. Di samping rumah, terdapat empat orang sibuk menekuk-nekuk kawat. 

Sementara di dalam rumah, terlihat dua orang yang juga asyik bekerja di depan kompor. Keduanya membakar bagian ujung kawat yang telah berbentuk segitiga dan memasangi dengan plastik kecil berwarna merah. Sementara di bagian belakang, tumpukan hanger siap jual terlihat ditumpuk rapi. 

Ya, inilah kegiatan sehari-hari di rumah Mohammad Rokhim, 31, pembuat hanger di Jombang. “Ini dari limbah kawat,” ucapnya. Hanger-hanger ini dibuat dari material kawat semi baja. Kawat tersebut didapatkan dari sejumlah pabrik di Mojokerto dan Surabaya. “Biasanya dari pabrik kertas, bekas talinya kertas,” lanjutnya.

Proses pembuatannya terbilang sederhana meski juga rumit. Kawat yang didatangkan masih berupa gelondongan. Harus terlebih dahulu diluruskan menggunakan mesin. Ini adalah tugas pekerja di depan rumah. “Kawat datang kan masih bengkok, biasanya panjang enam meter,” sambung Rokhim.

Kawat yang sudah lurus itu kemudian dipotong kecil-kecil hingga seukuran 104 sentimeter. Potongan kawat kemudian dibengkokkan dan dibentuk sesuai yang diinginkan. Pekerjaan inilah yang dilakukan beberapa orang di samping rumahnya. “Disini modelnya cuma satu, cuma ada 4 kali proses tekukan,” imbuhnya.

Setelah selesai, hanger setengah jadi dibawa masuk ke dalam rumah. Ujung atas hanger harus dibakar diatas kompor hingga suhu tertentu. Jika sudah siap, dipasangi plastik pengaman di ujung. “Setelah itu selesai, kecuali kalau memang kawatnya agak kusam atau berkarat, harus di krom dulu, kalau tidak ya langsung bisa dijual,” lanjut dia.

Meski enggunakan sistem kerja manual, dibantu sembilan pekerja, Rokhim bisa menghasilkan hingga 350 lusin hanger kawat setiap hari. “Pokoknya seminggu sekali kawat satu ton habis, untuk satu ton bisa sampai 1.000 lusin hanger,” rincinya bangga.

Hanger produksinya itu biasa diambil beberapa sales kebutuhan rumah tangga. Termasuk beberapa pengepul lain untuk dipasarken ke luar kota. Untuk harga, ia biasa menjual hanger kawat antara Rp 10 ribu sampai Rp 13 ribu per lusin. “Kalau beli banyak atau tengkulak yang mengambil bisa lebih murah, beda harganya untuk eceran,” pungkas bapak dua anak ini. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

DeDurian Park Disebut Bisa Dongkrak Durian Wonosalam ke Level Nasional

Jombang – Kehadiran DeDurian Park akan mendongkrak dan menaikkan pamor durian Wonosalam. Penegasan ini disampaikan Prof Mohammad Reza Tirtiwinata, pakar durian Indonesia.

“Kebun durian harus ditata dengan sistem modern. Dengan ilmu dan penataan yang benar. Saya senang ada DeDurian Park, karena akan angkat pamor durian Wonosalam,” tegas Ketua Yayasan Durian Nusantara ini.

“Saya sudah ke DeDurian Park Wonosalam. Meninjau kebun, melihat perencanaan yang matang oleh manajemen. Bahkan berdialog dengan petani durian Wonosalam. Saya lihat sinerginya bagus. Ini yang akan mengangkat pamor durian Wonosalam ke level nasional,” urainya lagi.

Bahkan Prof Reza, salah satu pendiri kebun buah Mekarsari Bogor menjelaskan, Wonosalam punya potensi durian unggulan kayak Durian Bido dan lainnya, tapi belum tergarap dengan baik.

Sinergi yang dimaksudkan Prof Reza dijelaskan oleh Djoko Setyono salah satu pendiri DeDurian Park. “Nanti DeDurian Park akan memiliki kebun inti 10 hektare dan plasma di masyarakat 100 hektare hingga 200 hektare. Itulah sinergi yang akan kami lakukan. Kami dan petani durian menyatu dalam kebersamaan memajukan durian Wonosalam,” tegas alumnus IPB ini.

Dirut DeDurian Park Yusron Aminulloh menambahkan, petani Wonosalam sudah  jago menanam dan membuat pembibitan pohon durian. Maka kehadiran DeDurian Park akan melengkapi dan menjadi pintu masuk ke dunia luas. “Kami mimpi bersama-sama petani Wonosalam untuk memajukan durian unggulan. Standar soal rasa, ketebalan, warna, tekstur tetap harus kami penuhi. Dan kami yang bantu branding biar punya posisi bagus di level nasional. Maka festival dan kenduren durian yang sudah berlangsung tahunan akan terus dikemas lebih professional,” ujar Yusron yang juga Ketua SC Panitia Kenduren 2020.

Kebun DeDurian yang dibangun dengan para members itu oleh Prof Reza   disarankan untuk menanam berbagai jenis durian unggulan nasional. “Kami merancang bersama Prof Reza menyiapkan satu hektare khusus untuk pembibitan seluruh durian unggulan nusantara, dan mengutamakan Durian Bido unggulan durian Wonosalam,” papar Yusron.

Pada kesempatan terpisah komisaris utama De Durian Park Muhammad Gurning menegaskan, sudah saatnya masyarakat bisa menikmati durian berkualitas hasil jerih payah petani anak negeri. Betapa tidak ? Selama berpuluh tahun lamanya konsumsi durian yang sedemikian besar ternyata dinikmati oleh petani durian dari  Thailand dengan Durian Monthong dan Malaysia dengan unggulan Durian Musangking.

Data BPS Tahun 2017 menunjukkan ekspor durian hanya 240 ton sementara impor lebih besar mencapai 764 ton sehingga neraca perdagangan defisit 524 ton. Namun ekspor durian 2018 melonjak 1.084 ton, impor hanya 351 ton artinya neraca perdagangan surplus 733 ton. Namun, bukan jaminan akan terus begitu. Sedangkan di saat yang sama peluang ekspor ke negara Cina masih terbuka lebar.

Inilah momentum yang tepat  untuk meraih supremasi  produksi buah durian, tidak hanya di sektor hulu namun hingga di sektor hilir. Mengolah durian menjadi berbagai produk turunan yang sangat lezat yang dapat dinikmati sambil berwisata di berbagai penjuru nusantara. Sehingga ekonomi pedesaan akan bertumbuh  dengan memadukan pertanian dengan wisata dan edukasi yang  salah satunya dipelopori Dedurian Park Wonosalam di Kabupaten Jombang Jawa Timur yang digadang-gadang menjadi Kota Wisata Masa Depan. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Bhinneka Jombang Comunity sebagai Wujud Jombang Kota Toleransi pada Era Revolusi Industri 4.0 Sekaligus Wadah Kolaborasi dan Partisipasi Berbagai Pihak

Ananda Gilang Ismoyo

 

 

Latar Belakang & Permasalahan

Sebelumnya kita sudah tahu bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau sebanyak 17.508. Pulau-pulau ini terdiri atas 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil. Dengan adanya bentuk kepulauan tersebut, populasi penduduk di Indonesia diperkirakan sebanyak 250 juta jiwa.

 

Semboyan dari Bangsa Indonesia sendiri yakni, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Perbedaan di sini meliputi ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Setidaknya Bangsa Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa, 6 agama yang diakui oleh negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu (Konfusius). Banyak etnis juga ada di Indonesia, seperti Melayu, China, Arab dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang disebut dengan keragaman, yaitu kekayaan bangsa yang penuh dengan nuansa dan variasi. Perbedaan akan semakin banyak apabila dilihat dari sisi yang lebih luas, misalnya saja dalam hal golongan, partai politik, dan organisasi. Sekarang kita sudah bisa membayangkan bagaimana keberagaman yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu,  sesungguhnya keragaman bangsa ini bagaikan mozaik sebuah lukisan yang harus diterima oleh semua orang.

 

Tujuan Penulisan

Di Jombang sendiri terdapat 21 kecamatan yang mencakup 306 desa-desa di dalamnya. Diperkirakan jumlah penduduk Jombang pada tahun 2015 sebanyak 1.240.985 jiwa dari jumlah itu, sangat mungkin terjadi perubahan jumlah penduduk mengingat selama 4 tahun berlalu pasti banyak kasus kelahiran yang diimbangi dengan kematian. Dengan banyaknya jumlah penduduk di Jombang tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan atau keragaman mulai dari keragaman suku, agama, ras, dan masih banyak lagi. Dalam keragaman inilah diperlukan toleransi bagi seluruh penduduk Jombang sendiri. Toleransi adalah sikap atau kesediaan hati untuk menerima perbedaan dalam bentuk tidak menjadikan alasan untuk bersikap bermusuhan terhadap orang atau kelompok orang yang berbeda.

 

Solusi & Implementasi

Selama ini Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota seribu pesantren. Mengapa demikian ? Ya tentu sangat jelas karena di Jombang terdapat banyak pondok pesantren yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Jombang. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Jombang mayoritas penduduk yang tinggal beragama Islam. Dengan adanya latar belakang ini tidak menutup kemungkinan ada pihak pihak yang ingin memecah belah persatuan warga Jombang dengan menyebarkan isu hoax.

 

Mungkin hal ini saya perhatikan belum terjadi di Jombang tapi kita harus waspada mengingat sudah banyak kasus kasus hoax yang marak dialami di luar sana.

 

Untuk mengantisipasi ancaman-ancaman seperti itu warga Jombang harus bersatu dengan cara membuat satu komunitas yang di dalamnya terdapat semua kalangan warga Jombang tanpa memandang usia, gender, agama, ras guna mewujudkan kota Jombang sebagai kota toleransi.

 

 Sebenarnya tujuan dari komunitas itu sendiri adalah menampung semua aspirasi atau saran dari semua anggota yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah program. Dengan adanya komunitas seperti ini diharapkan warga Jombang semakin memahami apa itu perbedaan dan menghargai satu sama lain. Harapannya, hal-hal yang berpotensi mengganggu kesatuan warga Jombang akan lenyap dengan sendirinya.

 

Saya mengusulkan konsep komunitas dengan nama Bhineka Jombang Comunity (Komunitas Bhinneka Jombang). Nama ini diambil dari semboyan Bangsa Indonesia yang merupakan patokan atau kiblat toleransi. Konsep ini melambangkan keberagaman masyarakat Jombang dari agama ras suku dan perbedaan lainnya yang dikumpulkan menjadi satu ikatan kuat ke dalam sebuah komunitas.

 

Untuk membentuk komunitas ini setidaknya ada 3 komponen utama yang sangat penting yaitu kesadaran, partisipasi, dan dukungan.

 

  1. Aspek ini merupakan pilar yang paling penting. Kesadaran lahir dari dalam hati nurani manusia itu sendiri. Hal ini bisa diibaratkan sebagai pondasi awal karena tanpa pondasi maka bangunan akan roboh diterpa angin.

 

  1. Aspek kedua ini adalah buah dari kesadaran. Jika kesadaran sudah tumbuh, maka selanjutnya akan ada tindakan yang disebut partisipasi.

 

  1. Terakhir, dukungan di sini berarti adanya peran dari pemerintah Kabupaten Jombang agar dapat memfasilitasi dan memberi kesempatan kepada komunitas ini dan memberikan sambutan positif.

 

Dengan ketiga komponen di atas maka komunitas akan terbentuk dan berjalan dengan baik untuk menanggulangi kemungkinan adanya konflik horizontal di masyarakat Jombang. Setelah komunitas terbentuk, kemudian mulailah penyususunan visi dan misi. Visi komunitas ini sudah sangat jelas yaitu mewujudkan Jombang sebagai kota toleransi. Setelah terbentuk visi, mulailah disusun program program yang dilaksanakan supaya visi tersebut tercapai. Hal ini bisa disebut dengan misi. Misi pertama yaitu mengenalkan komunitas ini kepada masyarakat dan menjelaskan pentingnya komunitas ini untuk mewujudkan visi komunitas.

 

Pengenalan komunitas bisa memanfaatkan teknologi-teknologi yang sedang berkembang saat ini seperti smartphone. Kita bisa memanfaatkannya untuk membuat website tentang komunitas yang berisi profil komunitas, visi-misi, serta agenda-agenda yang menarik bagi milenial untuk berpartisipasi. Tidak hanya itu, kita juga perlu memanfaatkan media sosial untuk sharing (berbagi) melalui grup whatsapp ataupun yang lainnya.

 

Tetapi, promosi melalui dunia maya perlu diimbangi dengan promosi secara langsung sebab komunitas juga perlu perkumpulan rutin untuk membahas hal hal yang tidak bisa disampaikan melalui social media.

 

Misi yang kedua adalah mengumpulkan anggota. Setelah masyarakat, pemerintah Kabupaten Jombang mengenal Bhineka Jombang Community, selanjutnya adalah menjaring seluruh warga Jombang dari berbagai kalangan untuk bergabung menjadi anggota komunitas. Berikut adalah beberapa metode yang dapat dilakukan:

 

  1. metode langsung dilakukan dengan cara membagikan formulir untuk kemudian diisi oleh warga jombang.

 

  1. metode social media bisa menggunakan formulir online yang bisa didapat di website komunitas tadi.

 

 

Kesimpulan & Saran

Dengan adanya komunitas diharapkan warga jombang semakin sadar akan adanya perbedaan dan semakin tumbuh rasa saling menghargai dan menghormati sesama dan memicu terwujudnya Jombang sebagai kota toleransi. Semua ini juga harus diimbangi dengan majunya teknologi di era revolusi industri 4.0 ini, misalnya dengan adanya website dan lain- lain supaya komunitas tidak ketinggalan  zaman.

 

 

Limbah Triplek Jadi Miniatur Kendaraan, dari Barakuda hingga Lokomotif

Jombang – Feri Khoirul Arif, 28, warga Dusun/Desa/Kecamatan Jombang mampu menyulap triplek bekas menjadi barang bernilai jual. Seperti menjadi  miniatur kendaraan. Saat Jawa Pos Radar Jombang mengunjungi rumahnya di gang kecil di belakang bekas stasiun Jombang Kota, Feri tengah sibuk dengan kayu-kayu di tangannya.

Berbentuk balok memanjang, kayu-kayu ini terlihat telah berbentuk menyerupai kereta api, lengkap dengan sinyal dan rel di bagian bawah keretanya. “Ini memang sedang menyelesaikan miniatur, untuk jenis kereta api modern,” terangnya.

Ya, selama tiga tahun terakhir, ia memang sibuk dengan kegiatan pembuatan miniatur kendaraan. Mulai dari truk trailer, truk kontainer, mobil dinas kepolisian, kereta hingga kendaraan tempur diproduksinya setiap hari. “Prinsipnya semua kendaraan bisa, cuma setahun terakhir ini yang lebih banyak pemesannya memang yang kereta api ini,” lanjutnya.

Berbagai bentuk kereta api pernah dibuatnya, mulai bentuk kereta kuno yang masih berbahan bakar kayu bakar, kereta uap hingga kereta modern dengan jalur listrik pernah dibuatnya. “Yang paling rumit itu kereta kuno, karena detailnya banyak, kalau modern biasanya lebih cepat, simpel bentuknya,” tambahnya.

Bahan utama dari miniaturnya ini adalah triplek. Feri  menyebut  triplek yang digunakan adalah triplek bekas. Ia biasa mendapatkan triplek ini dari beberapa proyek pembangunan rumah hingga proyek lain. “Ya kebanyakan triplek tidak terpakai, kecuali kalau sudah benar-benar tidak ada, saya mencari ke toko,” imbuh bapak satu anak ini.

Dipasarkan ke beberapa kota di Jawa Timur hingga Jawa Barat, produk buatannya ini dipatok dengan harga yang sepadan. Sebuah miniatur biasanya dihargai mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 1 juta tergantung bentuk dan ukuran miniatur. “Penjualan selama ini paling banyak di Bandung, Madiun, Jawa tengah beberapa, kalau di Jombang malah belum pernah ada yang pesan ini,” pungkas Feri.

Kendati dibuat dengan material sederhana, minatur buatan Feri bisa memiliki nilai jual tinggi. Hal ini tak lepas dari  detail replika dan asesoris yang ia buat. “Ya, sampai detail terkecil harus lengkap, misal untuk kereta, jendela terkecil harus muncul di situ, asesoris sinyal juga harus dibuat semirip mungkin dengan aslinya,” ucapnya.

Detail ini disebutnya dimulai dari pembacaan gambar, pemesan miniatur, biasanya akan mengirimkan gambar kendaraan yang ingin dibuat. Feri, lantas mencari detail tiap sudut kendaraan itu untuk memastikan seluruh bodi kendaraan bisa terlihat.

“Setelah itu baru diukur skalanya, jadi biar berimbang dengan aslinya, karena miniatur dan mainan kan jadi beda karena presisi skalanya. Setelah itu ketemu baru digambar pola di triplek dan dipotong sampai disusun,” imbuh Feri.

Proses pewarnaan juga jadi hal yang menentukan kualitas miniatur ini. Pemilihan cat yang sesuai dan sama, dan pengerjaan yang halus membuat miniatur buatannya nyaris tampak tak terbuat dari kayu. “Jadi seperti barakuda kemarin itu kelihatannya besi kalau dilihat, padahal dari kayu, begitu juga miniatur kereta ini,” imbuhnya.

Karena pekerjaan yang detil ini pula, pembuatan miniatur kendaraan ini tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Untuk satu kendaraan, Feri menyebut butuh waktu hingga sepekan sampai benar-benar jadi dan bisa dikirim. “Karena tidak ada pekerja, saya kerjakan sendiri, sama seluruh pekerjaannya juga manual,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang