JOMBANG – Sejumlah pande besi di Jombang sampai sekarang masih bertahan. Satu di antaranya di Dusun/Desa Pucangsimo, Kecamatan Bandarkedungmulyo. Mereka tetap eksis menggunakan alat manual.
Pembuatan sabit, cangkul dan sejenisnya oleh perajin pande besi, masih bisa ditemukan di Jombang. Kerajinan yang sudah ada sejak puluhan tahun silam itu pun kini masih tetap berproduksi.
Di Dusun Pucangsimo misalnya, warga setempat masih menekuni kerajinan yang berbahan dasar dari besi itu. Jumlahnya terbilang masih banyak, hingga 20 perajin. “Total kalau dihitung di sini ada sekitar 20 orang,” kata Jumali salah seorang pande besi.
Jumali menjadi satu di antara puluhan warga yang masih menggeluti usaha kerajinan itu sejak masih muda. “Punya saya ini sudah ada sekitar 22 tahun yang lalu, awalnya dulu ikut orang, kemudian buka sendiri,” imbuh dia.
Karena masih banyak, maka jangan heran ketika bertandang ke dusun ini akan mendengar dentuman besi yang dipukul terdengar begitu keras dan saling sahut. Maklum, kerajinan itu semua dikerjakan dengan manual.
Mulai dari proses pemotongan besi, pembakaran, hingga pembuatan gagang. Saking banyaknya, banyak yang bilang di Dusun Pucangsimo menjadi sentra pande besi di Jombang. “Jadi semua masih pakai alat manual, mulai dari nol. Bahan dirajang (dipotong), sampai dibakar lalu dipanaskan lagi dan tengahnya dibelah dikasih baja sampai dibentuk,” sambung dia.
Karena itu, untuk membuat kerajinan itu tak bisa dilakukan sendiri. Butuh sekitar lima sampai delapan orang. Milik Jumali, di dibantu empat orang pekerja. “Semakin banyak yang kerja maka bisa cepat selesai dan buatnya juga bisa banyak,” papar lelaki kelahiran Jombang 1968 ini.
Meski masih banyak dikerjakan secara manual, lanjut bapak satu anak ini, beberapa perajin lainnya sudah mulai bergerak menggunakan mesin. Di wilayah setempat saat ini ada satu yang memakai mesin. “Lebih banyak manual, mesin hanya satu orang. Soalnya kalau pakai mesin butuh biaya besar, alatnya saja sekitar Rp 15 juta-an,” sebut Jumali.
Sembari membentuk motif pada gagang sabit, diakui meski jumlah perajin masih banyak, mereka tak beraktivitas setiap hari. Hanya ketika ada pesanan. “Tergantung pesanan, kalau ada pesanan ya kita buat. Kadang-kadang hanya dua atau tiga hari kemudian libur,” papar dia. Untuk bahan baku besi dan baja para perajin biasanya membeli di Pasar Tunggorono.
Begitu juga dengan alat pertanian yang dibuat, rata-rata para perajin hanya membuat sabit saja. “Memang tidak ada yang khusus cangkul atau alat tertentu. Yang paling banyak sabit,”’ beber Jumali.
Pasarannya juga sudah beredar keluar Jombang. Menurut dia, rata-rata perajin sudah punya pasaran sendiri. “Kalau saya biasanya kirim ke Ngoro, biasanya nanti dari sana akan dijual lagi. Terkadang ke Jawa Barat kadang keluar pulau seperti Kalimantan,” urai dia.
Harga satu sabit kata dia, juga tergantung bentuk dan ukuran. “Rp 25 ribu harga grosir, kalau ke konsumen langsung sekitar Rp 40 ribu. Sebenarnya semua tergantung ukuran, karena ada yang kecil ada pula yang besar,” pungkas Jumali. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Masjid Quba’ yang berada di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, mencerminkan kerukunan antar umat beragama. Tak jelas sejak kapan masjid ini berdiri. Namun masjid yang pernah direnovasi 1983 ini berdekatan dengan gereja dan pura.
Jaraknya, hanya kurang lebih 100 meter. Meski dekat, umat beragama di tiga tempat ibadah ini tak pernah ribut apalagi terlibat konflik atas nama agama. Mayoritas bisa mengayomi minoritas, sebaliknya yang minoritas mampu menghormati mayoritas. Hal ini menjadi tradisi masyarakat Ngepeh turun temurun.
Kepala Dusun Ngepeh, Sungkono mengatakan, di dusun yang ia mimpin memang terdapat tiga umat beragama yaitu Islam, Kristen, dan Hindu. Menurutnya, sejak lama tiga umat beragama ini mampu tumbuh dan hidup dengan sangat toleran. “Jaman nenek moyang, tiga agama ini sudah ada di Ngepeh. Tidak tahu ceritanya dulu bagaimana kok bisa hidup bersama,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jombang, sore kemarin (24/1).
Kerukunan umat beragama di Dusun Ngepeh menurut Sungkono juga sangat kuat, meski ada beberapa peristiwa konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia. “Saat terjadi peristiwa 98 pun, masyarakat Dusun Ngepeh tidak terpengaruh. Begitu juga dengan peristiwa SARA lainnya, disini tetap hidup rukun dan damai,” lanjutnya.
Sementara jumlah penduduk di Dusun Ngepeh kurang lebih 1.500 jiwa. Untuk masyarakat yang beragama Kristen, terdapat kurang lebih 80 jiwa. Sedangkan yang beragama Hindu terdapat kurang lebih 60 jiwa. Sisanya adalah masyarakat Muslim. “Mereka yang Kristen atau Hindu, tak pernah merasa terganggu dengan speaker (pengeras suara, Red) masjid. Warga muslim juga tak pernah risih dengan adanya kebaktian di gereja dan sembahyang di pura,” imbuh Sungkono.
Bahkan dalam urusan makam pun, umat Islam dan Kristen di Dusun Ngepeh ini sepakat menggunakan satu lahan. “Makam satu lokasi, tidak ada perbedaan antara Islam dan Kristen. Ketika ada warga Kristen meninggal, warga Islam juga ikut mengantarkan ke makam. Ini sudah tradisi di dusun kami,” pungkasnya. (*)
(jo/mar/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Kerajinan tampah di Dusun Grogolan, Desa Rejoslamet, Kecamatan Mojowarno terus meredup. Pasalnya jumlah perajin saat ini sangat berkurang.
Meski sampai sekarang masih dikenal menjadi sentra pembuatan tampah di Jombang, dalam perjalanannya kerajinan berbahan dasar bambu itu kini mulai berangsur pudar. Warga setempat sudah sangat jarang membuat kerajinan itu.
Sahar salah satu perajin yang masih bertahan, mengatakan, kerajinan tampah itu merupakan keterampilan turun-temurun dari orang tuanya dulu. “Mulai kapan sudah lupa, tidak hafal tahun berapa,” kata Sahar.
Sembari jari-jemarinya membuat bagian lingkaran tampah yang dia ingat pertama kali membuat tampah ketika masih berusia belasan tahun. “Waktu itu masih sekolah SR (Sekolah Rakyat, Red) orang tua dulu yang ngajari,” imbuh dia.
Menurut lelaki usia 74 tahun ini, dulunya kerajinan itu cukup berkembang. Hampir setiap rumah warga membuat tampah. “Sekarang tinggal yang tua-tua saja yang buat, mungkin hanya 15 orang,” sebut Sahar.
Memang rata-rata warga setempat saat ini lebih banyak beralih menekuni kerajinan pembuatan dompet dan tas. Sebab masih menurut Sahar, hampir seluruh perajin tampah adalah warga yang berusia lanjut. “Kalau anak muda sudah jarang, lari ke dompet semua,” sambung bapak satu anak ini.
Karena makin berkurang, untuk mengerjakan seluruh tampah juga tak dilakukan di rumah. Milik Sahar misalnya, untuk anyaman diburuhkan ke wilayah Mojowarno. Sedangkan dia hanya mengerjakan bagian lingkaran tampah.
Faktor usia yang membuat dia memilih memburuhkan anyaman untuk tampah itu. Karena tak dikerjakan di satu lokasi, dia kadang-kadang menunda pengiriman. “Ini tadi sudah dibel suruh ngirim ke Pasar Mojoagung, tapi tidak bisa. Belum selesai semua, saya carikan ya tidak ada, sudah jarang yang buat,” papar dia.
Ya, para perajin sudah mempunyai pasar sendiri dan pelanggan. Sahar biasanya mengirim tampah buatannya ke Pasar Mojoagung. “Kalau sudah jadi semua biasanya kirim sampai 120 tampah, terkadang kirim sejadi-jadinya,” sebut Sahar.
Harganya rata-rata dijual ke konsumen antara Rp 12.000- Rp 15.000 per satu tampah. Sedangkan ke pelanggannya atau tengkulak di Pasar Mojoagung Rp 8.000. Bambu yang dipakai juga bambu jawa, didapat dari wilayah Kecamatan Mojoagung dan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.
Satu lonjor bambu biasanya bisa menghasilkan sekitar 16 tampah. “Harus bambu jawa, kalau nggak hasilnya kurang bagus. Satu lonjor terkadang 80 ribu sampai 100 ribu,” pungkas dia menyebutkan. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Kabar menggembirakan datang dari tim sepatu roda Kabupaten Jombang, yang mengikuti Kejuaraan Sepatu Roda se Jawa-Bali di Kabupaten Banyuwangi sejak Sabtu (19/1) hingga kemarin (20/1). Dalam kejuaraan ini, tim sepatu roda Kabupaten Jombang menjadi juara umum dengan raihan lima medali emas, dua medali perak, dan empat medali perunggu.
Hasil ini direspons Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia (Perserosi) Kabupaten Jombang dengan sangat positif. “Prestasi ini setimpal dengan usaha para atlet. Karena saat liburan kemarin, semua melakukan latihan dengan maksimal untuk mempersiapkan diri ikut kejuaraan ini,” ungkap Ketua Porserosi Jombang Sutrisno, kemarin.
Ia menilai, pemusatan latihan yang diikuti para atlet sepatu roda selama sebulan terakhir memang cukup berat. “Anak-anak betul-betul maksimal di kejuaraan ini. Atlet lawan yang lebih diunggulkan meraih medali emas, malah berhasil dikalahkan. Sehingga kita bisa menjadi juara umum,” lanjutnya.
Sutrisno menambahkan, juara umum sebenarnya bukan target utama. Hanya saja ia berharap jika atlet roda bisa bermain maksimal di kejuaraan ini, pengalaman bertanding sebelum mengikuti Porprov 2019 akan banyak didapat. “Selain itu juga untuk mengasah mental di kejuaraan antar provinsi,” imbuhnya.
Kabupaten Jombang sendiri hanya mengirim tujuh atlet sepatu roda dalam kejuaraan se Jawa-Bali tersebut. Sutrisno mengatakan, rencana awal memang delapan atlet sepatu roda. Hanya saja, satu atlet sepatu roda lainnya masih kelas 6 SD.
Sehingga pihak Perserosi sengaja tidak mengikutkan atlet tersebut, agar bisa fokus menghadapi ujian sekolah yang sebentar lagi berlangsung. “Yang satu kelas enam, biar dia aktif sekolah dulu. Nanti lain waktu bisa ikut kejuaraan lagi,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
OMBANG – Industri rumahan yang memproduksi dompet di Kabupaten Jombang cukup banyak. Namun yang paling banyak ditemukan, adalah di Dusun Grogolan, Desa Rejoslamet, Kecamatan Mojowarno.
Kawasan ini sudah lama dikenal sebagai sentra industri dompet dan tas. Maka tak heran ketika bertandang ke sana, banyak menjumpai rumah penduduk menjadi tempat produksi. Mulai dari depan hingga dalam rumah lebih banyak dijumpai aktivitas pembuatan dompet maupun tas.
Salah satunya milik Imam Ghozali. Dia mengaku sudah sejak puluhan tahun lalu menekuni usaha itu. “Saya sendiri ini mulai sekitar 1995-an,” kata dia kemarin (20/1).
Dia kemudian menceritakan, kerajinan dengan bahan dasar kain CCI (bahan menyerupai kulit asli) itu sudah ada sejak kisaran 1984. “Awalnya dulu itu keluarga Pak Kades yang mulai merintis. Waktu itu cuma keluarga mereka saja,” tutur dia.
Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, industri itu kemudian berkembang pesat. Hingga pada 1992-1995 hampir seluruh warga dusun setempat menekuni kerajinan itu. “Jadi yang sekarang perajin dulu itu rata-rata pernah bekerja di sana. Kemudian mengembangkan sendiri,” imbuh Rojali sapaan akrabnya.
Rojali sendiri awalnya hanya pekerja. Lantas membuka usaha sendiri. Sekarang ada ratusan perajin yang menyebar. Itu pun mayoritas berada di Dusun Grogolan. “Sekarang itu jumlahnya satu dusun 100 orang lebih dari sekitar 300 KK. Rata-rata yang sekarang memang anak-anak muda,” sambung lelaki usia 39 tahun.
Menurut bapak satu anak ini, tidak ada perajin khusus yang mengerjakan dengan model tertentu. Hampir seluruh perajin mengerjakan dengan model yang hampir sama.
Begitu pula dengan tas, ukuran dan modelnya juga rata-rata mengikuti tren. “Jadi semua tergantung keinginan yang buat. Pokoknya apa yang lagi tenar sekarang itu yang kita buat,” sambung Ketua KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sumber Rejeki ini. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
OMBANG – Salah satu produk kerajinan tangan yang sudah menjadi salah satu ikon kebanggan Kabupaten Jombang adalah kerajinan gentong antik atau jambangan di Dusun Sanan, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung.
Tak-tanggung-tanggung, produk gentong antik hasil polesan tangan kreatif Tiyamun, 69, sudah tersebar di berbagai belahan negara di dunia, lantaran memiliki nilai seni yang tinggi. ”Mbah sering dapat pesanan dari turis, ada dari Australia, Myanmar, dan beberapa negara lainnya,” terang Tiyamun.
Tidak hanya peminat dari mancanegara, produk-produk gentong antik buatan Tiyamun juga banyak tersebar di wilayah kota di Indonesia. ”Ada yang pesan dari Kalimantan, Sumatera, serta sejumlah provinsi lainnya. Kalau untuk wilayah Jawa, hampir merata, mulai pemesan dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta. Apalagi Jawa Timur apalagi, saking banyaknya sampai tidak ingat,” imbuhnya.
Dirinya pun tidak ingat berapa jumlah gentong antik yang sudah dihasilkan, termasuk jenis dan modelnya. ”Kadang-kadang kirim satu truk besar, itu beragam modelnya, jenisnya termasuk ukurannya,” terangnya.
Produk-produk gentong hasil buatan Tiyamun bisa dimanfaatkan beragam. ”Umumnya dibuat hiasan di taman-taman, hotel, kawasan wisata, perkantoran serta banyak contoh lainnya,” bebernya.
Tidak jarang dirinya menerima pesanan beragam jenis gentong dari pihak pengelola museum di Mojokerto. ”Sering orang museum ke sini minta dibuatkan gentong, di museum sana, kemarin juga barus pesan beberapa gentong, sudah selesai,” bebernya.
Di usianya yang sekarang ini sudah menginjak hampir 70 tahun, setiap harinya Tiyamun masih terus bersemangat membuat gentong antik. ”Tiap hari Mbah Mun kerjaannya ya membuat gentong, ada atau tidak yang memesan, Mbah Mun tetap buat senang membuat gentong,” singkatnya. (*)
(jo/naz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Sampai kini pun cacing dianggap hewan yang menjijikan. Namun bagi Sukartono, warga Dusun Rejosari, Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, hewan ini sangatlah berharga.
Ia bahkan harus berani membuang jauh jauh rasa jijiknya terhadap cacing. Itu dimulai Sukartono sejak setahun yang lalu tepat ketika dia tertarik budidaya cacing tanah jenis lumbricus rubellus atau sering disebut cacing ekor kuning.
Kini, dengan keuletannya budidaya cacing ada puluhan kotak sebagai tempat penangkaran cacing di depan rumahnya. Sukartono tak butuh tempat khusus untuk membudidayakan cacing, dia bisa memanfaatkan halaman, ruang kosong hingga kandang ayam.
Beberapa cacing dewasa berukuran 10 – 14 cm juga ada yang diletakkan di bawah tanah di sekitar tanaman cabai. Namun terlebih dulu tanah tersebut diberi kotoran ternak yang sudah mengering.
Ditemui di rumahnya kemarin (14/1), bapak tiga anak ini menceritakan bagaimana dia tertarik dengan hewan menggeliat ini. ”Dulu awalnya saya jijik dengan cacing, namun itu perlahan lahan hilang setelah menggeluti hobi atau budidaya cacing ini,” ujar dia.
Cacing tanah asal Eropa ini memang hampir mirip dengan cacing pada umumnya. Namun bedanya, ekor pada cacing ini berbentuk pipih dan berwarna sedikit kekuning-kuningan. Selain itu, cacing ini juga tak bisa hidup di dalam lumpur laiknya cacing tanah cacing sawah. ”Memang hampir mirip, tapi ada perbedaan,” jelas dia.
Awal mula Sukartono budidaya cacing dimulai pada akhir 2017 lalu. Dia mendapatkan informasi bisnis menjanjikan budidaya cacing dari saudaranya, yang kemudian diminta langsung membeli bibit cacing dengan modal Rp 50 ribu. ”Langsung saya coba membeli bibit karena saya pertimbangkan unsur ekonomisnya, beli bibit cuma sekali dan bisa dipanen tiap bulan,” beber pria usia 56 ini.
Lambat laun sembari mempelajari tentang siklus hidup cacing, akhirnya dia mulai mengerti. Apalagi, budidaya cacing tak membutuhkan makanan yang mahal. Sebab, cukup diberi sayuran busuk cacing sudah bisa berkembang dengan maksimal. Namun, karena sayur busuk agak sulit dicari dia hanya memberi makan cacing-cacingnya dengan kotoran hewan.
”Kotoran ternak terutama sapi dan kambing saya dapatkan gratis. Bahkan orang-orang sangat suka ketika kotoran ternak mereka saya ambil. Kan kandangnya jadi bersih,” beber dia.
Dalam sehari, satu petak tempat pembudidayaan cacing yang berisi sekitar 10 kilogram cacing, hanya diberi makan sekali saja. Yakni pagi hari sekitar pukul 09.00, dia cukup meracik kotoran ternak dengan beberapa serbuk gergaji. ”Ya menggunakan serbuk gergaji agar tanahnya makin lembab. Karena cacing akan mati ketika terkena panas,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
JOMBANG – Ada dua jenis perahu tambang. Pertama perahu ukuran sedang untuk menyeberangkan kendaraan roda dua. Perahu jenis ini terbuat dari kayu dan umumnya memiliki rata-rata ukuran panjang 14-17 meter dengan lebar sekitar 3 meter.
”Perahu bisa memuat sekitar 15-17 sepeda motor kalau ditata dengan baik dan rapi,” ujar Giyanto, penambang Moroseneng di Kesamben kemarin (2/12). Semua perahu tambang ini menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar. Satu perahu selalu memiliki dua mesin diesel namun hanya satu yang digunakan.
”Satu mesin untuk cadangan, jadi kalau misalnya satu mesin mati, maka pakai diesel satunya,” lontarnya. Penambang menggunakan dayung dan baling-baling perahu untuk mengendalikan perahu. Dalam sehari rata-rata perahu ini dapat menghabiskan sekitar 10 liter solar.
Sebagian besar penambang masih menggunakan perahu kayu buatan sendiri. Satu buah perahu jenis ini menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta sampai Rp 25 juta untuk pembuatannya.
Jenis kedua, perahu ukuran besar yang dapat mengangkut kendaraan roda empat. Perahu ini umumnya berukuran panjang 24 meter dengan lebar 7 meter. Dapat mengangkut lima mobil sekaligus, jika hanya roda dua bisa mengangkut hingga 45 sepeda motor.
Pembuatan satu perahu besar ini menghabiskan sekitar Rp 200 juta. ”Yang mahal itu besi geladaknya ini, kebetulan saya buat sendiri. Jadi tidak beli,” paparnya.
Untuk penghasilan maupun sistem setiap wilayah dan perahu tambang berbeda-beda. Di Kesamben terdapat tiga shift dalam sehari. Penambang setiap shift setor Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu ke pemilik perahu tambang, sisanya dibagi untuk penambang sendiri.
Sedangkan di Megaluh, terdapat dua shift pertukaran penambang. ”Hasilnya bervariasi naik turun, kalau ramai ya lumayan. Yang jelas dibagi dua atau tiga tergantung ada berapa yang ikut bantu,” tandasnya. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Sendang Made merupakan salah satu situs cagar budaya di Kabupaten Jombang. Tepatnya berada di Dusun/Desa Made Kecamatan Kudu. Sendang Made ini menjadi salah satu petilasan Raja Airlangga bersama permaisuri dan para dayang saat dalam pelarian.
Mereka dikejar pasukan Prabu Wora-Wari lalu diselamatkan Prabu Narotama hingga akhirnya menyepi beristirahat di Sendang Made. Raja Airlangga berserta permaisuri dan para dayang pun akhirnya menyamar menjadi pengamen.
”Kala itu mereka menyamar menjadi pengamen, nah mandi nya di Sendang Made ini,” lontar Supono, juru pelihara situs Sendang Made. Setelah itu grup pengamennya pun semakin laris. Dari cerita rakyat inilah lahir tradisi wisuda sinden di Sendang Made.
Terdapat enam sendang berdekatan di areal Sendang Made ini, diantaranya Sendang Pomben, Sendang Pengilon, Sendang Condong, Sendang Drajat, Sendang Widodaren dan Sendang Sumber Payung.
”Setiap sendang ini beda ceritanya tapi yang jelas Sendang Drajat ini yang paling banyak dikunjungi. Termasuk kumkum sinden dilakukan di Sendang Drajat,” tuturnya.
Tak hanya budaya, ternyata banyak juga benda bersejarah yang ditemukan di tempat ini, termasuk batu bertulis. Sendang Made ini sebelumnya hanya berupa beberapa sumber air, lokasi ini baru dibangun pada 1924 oleh RM Tjokro Diputro, asisten Wedono Kudu.
Meski demikian, suasana tenang dan teduh Sendang Made ini pun masih tetap dipertahankan hingga kini. Banyak pohon besar berusia ratusan tahun di sekitar Sendang Made. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Tikar tradisional berbahan daun pandan sudah lama menjadi produk kerajinan tangan masyarakat di wilayah utara Brantas. Tidak hanya dibeli masyarakat lokal, namun terjual hingga luar kabupaten.
Saat ini tidak banyak warga yang masih menekuni seni kerajinan anyam ini. Di Desa Katemas, Kecamatan Kudu tercatat hanya beberapa keluarga saja yang masih bertahan melestarikan tradisi leluhur ini. Itu juga sudah tidak aktif seperti dulu.
“Alhamdulillaah, sampai sekarang perajin tikar pandan masih bertahan,” ungkap Muhammad Aris, salah satu perajin tikar pandan di Desa Katemas. Menurutnya, tikar pandan memiliki pangsa pasar tersendiri. “Karena selain lebih sehat memakai tikar pandan, juga tikar pandan lebih adem,” ujar Aris.
Kurang lebih 2008 silam, Aris mengaku bersama sejumlah perajin tikar lainnya pernah mendirikan kelompok perajin tikar pandan. Tujuannya untuk memaksimalkan akses pemasaran serta mempermudah upaya pengajuan bantuan modal kepada pemerintah.
“Karena hampir seluruh rumah di Katemas membuat kerajinan tikar pandan, kami mencoba membuat semacam kelompok kerja,” katanya. Tapi keberadaan kelompok kerja itu tetap tidak mampu meningkatkan pendapatan perajin. Sulitnya akses pemasaran menjadi penyebab, para perajin mengalami kesulitan mengembangkan usaha.
“Tikar pandan hanya dipamerkan ketika ada event saja. Sementara tidak setiap hari pameran itu diadakan, padahal perajin ini butuh makan setiap hari. Sedangkan kalau menjual sendiri, hasilnya tidak maksimal,” lanjutnya.
Pernyataan sama juga disampaikan kalangan pengrajin dari wilayah Kecamatan Ngusikan. Meski kondisi semakin tidak berpihak, namun para pengrajin mengaku tetap akan membuat tikar pandan.
Selain mengisi waktu luang, menganyam tikar pandan juga menjadi keterampilan yang diwariskan turun-temurun. “Kalau tidak ada pekerjaan di sawah, ya nganyam tikar,” ujar Karti, salah satu warga Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan. Ia menyebut jika yang menganyam tikar sebagian besar adalah ibu-ibu dan lansia.
Tak hanya dari Jombang, ada pula tengkulak dari luar daerah yang datang ke tempat tinggal para perajin untuk membeli tikar. “Kalau tidak ada yang datang, ya dijual sendiri dengan cara keliling,” pungkasnya. (*)
(jo/mar/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com