• info@njombangan.com

Daily ArchiveDecember 31, 2018

Tondowulan Kampung Gerabah; Usaha Turun Temurun, Tembus Pasar Jatim

JOMBANG – Kawasan Utara Brantas juga terkenal sebagai penghasil kerajinan gerabah. Salah satunya dapat ditemukan di Dusun Mambang, Desa Tandowulan, Kecamatan Plandaan. Kerajinan  warga dusun ini, sudah menjangkau seluruh wilayah Jawa Timur.

Sejak masuk ke desa ini, pemandangan unik langsung tersaji. Puluhan rumah dihiasi gerabah setengah jadi hingga yang telah matang di depan rumahnya. Salah satu perajin gerabah yang masih aktif adalah Supinah, 82. Saat Jawa Pos Radar Jombang mengunjungi rumahnya kemarin, ia terlihat sedang sibuk membuat sebuah cobek kecil.

Dimulai dari mengumpulkan tanah liat khusus yang diambil dari sawah, Supinah kemudian mencampurnya dengan pasir. Dengan komposisi tertentu, tanah ini kemudian diuleni dengan tangan secara manual hingga membentuk adonan yang padat namun tetap lunak dibentuk.

Usai siap dibentuk, Supinah kemudian meletakkannya di atas alas kayu yang di bawahnya terdapat pemutar. Dengan menggunakan tangan kosong, nampak mudah baginya untuk membuat gerabah sederhana ini. Dengan sentuhan tangan terampilnya, satu cobek kecil mampu ia hanya buat hanya dalam waktu 10 menit saja. ’’Ini  masih basah, sampai jadi harus dijemur dulu,” ucapnya.

Setelah pembuatan selesai, penjemuran harus dilakukan setidaknya seminggu hingga gerabah benar-benar kering dan siap bakar, itupun ketika cuaca sedang bersahabat. Penjemuran gerabah tak boleh dilakukan langsung di bawah terik matahari. “Kalau pas panas begitu ya seminggu, kalau pas sering hujan bisa lebih,” lanjutnya.

Per harinya, Supinah mengaku mampu membuat hingga puluhan gerabah kondisi basah. Tak hanya cobek, Supinah dan puluhan warga lain di desanya ini juga membuat banyak jenis gerabah lain seperti anglo, penggorengan dari tanah, gentong, jambangan, kendi hingga sejumlah alat lain yang semuanya terbuat dari tanah.

’’Ya macam-macam, ya cobek begini, ya anglo kalau saya, ada celengan juga untuk anak-anak SD biasanya yang minta ini. semuanya bisa dibuat di sini,” imbuh wanita empat anak ini. Gerabah-gerabah yang sudah jadi, biasanya akan disetor kepada pengepul untuk kemudian diedarkan ke seluruh Jawa Timur.

’’Di sini tempat kumpulnya saja, biasanya setiap bulan akan ada yang mengambil, ya ada yang dari kediri, Surabaya, Ponorogo dan banyak tempat lain. Yang jelas kalau produksi dari sini memang sudah terkenal bagus sejak puluhan tahun lalu kan,” terang Kalimah, 65, salah satu pengepul di Dusun Mambang. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Tondowulan Kampung Gerabah; Mayoritas Masih Tradisional

OMBANG – Mayoritas perajin gerabah di Dusun Mambang memang dikerjakan oleh orang-orang berusia lanjut tua. Produksinya hanya berkutat pada alat dapur yang harganya murah. Namun, beberapa generasi baru kini mulai menjajal pasar baru dengan bentuk karya bernilai jual tinggi.

Bagi Supinah, membuat gerabah memang sudah aktivitas rutinnya sejak lebih dari 70 puluh tahun lalu. Ya, Supinah mengaku memang sudah mulai membuat gerabah sejak neneknya berhenti dari usaha ini. ’’Saya membuat sejak masih jaman penjajahan dulu. Kalau diukur umur mungkin masih kelas 2 SD kalau anak sekarang, lha sekarang sudah 80 tahun lebih,” terangnya.

Supinah tak sendirian,  masih ada puluhan perajin dengan usia yang tak jauh berbeda. Hal ini membuat produksi gerabah Dusun Mambang memang tak banyak bervariasi, hanya berkutat pada sejumlah alat dapur yang harganya rendah.

’’Ya memang di sini yang membuat rata-rata sudah tua, dan produksinya ya barang-barang sejak zaman dulu. Harganya mentok paling Rp 15 ribu, itu sudah besar sekali bentuknya. Ya memang murah ,” lanjutnya.

Namun, beberapa perajin generasi muda kini sudah mulai muncul dengan pasar baru. Seperti yang dilakukan Sumarlik, 33. Dengan ketrampilannya, ia mulai membawa kerajinan gerabah di desanya jadi bernilai tinggi dengan pembuatan sesuai pesanan.

“Kalau saya memang melayani pesanan, ada pot bunga besar, ada guci juga, selain itu gelas-gelas yang bentuknya etnik begitu,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Berbekal kemampuan dan beberapa kali pelatihan, di tangan Sumarlik gerabah-gerabah ini dibentuk dengan sangat baik. Meski pembuatannya manual, Sumarli mampu memberi detil ukiran hingga hiasan bahkan pewarnaan dan pelapisan pada gerabah buatannya. Alhasil, Tampilan gerabahnya pun jauh lebih indah, dan bernilai seni.

Dengan itu, ia mengaku mampu masuk ke sejumlah pasar baru, pelanggan yang kelasnya lebih tinggi. Tentu saja juga dengan harga yang lebih tinggi pula. ’’Kalau gelas itu bisanya yang pesan ya penginapan-penginapan, kalau guci biasanya dikirim ke hotel-hotel. Harganya sudah bisa mencapai Rp 300 ribu per bijinya untuk guci ini,” lanjutnya.

Meski begitu, ia mengaku masih sangat tergantung dengan jumlah pesanan yang masuk kepadanya. Karena itu di musim-musim tertentu, ia masih akan tetap membuat gerabah tradisional ketika pesanan sedang kosong. ’’Ya buat begini kan kalau ada pesanan, kalau tidak ya membuat gerabah biasa saja,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com