Jombang – Nasib sejumlah kesenian tradisional Tanah Air kini di ujung tanduk. Seperti halnya kesenian kentrung Jatimenok yang berada di Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Jumlah pemain berkurang karena tak ada generasi penerus kesenian ini.
Badri (80) asal Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, adalah salah satu pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan seni Kentrung Jatimenok yang masih ada. Saat Jawa Pos Radar Jombang menemui di kediamannya di Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang, kakek 80 tahun ini mengaku sedang sakit.
“Ini lagi meriang badannya,” ucapnya membuka percakapan. Badri hingga kini masih menyimpan kenangan baik tentang kesenian Kentrung. Pertunjukan seni berlatar cerita panji dan berbagai cerita lain yang bisa dikembangkan itu dulu sempat jaya di Jombang.
Dalam grup, Badri biasa memainkan kentrung beserta empat anggotanya lain, yang semua wanita yang juga kerabat sendiri. “Dulu saya yang main sama tiga orang lainnya itu istri, anak pertama, dan satu masih saudara juga,” sambungnya.
Empat orang yang bermain itu bertugas menabuh masing-masing alat yang dibawanya yakni camplung, alat musik berbentuk bulat kecil dengan tabung di bagian belakang. Terbang, alat musik yang berpenampang paling besar dan lebar bersuara bass.
Ketipung alat musak berbentuk lonjong dan Kendang. “Nah saya ini di bagian kendang, juga sebagai dalang,” imbuh dia. Dalam pertunjukannya, cerita juga dibawakan dengan cara dituturkan dalang sembari memainkan musik.
Di sela-sela pertunjukan, juga dibawakan lagu-lagu hingga senggakan-senggakan khas berupa pantun dari tiga anggota grup lain. Badri menganggap kesenian tersebut kini mati suri. “Alatnya masih ada sampai sekarang, cuma sudah tidak ada tanggapan lagi. Semua disimpan di rumah,” ujarnya.
Pada era 70-an, kesenian ini jadi salah satu primadona di kalangan masyarakat umum hingga pejabat pemerintah daerah. “Terakhir diundang Pak Bupati Hudan Dardiri,” kenangnya.
Selain karena tak ada permintaan, regenerasi yang terputus juga menjadi penyebab. Bahkan, anak cucunya sendiri pun disebut Badri tak ada yang mampu meneruskan.
Pola pertunjukan yang harus memadukan bermain musik dan bercerita ditambah kekompakan dalang dan panjak untuk saling bersahutan, disebutnya juga menjadi kendala besar. “Sampai sekarang kami belum ada yang mengganti meski sebenarnya saya sendiri kepingin ada penerusnya,” Badri memungkasi.
Article courtesy: Jawapos.com
Photo courtesy: Jawapos.com
SURYA.co.id | JOMBANG – Sejumlah petani di Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang, mulai mengembangkan tanaman sorgum. Setidaknya terlihat di Desa Tampingmojo, Kecamatan Tembelang, para petani mulai memanen hasil tanamannya, Senin (13/11/2018).
Muhammad Irfan (50), salah satu petani Desa Tampingmojo, tampak sibuk memanen tanaman yang lebih dikenal dengan nama Jagung Cakul oleh masyarakat desa. Sorgum bisa dipanen antara umur 90 sampai 100 hari.
Tanaman sorgum adalah jenis tanaman rumput-rumputan, dan masih satu golongan dengan padi, jagung dan sandum. Di Jawa, sorgum dikenal dengan nama cantel atau jagung cakul.
Tanaman yang masuk dalam urutan kelima bahan pangan setelah jagung, padi, gandum dan jelai ini, sudah mulai dikembangkan di sejumlah desa di Kecamatan Tembelang, Jombang.
Camat Tembelang, Wor Windari, mengatakan, sorgum sebagai tanaman pangan alternatif diharapkan dapat menjadi produk unggulan petani di wilayah Kecamatan Tembelang, Jombang.
“Saya berharap sorgum ini bisa jadi produk unggulan, setelah Padi dan jagung. Kalau ngomong Sorgum ya kecamatan Tembelang,” kata Wor Windari, usai mengikuti panen petani sorgum.
Wor Windari menjelaskan, saat ini sudah terdapat tidak kurang tiga hektare lahan petani yang ditanami sorgum. Luasan itu tersebar di sejumlah desa.
“Di Tembelang ini, sorgum baru dikenalkan kembali sejak setahun lalu. Memang belum banyak petani menanam sorgum. Tapi saya optimistis sorgum akan menjadi bahan pangan alternatif di Tembelang. Tentu saya mendukung dan akan memfasilitasi,” tandasnya.
Masih menurut Camat Wor Windari, sorgum ini dapat menjadi pangan alternatif selain padi dan jagung. Biji sorgum dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan. Mulai dijadikan beras sorgum, tepung, bubur, kue basah dan kue kering.
“Ini mulai dikembangkan untuk bahan makanan dan kue. Ibu-ibu PKK mulai mengembangkan varian makanan berbahan sorgum. Mulai wingko, bubur sorgum, sampai kepada kue kering,” imbuhnya.
Camat Windari juga memastikan, sorgum telah memiliki pasar sendiri. Dikatakannya, permintaan akan sorgum cukup besar dari berbagai daerah.
“Sudah banyak permintaan, meski belum semaaif beras dan jagung. Petani tidak perlu khawatir nanti tidak ada yang membeli. Karena kita masih kesulitan untuk memenuhi permintaan dari luar daerah, Bandung, Bogor, Tasikmalaya, Malang, misalnya,” tambahnya.
Muhammad Irfan salah satu petani, mengatakan, ia kini lebih memilih menanam sorgum ketimbang jagung yang sebelumnya sering ia tanam. Sebab, biaya produksi sorgum relatif lebih murah dari pada Jagung.
“Biaya lebih ringan, baik pengairan mapun pemupukan. Kalau jagung itu tiga kali mengairi. Tapi tanaman sorgum cukup satu dua kali. Sorgum juga kuat dan tidak gampang diserang hama sehingga relatif aman,” kata Irfan.
Diakui Irfan yang juga perangkat desa setempat, dirinya baru pertama kali menanam sorgum, dengan lahan percobaan seluas sekitar 100 ru atau sekitar 1.428 meter persegi.
Dengan lahan seluas itu, Sorgum miliknya bisa menghasilkan berat 1 ton saat panen. Dengan harga kisaran Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kilogram.
“Insyaallah ke depannya akan semakin banyak petani yang ikut menanam sorgum. Saya sendiri akan menanam di lahan yang luas lagi,” ujarnya.
Kelebihan lain tanaman sorgum selain bisa ditanam di muaim kemarau dan lahan kering, tanaman ini bisa dipanen hingga dua tiga kali.
“Dengan hanya dikepras saja, sorgum sudah bisa tumbuh lagi. Hanya tergantung perawatan dan pemupukan saja. Sehingga, dengan tanam satu kali, sorgum mampu dipanen dua bahkan tiga kali. Dengan demikian, petani dapat menghemat biaya tanam,” pungkasnya.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com