JOMBANG – Bagi pecinta kuliner, wajib hukumnya mencicipi nasi lodeh Mbok Semah yang terletak di Dusun Kapas, Desa Dukuhklopo, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Setiap hari, nasi lodeh Mbok Semah ini jadi buruan pecinta kuliner dari berbagai daerah.
Warung lodeh Mbok Semah buka pukul 16.30, namun kadang selepas Isya pukul 19.30 sudah ludes saking ramainya pembeli. Meskipun terletak di pinggiran dan harus masuk gang, namun warung ini sudah terkenal dimana-mana. Baik dari Jombang sendiri maupun daerah luar Jombang.
Untuk dapat menjangkau warung mbok Semah, pembeli dapat melewati Dusun Weru, Desa Mojongapit ke utara. Atau bisa juga dari Satlantas Polres Jombang, Jalan Brigjen Kretarto menuju arah utara. Sesampainya di sana, warung tersebut sangat mencolok karena banyak kendaraan yang parkir di tengah tengah kampung.
Warung Mbok Semah, sudah buka sejak 1980-an. Awalnya, Semah, 84 bersama sang suami almarhum Askan membuka warung skala kecil yang menjual gorengan, kopi, kolak dan kacang hijau. Kemudian, lima tahun setelah itu Semah mencoba menjual lodeh. ”Lodeh itu kan khasnya orang Jawa. Jadi lodeh itu menu sehari-hari,’’ ujar Mbok Semah ditemui Sabtu (10/11).
Awal membuka, usaha nasi lodeh Mbok Semah tidak langsung ramai pembeli. Dalam sehari, hanya ada beberapa pembeli yang notabene warga sekitar. Namun seiring berjalannya waktu, warung itu mulai dikenal. ”Ramainya karena getok tular itu, jadi setelah makan di sini orang orang cerita, dan seterusnya,’’ sambung dia.
Ibu enam anak ini menuturkan, sejak awal membuka warung nasi lodeh dia tidak pernah menjual dengan harga yang mahal. Pada 80-an, seporsi nasi lodeh bisa dinikmati dengan harga Rp 15. Seiring berjalannya waktu, seporsi nasi diharga Rp 100 hingga Rp 3.000. ”Dan sampai sekarang ya tetap murah. Rp 10 ribu sudah dapat lauk juga,’’ jelas dia.
Pelanggan Mbok Semah kini sudah tak dapat dihitung jumlahnya. Tak hanya dari Jombang, luar Jombang seperti Kediri, Mojokerto, Malang, Surabaya, Sidoarjo selalu rutin mampir setiap minggu. ”Ramainya akhir pekan, seperti Sabtu dan Minggu,’’ jelas dia. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
SEBAGAI pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Keras, Kiai Asy’ari dikenal warga sebagai pribadi yang sangat sederhana dan tak neko-neko. Pendidikan kepada seluruh santri yang tidak banyak juga dilakukannya sendiri. Dengan tanggung jawabnya yang mungkin jarang dilakukan kiai besar.
“Beliau itu punya kebiasaan untuk menimba kamar mandi yang akan dibuat wudlu santrinya ketika subuh, setelah itu baru membangunkan santri,” cerita KH. Ahmad Labib kembali.
Hal ini tentu menjadi kebiasaan yang bisa dikatakan aneh. Dimana seorang kiai, di pesantrennya adalah guru besar, dan biasanya akan diperlakukan secara istimewa oleh santrinya. “Buat beliau itu rasa tanggung jawabnya kepada santri, supaya mereka benar-benar jadi orang,” lanjutnya.
Contoh lain nan sederhana lain dibuktikannya dengan pembuatan kolam air untuk wudlu santri. Kolam ini seperti dibuat sengaja berbentuk segi delapan dan tak berbentuk kotak atau bundar, seperti kebanyakan lainnya yang hingga kini masih bisa dilihat di sebelah selatan masjid Keras. Satu lagi, sebuah pijakan juga terlihat dibangun di sisi utara tempat berwudlu ini yang kini sudah tidak lagi karena renovasi.
“Kolamnya memang sudah diubah, tapi bentuknya tetap, hanya ditambah ubin saja,” sambungnya. Dari penampakannya, pijakan itu sengaja dibuat untuk Mbah Asy’ari duduk atau berdiri dan dari situ semua kolam akan kelihatan sehingga bisa mengawasi cara santrinya wudlu. “Mbah Asy’ari memang mengajarkan semua langsung dari dasar, dan kenapa segi delapan, karena itu jumlah santrinya dulu. Itulah keuntungannya mengambil santri yang tidak banyak, semua pembelajaran bisa dilakukan sangat mendasar dan mengena,” imbuhnya.
Tak saja sang kiai, upaya untuk tirakat juga dilakukan istrinya Nyai Halimah. Bahkan untuk ini, nyai Halimah tetap menjaga barakah santrinya dilakukannya dengan cara berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. “Tahun pertama untuk membersihkan dirinya, tahun kedua untuk keluarga dan dhuriahnya, dan tahun ketiga ini untuk santrinya. Ini bukti kecintaan Nyai Halimah kepada santrinya,” tegasnya lagi.
Bahkan menurut salah seorang anggota keluarga lain, diyakini hingga kini Pondok Pesantren Keras memang tak pernah bisa menampung banyak santri karena doa yang dipanjatkan Kiai Asy’ari. Hingga kini setidaknya masih ada 11 santri yang mondok di pesantren ini. Masih ada sampai sekarang santrinya, tapi ya itu sejak awal santrinya memang tidak banyak. Doa mbah itu untuk menjadi orang bermanfaat walaupun tidak banyak.
“Yang jelas nyari yang mau tekun sekali disini, tapi ya memang jadi betul. Buat mbah, yang penting itu kualitasnya bukan kuantitasnya,” ucap H. Abdul Ghorib, adik KH. Ahmad Labib. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com