Pariwisata Jombang bagian utara sedikit kurang diekspos. Padahal, wilayah bagian utara Ringin Conthong itu dulunya diduga merupakan bagian dari ibukota Kerajaan Mdang yang didirikan Mpu Sndok dan wilayah yang akrab dengan Prabu Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan. Salah satu peninggalan Sang Prabu bahkan masih ada dan menjadi ikon wisata Kecamatan Kudu ; Sendang Made.
Lokasi Wisata Sendang Made dapat dicapai dengan rute melintasi Jembatan Ploso, belok kanan dan lurus saja hingga kita menemukan papan penunjuk jalan menuju Desa Made dan Wisata Sendang Made.
Banyak penunjuk jalan ke lokasi, dan kita akan menyusuri jalan lapis beton yang bisa dilalui mobil sehingga tak perlu lagi berjalan kaki untuk mencapai tempat petilasan. Sebelum sampai di lokasi, kita akan melewati Makam Desa Made dan Makam Mbah Nodi.
Untuk memasuki lokasi wisata, pengunjung tidak dipungut biaya. Sebagai gantinya, kita hanya diwajibkan membayar biaya parkir kendaraan. Untuk mobil ditarif seharga selembar lima ribu rupiah dan bisa memarkir kendaraan di tengah lokasi wisata. Sedangkan untuk motor, bisa diparkir di halaman rumah juru kunci yang masih berada di dalam kompleks petilasan Sendang Made.
Memasuki lokasi wisata, kita akan disuguhkan pemandangan pepohonan tua yang akarnya begitu kokoh dan besar. Pepohonan ‘kuno’ itu tinggi menjulang, sehingga ranting dan dedaunannya menghalagi cahaya mentari menembus bagian bawahnya. Saat Jombang City Guide berkunjung cuaca benar-benar terik, namun terasa teduh dan sejuk karena naungan pepohonan di lokasi wisata.
Sendang Made berada di wilayah Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, sekitar 20 km dari titik nol Kota Santri. Lokasinya terletak di lereng Pegunungan Kendeng, dan berdampingan dengan Makam Desa Made. Kini Sendang Made menjadi ikon destinasi andalan Kecamatan Kudu sebagai wisata budaya dan sejarah petilasan Raja Airlangga.
Dinamakan sendang, karena ada banyak kolam di kompleks petilasan Raja Airlangga ini. Ada satu kolam utama berukuran sekitar 8 x 11 meter yang dinamakan Sendang Gede.
Ada kolam-kolam lain yang berukuran lebih kecil di sekitar Sendang Made. Setiap kolam bahkan punya nama sendiri-sendiri, yaitu :
Ada ikan yang hidup di dalam kolam-kolam yang tak pernah kering itu. Ikan-ikan itu tak boleh diambil dan diganggu serta punya mitos lengkap dengan cerita magisnya. Konon, ikan-ikan itu melambangkan perkembangan dan kondisi zaman. Katanya, bila terlihat hanya sedikit ikan dalam kolam tandanya zaman sulit. Sedangkan bila ikan terlihat banyak dan gemuk, maka pertanda murah sandang pangan.
Saat Jombang City Guide mampir, kondisi air tampak keruh, dan bahkan ada satu kolam yang tidak ada airnya. Hanya ada satu kolam yang berisi ikan koi. ikan di kolam terlihat banyak dan besar, namun tidak terlihat di kolam lain. Waaah.. kalau demikian pertanda apa ya???
Kolam-kolam tersebut dikuras secara berkala oleh para pengurus petilasan, dengan bergotong-royong bersama warga desa. Pengurasan kolam dilakukan secara manual, namun karena dilakukan secara bergotong-royong aksi bersih sendang ini berlangsung cukup singkat.
Akhir-akhir ini, peserta pengurasan kolam makin sedikit yang hadir. Bisa jadi karena perkembangan zaman, sehingga mulai menipisnya warga yang mempercayai berbagai mitos yang ada di Sendang Made. Selain itu, faktor teknologi juga menjadikan aktivitas kuras kolam menjadi lebih mudah karena didatangkannya mesin penguras kolam sehingga tak perlu lagi kehadiran banyak warga untuk melakukannya. Sungguh ini merupakan bukti bahwa tenaga mesin sudah mulai mengurangi peran tenaga manusia.
Sendang Made adalah situs petilasan bersejarah peninggalan Prabu Airlangga. Sendang Made berasal dari kata sendang yang artinya kolam dan Made yang merupakan nama desa dimana kolam-kolam yang tak pernah kering itu berada. Sendang Made dulu dikenal sebagai Dempo Madukoro, yang mungkin kemudian disingkat menjadi ‘dema’ dan dibalik menjadi Made yang lalu menjadi nama desa. Mungkin lho.
Namun dasar yang lebih kuat didapat dari kultur budaya Bali dimana Prabu Airlangga berasal. Sang Prabu yang berasal dari Bali dan nama Made identik dengan panggilan di Pulau Dewata. Made sendiri berarti kebesaran dan bisa juga diartikan pertengahan. Tak heran nama Made selalu menjadi sebutan anak kedua di Bali.
Tidak ada bukti apapun yang membuktikan bahwa Sendang Made adalah peninggalan Raja Airlangga. Namun Cerita turun-temurun sudah menjadi bukti paling kuat yang merujuk pada sejarah tempat ini. Ada kemungkinan Sang Prabu menggunakan nama ‘Made’ sebagai nama samarannya ketika dalam pelarian, yang kemudian menjadi asal-usul nama desa.
Awal ceritanya, Sang Raja yang merupakan seorang pangeran dari Bali ini sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dewi Sekarwati yang merupakan anak dari paman matrilinealnya. Ketika pesta pernikahan sedang digelar, tiba-tiba ada serangan dari tentara Raja Wura-Wuri dari Tulungagung. Sang Pangeran Bali dan pengantinnya lari ke pedalaman Made di Jombang ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan pengikutnya termasuk para dayang.
Pedalaman Made yang dipilih untuk lokasi persembunyian adalah lokasi Wisata Sendang Made sekarang. Dulunya, Desa Made adalah hutan belantara, sehingga lokasi ini dirasa cukup aman dari kejaran tentara Tulungagung yang memburunya. Lokasi itu kemudian menjadi rumah persembunyian Sang Raja.
Sang Prabu ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan para dayang hidup selama tiga tahun di Sendang Made. Selama masa pelarian ini Raja Airlangga menyamar menjadi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembuat kerajinan, pengrajin emas, dan sesekali berprofesi sebagai grup kesenian keliling.
Selain sebagai destinasi wisata sejarah petilasan Raja Airlangga, Sendang Made juga menjadi destinasi wisata budaya karena adanya ritual adat kungkum yang rutin dilakukan di Sendang Made. Kungkum yang dalam bahasa Jawa artinya berendam atau mandi di kolam, dulunya dilakukan oleh Raja Airlangga.
Sang Prabu dulunya sering melakukan nyepi di kolam ini. Aktivitas nyepi ini semacam meditasi yang dilakukan dengan mandi berendam dalam sendang. Kolam-kolam ini semacam ‘bath tube’ yang berfungsi sebagai tempat Sang Raja membersihkan diri, tapi dalam versi alami dan tradisionalnya. Bisa jadi, setelah mandi beliau tampak bersih dan segar setelah tandak ngamen keliling, sehingga penampilannya makin menarik dan makin laris sebagai pengamen.
Karena makin laris dalam aktivitasnya dalam tandak ngamen, masyarakat pun meyakini dengan melakukan ritual ini akan laris tanggapan seperti yang dialami Raja Airlangga saat menyamar menjadi pengamen. Selain itu keinginan Sang Prabu juga terpenuhi. Dari kisah ini akhirnya muncul tradisi kungkum yang digelar setiap tahun pada bulan Suro.
Ritual kungkum alias berendam ini kemudian menjadikan Sendang Made sebagai lokasi jujugan para sinden, atau siapapun yang ingin mendapatkan ‘kejayaan’ dalam karirnya. Dipercaya, siapa yang melakukan ritual kungkum di dalam kolam Sendang made akan mendapat apa yang diinginkan dan mitos-mitos itu seakan menjadi kenyataan. Menurut Mbah Supono Sang Juru Kunci, berendam dalam kolam hanya sebagai media. Meminta hajat tetap pada Allah Sang Pencipta, dan yang paling penting adalah keyakinan.
Orang-orang yang kungkum di Sendang Made umumnya memiliki harapan tersediri. Biasanya, orang yang ingin peningkatan dalam karirnya segera terwujud, atau dalang makin terampil dalam menggerakkan lakonnya. Para sinden juga kemari berharap suara sinden tersebut bisa semerdu istri Sang Prabu, yang diduga kuat berperan menjadi ‘vokalis’ Sang Raja saat menyamar menjadi pengamen keliling.
Ritual ini dilakukan sendiri oleh yang memiliki hajat dengan berendam (maaf) telanjang dalam salah satu kolam yang diinginkan, dengan didampingi oleh Sang Juru Kunci yang memandu dari di tepi kolam. Seluruh tubuh dicelupkan ke dalam air hingga tiga kali sambil berdoa meminta kepada Yang MahaKuasa. Banyak kepala desa maupun artis yang konon sudah melakukan ritual ini. Termasuk Inul Daratista yang kini sudah menjadi pedangdut papan atas tanah air.
Ritual ‘privat’ ini dilakukan tak hanya di siang hari, tapi juga tengah malam. Tak heran inilah mengapa Sendang Made buka 24 jam, mengingat banyaknya pengunjung yang ingin melakukan ritual dalam waktu tertentu sesuai amalan yang dipercaya mampu mengabulkan keinginan. Contohnya di malam kamis legi, lokasi ini pasti ramai oleh para peziarah yang mencari wangsit maupun berkunjung ke petilasan.
Sedangkan ritual ‘pelantikan’ sinden biasanya dihelat setahun sekali di Bulan Suro, dan dilakukan bersamaan. Seorang perempuan yang akan menjadi sinden, atau Sang Dalang dalam pementasan wayang harus dimandikan terlebih dahulu di Sendang Made, karena mengikuti aktivitas yang menjadi cikal bakal ritual yang dilakukan Raja Airlangga selama tergabung dalam grup kesenian keliling. Ritual mandi di Sendang Made adalah sebuah perlambang untuk terjun ke dunai seni tradisional dari berbagai macam profesi seni.
Kumkum sinden ini juga dilakukan untuk pembersihan jiwa semua pelaku seni agar selalu menghasilkan karya yang semakin baik. Selain itu juga sebagai bentuk penobatan profesionalisme, tujuan agar tidak terjadi kesenjangan diantara sesama seniman.
Biasanya ada puluhan sinden dan dalang yang hadir untuk ‘diwisuda’, yang bertujuan supaya suaranya makin merdu dan orderan manggung tak pernah surut. Ritual penglaris ini juga dipercaya membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda serta auranya terpancar. Beberapa orang meyakini, sinden yang pernah mandi di Sendang Made selalu tampak anggun dan mempesona.
Prosesi unik dimulai dengan mengguyur air sendang ke tubuh para peserta ritual. Dengan kebaya merah dan jarik, para sinden ini berjajar untuk melakukan ritual kungkum. Saat air sendang diguyurkan oleh tokoh masyarakat setempat, para calon sinden dan dalang dianjurkan berdoa meminta apa yang diinginkan kepada Yang MahaKuasa. Lalu dituangkan air yang sudah diberi doa ke dalam guci yang boleh dibawa pulang oleh para peserta pelantikan.
Setelah selesai dilantik sebagai sinden, para peserta penobatan dikalungkan selendang hijau yang menandakan mereka sudah sah sebagai sinden. Selendang hijau yang dikalungkan tampak kontras dengan kebaya merah yang mereka kenakan. Kebaya merah adalah jati diri mereka dan pengalungan selendang hijau sebuah perlambang para sinden ini resmi masuk dalam dunia seni tradisional. Merah dipadukan dengan hijau, sesuai dengan warna perlambang kota Jombang.
Destinasi wisata ini masih benar-benar alami dan kuno, sehingga masih banyak diperlukan penataan. Kolam yang ada di Kompleks Sendang Made masih terjaga dengan aman. Bangunan-bangunan tersebut juga dilarang untuk dirombak karena ada kepercayaan khusus yang masih dipegang teguh pengelola dan juru kunci. Entah apa tujuan dari pantangan ini, setidaknya dengan adanya larangan ini nilai historis dari Sendang Made masih terjaga.
Meski sudah ada ‘papan nama lokasi’ yang tanpa papan sebetulnya dan upaya pengelola untuk menghiasnya dengan sebuah spot selfie, bangunan kuno juga masih dipertahankan berikut bangunan yang diduga juga menjadi tempat peristirahatan Raja Brawijaya saat singgah, dan beberapa rumah kecil yang diyakini oleh sebagian orang sebagai makam.
Memang, di dalam kompleks Sendang Made dipercaya terdapat makam Dewi Pandansari yang merupakan keturunan Raja Brawijaya, meski Mbah No Sang Juru Kunci belum yakin benar atau tidaknya adanya makam itu. Namun kepercayaan yang sudah beredar luas ini menjadikan makan ini sebagai tempat pemujaan sekelompok orang. Di hari-hari tertentu, mereka membawa sesajen termasuk bunga dan kemenyan untuk diletakkan dalam makam.
Pak Supono atau Mbah No, merupakan juru kunci Sendang Made yang sudah bertugas sejak tahun 1980. Kediaman Mbah No berada di dalam kompleks Sendang Made, di dekat parkir motor. Pak Supono sudah berperan sebagai juru kunci Sendang Made ketika menginjak usia 20 tahun. Sejak menjadi juru kunci, entah mengapa Pak Supono kerap dipanggil dengan sebutan Mbah yang berarti Kakek, padahal usianya masih muda ketika itu.
Mbah No merupakan urutan ke-delapan para juru kunci Sendang Made. Juru kunci sebenarnya adalah peran yang diwariskan turun temurun, sedangkan Mbah No sebenarnya bukan keturunan juru kunci terdahulu. Beliau mewarisi peran Juru Kunci itu karena menikah dengan putri dari juru kunci sebelumnya.
Meski Mbah No bukan keturunan langsung dari para juru kunci sebelumnya, namun istimewanya Mbah No lah yang menemukan banyak pemikiran tentang Sendang Made. Pemikiran tersebut didapat dari tirakat yang dilakukan Mbah No dan menghasilkan sekelibat penampakan yang diyakini sebagai kehadiran Sang Raja dalam salah satu sendang.
Terdapat dua patung kecil yang berada di samping salah satu pohon di dekat kolam, di balik papan peringatan dari BPCP Trowulan ,tak jauh dari ‘papan nama lokasi’ Sendang Made. Dua patung ini berbentuk manusia dan dibalut selimut dan sesajen di sekitarnya. Kepercayaan animisme dan dinamisme kejawen sepertinya masih dipegang oleh sejumlah orang yang datang, dan patung-patung tersebut bisa jadi salah satu medianya.
Banyak artefak yang merupakan peninggalan raja airlangga di Sendang Made, seperti prasasti yang menandakan jika tempat ini sudah eksis sejak abad XI. Di beberapa kolam masih tampak batu bata kuno yang terbalut jamur berserakan di pinggir sendang. Jika memang demikian, berarti lokasi ini sudah berumur lebih dari seribu tahun.
Beberapa penelitian akademis sudah pernah dilakukan di Sendang Made, termasuk dari seorang mahasiswa dari universitas yang namanya berasal dari nama Sang Prabu yang dulu pernah mendiami lokasi Sendang Made ini. Btw Jombang City guide juga alumni lho… 😎
Adanya sarana pendukung seperti musholla dan toilet serta dua warung yang bisa digunakan oleh para pengunjung. Aneka jajanan dan mainan anak-anak yang dijajakan oleh pedagang di lokasi memastikan para pengunjung yang membawa putra-putrinya tak risau akan kebutuhan hiburan buah hatinya dan membuat tempat ini makin ramai.
Sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah, Sendang Made dilengkapi pendopo yang berfungsi untuk perhelatan acara pelantikan sinden maupun acara adat lainnya. Terkadang dihelat pula acara desa seperti perkemahan pramuka, workshop, seminar, bahkan lomba mewarnai anak TK Desa Made di sini.
Di samping pendopo, pengelola meletakkan dua replika papan nama jalan yang berisi nama jalan lucu yaitu Jalan In Dulu dan Jalan Bareng Yuk. Replika jalan ini merupakan salah satu pemanis dan bentuk kreativitas pengurus sebagai upaya meningkatkan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Sendang Made. ‘Penghias’ ini ditambahkan dalam lokasi untuk mengikuti arus perkembangan tren pariwisata yang didominasi generasi milenial yang selalu haus akan spot selfie yang instagramable.
Kini Sendang Made sebagai wisata sejarah, juga dilengkapi dengan sebuah spot selfie berupa Hiu. Hiu yang dipajang sebenarnya bukan hiu melainkan jenis Paus Pembunuh atau Paus Orca sebelumnya merupakan properti karnaval dari kerangka dan terpal yang kemudian diletakkan di Sendang Made sebagai tambahan penghias lokasi wisata.
Meski ada pantangan dilarang membuang sampah sembarangan di kompleks Sendang Made, tampaknya pengunjung zaman now agak abai terhadap larangan ini. Lokasi Sendang yang dulunya digadang-gadang sebagai tempat wisata yang bersih sepertinya sudah tidak relevan lagi. Tampak beberapa sampah berserakan di areal wisata, termasuk di dalam salah satu kolam yang tak berisi air yang malah dijadikan tempat membuang sampah oleh para pengunjung.
Wisata Sendang Made ini tergolong low budget tourism. Selain tempat masuknya gratis, pengunjung juga bisa berwisata sejarah dengan menikmati suasana tempat petilasan Sang Raja dan berwisata budaya dengan memahami nilai adat yang mengiringi keberadaan Sendang Made. Cocoklah untuk wisata tipis-tipis tapi multimanfaat. Ya rekreasi, ya belajar sejarah, ya mengenal budaya setempat.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide