Mengikisnya budaya Jawa dan kearifan lokal, menjadi keprihatinan tersendiri bagi seniman di Jombang, Jawa Timur. Dituangkannya unsur budaya Jawa, dilakukan Sanggar Tari Lung Ayu, saat upacara bendera 17 Agustus, di Dusun Subentoro, Desa Sumbermulyo, Kabupaten Jombang, Jumat (17/8/2018).
Upacara yang diikuti puluhan peserta ini, terdengar mengunakan Bahasa Jawa. Beberapa aba-aba upacara yang biasanya menggunakan Bahasa Indonesia, dirubah menjadi bahasa Jawa. Seperti adanya aba-aba untuk menyiapkan pasukan upacara yang biasanya beraba-aba “Siap Gerak”, dalam upacara ini diganti dengan “Samapta Baris, Obah”.
Tak ayal, meski berkontek unik dan aneh di telinga orang Jawa. Namun, keheningan dalam prosesi upacara nyaris dirasakan peserta, hingga warga yang menyaksikan. Detik-detik bendera dinaikkan, seluruh perserta yang juga unik dengan menggunakan baju adat Jawa, mengangkat tangan ke kening sebagai tanda penghormatan kepada sang merah putih.
Untuk para wanita, yang ikut sebagai peserta upacara terlihat menggunakan jarik dan kebaya khas Jawa. Sementara bagi peserta laki-laki menggunakan Sujan.
“Upacara berbahasa Jawa ini, sudah kita lakukan sebanyak 6 kali kita laksanakan,” ujar Mardianto, seniman yang juga Ketua Panitia pelaksana upacara.
Menurutnya, ide awal pelaksanaan upacara berbahasa Jawa ini dilaksanakan sebagai wujud keprihatinan dimana bahasa Jawa mulai ditinggalkan.
“Seolah-olah bukan hal yang penting. Maka itu, dengan cara sederhana ini, kami mencoba membangkitkan kembali kearifan lokal ini,” jelasnya.
Menurutnya, identitas kearifan atau identitas lokal semakin penting di era sekarang maupun seterusnya. “Budaya lokal sebagai ujung tombak pembentukan budaya nasional. Semakin penting di era yang semakin mengglobal,” pungkasnya.
Sementara, untuk pembacaan Teks Proklamasi dan lagu Indonesia Raya saja yang tetap berbahasa Indonesia. Namun, mulai dari pembacaan susunan acara, sampai pada aba-aba tiap tahapan upacara, semua dirubah menjadi Bahasa Jawa. (*aan/kj*)
Jombang – Hasil panen buah salak yang melimpah dimanfaatkan oleh ibu-ibu rumah tangga di Desa Jatirejo, Diwek, Jombang sebagai ladang bisnis. Mereka mengolah buah salak yang tak terjual menjadi minuman sari buah.
Inspirasi datang ketika Hari Raya Idul Fitri tiba. Ibu-ibu resah karena ingin membuat minuman yang khas untuk para tamu.
Secara kebetulan, saat panen raya tiba, harga salak di salah satu kampung penghasil salak ini anjlok hingga Rp 5 ribu/kg. Salak-salak yang tak terjual kemudian diolah menjadi minuman sari buah.
Proses pembuatan minuman sari buah dimulai dengan mencuci dan mengupas buah-buah salak segar lalu merebusnya.
Air rebusan buah salak itu lalu dicampur dengan gula pasir sebagai pemanis. Setelah dicampur dengan rempah-rempah sebagai penyedap, sari buah salak ini kembali direbus hingga matang.
Sari buah salak itu lantas disaring supaya bersih. Baru kemudian dikemas menggunakan cup dan botol plastik. Produk minuman ringan ini kemudian diberi merk Salacca.
“Seminggu kami dua kali produksi, sekali produksi kami buat 28 kardus. Tiap kardus berisi 32 cup, harganya Rp 27 ribu per kardusnya,” terang Lutfiyah
Lutfiyah menambahkan, pemasaran Salacca juga masih di seputaran wilayah Jombang. “Kalau ke luar kota hanya melayani pesanan sanak saudara, misalnya ke Palembang, Lumajang, Jakarta,” ujarnya.
Setelah sekitar setahun berjalan, barulah mereka merasakan untungnya. Diperkirakan omzet mereka dalam sebulan mencapai Rp 6 juta.
Kendati demikian, Lutfiyah mengaku masih belum bisa mengembangkan bisnis ini karena kesulitan pasokan modal. Selain itu, jangkauan pemasarannya juga belum terlalu luas.
“Selama ini kami hanya memutar modal awal Rp 5 juta, harapannya bisa dapat tambahan modal,” tutupnya.
(lll/lll)
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com