JOMBANG, FaktualNews.co – Setelah sempat vakum di tahun 2017, Pesta Durian atau yang lebih dikenal dengan Kenduri Durian “Kenduren” akan kembali digelar di tahun 2018. Banyak agenda yang akan meramaikan kegiatan ini semisal jalan sehat, hiburan musik maupun ludruk dan lain lain.
Sebagai puncak acara akan diadakan digelar “Pawai 9 Tumpeng Durian Dan Tumpeng Durian Raksasa” pada Minggu, 11 Februari 2018 di Lapangan Desa/Kecamatan Wonosalam.
Berikut ini jadwal agenda #KendurenWonosalam2018 yang telah menjadi Ikon Wisata Kabupaten Jombang
• Tanam Durian Bido di PD Panglungan; Minggu, 4 Februari 2018
• Jalan Sehat di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Jumat, 9 Februari 2018
• Cak Kartolo & Ludruk Budi Wijaya di Kampoeng Djawi Desa Carang Wulung Kec. Wonosalam; Sabtu, 10 Februari 2018
• Gowesdurian: Start : Aloon-aloon Jombang, Finish : Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu, 10 Februari 2018
• Pameran Produk Unggulan di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu- Minggu, 10-11 Februari 2018
• Sobo Alas 4×4 Kenduren 2018 Start/Finish di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu-Ahad, 24-25 Februari 2018
• Kuda Lumping di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu, 10 Februari 2018
• Orkes Melayu di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu, 10 Februari 2018
• Pawai 9 Tumpeng Durian di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Minggu, 11 Februari 2018
• Mancing di PD Panglungan; Sabtu, 10 Februari 2018 (masih dalam konfirmasi)
• Kemping Air Terjun Selolapis di Dusun Mendiro Desa Panglungan (masih dalam konfirmasi)
• Festival Kopi di Lap. Desa/Kec. Wonosalam; Sabtu-Minggu, 10-11 Februari 2018
Info Panitia : 081326680559 (Wartomo) atau 0816539330 (Jalaluddin)
JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Musim hujan menjadi berkah para petani. Sebab, sawah milik mereka dipastikan tidak akan kekurangan air. Namun, musim hujan juga bisa menjadi petaka, jika disertai petir atau geledek. Karena orang di sawah bisa saja tersambar petir.
Itu pula sebab warga Dusun Banjarsari, Desa Bareng, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, setiap tahun menjelang musim tanam, selalu menggelar tradisi ‘Clorotan’. Tradisi ini ritual bertujuan menangkal petir dengan cara menyantap secara bersama-sam sejumlah kue, salah satunya kue clorotan, kue khas desa setempat, Jumat (12/1/).
Sejak pagi, warga berkumpul di makam dusun setempat. Di makam dusun itu juga terdapat makam Mbah Kudus, yang tak lain merupakan sesepuh desa. Mbah Kudus ini diyakini sebagai tokoh yang zaman dulu membuka hutan dan kemudian menjadikannya sebuah dusun, disebut Dusun Banjarsari. Warga yang datang membawa bungkusan berisi makanan yang diantaranya kue clorotan.
Selain kue clorotan, yang harus ada dalam bungkusan untuk selamatan itu adalah berondong jagung (pop corn), kue pasung, dan kerupuk. Keempat jenis jajanan mempunyai makna masing-masing. Kue clorotan terbuat dari tepung dicampur gula, kemudian dibungkus janur, atau daun kelapa muda, dibentuk menyerupai terompet. Clorotan sebagai simbol kilat, yang biasanya mendahulu datangnya petir dan guruh. Kemudian ada kue pasung, yang merupakan simbol petir atau.
“Bahannya sama dengan clorotan, yaitu tepung dicampur gula. Yang membedakan, jika clorotan dibungkus daun kelapa muda, maka kue pasung dibungkus daun nangka. Selain itu pasung mirip granat. Simbol dari ‘geluduk’ (bahasa Jawa) atau petir,” kata Kepala Desa Bareng Subekhi.
Selain ‘pasung’ dan clorotan, ada juga kue brondong jagung (pop corn). Ini simbol dari guruh, yang biasanya mendahului datangnya geledek. Dan terakhir jajanan kerupuk. “Kerupuk ini simbol angin topan atau puting beliung. Kita berharap tidak ada angin yang membawa bencana bagi petani,” timpal Mbah Lewi, sesepuh desa.
Setelah seluruh warga datang, Mbah Lewi pun memulai prosesi Clorotan itu. Ia mengawali dengan wejangan mengenai acara clorotan ini, yang intinya merupakan adat yang harus dilestarikan demi keseimbangan alam. Mah Lewi yang notabene tokoh adat dusun setempat menyampaikan niat para warga untuk meminta perlindungan keselamatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa dari bencana geledek dan lain-lainya.
“Jadi jangan sampai kalau petani turun ke sawah terjadi apa-apa, utamanya petir yang menyambar. Alhamdulillah selama dijalankan tradisi ini, tidak ada petani di dusun ini yang tersambar petir saat berada di sawah,” jelas dia.
Ritual ini lanjut kakek yang sudah berusia 72 tahun ini, telah dilakukan sejak turun-temurun, sejak orang tua zaman dahulu. Maka itu warga selalu nguri-uri tradisi. (ony/ns)