Pada masa kemerdekaan atau pada periode kepemimpinan rezim Soekarno (1945-1965), ludruk menjadi kekuatan kultural untuk menyuarakan “perjuangan revolusioner yang belum selesai”. Penggunaan bahasa keseharian masyarakat Arek yang cenderung terbuka—atau bahkan vulgar—menjadikan pesan-pesan perjuangan di masa-masa awal kemerdekaan dengan mudah bisa ditangkap oleh rakyat kebanyakan. Selain itu, penggunaan dialek Arek yang tidak mengenal tingkatan bahasa juga memiliki implikasi politis bagi menguatnya keegaliteran dan memperlemah kembalinya politik feodalisme yang memberikan keuntungan bagi kalangan ningrat Jawa. Hal itu semakin diperkuat dengan ketiadaan lakon-lakon yang berlatar istana/kerajaan/keraton. Eko Edy Susanto, pimpinan Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, menuturkan:
“Penggunaan bahasa Jawa dialek Arek dalam pertunjukan ludruk, sejak masa awal perkembangannya, bukan hanya karena kesenian ini lahir dan berkembang di masyarakat Arek. Lebih dari itu, penggunaan dialek ini menegaskan semangat wong cilik yang mengedepankan kesamaan dan kesetaraan hubungan sosial. Kan dialek Arek itu tidak mengandung unggah-ugguh bahasa yang terlalu ketat, sehingga semua pemain bisa ngomong secara tebuka, tanpa tedheng aling-aling, tidak ada ewuh-pakewuh, seperti bahasa Kulonan (Mataraman, pen). Selain itu, pilihan lakon yang meminimalisasi tema keraton/kerajaan, semakin menegaskan keberpihakan ludruk terhadap kehidupan wong cilik, sekaligus menggugat kemapanan tradisi ningrat Jawa yang sangat feodal dengan beragam aturan dalam percakapannya.” (Wawancara, 16 Agustus 2014)
Keegaliteran dalam pertunjukan ludruk merupakan modal pertama bagi kesenian ini untuk digemari rakyat dari masa kolonial hingga pascakolonial. Artinya, para seniman ludruk, pada dasarnya, memiliki kekuatan politiko-kultural untuk terlibat secara langsung dalam perluasan dan penguatan semangat anti-kolonialisme yang menjadi tugas utama para elit politik dan aktor kultural di masa awal kepemimpinan Soekarno. Sementara para sastrawan, akademisi, dan pemikir budaya menawarkan bermacam ramuan nasionalisme yang sesuai untuk Indonesia pascakolonial di awal kemerdekaan melalui bermacam produk karya sastra, kritik sastra, dan pemikiran budaya dalam beragam terbita, para seniman ludruk tetap setia dengan kidungan, jula-juli, dan lakon cerita yang menawarkan keterikatan langsung dengan permasalahan sehari-hari. Sementara masih banyak aktor kultural di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang membayangkan-kembali kejayaan masa lalu yang dipenuhi feodalisme, para seniman ludruk menggugat kembalinya keningratan Jawa melalui penggunaan bahasa Arek dan lakon non-istana. Usaha untuk ‘mematikan’ keningratan Jawa melalui pertunjukan ludruk, bisa dibaca sebagai keberanian dan kecerdasan intelektual para seniman ludruk sekaligus sebagai bentuk kontribusi terhadap penyuburan nasionalisme modern yang diidealisasi keluar dari bingkai feodalisme yang hanya akan mengembalikan bangsa ini ke dalam lingkaran setan kekuasaan ningrat.
Populeritas ludruk di daerah Mojokerto, Jombang, Malang, Surabaya, dan sekitarnya, serta kedekatan narasi pertunjukan dengan kehidupan masyarakat kebanyakan, banyak partai politik yang menginginkan kelompok ludruk sebagai institusi underbow-nya, khususnya melalui lembaga kebudayaan masing-masing partai. Senyatanya, nilai-nilai kerakyatan yang diyakini para seniman ludruk, menjadikan sebagian besar dari mereka atau kelompok ludruk lebih dekat atau berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang secara ideologis lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu kelompok ludruk berhaluan kiri yang cukup terkenal adalah Ludruk Marhaen. Ludruk Marhaen pernah menggelar pertunjukan di Istana negara sampai 16 kali. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para tentara yang akan merebut-kembali Papua, TRIKORA II B, dan memperoleh penghargaan dari Panglima Mandala Soeharto. Realitas ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini.[1]
Terdapat relasi resiprokal yang ditandai dengan negosiasi dari masing-masing pihak; seniman ludruk dan aparatus negara. Melalui pertunjukan di depan para penggede Republik yang masih berusia belia ini, para seniman ludruk, selain mendapatkan keuntungan finansial, juga mendapatkan nama baik yang akan berimplikasi kepada ketenaran mereka di mata masyarakat. Ketenaran itu pula yang akan mendatangkan job pertunjukan bagi kelompok ludruk. Sementara, bagi rezim negara, pertunjukan ludruk bisa digunakan untuk menghibur para abdi negara sekaligus memobilisasi kesadaran nasional mereka melalui lakon-lakon yang sudah disesuaikan untuk kepentingan propaganda. Meskipun banyak kelompok kesenian yang berafiliasi ke partai politik non-komunis, pilihan untuk menghadirkan kelompok ludruk yang berafiliasi ke partai politik komunis menegaskan kesadaran rezim negara terhadap potensi estetik dan diskursif ludruk untuk memobilisasi dan mendidik aparat, termasuk tentara, agar mereka terus menjaga api revolusi yang belum selesai.
Bisa dikatakan, kelompok ludruk yang berada di bawah pengaruh Lekra menggelar pertunjukan yang isinya bersifat agitatif dan propaganda. Menurut, Ibnu Sulkan, 61 tahun, salah satu tokoh ludruk Mojokerto, menjelaskan kalau pesan-pesan ideologi komunis disebarkan melalui parikan-parikan pada saat jula-juli maupun lawakan (Ishommudin, 2013). Sementara, menurut Ali Markasa, 71 tahun, salah satu maestro tari remo Mojokerto, ludruk-ludruk binaan Lekra seringkali mementaskan lakon tentang Kahar Muzakar (DI/TII), Aidit, Gerwani, dan lain-lain (Ishommudin, 2013). Bahkan, isu-isu sensitif seperti persoalan agama juga diangkat.
Di Jombang, yang merupakan basis massa NU, Lekra juga berani manggung dengan lakon ludruk Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Mengambil Menantu). Lakon ini dimainkan oleh grup ludruk paling terkenal di Jombang waktu itu, Arum Dalu. Allah yang bagi orang Islam hanya satu atau tunggal dipersepsikan punya anak dan menantu. Ada lagi cerita Kawine Malaikat Jibril…Sepanjang 1965 itu, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berani dan kritis. Lakon-lakon provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten dan Malaikat Kimpoi (Malaikat Bersetubuh), sering dipentaskan. Pentas hampir merata di semua daerah yang memiliki basis kesenian binaan Lekra…Rakyat Jawa Timur, yang lebih ekspresif dan terbuka kulturnya, memainkan ludruk dengan lakon Malaikat Kipo. Kata “kipo” mempunyai arti pipa, yang berfungsi sebagai penyalur. Lakon itu mengisahkan perlawanan rakyat terhadap para pemilik tanah dalam program landreform. Para kyai adalah simbol masyarakat kelas menengah atas (priyayi) yang menguasai banyak tanah. Malaikat pun menjadi pembela rakyat untuk mendapatkan hak atas tanahnya. (Majalah Tempo, edisi 30 September 2013.hlm.98-99)
Meskipun menyinggung perasaan dan ketentraman banyak pihak—dari tentara, musuh politik PKI, hingga tokoh agama, pilihan untuk menggelar lakon yang bernada kritis-povokatif-agitatif tidak bisa dilepaskan dari orientasi ideologis Lekra yang memang berusaha melawan musuh-musuh Manipol Usdek yang diarahkan oleh rezim Soekarno. Para kyai dan tuan tanah merupakan representasi kekuatan feodal (bagian dari “tujuh setan desa”) yang menjadi sasaran dari perlawanan PKI. Meskipun secara legal-formal Lekra tidak pernah menjadi bagian dari PKI, tetapi para pengurusnya memang secara ideologis sangat dekat dengan partai tersebut. Menjadi wajar kalau kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra lebih senang menggelar pertunjukan yang secara ideologis menguntungkan perjuangan lembaga kebudayaan dan partai tersebut. Selain itu, kepentingan ideologis-kultural para seniman ludruk untuk memanggungkan permasalahan hidup dan menyampaikan pesan-pesan pencerahan bagi masyarakat semakin memperkuat keterlibatan mereka dengan ideologi komunis. Dalam konteks menuju masyarakat dan bangsa maju di masa kemerdekaan, pilihan untuk menggugat kemapanan kuasa feodal berbasis agama merupakan lompatan paradigmatik yang ditawarkan para seniman ludruk. Mengapa? Karena melalui narasi dan wacana terkait kekuatan dan keberpihakan terhadap rakyat kebanyakan, ludruk berusaha memberikan kesadaran kepada para penontonnya betapa tugas-tugas revolusioner tidak bisa dan tidak boleh dibatasi oleh para tokoh agama yang hanya akan menenggelamkan alam pikiran masyarakat ke dalam kekuasaan berbasis dalil-dalil suci.
Kemampuan propaganda dan agitasi para anggota Lekra—yang dalam pedoman lembaganya bertujuan untuk memajukan kesenian dan kebudayaan rakyat serta mensejahterakan para seniman—menjadikan para seniman ludruk mau menarasikan pesan-pesan ideologis dari lembaga tersebut. Dalam pengaruh diskursif Lekra inilah, pertunjukan ludruk benar-benar mampu menjadi pertunjukan rakyat, dalam artian pertunjukannya dimainkan oleh para seniman rakyat dan mengangkat cerita serta kritik tentang kehidupan rakyat kecil. Menurut Eko Edy Susanto (2012) ludruk mendapatkan tempat di hati masyarakat karena dalam pementasan selalu menyuguhkan kritik-kritik segar kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Melalui kritik-kritik tersebut, masyarakat terpuaskan karena merasa terwakili unek-uneknya telah tersampaikan. Artinya, para seniman dan kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra mampu menemukan formula untuk menginkorporasi kegelisahan dan penderitaan rakyat jelata sebagai lakon yang dikembalikan ke mereka, sehingga simpati kepada PKI semakin menguat.
Selain itu, perkembangan ludruk di masa Soekarno yang cukup menarik adalah kesadaran para seniman untuk menjadikan kelompok sebagai organisasi formal di mana masing-masing anggota dan pengurus memiliki tanggung jawab untuk membesarkan kelompok. Hal ini berbeda jauh dengan model juragan di mana hidup dan mati sebuah kelompok dan pertunjukan-pertunjukannya sangat bergantung kepada pimpinan. Melalui bentuk organisasi semua anggota dan pengurus memikul tanggung jawab kolektif untuk menemukan formula dan lakon yang bisa menjadikan sebuah kelompok laris di tengah-tengah masyarakat. Henricus Supriyanto, seorang guru besar dan pakar ludruk, menerangkan:
“Diakui atau tidak, dalam arahan Lekra, kelompok ludruk di Jawa Timur berkembang dalam model organisasi modern. Berbeda dengan model juragan yang berkembang pesat pada masa Orde Baru, manajemen modern dalam kelompok ludruk, memungkinkan masing-masing anggota dan pengurus untuk memberikan masukan terkait pengembangan ludruk. Dalam model ini, memungkinkan berlangsungnya terobosan dalam hal lakon yang dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga para seniman ludruk memiliki kebebasan untuk membuat lakon yang kontekstual. Dengan pengelolaan organisasi yang baik, para seniman ludruk bisa melakukan pelatihan-pelatihan dramatik yang tidak selalu mengandalkan lakon-lakon yang sudah umum di masyarakat. Setelah dibekukan dan ‘dihidupkan-kembali’ oleh rezim negara Orde Baru, manajemen ludruk dikendalikan oleh juragan dan para penerus dari pihak keluarga.”(Wawancara, 8 Agustus 2014)
Berkembangnya organisasi ludruk dengan manajemen modern dalam arahan Lekra, pada dasarnya, sudah memiliki fondasi sejak era Cak Durasim, yakni dengan didirikannya LO. Terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan terobosan dalam hal naskah lakon maupun pengembangan estetika pertunjukan yang mengarah kepada representasi kehidupan dan permasalahan rakyat kebanyakan, sehingga pertunjukan ludruk tetap digemari. Meskipun bersifat eskapis, dalam artian memberikan kanal-kanal katarsis bagi permasalahan kalangan buruh dan tani yang tidak bisa diselesaikan secara langsung dan cepat dalam kehidupan nyata, cerita ludruk bisa memperkuat solidaritas dan memberikan pendidikan tentang kekuatan komunal rakyat dalam menghadapi kembalinya kekuatan-kekuatan asing, sisa-sisa feodalisme, dan nilai-nilai individual dalam kehidupan masyarakat.