• info@njombangan.com

Category ArchiveSeni Budaya Pariwisata

Lika-liku Penggiat Ludruk di Surabaya ini Bisa Bertahan

Surabaya – Melestarikan kesenian lokal saat ini memang tidak mudah, selain jaman yang terus berubah juga harus berjuang sendiri untuk terus bisa berkarya.

Misalnya, komunitas ludruk Luntas atau Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. Di usinya yang pertama, Luntas membuktikan bisa eksis menggelar 8 kali pentas ludruk tanpa bantuan anggaran dari pemerintah.

Koordinator Komunitas Ludruk Luntas Robert Bayonet menceritakan lika-liku bergelut dengan dunia kesenian khas Surabaya ini. Robert mengaku dukungan dari pemerintah dirasa belum ada.

Komunitas Luntas sendiri pun tidak terlalu memperdulikan perhatian pemerintah asal bisa tetap berkarya. Bermodal keikhlasan para pemain di dalam komunitasnya, Luntas optimis akan terus mempertahankan budaya pusaka kesenian ludruk ini.

“Pemerintah peduli ya syukur, tidak ya tidak apa-apa. Kami masih punya pemain yang tetap mau berkarya meski tak dibayar,” kata Robert kepada detikcom disela-sela pementasan ludruk dengan judul ‘Suster Gepeng’ di Gedung Pringgondani Taman Hiburan Rakyat (THR), Sabtu (21/1/2017) malam.

Pria yang telah menekuni ludruk sejak duduk di bangku SMP ini menceritakan kekuatan Komunitas Ludruk Luntas memang ada pada orang-orang di dalamnya. Meski berangkat dari latar belakang yang berbeda, kecintaannya pada ludruk mampu mempertahankan eksistensi ludruk yang kian lama gaungnya kian tak terdengar.

“Kami tidak menjanjikan bayaran apa-apa kepada mereka, kami hanya menunjukkan ini loh budaya yang harusnya kalian lestarikan. Mau gabung ya silakan, mau keluar ya silakan. Karena Luntas bukan tempat bekerja tapi tempat menimba ilmu,” paparnya.

Robert juga menceritakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang terkesan tak acuh pada gedung kesenian di THR Surabaya termasuk Gedung Pringgondani yang biasa digunakan oleh Komunitas Luntas.

“Padahal THR ini legenda, pernah menjadi kebanggaan warga Kota Surabaya juga,” beber Robert.

Terkait dana, Robert mengaku Luntas tak banyak menarget. Asal biaya produksi sudah tertutup maka tak jadi masalah. Dana ini diperoleh dari tiket masuk para penonton yang menyaksikan kebolehan mereka.

“Biasanya dua juta atau setara dengan 200 penonton dan Alhamdulillah Luntas tak pernah sepi penonton. Minimal 150 setiap pentasnya padahal di THR ini 50 orang saja sudah bagus,” lanjut Robert.

Dengan terus ikhlas berkarya, Robert berharap komunitas ini mampu menyandingkan kesenian tradisional ludruk dengan kehidupan metropolitan yang makin modern. Salah satunya dengan terus memodifikasi dan menyesuaikan cara pementasan dengan model masa kini seperti penggunaan efek suara, lagu-lagu modern hingga black man.

 

Penulis: Ugik

Article courtesy: Detik.com

Photo courtesy: Detik.com

Ingin Dekatkan Ludruk ke Kaum Muda, The Luntas Sajikan Konsep Baru Pagelaran Ludruk

Surabaya – The Luntas, Luntas adalah singkatan dari Ludruk Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. The Luntas adalah nama sebuah komunitas seniman ludruk berjiwa muda yang kini kian eksis di panggung kesenian Kota Surabaya. Sabtu depan, 21 Januari 2017, ludruk The Luntas akan mementaskan lakon dengan judul “Suster Gepeng” di gedung Pringgondani Kampung Seni THR Surabaya, tepatnya pada pukul 20.00 WIB. ” Iya cerita Suster Gepeng adalah cerita yang cukup menarik dan melegenda bagi warga Kota Surabaya. Sabtu depan akan kami pentaskan, ” terang Cak Robert, yang jadi pimpinan dalam komunitas ludruk The Luntas ini.

Dalam setiap pagelarannya, ludruk The Luntas menampilkan konsep yang agak berbeda dibandingkan dengan komunitas atau grup ludruk lainnya. Dan sudah kesekian kalinya di tampilkan, seperti pada lakon : Bangkit dari Kubur, The Doekoen, Pesugian Nyi Blorong, Sawung Kampret, Sarip Reborn, dsb.

Sederhananya, menurut Cak Robert, pagelaran ludruk The Luntas disajikan dengan konsep yang ringan dan dipadu dengan sentuhan modern. Seperti misal pada penggunaan sound efeknya, pilihan jenis musiknya, digunakan sentuhan yang modern. Namun, tetap tidak meninggalkan unsur-unsur ludruk seperti pada umumnya.  ” Remo, jula-juli, bedayan, dan lawakan pembuka tetap kami tampilkan, ” tambah suami dari Aixa Paramita. Mereka berdua dikaruniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan.

” Ternyata banyak penggemarnya, terutama kalangan anak muda. Oleh karenanya, kami akan berusaha konsisten menampilkan pagelaran ludruk dengan cara seperti ini. Hitung-hitung biar jadi ikon ludruk The Luntas lah ?! ” ujar Cak Robert, yang juga sering belajar dari Cak Kartolo.

Bagi Cak Robert dan teman-temannya, yang penting saat ini kesenian ludruk bisa tetap eksis, dan bisa diminati masyarakat. Dari situ, mudah-mudahan muncul keinginan untuk mempelajari kesenian ludruk yang lebih dalam lagi.  Terpenting lagi bagi mereka ludruk bisa digemari anak-anak muda. Dengan demikian kesenian ludruk bisa tetap lestari, tidak ditelan jaman. ” Kesenian ludruk kan juga merupakan kekayaan bangsa, jadi harus kita lestarikan. Syukur-syukur ada tanggapan ke luar negeri, ” selorohnya.

Saat ini Ludruk The Luntas, selain Cak Robert sendiri juga diperkuat oleh pemain lainnya, diantaranya seperti Aixa Paramita, Ipoel Bayoned, Anam Kecenk, Joe Vicky, Graham al malik, Ribut, Yudha, Ronny Good, Devi, Istyanisa, Anita, dll.

Nizar, salah satu penggemar ludruk The Luntas mengatakan, kalau dirinya dan teman-temannya sangat menyukai pementasan ludruk ala The Luntas. ” Dulu kami nggak suka ludruk, tapi kalau lihat ludruk Luntas main jadi pingin lihat. Soalnya lucu dan menghibur, ” katanya. (*jkp)

 

Penulis: –

Article courtesy: pdiperjuangan-surabaya.com

Photo courtesy: pdiperjuangan-surabaya.com

Pementasan Ludruk Berlakon Susi Duyung di Jakarta

Malam itu, Kamis 11 Desember 2014, suara 5 orang sinden memecah suasana riuh acara pembukaan pameran seni rupa di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Kawasan Palmerah Jakarta Barat. Pameran yang bertema ‘Asam Garam Bentara’. tersebut menampilkan berbagai karya seni berupa lukisan dan patung karya 5 kurator BBJ. Dan pentas ludruk Budhi Wijaya menjadi acara lanjutannya.

oleh dibilang inilah pertama kali pentas ludruk Budhi Wijaya di Bentara Budaya Jakarta. Suara 5 orang pesinden yang bernyanyi sambil menari membuat orang tertarik dan berkumpul memenuhi areal halaman depan rumah Kudus di BBJ yang disulap menjadi panggung terbuka tersebut sehingga penuh oleh penonton. Ludruk Budhi Wijaya bisa pentas di Jakarta karena difasilitas oleh GM Sindhunata yang sudah terkenal kiprahnya di industri media serta pelestarian budaya Indonesia.

Acara dibuka dengan berbagai sambutan, salah satunya adalah tamu ‘spesial’ yakni Tarsan. Tarsan adalah seniman dan komedian nasional terkemuka yang juga lahir dari ludruk. Orang mengenalnya lewat acara TV Srimulat yang ngetop di akhir tahun 1990-an. ‘Saya ini lahir dari ludruk dan sudah berkesenian ludruk sejak SMP!’ begitu katanya. Selain itu, dia berharap agar makin banyak pihak yang peduli akan kelestarian ludruk. ‘Saya berharap agar Pemerintah Kabupaten Jombang dan lainnya ikut serta dalam melestarikan dan menghidupkan kembali ludruk. Misalnya ketika ada peringatan hari besar nasional, maka ya sebaiknya nanggap ludruk. Kalau bisa seluruh masyarakat ketika punya hajatan diwajibkan nanggap ludruk’. Lebih jauh lagi, dia berharap agar acara pementasan ludruk di BBJ bisa menjadi ujung tombak kebangkitan ludruk ini.

 

Ludruk memang merupakan kesenian asli Jombang. Lahir pada masa penjajahan, ludruk menjadi salah satu wahana berjuang masyarakat akar rumput melawan ketidakadilan penjajah. Pada awal perkembangannya, ludruk menjadi alat untuk kritik sosial terhadap penguasa. Secara etimologis, kata ludruk berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata, yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan keluarlah kata-kata yang membawakan kidung, dan dialog. Sedangkan gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari di pentas. Ludruk kemudian berkembang ke berbagai daerah di Jawa Timur dan akhirnya menjadi salah satu ikon kesenian Jawa Timur.

 

 

Pentas malam itu membawa judul ‘susi duyung’, tema yang sama dengan pameran seni rupa 5 kurator BBJ. Tema ini diambil sebagai bentuk respon atas fenomena seorang menteri bernama Susi Pudjiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan. Sejalan dengan salah satu slogan utama pemerintah Presiden Jokowi ‘jaya giri, jaya bahari’, bahwa pemerintah ingin menegakkan dan mewujudkan kejayaan Bangsa Indonesia baik di bumi maupun lautan. Indonesia memiliki wilayah lautan yang luasnya 2/3 dari luas wilayah Indonesia, namun sayangnya nasib nelayan selama ini kurang diperhatikan. Masih banyak dari mereka yang miskin dikarenakan kebijakan dan pengelolaan potensi laut Indonesia yang  kurang optimal. Susi lahir dari masyarakat nelayan di Pangandaran Jawa Barat. Sosoknya hadir dan dianggap nyeleneh karena walau hanya lulusan SMP namun bisa memiliki perusahaan kelas internasional. Dikenal sebagai seorang yang dermawan, Susi banyak dikritik dan dipertanyakan kemampuannya dalam memegang tampuk kementerian. Namun Susi tak goyak dalam melakukan gebrakan, salah satunya adalah dengan melakukan penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di Indonesia.

Kembali ke ludruk Budhi Wijaya, ludruk asli Ngusikan Jombang ini datang dengan 40 orang dalam rombongan mulai pemain ludruk, sinden, niyaga dan lainnya. Acara ludruk dimulai dengan pementasan tari ngremo kreasi yang disajikan secara apik dan enerjik, kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘jali-jali’ lagu daerah Betawi sebagai penghormatan akan Jakarta dan masyarakat Betawi sebagai tuan rumah acara. Lantas pastinya dilanjutkan dengan jula-juli.

 

 

Ludruk ini menceritakan tentang proses pemilihan kepala desa di Desa Ngliyep yang ada di pesisir pantai selatan Jawa. Acara ini diikuti oleh 2 orang yakni Carik Broto yang kaya raya dan Darmo yang datang dari kalangan biasa. Carik Broto dan pengikutnya sangat berambisi untuk menjadi penguasa desa dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya. Mereka kemudian menjalankan politik uang dengan memberikan sejumlah uang kepada warga, dengan pesan agar mereka memilih Carik Darmo dalam pemilihan desa tersebut.

 

 

Pada saat penghitungan suara, ternyata Darmo mendapatkan 9 suara sedang Carik Broto hanya mendapatkan 8 suara, akhirnya Darmo keluar sebagai kelapa desa yang baru. Tidak terima dengan kekalahan tipis tersebut, Carik Broto berusaha untuk mencari cara lain untuk merebut kekuasaan. Dia dan pengikutnya kemudian mendengungkan isu penyebaran penyakit pageblug di desa dan mereka kemudian menghadap lurah Darmo. ‘Desa kita kena pageblug dan sebagai lurah, Lurah Darmo harus mencari jalan keluarnya’. Lantas mereka kemudian mengatakan bahwa ada semacam obat atau tombo yang harus Darmo cari di salah satu goa di daerah Ngliyep tersebut. Mereka lantas bersama-sama mencari obat tersebut dan hal licik dilakukan. Darmo kemudian didorong masuk ke dalam bagian goa yang curam dan dia terjatuh dan kemudian hilang, tidak diketahui nasibnya apakah hidup atau mati.

Broto lantas menjadi lurah baru. Banyak kebijakan merugikan rakyat yang dilakukannya. Salah satunya adalah dengan menutup kantor kepala desa dan memindahkan semua kegiatan pemerintahan desa di rumah pribadinya. Setiap pengurusan perizinan harus disertai dengan alas (lemek) uang. Dia juga tidak iba sedikitpun kepada warga yang membutuhkan pertolongan namun mereka dulu tidak memilihnya ketika pemilihan kepala desa berlangsung. Aroma dendam dan ingin balik modal membuat Broto menjadi buta mata. Bahkan broto sempat melakukan pemerkosaan terhadap bunga desa di Ngliyep tersebut. Tidak hanya itu, dia juga melakukan pemerasan terhadap masyarakat nelayan yang mayoritas ada di sana.

Melihat itu semua, Susi salah seorang wanita desa itu tidak tinggal diam, dia didukung oleh penduduk lokal lainnya melakukan perlawanan. Namun, Susi tidak cukup kuat dan digdaya untuk melawan pendukung Broto. Susi yang kemudian dibuang ke laut kemudian dalam salah satu mimpinya, setelah dibuang oleh pendukung Broto, bertemu dengan Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul kemudian mengatakan bahwa niatan Susi yang mulia untuk menyelamatkan penduduk desa akan dia dukung sepenuhnya. Kemudian Sang Ratu memberinya pusaka berupa keris yang disebut dengan pusaka duyung. Semenjak itu nama susi berubah menjadi susi duyung, seorang wanita utomo (ksatria) yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk selalu melindungi masyarakat.

Dengan pusaka duyung, Susi duyung kemudian menemui Broto dan pasukannya. Susi yang sekarang digdaya dengan mudah berhasil mengalahkan mereka. Masyarakat desa merasa sangat gembira dengan hal itu. Namun, kemurahan hati masyarakat desa akhirnya mengampuni Broto dan pasukannya agar tobat dan tidak berbuat jahat lagi. Jadi pemimpin itu harus adil dan welas asih terhadap rakyatnya.

Acara ludruk ini berlangsung dengan apik. Lawakan dibawakan dengan sangat baik dan tentunya membuat penonton terpingkal-pingkal. Gaya bahasa yang dibawa pun sangat khas Njombangan dan Suroboyan. Dan tentunya yang paling penting adalah pesan yang dibawa dalam ludruk ini sangatlah mendalam: bahwa menjadi manusia janganlah menghalalkan segala cara dan rakus akan kekuasaan. Kita sebagai manusia harus tahu mana yang hak kita dan mana yang tidak. Serta tentunya kita harus gigih dalam membela yang benar dan tertindas.

 

‘Pementasan ludruk kali ini benar-benar bagus dan berhasil karena berhasil membuat masyarakat Jakarta yang menontonnya tertawa dan terhibur’ ujar Krihastuti, salah seorang penonton.

Semoga dengan makin banyaknya pementasan ludruk, maka seniman juga semakin meningkatkan kreativitas dan mendapat apresiasi masyarakat. Sehingga akhirnya ludruk akan tetap lestari dan dicintai.

 

Penulis: Johar Zauhariy

Article Courtesy: joharjohar.com

Photo Courtesy: joharjohar.com

Mahasiswa Unesa Angkat Besutan untuk Kembalikan Teater Tradisi

SURYA.co.id | SURABAYA – Perkembangan budaya ke arah globalisasi membuat banyak tradisi yang telah dimodifikasi. Termasuk Besutan, teater tradisi yang mengalami distorsi sejak dimainkan oleh remaja agar bisa diterima oleh kalangannya.

Untuk itu, mahasiswa tingkat akhir Program Studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik), Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS Unesa) kembali mengangkat Besutan untuk tugas akhir mereka.

Mereka yaitu Yusup Eko Nugroho sebagai Sutradara sekaligus aktor dalam teater tradisi asal Jombang ini. Kemudian Muhammad Samsudin Yahya yang memainkan peran sebagai aktor utama si Besutan dan Ferika Ratna Ayu yang mengambil tugas akhir artistik sekaligus aktris dalam teater ini.

Yahya, pemeran Besutan mengungkapkan peraiapan teater ini mereka lakukan selama setahun. Mulai dari wawancara narasumber yang merupakan sumber terdekat dengan cerita Besutan ini hingga belajar dialek yang berneda dengan kesehariannya.

“Saya harus memahami peran dengan bertanya langsung pada sumbernya di Jombang,” ungkapnya pada SURYA.co.id saat mempersiapkan latihan terakhirnya di kampus Unesa Lidah Wetan, Minggu (1/1/2017).

Revisi demi revisi mulai dari pencarian kidung, cara berperan hingga memainkan dialek khas warga Jombang telah ia jalani. Hingga pekan liburan juga harus dihabiskan untuk latihan.

Teater “Besutan Wani” ini menceritakan upaya si Besutan sebgaia pribumi asal Jombang yang memiliki kecerdikan dan kepolosan layaknya Abunawas. Dalam kisahnya Besutan berhasil memakai kecerdikannya untuk mengalahkan lawannya yang merupakan antek Belanda.

Sementara itu, Ucup, sapaan akrab sutradara “Besutan Wani” ini mengungkapkan kesulitan terbesar memang dalam penguasaan dialek oleh 20 aktor yang terlibat dalam teater ini. Apalagi ia tak hanya menghadapi teman kuliahnya, banyak di antara alumnus Sendratari juga terlibat di dalamnya.

“Yang pasti kesulitan dalam mengolah dialog dan dialek dari setiap aktor. Dialek arek yang sangat puitis dibungkus dengan paribasan dan sanepan sangat sulit,” jelasnya.

Pekan libutan selalu diambil untuk pementasan yang terbagi menjadi 3 tahap ini. Besok, Senin (2/1/2017) merupakan pementasan final mereka dari 1 tahun mempelajari Besutan.

“Kami latihan tiap hari Senin sampai Jumat, kalau ambil liburan sekalian memaksimalkan peran. Karena tidak ada beban kuliah atau apa,”ujarnya.

Meskipun cukup sulit, bagi Ucup dan teman-temannya, memainkan teater tradisi merupakan suatu kebanggan. Pasalnya hal ini dapat ditularkan pada generasibmuda untuk kembali mencintai budaya Indonesia.

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Kisah Kartolo dan Ludruk

Kartolo sudah meninggalkan dunia ludruk sejak 1985. Sejak saat itu, belum ada seniman ludruk yang bisa menyamai kharismanya.

tirto.idJalan Kupang Jaya I tampak lengang siang itu. Hanya ada beberapa orang anak muda yang sedang duduk di depan rumah. Cangkruk, istilah Surabaya-nya. Beberapa meter setelah tempat mereka cangkruk, ada dua orang perempuan paruh baya yang bercengkrama. Mereka tampak sigap ketika ditanya rumah Kartolo.

“Rumahnya Abah lurus aja. Nanti ketemu rumah pager item yang puanjang, nah itu rumahnya Abah,” kata salah satu perempuan itu.

Bagi yang belum tahu, panjang dan puanjang itu berbeda. Ini dialek khas Surabaya. Panjang ya panjang, biasa saja. Kalau puanjang, itu artinya lebih dari panjang yang biasa. Sama seperti guanteng untuk menyebutkan ketampanan yang berlebihan, atau uelek untuk menyebut keapesan tak tertanggungkan perihal muka. Penambahan huruf -U itu sama derajatnya dengan kata very dalam Bahasa Inggris.

Benar saja, rumah Kartolo memang panjang. Seperti dua rumah yang dijejer jadi satu. Pagarnya hitam. Lantai halaman depan keramik beraksen gelap.

Seorang perempuan menyilakan untuk masuk. Dalam rumah Kartolo ada satu jam Junghans buatan Jerman, yang bersandingan dengan satu buah kipas angin. Pria berumur 71 tahun ini biasa menemui tamunya di ruang tamu, di sofa berwarna cokelat. Nama Kartolo tenar sebagai seniman ludruk dan pelawak. Baru saja mendaratkan bokong di atas sofa kesayangannya,  dia sudah melontarkan lawakan.

“Silakan kuenya dimakan,” katanya menyilakan.

“Itu kue sisa lebaran.”

“Tapi lebaran lima tahun lalu.”

Nama Kartolo dan ludruk nyaris tak bisa dipisahkan. Walau sebenarnya pria yang sempat lama tinggal di Malang ini sudah “meninggalkan” dunia ludruk pada 1980-an. Kartolo beralih menjajal masuk dapur rekaman. Selama 15 tahun, Kartolo sudah merekam sekitar 95 album. Setelah Kartolo pergi, rasa-rasanya belum ada seniman ludruk yang bisa menyamai kharismanya.

James Peacock, dalam Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama (1968) mengatakan bahwa ludruk bisa ditarik akarnya ke abad 13. Saat itu sudah ada pertunjukan ludruk bondan dan ludruk lerok di era Kerajaan Majapahit. Ludruk tumbuh berkembang di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Timur.

Ludruk berkembang di jalanan, dalam artian mereka berkeliling. Mirip dengan sirkus. Istilahnya tobongan. Ludruk keliling ini berisi rombongan besar. Kadang dalam satu rombongan ada sekitar 50 hingga 60 orang. Tidak hanya pemain, tukang dekor pun diborong. Kartolo muda mulai menangguk pengalaman bermain ludruk dengan bergabung di tobongan. Saat itu 1967, Indonesia masih dalam keadaan panas setelah peristiwa Gerakan 30 September.

Tobongan banyak ditanggap. Baik di desa ataupun kota. Bedanya ada di durasi. Di desa, biasanya ludruk dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 3 pagi. Sedangkan di kota, lebih singkat, hanya 4 jam saja. Biasa dimulai pukul 8 malam, berakhir pukul 12.

Ludruk punya pola yang bisa dibilang jamak. Pada pembukaan, akan ada atraksi tari remo terlebih dulu. Setelah ngeremo selesai, akan ada babagan yang disebut sebagai Bedayan, tarian yang diiringi kidung para penyanyi. Setelahnya baru para pelawak muncul. Pelawak ini awalnya akan muncul sendirian. Dia mulai berbicara dan melucu, mirip seperti komika di zaman sekarang. Setelahnya para rekan pelawak lain akan muncul, dan akan ada tek-tok untuk meluncurkan lawakan-lawakan dalam bentuk grup. Setelah lawakan selesai, baru ada Lakon. Ini adalah inti cerita yang dibagi dalam beberapa babak. Cerita biasanya mengambil kisah rakyat, atau kehidupan sehari-hari.

“Semua pertunjukan ludruk harus ada itu semua,” kata Kartolo.

Babak Dalam Ludruk

Ludruk disukai banyak orang karena sifatnya yang membumi. Ia dianggap sebagai pemberontakan dari seni pertunjukan ala keraton dan istana, seperti wayang atau ketoprak, yang biasanya memakai tema elite dan menggunakan bahasa elite pula. Ludruk tidak demikian. Bahasanya adalah bahasa “kasar”, yang lebih egaliter dan dekat dengan kalangan akar rumput.

Karena populer itu lah, banyak anak-anak muda yang tertarik untuk bergabung dengan ludruk. Dari penelitian James Peacock selama kurun 1963 hingga 1964, dia mendata ada sekitar 594 grup ludruk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur mendata pada 1984-1985 ada sekitar 789 grup ludruk.

Pada 1985, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur pernah melakukan pendataan kelompok ludruk dan senimannya. Saat itu kelompok ludruk sudah menurun jadi sekitar 58 kelompok ludruk dengan jumlah pemain mencapai 1.500-an orang. Jumlah itu makin menyusut seiring munculnya televisi.

Kelompok Loedroek ITB, pernah melakukan pendataan periode ludruk. Dimulai dari periode lerok besud (1920-1930), dari sini ludruk keliling bisa dilacak. Para kelompok ludruk berkeliling, ditanggap untuk mengisi berbagai acara. Mulai dari pernikahan, sunatan, atau panen raya.

Pertumbuhan ludruk dari era 1930 hingga 1945 diwarnai dengan kisah-kisah yang membakar perlawanan kepada penjajah. Di periode ini, muncullah nama Cak Durasim, tokoh ludruk legendaris yang sekarang diabadikan menjadi nama gedung pertunjukan di Surabaya. Cak Durasim membuat organisasi perkumpulan kelompok ludruk, Ludruk Organizatie.

Selain menjadikan ludruk sebagai hiburan rakyat, disisipkan pula pesan-pesan perlawanan. Puncaknya adalah saat Cak Durasim mengeluarkan parikan: Pagupon omahe doro, melu Nippon malah tambah sengsoro (pagupon rumahnya dara, ikut Jepang malah tambah sengsara). Karena peristiwa itu, Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Jepang. Dia meninggal setahun setelah penangkapannya.

Periode ludruk kemerdekaan dimulai sejak 1945 hingga 1965. Saat itu, ludruk yang memang dekat dengan kalangan akar rumput, juga dekat dengan kaum Komunis Indonesia dan sayapnya, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Salah satu kelompok ludruk yang terkenal adalah Marhaen dan Tresna Enggal. Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September, banyak seniman ludruk yang ditangkap dan hilang tanpa jejak.

Setelah Orde Lama tumbang, jagat ludruk sempat kosong dalam waktu sekitar 3 tahun. Setelahnya, rezim Orde Baru memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk menjadi “bapak” kelompok ludruk. Beberapa kelompok ludruk digabungkan jadi satu dan berada dalam pengawasan kesatuan ABRI masing-masing.

Ada kelompok Anoraga yang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma I, II, dan III Brawijaya yang dibina oleh Korem 083 Baladika Jaya, Malang. Kelompok Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang. Kelompok Dwikora Denzipur 5 Lawang juga punya kelompok ludruk. Sedangkan Brimob punya kelompok Gema Tribrata dan Duta Budaya. Kartolo mengawali karir dengan bergabung di Denzipur 5.

“Dulu seniman ludruk itu ya pakai seragam juga, masuk kantoran,” kata Kartolo.

Pada 1975, barulah kelompok ludruk kembali jadi independen. Dan Kartolo mulai menekuni karir sebagai seniman ludruk keliling dengan bergabung ke kelompok seperti Gajah Mada, Tangsa Trisno, Bintang Surabaya, Persada, hingga ludruk milik Radio Republik Indonesia.

Peristiwa Pemberontakan G30 S yang membuat banyak seniman hilang tak diketahui rimbanya, membuat para seniman ludruk mengurangi, bahkan menghilangkan, muatan politis dalam setiap penampulan panggungnya. Begitu pula Kartolo. Dia memilih sama sekali tidak mau menyinggung soal politik dalam lawakannya.

Masa Depan Ludruk

Ibnu Raharjo adalah salah satu kolektor kaset lawakan Kartolo. Dia punya sekitar 50-an kaset Kartolo. Lebih dari separuh. Sisanya, kata Ibnu, agak susah dicari.

“Karena kolektor kaset kayak gini kan susah dilacak,” kata pria pendiri Toko Buku Kafka ini.

Pertemuan Ibnu dengan karya Kartolo sudah dimulai saat dia masih SD. Kaset Kartolo sering diputar di acara hajatan, biasanya siang hari. Itu adalah waktu di mana memutar lagu dangdut terlalu berisik dan memutar lagu pop tidak menarik. Setelahnya, baru Ibnu melihat pertunjukan Kartolo melalui TVRI.

Menurut Ibnu, ada beberapa hal yang menyebabkan Kartolo disukai banyak orang. Pertama, lawakannya gampang ditangkap semua orang. Ini adalah buah dari pengalaman di ludruk, yang memang memakai bahasa sehari-hari dan juga menampilkan tema yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Tema lawakan Kartolo juga dianggap bisa menyasar semua umur.

“Buktinya, aku yang masih kecil saja bisa suka,” kata pria yang tinggal di Malang ini.

Menurut Ibnu, Kartolo memang menghindari tema politik dalam lawakannya. Ini dilakukannya secara sadar. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Kartolo ikut mengampanyekan program pemerintah. Seperti Keluarga Berencana, atau soal swasembada pangan.

Saat menjadi mahasiswa di pertengahan 98, Ibnu mulai tertarik mengoleksi kaset Kartolo. Setiap ada kaset Kartolo, dia selalu beli. Tahu-tahu sudah mencapai 50 kaset. Menurutnya, kaset Kartolo lumayan mudah dicari di lapak penjual kaset bekas. Bahkan kaset yang baru pun ada, terbitan Nirwana Records.

Periode Kartolo memasuki era kaset ini cukup menarik. Sebagai seniman klasik –dalam artian dia lumayan mengabaikan perihal uang dan imbalan materi, dan lebih memilih untuk terus berkarya– Kartolo tidak peduli dengan royalti. Dari semua kasetnya, tak ada yang dibayar pakai royalti.

Kartolo tidak keberatan dengan kebijakan itu. Menurutnya, hubungannya dengan Nirmala adalah sama-sama menguntungkan. Nirmala mendapatkan untung finansial, Kartolo mendapatkan publisitas luas. Karena saat itu juga belum ada televisi.

“Tanpa kaset rilisan Nirmala itu, saya tidak akan jadi apa-apa. Kaset saya itu sampai di Texas lho mas. Iya, Texas Amerika,” kata Kartolo.

Selepas Kartolo, nyaris belum ada seniman Jawa Timur, yang bisa menyamai pengaruhnya. Dulu sempat ada Kelompok Kirun, Bagio, Kholik. Tapi bubar. Begitu pula duo Topan dan Lesus yang dulu sempat menghiasi layar televisi, juga buyar di tengah jalan.

Kartolo sendiri sampai sekarang masih aktif manggung: melawak dan ngidung di usia kepala 7. Paling tidak sebulan ada 4 atau 5 kali manggung. Dalam masa jayanya dulu, kelompok lawakan Kartolo bisa manggung hingga 20 kali dalam sebulan. Tak hanya itu, Kartolo juga masih aktif membuat syair kidungan dan parikan. Dia tak pernah menampilkan materi yang sama dalam tiap panggungnya.

Kesenian ludruk sendiri masih hidup hingga sekarang, walau tak mungkin sebesar dulu. Nama-nama baru bermunculan, walaupun memang harus diakui agak susah menyamai para pendahulunya. Di Surabaya ada kelompok ludruk Arboyo yang dipimpin oleh Cak Lupus. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak muda di bawah usia 30 tahun. Di Bandung, ada kelompok Loedroek ITB yang merupakan unit kegiatan kampus. Di Surabaya juga masih ada beberapa kali kompetisi ludruk, walau seringkali tak ada kelanjutannya setelah ada pemenang lomba.

Ludruk, sama seperti kesenian tradisional Nusantara lain, memang persis seperti yang diungkapkan Kathleen Azali dalam makalah berjudul Ludruk, Masihkah Sebagai Ritus Modernisasi, menuliskan bahwa ludruk dan banyak kesenian tradisional kita tidak punya standarisasi. Selain itu, pewarisan ilmu pengetahuan dan khazanah pertunjukan ini dilakukan secara lisan. Hal ini membuat regenerasi lumayan susah dilakukan. Apalagi jika para tetua sudah mulai tidak ada.

Pengamat seni Henri Nurcahyo mengatakan bahwa setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan agar ludruk bisa tetap bertahan. Pertama, ludruk harus berinovasi agar tidak membosankan. Pakem, mau tidak mau, harus sedikit diubah.

“Semisal pentas dibuka bukan dengan tari remo, melainkan dengan adegan perkelahian,” tulis Henri.

Kedua, ludruk bisa dikemas supaya mampu menghadirkan suasana desa dan tradisional, terutama bagi masyarakat kota yang memang rindu dengan suasa desa dan hiburan tradisional. Ketiga, tentu campur tangan pemerintah. Bisa dengan menyediakan insentif bagi para seniman ludruk, atau memberikan tempat latihan gratis bagi kelompok ludruk.

Penulis: Nuran Wibisono

Article courtesy: Tirto.id

Photo courtesy: raibongsoku.blogspot.co.id

Tentang Kartolo, Legenda Ludruk dan Seniman Jawa Timur

2 Juli 1947, Tolo lahir di Watu Agung Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, yang akhirnya lebih akrab dipanggil Kartolo. Kartolo bukan berasal dari keluar seniman Ayahnya, Aliman adalah buruh pabrik tenun Juwingan, Surabaya. Pun, ibu Kartolo, Payamah hanya sebagai ibu rumah tangga yang berdagang warung kelontong. Pria yang sangat bangga disebut mirip Saddam Hussein ini, tak pernah bercita-cita sebagai seniman. Ia dulu sangat memimpikan jadi pegawai negeri, yang dianggapnya punya masa depan. Ya, karena pegawai negeri dapat pensiun dan tunjangan.

Tahun 1952, Tolo masuk Sekolah Rakyat (SR)

Tahun 1958, lulus SR 6, Tolo tidak melanjutkan se­kolah yang lebih tinggi, orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Masa kecilnya di Prigen punya tetangga yang membuat gamelan. Namanya Pak Tjipto. Gamelan buatan Pak Tjipto dipakai untuk kerawitan atau panjak. Di situlah Kartolo belajar gambang dan tayuban. Usia 14 tahun, Tolo ikut grup ludruk Margo Santoso, grup ludruk di desanya. Lalu bergabung dengan grup Ludruk Garuda yang bermarkas di Pandaan. Pada zamannya ludruk Garuda ini lumayan punya pamor. Selanjutnya Tolo pindah lagi, bergabung dengan grup Panca Tunggal, grup binaan Batalyon Zeni Tempur V Lawang.

Tahun 1961-1962, Tolo hijrah ke Malang. Dia memilih menjadi seniman lepas (tidak terikat pada Grup Ludruk), Tolo ikut pentas berbagi grup ludruk yang ada di Kota Apel tersebut.

Tahun 1965, Ketika meletus peristiwa G 30 S PKI Kartolo pulang ke Pandaan. disebabkan seluruh kegiatan kesenian terhenti, kondisi yang sangat menyiksa. Karena para seniman tak bisa berekspresi dan tak mendapatkan penghasilan.

Tahun 1967, situasi negara mulai tenang. Lantas Tolo melanjutkan kiprahnya dengan bergabung di grup Dwikora Sepur Lima, Lawang. Grup ini kemudian bubar. Kartolo lalu pindah ke ludruk Gajah Mada binaan Marinir Surabaya. Dari grup Gajah Mada itu, nama Kartolo mulai dikenal. Ia kemudian bergabung ke ludruk Bintang Surabaya. Keluar lagi dan bergabung dengan ludruk Tansah Trisno.

Tahun 1971, bergabung dengan ludruk RRI Surabaya, Kartolo gandeng dengan tokoh-tokoh ludruk RRI Surabaya yang cukup tenar, antara lain Muali, Kancil, Markuat. Lakon-lakon yang dijadikan andalan. di ludruk RRI Surabaya inilah, Kartolo kepincut Kastini yang sama- sama main di ludruk RRI. Sering Tolo dan Tini dipasangkan dalam lakon-lakon ludruk. Dan akhirnya benar-benar jadi suami istri sampai sekarang uwiting tresno jalaran soko nggelibet. Artinya, Awalnya cinta disebabkan karena sering berdekatan.

Tahun 1974, Kartolo keluar dari RRI. Dia sempat bergabung dengan Ludruk Persada Malang pimpinan Cak Subur di Kabupaten Malang. Kartolo belajar keras lagi. Pengalamannya banyak ditempa di sana.

Tahun 1980, setelah malang melintang sebagai seniman ludruk, akhirnya Tolo mendapat tawaran rekaman di bawah bendera Nirwana Record. Bersama Nelwan S. Wongsokadi dengan karawitan Sawunggaling Surabaya. Sedangkan Kartolo membawakan Jula-Juli Guyonan. Formasinya, Kastini (istri Kartolo), Munawar, Sapari, Sumilah, dan Cak Yakin. Pertama yang di-launching Peking Wasiat dan Welut Ndas Ireng. Dua kaset itu meledak di pasaran, sampai 10 ribu kaset. Edisi selanjutnya Kartolo merilis Tumpeng Maut. Dalam edisi ini bergabunglah Basman dan Sokran. Kedua pelawak inilah, menambah warna tersendiri Basman yang dikenal ceplos-ceplos, suka terpeleset-peleset bicara sembari diiringi tawa lebar. Sokran yang kerap memosisikan diri sebagai orang yang selalu dirundung kesialan dan memelas.

Tahun 1980-1995, Kartolo telah merilis 90 kaset dan VCD 4 buah, antara lain Soto Gagak, Besut 81, Kemanten Puret, Kuro Kandas, Macan Ompong, Dukun Ulo Entong, Ratu Cacing Anil, Juragan Roti Sepatu, dan masih banyak lagi. Album terakhir Rujak Kikil (1995). Rekaman Kartolo juga banyak dijual di Suriname. Membuat kidunganbagi Kartolo sangat mudah, justru melawaklah suatu hal yang diangagap sulit, sebab bayolan terkait dengan cita rasa penikmatnya. Cerita lawakan Kartolo tak pernah tertuang dalam naskah, hanya sekedar berdialog sebelum naik pentas dengan para pemainnya, ada yang pengumpan, ada yang menabok. Namun dalam melawaknya ternyata mempunyai prinsip batas tegas, Ia tidak akan mengangkat tema-tema politik atau yang menghujat.

Tahun 1990, Kartolo pernah tampil di Universitas Airlangga dalam acara open air di depan pelataran Fakultas Hukum. Ketika itu, Kartolo melakonkan diri sebagai mahasiswa yang sok tahu. Ketika Sokran bertanya, sudah ikut mata kuliah apa, dengan enteng Kartolo menjawab: Kewirangan Spontan para mahasiswa pun terkekeh-kekeh mendengar pelesetan kuliah Kewiraan itu.

Kartolo dimata BUDAYAWAN Sindhunata (2004)
Sindhynata heran, saat mempelajari kidungan Kartolo, berbagai strata sosial masyarakat menyukai lawakannya. Sindhunata menulis tentang Kartolo. Bukunya, Ilmu Nggletek Prabu Minohek, dicetak September 2004 akhirnya di-launching. Isinya tentang apresiasi kidungan dan lawakan Kartolo.

Shindunata kagum sebab karya Kartolo semua kidungannya isinya selalu berbeda. Kartolo mempunyai segudang pengalaman. Dengan demikian, akar atau ranah lawakannya bukanlah kecukupan dan keceriaan atau kegembiraan. Melainkan kekurangan dan kepahitan atau kesedihan.

Kekurangan, kepahitan, dan kesedihan jika masuk dalam ranah humor, akan menghasilkan efek komedi tragis. Komedi ini hanyalah ekspresi seni dari hidup rakyat yang susah dan berkekurangan sehari-harinya. Hal inilah membuat Kartolo laris manis di kalangan mereka.

Jangan berharap luar biasa dari kehidup Kartolo. Ngglethek, hidupnya memang begitu saja, orang yang bisa merekam pelbagai kisah kehidupan dalam lawakan yang begitu mengesankan, ternyata ngglethek, cuma sederhana dan selugu itu. Hanya dengan pandai menertawakan diri dan hidup ini sesungguhnya ngglethek.

Di sinilah jasa Kartolo dan kawan-kawannya buat kehidupan. Lawakan-lawakannya selalu mengingatkan orang untuk sadar akan aspek ngglethek dari kehidupan ini. Jalan hidup Kartolo begitu sederhana. Sangat ngglethek (pasrah)? begitu komentar Sjndhu

Emha Ainun Nadjib juga kagum terhadap kesahajaan Kartolo. Emha sempat menawari Kartolo bergabung dengan kelompoknya Kyai Kanjeng, namun Kartolo beralasan lebih mengutamakan grup lawakannya. Ia merasa sudah ada keterikatan batin dengan teman-temannya. Kartolo pernah diundang mengisi kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), didaulat menjadi pembicara dalam seminar budaya, bersama Harry Mukti dan Emha Ainun Nadjib. Meski Kartolo pelaku seni dan budaya namun bukanlah orangnya jika sebagai pembicara seminar, yang hanya berpendidikan Sekolah Rakyat.

Bersama istrinya Kastini tinggal di Kupang Jaya 1/12-14 Surabaya, Kartolo dikarunai tiga orang anak. Anak pertama Agus Slamet sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Sedang yang kedua Gristianingsih dan anak ketiga Dewi Triyanti sudah bisa hidup mandiri Darah seni Kartolo agaknya menurun kepada putri bungsunya, Dewi Triyanti yang pandai ngremo, pernah tampil di Istana Negara. Bagi Kartolo, peran seniman kalau bisa jadi tontonan sekaligus sebagai tuntunan. Meski namanya telah populer, Kartolo bersama istrinya, Kastini tak pernah pilih-pilih job. Bahkan di acara tujuh belasan (peringatan HUT Kemerdekaan RI) di kampungnya Kartolo dan Ning Tini masih rutin mengisi tanpa mau dibayar. Bahkan, kalau tampil tujuh belasan mengajak masyarakat setempat untuk main bareng. Dedikasi Kartolo sebagai seniman merupakan totalitas. Hampir seluruh hidupnya habis dari panggung ke panggung. Perjalanan waktu telah membuat makin matang dalam berkarya.

Kartolo bisa dibilang sebagai peletak dasar-dasar ludruk modern, dan sekaligus pembaharu bagi genre kesenian Jawatimuran ini. Parikan-parikan yang diciptakannya merupakan improvisasi di atas panggung yang tercipta saat itu dan tanpa teks. Parikan-parikannya tidak hanya berisi ungkapan-ungkapan jenaka belaka, namun juga berisi kritik-kritik sosial dan potret-potret kehidupan metropolitan.

 

Penulis: –

Article courtesy: Jawatimuran.net

Photo courtesy: Kompasiana.com

Tak Ingin Lupakan Tradisi Jawa, Lesung Dilombakan

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Sambut panen raya dan juga melestarikan tradisi dan budaya Jawa, jamaah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Desa Mojowarno, Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang, menggelar Lomba Musik Lesung atau orang Jawa bilang (klotekan lesung,red), Kamis (5/5/2016).

Acara yang digelar di lapangan Desa Mojowarno tersebut dipadati penonton. Bagaimana tidak, Perpaduan bunyi lesung (alat penumbuk padi,red) yang dipukul dengan menggunakan sebatang bambu oleh sejumlah pemainnya itu, menghasilkan alunan nada indah yang merdu didengar oleh telinga siapa saja. Bahkan beberapa penonton yang melihat terlihat menganguk-anggukkan kepala, tanda dirinya menikmati alunan musik tradisoional Jawa tersebut.

“Kalau didengar enak di telinga. Seperti mengingat jaman dulu,” ujar Suprapti (45), yang juga melihat tontonan unik tersebut.

Meski begitu, bukan orang sembarang yang bisa memainkan musik unik itu. Sebab, bagi para pemula, bermain lesung bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, butuh waktu beberapa bulan untuk bisa bermain kompak dalam satu tim. Sehingga dengan kekompakan itu, bisa terdengar suara musik indah yang dihasilkan dari sebatang kayu itu.

“Kita membutuhkan waktu beberapa bulan, agar satu tim bisa kompak dan memunculkan nada indah,” ujar Nadia (25), salah satu pemain musik yang ikut dalam perlombaan.

Menurut Wimbo Sancoko, Pendeta GKJW, lomba musik lesung ini merupakan tradisi warga setempat saat panen raya atau biasa dikenal dengan Hari Raya Unduh-unduh. Hal ini diadakan, sebagai upaya untuk melestarikan tradisi dan budaya warga setempat. Dimana lesung merupakan bagian penting dalam setiap masa panen raya, yang juga mempunyai filosofi tersendiri.

“Klotek lesung itu kan sebenarnya tradisi orang Jawa, seorang petani dulu, ketika mereka panen padi itu untuk menjadi beras harus ditumbuk dengan lesung,” paparnya.

Dengan adanya kegiatan ini, pihaknya berharap, warga setempat terutama anak-anak muda mengenali budaya dan karakter masyarakat Jawa yang selalu gotong royong dan saling membantu.

“Harapan kami itu, masyarakat tidak melupakan tradisi para petani dan juga sebagai rasa syukur terhadap Tuhan karena sudah diberi hasil panen yang melimpah,” ujar pendeta ini. (ari)

 

Penulis: –
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Purwokertoantik.com

Tuhan pun Dipentaskan: Ludruk di Masa Soekarno

Pada masa kemerdekaan atau pada periode kepemimpinan rezim Soekarno (1945-1965), ludruk menjadi kekuatan kultural untuk menyuarakan “perjuangan revolusioner yang belum selesai”. Penggunaan bahasa keseharian masyarakat Arek yang cenderung terbuka—atau bahkan vulgar—menjadikan pesan-pesan perjuangan di masa-masa awal kemerdekaan dengan mudah bisa ditangkap oleh rakyat kebanyakan. Selain itu, penggunaan dialek Arek yang tidak mengenal tingkatan bahasa juga memiliki implikasi politis bagi menguatnya keegaliteran dan memperlemah kembalinya politik feodalisme yang memberikan keuntungan bagi kalangan ningrat Jawa. Hal itu semakin diperkuat dengan ketiadaan lakon-lakon yang berlatar istana/kerajaan/keraton. Eko Edy Susanto, pimpinan Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, menuturkan:

“Penggunaan bahasa Jawa dialek Arek dalam pertunjukan ludruk, sejak masa awal perkembangannya, bukan hanya karena kesenian ini lahir dan berkembang di masyarakat Arek. Lebih dari itu, penggunaan dialek ini menegaskan semangat wong cilik yang mengedepankan kesamaan dan kesetaraan hubungan sosial. Kan dialek Arek itu tidak mengandung unggah-ugguh bahasa yang terlalu ketat, sehingga semua pemain bisa ngomong secara tebuka, tanpa tedheng aling-aling, tidak ada ewuh-pakewuh, seperti bahasa Kulonan (Mataraman, pen). Selain itu, pilihan lakon yang meminimalisasi tema keraton/kerajaan, semakin menegaskan keberpihakan ludruk terhadap kehidupan wong cilik, sekaligus menggugat kemapanan tradisi ningrat Jawa yang sangat feodal dengan beragam aturan dalam percakapannya.” (Wawancara, 16 Agustus 2014)

Keegaliteran dalam pertunjukan ludruk merupakan modal pertama bagi kesenian ini untuk digemari rakyat dari masa kolonial hingga pascakolonial. Artinya, para seniman ludruk, pada dasarnya, memiliki kekuatan politiko-kultural untuk terlibat secara langsung dalam perluasan dan penguatan semangat anti-kolonialisme yang menjadi tugas utama para elit politik dan aktor kultural di masa awal kepemimpinan Soekarno. Sementara para sastrawan, akademisi, dan pemikir budaya menawarkan bermacam ramuan nasionalisme yang sesuai untuk Indonesia pascakolonial di awal kemerdekaan melalui bermacam produk karya sastra, kritik sastra, dan pemikiran budaya dalam beragam terbita, para seniman ludruk tetap setia dengan kidungan, jula-juli, dan lakon cerita yang menawarkan keterikatan langsung dengan permasalahan sehari-hari. Sementara masih banyak aktor kultural di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang membayangkan-kembali kejayaan masa lalu yang dipenuhi feodalisme, para seniman ludruk menggugat kembalinya keningratan Jawa melalui penggunaan bahasa Arek dan lakon non-istana. Usaha untuk ‘mematikan’ keningratan Jawa melalui pertunjukan ludruk, bisa dibaca sebagai keberanian dan kecerdasan intelektual para seniman ludruk sekaligus sebagai bentuk kontribusi terhadap penyuburan nasionalisme modern yang diidealisasi keluar dari bingkai feodalisme yang hanya akan mengembalikan bangsa ini ke dalam lingkaran setan kekuasaan ningrat.

Populeritas ludruk di daerah Mojokerto, Jombang, Malang, Surabaya, dan sekitarnya, serta kedekatan narasi pertunjukan dengan kehidupan masyarakat kebanyakan, banyak partai politik yang menginginkan kelompok ludruk sebagai institusi underbow-nya, khususnya melalui lembaga kebudayaan masing-masing partai. Senyatanya, nilai-nilai kerakyatan yang diyakini para seniman ludruk, menjadikan sebagian besar dari mereka atau kelompok ludruk lebih dekat atau berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang secara ideologis lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu kelompok ludruk berhaluan kiri yang cukup terkenal adalah Ludruk Marhaen. Ludruk Marhaen pernah menggelar pertunjukan di Istana negara sampai 16 kali. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para tentara yang akan merebut-kembali Papua, TRIKORA II B, dan memperoleh penghargaan dari Panglima Mandala Soeharto. Realitas ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini.[1]

Terdapat relasi resiprokal yang ditandai dengan negosiasi dari masing-masing pihak; seniman ludruk dan aparatus negara. Melalui pertunjukan di depan para penggede Republik yang masih berusia belia ini, para seniman ludruk, selain mendapatkan keuntungan finansial, juga mendapatkan nama baik yang akan berimplikasi kepada ketenaran mereka di mata masyarakat. Ketenaran itu pula yang akan mendatangkan job pertunjukan bagi kelompok ludruk. Sementara, bagi rezim negara, pertunjukan ludruk bisa digunakan untuk menghibur para abdi negara sekaligus memobilisasi kesadaran nasional mereka melalui lakon-lakon yang sudah disesuaikan untuk kepentingan propaganda. Meskipun banyak kelompok kesenian yang berafiliasi ke partai politik non-komunis, pilihan untuk menghadirkan kelompok ludruk yang berafiliasi ke partai politik komunis menegaskan kesadaran rezim negara terhadap potensi estetik dan diskursif ludruk untuk memobilisasi dan mendidik aparat, termasuk tentara, agar mereka terus menjaga api revolusi yang belum selesai.

Bisa dikatakan, kelompok ludruk yang berada di bawah pengaruh Lekra menggelar pertunjukan yang isinya bersifat agitatif dan propaganda. Menurut, Ibnu Sulkan, 61 tahun, salah satu tokoh ludruk Mojokerto, menjelaskan kalau pesan-pesan ideologi komunis disebarkan melalui parikan-parikan pada saat jula-juli maupun lawakan (Ishommudin, 2013). Sementara, menurut Ali Markasa, 71 tahun, salah satu maestro tari remo Mojokerto, ludruk-ludruk binaan Lekra seringkali mementaskan lakon tentang Kahar Muzakar (DI/TII), Aidit, Gerwani, dan lain-lain (Ishommudin, 2013). Bahkan, isu-isu sensitif seperti persoalan agama juga diangkat.

Di Jombang, yang merupakan basis massa NU, Lekra juga berani manggung dengan lakon ludruk Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Mengambil Menantu). Lakon ini dimainkan oleh grup ludruk paling terkenal di Jombang waktu itu, Arum Dalu. Allah yang bagi orang Islam hanya satu atau tunggal dipersepsikan punya anak dan menantu. Ada lagi cerita Kawine Malaikat Jibril…Sepanjang 1965 itu, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berani dan kritis. Lakon-lakon provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten dan Malaikat Kimpoi (Malaikat Bersetubuh), sering dipentaskan. Pentas hampir merata di semua daerah yang memiliki basis kesenian binaan Lekra…Rakyat Jawa Timur, yang lebih ekspresif dan terbuka kulturnya, memainkan ludruk dengan lakon Malaikat Kipo. Kata “kipo” mempunyai arti pipa, yang berfungsi sebagai penyalur. Lakon itu mengisahkan perlawanan rakyat terhadap para pemilik tanah dalam program landreform. Para kyai adalah simbol masyarakat kelas menengah atas (priyayi) yang menguasai banyak tanah. Malaikat pun menjadi pembela rakyat untuk mendapatkan hak atas tanahnya. (Majalah Tempo, edisi 30 September 2013.hlm.98-99)

Meskipun menyinggung perasaan dan ketentraman banyak pihak—dari tentara, musuh politik PKI, hingga tokoh agama, pilihan untuk menggelar lakon yang bernada kritis-povokatif-agitatif tidak bisa dilepaskan dari orientasi ideologis Lekra yang memang berusaha melawan musuh-musuh Manipol Usdek yang diarahkan oleh rezim Soekarno. Para kyai dan tuan tanah merupakan representasi kekuatan feodal (bagian dari “tujuh setan desa”) yang menjadi sasaran dari perlawanan PKI. Meskipun secara legal-formal Lekra tidak pernah menjadi bagian dari PKI, tetapi para pengurusnya memang secara ideologis sangat dekat dengan partai tersebut. Menjadi wajar kalau kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra lebih senang menggelar pertunjukan yang secara ideologis menguntungkan perjuangan lembaga kebudayaan dan partai tersebut. Selain itu, kepentingan ideologis-kultural para seniman ludruk untuk memanggungkan permasalahan hidup dan menyampaikan pesan-pesan pencerahan bagi masyarakat semakin memperkuat keterlibatan mereka dengan ideologi komunis. Dalam konteks menuju masyarakat dan bangsa maju di masa kemerdekaan, pilihan untuk menggugat kemapanan kuasa feodal berbasis agama merupakan lompatan paradigmatik yang ditawarkan para seniman ludruk. Mengapa? Karena melalui narasi dan wacana terkait kekuatan dan keberpihakan terhadap rakyat kebanyakan, ludruk berusaha memberikan kesadaran kepada para penontonnya betapa tugas-tugas revolusioner tidak bisa dan tidak boleh dibatasi oleh para tokoh agama yang hanya akan menenggelamkan alam pikiran masyarakat ke dalam kekuasaan berbasis dalil-dalil suci.

Kemampuan propaganda dan agitasi para anggota Lekra—yang dalam pedoman lembaganya bertujuan untuk memajukan kesenian dan kebudayaan rakyat serta mensejahterakan para seniman—menjadikan para seniman ludruk mau menarasikan pesan-pesan ideologis dari lembaga tersebut. Dalam pengaruh diskursif Lekra inilah, pertunjukan ludruk benar-benar mampu menjadi pertunjukan rakyat, dalam artian pertunjukannya dimainkan oleh para seniman rakyat dan mengangkat cerita serta kritik tentang kehidupan rakyat kecil. Menurut Eko Edy Susanto (2012) ludruk mendapatkan tempat di hati masyarakat karena dalam pementasan selalu menyuguhkan kritik-kritik segar kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Melalui kritik-kritik tersebut, masyarakat terpuaskan karena merasa terwakili unek-uneknya telah tersampaikan. Artinya, para seniman dan kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra mampu menemukan formula untuk menginkorporasi kegelisahan dan penderitaan rakyat jelata sebagai lakon yang dikembalikan ke mereka, sehingga simpati kepada PKI semakin menguat.

Selain itu, perkembangan ludruk di masa Soekarno yang cukup menarik adalah kesadaran para seniman untuk menjadikan kelompok sebagai organisasi formal di mana masing-masing anggota dan pengurus memiliki tanggung jawab untuk membesarkan kelompok. Hal ini berbeda jauh dengan model juragan di mana hidup dan mati sebuah kelompok dan pertunjukan-pertunjukannya sangat bergantung kepada pimpinan. Melalui bentuk organisasi semua anggota dan pengurus memikul tanggung jawab kolektif untuk menemukan formula dan lakon yang bisa menjadikan sebuah kelompok laris di tengah-tengah masyarakat. Henricus Supriyanto, seorang guru besar dan pakar ludruk, menerangkan:

“Diakui atau tidak, dalam arahan Lekra, kelompok ludruk di Jawa Timur berkembang dalam model organisasi modern. Berbeda dengan model juragan yang berkembang pesat pada masa Orde Baru, manajemen modern dalam kelompok ludruk, memungkinkan masing-masing anggota dan pengurus untuk memberikan masukan terkait pengembangan ludruk. Dalam model ini, memungkinkan berlangsungnya terobosan dalam hal lakon yang dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga para seniman ludruk memiliki kebebasan untuk membuat lakon yang kontekstual. Dengan pengelolaan organisasi yang baik, para seniman ludruk bisa melakukan pelatihan-pelatihan dramatik yang tidak selalu mengandalkan lakon-lakon yang sudah umum di masyarakat. Setelah dibekukan dan ‘dihidupkan-kembali’ oleh rezim negara Orde Baru, manajemen ludruk dikendalikan oleh juragan dan para penerus dari pihak keluarga.”(Wawancara, 8 Agustus 2014)

Berkembangnya organisasi ludruk dengan manajemen modern dalam arahan Lekra, pada dasarnya, sudah memiliki fondasi sejak era Cak Durasim, yakni dengan didirikannya LO. Terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan terobosan dalam hal naskah lakon maupun pengembangan estetika pertunjukan yang mengarah kepada representasi kehidupan dan permasalahan rakyat kebanyakan, sehingga pertunjukan ludruk tetap digemari. Meskipun bersifat eskapis, dalam artian memberikan kanal-kanal katarsis bagi permasalahan kalangan buruh dan tani yang tidak bisa diselesaikan secara langsung dan cepat dalam kehidupan nyata, cerita ludruk bisa memperkuat solidaritas dan memberikan pendidikan tentang kekuatan komunal rakyat dalam menghadapi kembalinya kekuatan-kekuatan asing, sisa-sisa feodalisme, dan nilai-nilai individual dalam kehidupan masyarakat.

 

Penulis: –

Article courtesy: matatimoer.com

Photo courtesy: budaya-indonesia.org

Ludruk Tuban Buktikan Mampu Eksis di Ajang Festival Ludruk Jatim

TUBAN (Realita) – Tuban memang bukan “sarang-nya” ludruk. Seni pertunjukkan asli Jawa Timur itu memang lebih kental ke-Surabaya-annya, baik bahasa maupun ceritanya. Karena itu seni pertunjukkan ini lebih akrab di daerah yang kulturnya sangat dekat dengan kultur Surabaya-an, seperti Sidoarjo, Gresik, Jombang, Pasuruan, Mojokerto dan Malang.

Tuban yang secara kultur lebih dekat dengan kultur Mataraman tentu tidak terlalu akrab dengan seni asli Jawa Timur ini. Ludruk Tuban pun dipandang sebagai pinggiran di lingkaran seni pertunjukkan ini. Tapi pandangan itu tak sepenuhnya benar. Dua kali ludruk made in Bumi-nya Wali ini mengikuti Festival Ludruk Jawa Timur, dua kali pula membawa pulang penghargaan sebagai penyaji terbaik.

” Festival Ludruk ke VII di Jombang barusan, kita dapat tambahan satu penghargaan lagi yaitu Pengidung Terbaik,” kata Karsiati alias Kartika Sari, Pimpinan Ludruk Armada Jaya, Compreng, Kecamatan Widang, ketika bertemu di ruang Bagian Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Dinas Perekonomian dan Pariwisata (Disperpar) Tuban, Senin (12/10/2015).

Ludruk Armada Jaya ini memang yang didaulat menjadi “duta” Tuban dalam Festival Ludruk di Jombang tersebut. Di Tuban sendiri tidak banyak grup seni pertunjukkan ini. Tiga grup Ludruk yang masuk ke catatan Disperpar sampai hari ini. Namun dari tiga grup itu, hanya Armada Jaya yang masih eksis. Dua grup lagi hidup tidak matipun tidak.

Karsiati sendiri mengaku awalnya sangat minder. Ia dan rombongannya bahkan tak bermimpi bisa mendapat penghargaan di festival itu. Sebab di festival tersebut hadir para pelaku seni pertunjukan ludruk yang sudah kesohor seperti Ludruk RRI Surabaya, Kartolo Cs, dan sejumlah nama lagi yang sudah sangat mapan di jagad ludruk.

“Ternyata kami yang pinggiran ini mampu tampil bagus juga,” sela Karsiati tersenyum bangga.

Dalam even itu, Armada Jaya menampilkan lakon Sarip Tambak Oso. Lakon yang sudah sangat populer itu jelas tak mudah disesuaikan oleh Karsiati dan kawan-kawannya. Cerita yang diangkat dari kisah seorang tokoh masyarakat di Gedangan, Sidoarjo itu jelas kental dengan logat dan dialog Suroboyoan.

” Alhamdulillah, kami bisa memainkannya dengan sempurna. Meski sehari-hari kami tidak terbiasa berbicara dengan dialog dan logat medok Suroboyoan, kami mampu memerankan Sarip dan semua tokoh di panggung dengan baik,” sambung Sa’i, pemeran Sarip yang mendampingi Karsiati.

Kepala Bidang Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Disperpar Tuban, Sunaryo, jelas tak bisa menutupi rasa harunya. Menurutnya, Armada Jaya telah memberi bukti bahwa potensi seni di Tuban Bumi-nya Wali ini memang luar biasa.

” Ini menjadi inspirasi dan semangat kita semua untuk menghidupkan dan mengembangkan Ludruk di Tuban. Selama ini Ludruk selalu identik dengan Surabaya, ke depan mungkin akan mulai bergeser,” tanggap Sunaryo.

Tambah Sunaryo, ia dan jajarannya akan terus melakukan upaya pengembangan ludruk di Bumi-nya Wali ini. Salah satunya adalah dengan memasukkan unsur-unsur lokal Tuban dalam Ludruk. ” Selama ini cerita Ludruk selalu Surabaya, Madura dan sekitarnya. Besok kita akan bikin cerita yang diambil dari Tuban,” pungkas Sunaryo. bek

 

Penulis: –

Article courtesy: realita.co

Photo courtesy: budaya-indonesia.org

Ludruk Ndeso Banggakan Lamongan

JATIMTIMES, LAMONGAN – Ludruk Dhika Indra asal Desa Mendogo, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan yang menjadi wakil Jawa Timur (Jatim) di ajang nasional-Festival Pertunjukan Rakyat (Pertura) di Kota Surabaya pada 25-27 November 2015, patut dibanggakan.

“Merupakan kebanggan Kabupaten Lamongan dapat mewakili Provinsi Jawa Timur dalam Festival Pertura Tingkat Nasional,” ujar dia.

Wahid menyebut Kabupaten Lamongan yang sudah dikenal sebagai lumbung padi, lumbung ikan, lumbung industri, akan lebih lengkap ditambah dengan adanya seni.

Menurut Wahid, seni menjadikan Lamongan lebih indah. Warga Lamongan, katanya akan semakin hidup. “Jika kita sudah mau maju maka kita harus menang (di Pertura Nasional),” sambung Wahid.

Selain Kesenian Ludruk Dhika Indra yang memenangkan Juara I, S. Jianto P.J juga menyabet sebagai sutradara terbaik dan Rizky FA sebagai Pemeran Wanita terbaik dalam Festival Pertura tingkat Jatim di Nganjuk.

Dalam acara tersebut disajikan kesenian Ludruk Dhika Indra dengan judul Kutuk Marani Sunduk. Kesenian tersebut disajikan di depan Kepala Diskominfo dan perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim bersama Tim Penilai.

“Mereka memberikan masukan, kritik dan saran untuk persiapan festival tingkat nasional mendatang,” bebernya. Pematangan itu untuk pementasan November mendatang.

Lakon Kutuk Marani Sunduk menceritakan tokoh utama Ki Suro sebagai sesepuh desa, yang meski berperawakan seram, namun memiliki hati yang tulus dan  mulia.

Sehingga ketika masyarakat desanya diresahkan oleh tingkah polah Lurah Barjo dan perangkat desanya yang sewenang-wenang dan tidak mengayomi masyarakat, Ki Suro tergerak berjuang menegakkan kebenaran. (*)

 

Penulis: Ardiyanto

Article courtesy: Jatimtimes.com

Photo courtesy: Jatimtimes.com