TEMPO.CO, Jakarta – Berkembangnya budaya pop kian menggeser kepopuleran budaya tradisional. Tak heran, kebanyakan generasi muda Indonesia, khususnya anak-anak yang tinggal di kota besar, tidak mengenal budaya tradisional, seperti ludruk. Meski demikian, psikolog anak, Seto Mulyadi, mengatakan kesenian ludruk bisa diperkenalkan dengan mudah kepada anak-anak jika bahasa pentasnya diganti.
Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, saat ini, banyak kegiatan berbau seni drama di sekolah-sekolah. “Anak-anak juga suka main sandiwara atau teater. Kenapa tidak kita perkenalkan ludruk, drama tradisional asli Jawa Timur?” kata Seto saat ditemui di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kebayoran, Jakarta Selatan, Minggu, 12 Maret 2017.
“Salah satu upaya mengenalkannya bisa dengan menampilkan seni ludruk menggunakan bahasa Indonesia,” kata pria kelahiran Klaten, 28 Agustus 1951 ini. Sejauh ini, ludruk, yang merupakan kesenian asli Jawa Timur, memang murni menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jawa Timuran. Tak heran, orang-orang yang dapat menikmati pentas tersebut adalah yang mengerti bahasa Jawa.
Ditemui di tempat yang sama, Koordinator Paguyuban Konco Dhewe Bram Kushardjanto mengatakan mengganti bahasa Jawa Timuran ke bahasa Indonesia dalam pentas ludruk bisa ditoleransi. “Bagaimanapun juga, banyak orang yang memang tidak mengerti bahasa Jawa. Saya sendiri orang Jawa Timur asli hanya fasih mendengar, kalau urusan ngomong, saya pasif,” ujar Bram.
Namun Bram mengatakan tentu seniman tradisional juga ingin mendekatkan penonton dengan kebudayaan mereka. “Bahasa itu masing-masing punya simfoni. Memiliki irama dan memiliki keindahan sastra. Kalau misalnya saya nonton seni Sunda, ya, saya akan sangat apresiatif karena mereka masih menggunakan tone Sunda. Aku nonton enggak ketawa, enggak apa-apa, itu memang ciri khas mereka,” kata Bram.
Meski masih ditoleransi, Bram mengungkapkan, jika semuanya diganti menjadi bahasa Indonesia murni, tak ada unsur budaya Jawa Timur yang diperkenalkan. “Kalau semua di-bahasa-Indonesia-kan, ya, enggak bagus juga. Jadi harus seimbang, lah. Toh, kita nonton Don Giovanni dan Mozart pakai bahasa Italia, tapi kita tetap suka,” kata Bram.
Penulis: Dinii Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO , Jakarta – Bagi penggemar seni drama tradisional Ludruk, nama Cak Kartolo mungkin tak asing lagi. Namanya kian memuncak ketika ia dan kawan-kawannya mendirikan sebuah grup lawak bernama Grup Ludruk Kartolo CS sejak 1960-an.
Baca: Baca: Cak Kartolo Meriahkan Pentas Ludruk Dalang Gersang
Namun sudah lebih dari 3 dekade, pria kelahiran Pasuruan, 2 Juli 1945 ini berhenti dari panggung yang telah membesarkan namanya tersebut. Lalu apa yang dilakukan Cak Kartolo saat ini?
“Sudah sejak tahun 80-an saya sudah tidak ngeludruk, hanya lawak. Tapi kadang diundang oleh anak-anak untuk gabungan ludruk, wayang kulit, ketoprak dan orkes,” katanya saat ditemui di Auditorium Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Ahad, 12/03.
Terakhir, Cak kartolo diajak main ludruk dalam lakon Dalang Gersang bersama Paguyuban Konco Dhewe di Auditorium Pendopo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Ahad, itu.
Ia mengaku dalam sebulan, ia bisa mendatangi 4 kali undangan. “Tapi kadang juga kosong. Memang setelah teman-teman meninggal, undangan yang didapat jauh berkurang,” ujar pria berusia 71 tahun ini. “Paling banyak, kalau mantenan sebulan bisa sampai 7 kali saja,” lanjutnya.
Selain di Jawa Timur, Cak Kartolo juga mengaku pernah beberapa kali diundang ke beberapa daerah. “Sejak berhenti saya juga pernah ke Gorontalo, Balikpapan, Batam dan Lombok. Tapi itu lawak saja, bukan ludruk,” katanya.
Sementara itu, jika tak ada undangan, Cak Kartolo mengaku lebih senang tinggal di rumah dan mengurus cucu. “Kegiatan sehari-hari sekarang paling antar jemput cucu sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Penulis: Dini Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Layar panggung berwarna merah dinaikkan. Dari baliknya, berdiri sosok penari waria mementaskan tari remo, tari pembuka lakon ludruk. Kakinya ke lantai hingga membikin gelang kaki bergemerincing, menari luwes di tengah tabuhan musik gamelan pengiring. Sekitar 20 menit tari remo dimainkan, sang penari kembali ke ruang rias bergabung dengan belasan waria lainnya yang sedang bersolek.
“Sing ngremo iki mesti telat, mangkane rodok molor (yang menari remo ini selalu telat, makanya agak terlambat),” kata penjaga tiket masuk pementasan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan, lalu terkekeh sembari meladeni wawancara Tempo, Sabtu malam, 11 Maret 2017.
Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Sedikit demi sedikit, penonton berdatangan. Jumlahnya tak banyak, namun 75 persen kursi hampir semuanya terisi. Tak menunggu lama, gantian 12 lelaki berbusana kebaya berlenggak-lenggok menampilkan tarian bedayan. Sekitar 30 menit, perempuan-perempuan ludruk yang semuanya laki-laki itu menyisipkan lagu campur sari di akhir tarian.
Usai tarian bedayan, pementasan Ludruk Irama Budaya berlanjut dengan parikan yang disisipi lawakan, baru kemudian masuk ke inti cerita. Malam itu, lakon berjudul Sarip Tambak Oso.
Deden sebenarnya bukan penjaga tiket biasa. Ia memimpin kelompok ludruk tersebut sepeninggal ayah angkatnya pada tahun 2012. Kelompok Ludruk Irama Budaya dibesarkan oleh mendiang seniman waria bernama Sakiyah Sunaryo.
Ludruk Irama Budaya berdiri pertama kali pada 10 November 1987. Awalnya bernama Waria Jaya, namun dua tahun kemudian diganti. “Kami ganti nama lagi menjadi Ikabra Jaya. Tahun 1990-an kami baru menggunakan nama Ludruk Irama Budaya,” kata Deden.
Pemuda berusia 36 tahun ini menjelaskan, Irama Budaya adalah ludruk tobong. Tobong artinya ialah selalu pentas menetap di sebuah gedung. Namun, gedung Taman Hiburan Remaja (THR) yang kini ditempati, bukanlah yang pertama. Sebelum tahun 2010, mereka nobong di Jalan Pulo Wonokromo. “Kami nobong tidak pernah keluar dari Surabaya,” kata Deden.
Berpentas di Pulo Wonokromo itulah masa kejayaan Ludruk Irama Budaya, antara tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an. Penonton membeludak terutama jika pentas digelar Sabtu malam. “Dari kapasitas 250-an kursi, yang datang bisa lebih dari 300. Penontonnya banyak yang berdiri,” kata Deden mengenang.
Mereka pun pentas setiap hari. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian ludruk kian ditinggalkan masyarakat. Penonton semakin berkurang, kalah populer seiring beragamnya jenis hiburan seperti program-program televisi maupun internet. Meski pentas digelar pada malam Ahad, kursinya banyak yang kosong. Kelompok Ludruk Irama Budaya tak mampu lagi membayar biaya sewa. “Terakhir sewa gedung di sana (Pulo Wonokromo) harganya Rp 8 juta per tahun, belum termasuk bayar listrik Rp 400 ribu,” kata Deden.
Tahun 2010, Deden memutuskan berpindah ke kawasan THR Surabaya berkat fasilitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mereka diberi tempat di sebuah gedung yang mangkrak di THR tanpa terbebani biaya sewa maupun listrik. “Kami hanya diminta untuk merawat gedungnya saja,” kata Deden.
Mereka pun melanjutkan pentas rutin walau hanya seminggu sekali, bukan setiap hari seperti dulu. Jumlah penonton juga tak seramai di Pulo Wonokromo yang lokasinya strategis di tengah kota. “Sekarang manggung setiap Sabtu malam, ya penontonnya paling banter 50 orang.”
Dengan penonton yang tak banyak dan tiket masuk yang dibanderol Rp 10 ribu, praktis para anggota kelompok ludruk tak bisa mengandalkan penghidupan pada kesenian ini saja. Sekali pentas, Deden membawa sekitar 40 orang mulai pemain karawitan, pelawak, sinden, sampai penari. “Ya tentu ini cuma sampingan. Di luar, aku kerja salon dan desain kebaya,” kata salah satu sinden merangkap pemain, Kasiyanto, 47 tahun. Waria asal Kediri itu sudah ikut Ludruk Irama Budaya sejak tahun 1999, saat ia berusia 17 tahun.
Yang lain, kata Deden, bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Ada yang menjadi kuli bangunan, membuka usaha salon, termasuk menerima job sebagai pesinden campursari, jika ada tetangga yang menggelar hajatan.
Namun, Deden dan kawan-kawannya tak patah arang. Bak lakon-lakon legenda Jawa yang tak pernah mati dalam kesenian ludruk, mereka optimistis ludruk bakal tetap eksis di tengah himpitan pesatnya hiburan di era serba instan sekarang.
Sembari berupaya meregenerasi para pemainnya, Ludruk Irama Budaya pelan tapi pasti mengembangkan jalan cerita lakonnya. Ia dan tim berani menyisipkan lawakan yang disesuaikan dengan isu-isu kekinian, misalnya politik dan media sosial. “Yang penting tidak menghilangkan pakem ludruk; tetap ada gamelan, jula-juli, remo, dan bedayan. Pakem itu tidak boleh dihilangkan,” kata Deden tegas.
Malam semakin larut. Sarip ‘Tambak Oso” memekik keras, tak terima ibunya disakiti oleh penagih pajak suruhan Tuan Tanah yang sangat pro Belanda. Lantaran si pesuruh seorang tua yang gagap, penonton tetap tertawa terpingkal-pingkal. “Saya sudah lama nggak ke sini. Kangen nonton ludruk,” kata Sri Rahayu, 45 tahun, warga Krembangan. Ia datang bersama suami dan putrinya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, mau menonton ludruk sampai habis. *
Penulis: Artika Rachmi Farmita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun lalu, karena kalah bersaing dengan hiburan lain melalui televisi. Faktor lain, adanya sebagian kalangan agamis yang berpandangan ludruk itu tontonan maksiat, karena itu bermain ludruk haram. Hal itu diungkapkan pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto, kepada Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Menurut Edi, ada kalangan pemuka agama yang melarang masyarakat untuk tidak bermain ludruk, karena haram dan mengandung unsur maksiat. Akhirnya, semakin lama penggemar ludruk tidak berani untuk menanggap ludruk, bahkan mereka yang awalnya bergabung untuk nguri–uri budaya tradisional itu tidak mau ikut berlatih, karena takut dianggap berdosa.
“Jangan lihat ludruk, itu maksiat, itu dosa. Banyak sekali yang ngomong gitu. Apa alasannya, saya juga enggak tahu. Bahkan di pengajian juga disampaikan,” kata Edi.
Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyebaran isu tersebut, Kelompok Ludruk Karya Budaya juga sempat berkonsultasi dan meminta nasihat seorang kiai. Selain itu, dalam setiap pementasan, mereka mengatakan ludruk bukan kesenian yang haram seperti yang diutarakan beberapa kalangan agamis. “Ini kan hanya nguri-uri, melestarikan budaya tradisi. Kami juga kerja sama dengan seorang kiai, dan dia juga tidak menyalahkan ludruk dan wayang,” kata Edi.
Edi mengatakan seni ludruk sudah selayaknya dijaga, karena termasuk kesenian nasional. Ia juga turun langsung ke sekolah-sekolah dengan bekerja sama dengan Direktorat Bagian Budaya di Sekolah Menengah Atas di Mojokerto untuk dapat mengajarkan kesenian ludruk di sekolah-sekolah mereka. “Saya bahkan ngajar ekstrakurikuler di beberapa sekolah. Jadi ada seniman masuk sekolah. Kami dibayar oleh direktorat,” tutur Edi.
Rencananya, pada 9 April nanti, Edi akan menghadiri pentas kesenian ludruk di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Adapun dalam pentas tersebut mereka melibatkan generasi muda, dengan pemain senior hanya empat orang. Adapun pentas dapat disaksikan secara gratis oleh pengunjung. Dengan cara ini, Edi meyakini kesenian ludruk dapat terus dikenal dari generasi ke generasi, meski peminat dan jumlah grup pemain ludruk kian berkurang tergilas zaman.
“Di Jombang ada 40 pemain ludruk. Yang laris itu lima kelompok ludruk. Biasanya mereka bersaing. Siapa yang bagus nanti akan banyak yang nanggap. Makanya kita bersaing untuk bisa menyajikan yang lebih bagus,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun waktu lalu, saat perkembangan teknologi dan dunia digital belum masif seperti sekarang. Hal itu diungkapkan oleh pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto.
Menurut Eko Edi Susanto, penurunan minat masyarakat untuk menyaksikan ludruk mulai terjadi pada era 1990-an, ketika muncul media elektronik. “Kalau kami lihat sebabnya ya dengan munculnya beberapa media elektronik seperti tv dan sebagainya, dan kelompok ludruk kurang menyikapi sehingga kalah bersaing. Sekarang ada tv, orang dapat hiburan di rumah,” ujar Eko Edi Susanto saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Baca juga: Kak Seto dan Cak Kartolo Akan Main Ludruk di Jakarta
Edi masih ingat, lebih dari satu dekade lalu, pertunjukan ludruk masih dapat disaksikan di panggung pentas dengan cara tobongan, atau menggunakan tiket. Namun saat ini, kesenian ludruk dihadirkan karena adanya tuan rumah yang menyewa atau menanggap mereka melalui hajatan seperti sunatan, pernikahan, acara ulang tahun, dan lain-lain.
“Kalau hajatan itu penontonnya bisa sampai ribuan. Ada sekitar empat kelompok juga yang ditiketkan, harga per tiket Rp 10 ribu. Tapi itu aja untuk biaya operasional nggak cukup, masih nombok,” ujar Edi.
Uang tiket yang tak cukup untuk menutup biaya operasional, belum lagi untuk honor pemain, membuat mayoritas grup Ludruk enggan untuk mengadakan pentas. Mereka memilih untuk menunggu tawaran hajatan, meski pendapatan yang mereka terima tak seberapa.
Edi menuturkan, awalnya grup Ludruk yang ia pimpin dalam satu bulan bisa manggung sekitar 25 kali. Namun saat ini, mereka hanya mendapat tawaran sekitar 9-11 kali, dengan bayaran per kelompok sebanyak Rp 20 juta. Uang itu pun masih harus dikurangi untuk biaya sound system, pencahayaan, tata panggung, sewa pakaian, dan sisanya dibagikan untuk honor pemain. Sedangkan dalam satu grup Ludruk, paling tidak ada sekitar 65 pemain.
“Bersihnya itu sekitar Rp 13 juta, itu dibagi ke teman-teman sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Makanya ini nggak bisa jadi kerjaan tetap, cuma sambilan,” kata Edi. Edi menambahkan, pemain ludruk binaannya memiliki pekerjaan utama bermacam-macam, seperti bertani, membuka salon, usaha warung kecil-kecilan, hingga menjual pakaian secara kredit. “Kalau mengandalkan ludruk aja nggak cukup untuk makan. Bermain ludruk sekadar penyaluran hobi, dan lumayan sebagai tambahan,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
SURYA.co.id | SURABAYA – Kesenian Ludruk kini tak banyak diminati generasi muda. Padahal ludruk adalah produk kesenian khas Provinsi Jawa Timur.
Tak ingin kesenian ludruk ini punah, keluarga Mohammad Rosyid (54) di Kecamatan Sambikerep punya cara tersendiri untuk melestarikan ludruk.
Mereka mendirikan sanggar untuk bisa melatih anak-anak muda di Sambikerep yang minat dan mau bergabung dalam pementasan ludruk. Ini karena keluarga Rosyid memiliki keunggulan tersendiri.
Semua anggota keluarga, mulai istri, anak dan menantu Rosyid juga adalah pemain ludruk.
“Kesenian ludruk ini sudah saya geluti sejak tahun 1986. Meski tidak ada bakat dari orang tua, saya belajar otodidak. Mulai sering pentas ke sana kemari, hingga akhirnya istri saya, Sulian, juga sering ikut kalau pentas,” ucap Rosyid saat ditemui SURYA.co.id, Minggu (5/3/2017).
Begitu juga anaknya, Rosa Dwi Chrisanti, yang sering melihat kedua orang tuanya pentas ludruk akhirnya tertarik dan mulai melakonkan peran.
Jika ayah dan ibunya biasa jadi pemain utama seperti protagonis dan antagonis dalam cerita ludruk, maka Rosa kebagian yang melantunkan campursari.
“Lalu seperti Tuhan sudah menakdirkan, dapat menantu ternyata juga punya turunan pemain ludruk. Akhirnya jadilah, istri, anak dan menantu ikut mainkan ludruk. Untuk sampingan saja, sebab mereka juga punya kerjaan kalau pagi, baru malamnya kalau ada undangan pentas ya pentas,” ucap Rosyid.
Ia menyebutkan, memang belum banyak anak muda Sambikerepyang mau bergabung dan belatih ludruk ke tempatnya.
Baru sekitar lima hingga delapan anak yang biasa latihan ke sanggar kelompok ludruk milik Rosyid, Kharisma Baru.
“Anak-anak yang kesini yang paling muda itu sekitar usia 20 an. Yang memang masih baru kita latihan dari awal memerankan cerita pakem maupun cerita fantasi. Namun ada pula yang sudah bagus latihannya kadang malah nggak perlu latihan langsung spontan,” ujarnya.
Dijelaskan Rosyid untuk bisa mementaskan ludruk, butuh banyak personel.
Mulai tim gamelan, campursari, remo, pelawakan, warokan hingga yang bertugas pelengkap pemain. Satu kali pementasan bisa membutuhkan 40 orang.
Kalau personel dari Sabikerep tidak mencukupi Rosyid terpaksa harus memanggil pemain dari luar daerah. Biasanya dari Mojokerto dan Sidoarjo.
“Akan lebih bagus kalau semua dari Sambikerep. Tapi karena masih sedikit yang mau bermain ludruk akhirnya ya manggil dari luar kota juga. Makanya kita sering ajak anak-anak muda Sambikerep untuk berlatih, supaya budaya ludruk ini tidak punah,” ucap Rosyid.
Begitu juga dengan unsur cerita yang dipentaskan. Ada dua jenis cerita yang dimainkan.
Pertama adalah cerita pakem yang menceritakan tentang sejarah seperti Sawunggaling.
Lalu ada cceita fantasi yang alur ceritanya diciptakan sendiri oleh sutradara kelompok ludruk sendiri.
Pementasan ludruk biasa ditampilkan di sejumlah acara-acata tertentu. Seperti nikahan, sedekah bumi, dan juga sejumlah acara pembukaan acara resmi di pemerintahan.
Prospek untuk menambah pendapatan juga cukup lumayan. Setiap pentas bisa ditarif Rp 15 juta.
“Untuk anak-anak yang pentas dari Kharisma Baru Sambikerepsaya menyediakan semua propertinya. Kostum dan peralatan tambahan untuk pentas sudah disiapkan,” ucapnyya. Mereka yang berlatih di tempatnya tidak dipungut biaya sama sekali.
Ia berharap ke depan akan banyak anak-anak muda Surabayayang mau tertarik untuk melestarikan ludruk, kesenian asli Jawa Timur ini.
Penulis: –
Article courtesy: Surya.co.id
Photo courtesy: Surya.co.id
“MENAWI Ludruk nggih kedah melas amargi nasibe nggih pancen melas tenanan. Sing paling melas sambate konco-konco Ludruk utamane konco-konco Ludruk dugi Jombang. Ludruk komunitase paling akeh nduk Jombang. Lahire yo jarene teko Jombang, tapine konco-konco rumongso pun akeh sing mboten kopen.
Kapan onok program workshop Ludruk? Kapan onok pembinaan Ludruk? Kapan onok bantuan alat-alat Ludruk? Kapan onok pentas periodik Ludruk? Terus, kenek opo yoan tahun wingi ndungareni gak onok acara Festival Ludruk? Opo Festival Ludruk ape sengojo diilangi, disebul, fuh, ben mati?
Lha nek wis ngoten punopo mboten cures, Mas? Mugi-mugi ae wonten tiyang sing saget dadi jembatan konco-konco Ludruk kalian wong pemerintah,” kata Si Abah Edy Karya, pentolane Ludruk Karya Budaya Mojokerto, ngudar rasa, makili pegiat Kesenian Ludruk di Jawa Timur sing minurut kabar burung nasibe Ludruk kian hari tambah kian… Hahaha. Mbuh!
MEMBACA sekilas status atau komentar —entah itu candaan, kritik, atau ngudar rasa di jejaring online beberapa minggu lalu hati saya langsung terenyuh, meleleh, termehek-mehek. Sebuah komentar atau candaan di sepertiga malam yang secara pragmatis saya meyakini konteksnya serius, kontemplatif, dan sarat makna jika mau ditelaah secara saksama di dalamnya.
Seketika, saklar imajinasi saya langsung hidup. On. Menyala. Mikir. Mikir ihwal Kesenian Ludruk, terkhususnya Kesenian Ludruk di wilayah Jombang, Mojokerto, dan sekitarnya yang barangkali saja nasibnya kian hari kian…? Silakan diteruskan sendiri kalimatnya.
Oleh karena, saya yakin, setiap personal pastinya mempunyai pandangan, mempunyai amatan, mempunyai timbangan, mempunyai pemikiran-pemikiran, atau pun mempunyai jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Jawaban-jawaban yang suceng nan subjektif.
Sebelumnya mohon maaf. Ini hanya tulisan sederhana, —semacam celoteh— yang memang pada dasarnya sengaja saya tulis dengan pemikiran yang sedikit agak terkesan makul, sensible, logis, nan analitis. Dan, saya mohon bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, dan adik-adik pembaca yang budiman bisa menanggapi tulisan ini dengan kepala-kepala yang dingin.
Mohon sekiranya ditanggapi dengan bijak dan sana. Bukan maksud saya merasa sok metis, sok ujug-ujug, atau barangkali makbedunduk (Jawa: muncul) menjadi Si Pendekar Ludruk Dadakan (SPLD) dari goa hantu. Bukan maksud saya sok merasa ingin menjadi komunikator, mediator, provokator, atau tor tor tor yang lain sebagainya. Oleh karena, bukan kapasitas saya membicarakan yang muluk-muluk tentang Ludruk adanya.
Sekiranya, tulisan ini mohon dianggaplah saja sebagai sepucuk surat cinta dari saya, —semacam tanggapan yang barangkali saja semoga bisa menyalurkan energi-energi yang positif, yang afirmatif, yang konklusif, dan tentunya: tidak bertendensi. Atau, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah apresiasi kecil saya terhadap komentar —atau entah candaan— Si Abah di atas dan iktirad saya tentang reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang dulu pernah saya baca dan saya potret dengan kamera ponsel di sekitaran jomplangan kereta samping stasiun Kota Santri tahun 2015 lalu.
Sebuah reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang tampak meger-meger (Jawa: gagah), yang bisa saya katakan kok tumben sekali ya acara Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 dulu di-handellangsung oleh Pemerintah Provinsi.
Tidak seperti acara Festival-Festival Ludruk di tahun-tahun sebelumnya. Menariknya, di reklame yang saya potret tersebut tertulis secara gamblang bahwa Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 lalu digelar sebagai Acara Hari Ulang Tahun Jawa Timur Ke-70.
Kesenian Ludruk yang notabene-nya banyak sebagian pengamat yang mengatakan lahir atau tumbuh dan berkembangnya di Jombang, kelompoknya banyak di Jombang, dan para pegiatnya juga banyak dari Jombang podho akeh sing ngudar rasa. Banyak yang rasan-rasan, banyak yang merasai, mengerang, dan menarik napas panjang. Mengeluh.
“Kapan yo kiro-kiro ono Program Workshop Seni Ludruk? Kapan yo kiro-kiro ono Pembinaan Kelompok Kesenian Ludruk? Kapan tho yo kiro-kiro ono Program Bantuan Alat-alat Ludruk? Oalah kapan yo kiro-kiro ono agenda Pentas Periodik Ludruk, sing sifat’e ajeg, jejeg, sing tentune… berkembang. Nambah. Alias, tidak malah tambah dikurangi jatah pentase? Oalah kenek opo tho yo yo Festival Ludruk tahun rongewulimolas mbiyen di-handle langsung karo Pemprov? Dan, yang lebih mencenangkan lagi: Kenek opo yo kok tahun wingi nang Jawa Timur gak ono acara Festival Ludruk koyok tahun-tahun sak durunge? Opo kiro-kiro, acara Festival Ludruk Tahunane atene sengojo digusep, disebul, fuhhh, dipateni, ben Ludruk-Ludruk’e ndang cepet bongko. Subhanolloh”.
Coba, mari kita berpikir sejenak pakek otak. Oh, maaf, kita bayangkan saja, biar kesannya tidak berat. Bayangkan saja, faktanya ada sekitar duapuluh delapanan –bahkan bisa lebih– kelompok-kelompok Kesenian Ludruk yang ada di Jombang dan tersebar luas di tiap-tiap wilayah Kecamatan di Kabupaten Jombang.
Hal ini bisa dibuktikan dari usaha penelusuran kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang pernah dilakukan oleh seorang kawan alm. Fahrudin Nasrulloh, yang pernah singgah atau beravontur di tiap-tiap desa di dua puluh satu kecamatan guna menelusuri dan mengartikulasikan tiap-tiap cerita kelompok kesenian Ludruk ke dalam sebuah karya buku.
Sebuah buku berjudul “Melacak Ludruk Jombang” –yang dulu pernah diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten Jombang tahun 2011. Sebuah karya buku yang sangat berharga, akan tetapi sangat disayangkan oleh karena buku tersebut hingga saat ini tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya.
Oleh karena, barangkali, buku tersebut tidak atau belum terdistribusikan dengan baik agar bisa dibaca dan diapresiasi publik. Terkhususnya, dibaca masyarakat Kabupaten Jombang dan lebih luas lagi dibaca masyarakat Jawa Timur pada umumnya.
Dengan demikian, dari duapuluh delapan hingga lebih kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang ada di Kabupaten Jombang tersebut akan disayangkan jika tidak diperhatikan secara saksama keberadaannya. Akan sangat mengecewakan jika tidak ditata atau dikelola dengan baik keseluruhannya.
Akan sangat disayangkan jika kurang diapresiasi, kurang dihadirkan ke publik, dan lain sebagainya. Maaf, saya hanya bisa memberi sampel atau sekelumit tentang jumlah dan keberadaan kelompok-kelompok Ludruk di kawasan Kabupaten Jombang saja. Pertanyaan, “Bagaimana dengan kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang juga banyak tersebar di kawasan sekitar Jawa Timur yang lainnya? Renungkan!”
Sebuah Iktirad; Setetes Air Mata di Ludruk Pertama
Melihat Kabupaten Jombang, Mojokerto, dan kabupaten-kabupaten maupun kota-kota lain yang ada di wilayah Jawa Timur yang kian hari kian asri. Yang kian hari kian tertata rapi. Yang barangkali juga kian hari kian guyup dan riuh masyarakat pendukungnya.
Terkhususnya, masyarakat yang saat ini lagi gila atau lagi haus menyerbu hiburan-hiburan di area umum dan ruang publik, saya rasa masih kurang ces dan plong jikamana masih ada sambatan-sambatan atau sesalan dari kelompok-kelompok penghibur massa.
Terkhususnya, ihwal kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang bisa saya katakan kian hari kian menepi, kian termarginalkan, dan kian berjarak dengan masyarakat pendukungnya. Terlebih, kesenian Ludruk yang secara historis asli lahir di tanah Jawa Timur ini masih kurang bisa terperhatikan, kurang bisa ditata atau dikelola rapi, kurang bisa dimaksimalkan kebermanfaatannya, kurang bisa dibanggakan keberadaannya, kurang bisa dilestarikan atau dipopulerkan, kurang bisa dijunjung tinggi derajatnya, dan lain sebagainya.
Bukti konkritnya, banyak sekian di antaranya kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang jarang manggung atau tanggapan (Jawa: tampil). Banyak kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang secara perlahan tapi pasti mulai gulung tikar, punah, mati suri, dan mati generasi. Pertanyaannya:
“Kenapa bisa jadi sedemikian? Apakah ada yang salah dengan cara berpikir masyarakatnya? Apakah ada yang salah dengan sistem atau kebijakan pemerintah daerahnya? Apakah ada yang salah dengan orang-orang atau kelompok Ludruknya?” Mari, biar tidak mis, kita merapatkan barisan, kita rapatkan rapat-rapat dalam pikiran, kita pikirkan secara krisis, logis, kritis, dan sistematis.
Kita cari dan telusuri akar masalahnya. Lalu, kita pecahkan bersama agar kesenian tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa Timur ini tidak semakin berlalu bersama angin. Tidak semakin tumpur dan mumur.
Mari kita sikapi bersama, agar salah satu kesenian purba ini bisa senantiasa tetap bertahan, tetap eksis, tetap progresif, tetap bisa melantas, serta nantinya kesenian tradisi ini bisa menjadikan sebuah citra, alias bisa melatamkan Jawa Timur di tingkat Nasional hingga Internasional. Semoga. Aamiin.
Sebuah Tepukan; Seribu Senyum di Ludruk Kedua
Perbedaan istilah Ludruk Pertama dan Ludruk Kedua sangat sederhana. Ludruk Pertama adalah pertunjukan atau pementasan Ludruk. Sedangkan, Ludruk Kedua adalah sebuah bagian dari peristiwa kedua (setelah) menonton Ludruk. Sebuah laporan hasil baca.
Oleh karena, pada dasarnya, para penonton-penonton pementasan Ludruk yang meludruk, yang membicang atau mengobrolkan Ludruk, yang menuliskan Ludruk, dan yang lain sebagainya setelah menonton Ludruk Pertama, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa Ludruk Kedua.
Dalam artian sederhana, Si Dadang Ari Murtono (sebagai penonton Ludruk, pendengar cerita-cerita tentang Ludruk, pembaca tulisan Ludruk, dan lain sebagainya) telah berhasil meludruk kedua melalui kegiatan ciptasastra. Mengartikulasikan Ludruk-Ludruk Pertama menjadi sebuah buku.
Buku sepilihan sajak yang diberi judul “Ludruk Kedua”. Menariknya, buku ini adalah buku yang ditulis pada saat si penulis —dalam hal ini Si Dadang Ari Murtono, sedang (merasa) ada yang gruwung (Jawa: berlubang) dalam dirinya setiap kali memikirkan tentang kenapa harus diberi nama Ludruk Kedua.
“Saya adalah seorang pribadi yang sedang tercabik-cabik dan sedang merasa tak utuh. Ada suatu masa yang hilang dan saya seakan-akan tidak akan merasa puas sebelum bisa menemukannya,” kata Si Dadang, malu-malu kucing dalam kata pengantar bukunya.
“Ludruk Kedua” adalah sebuah buku karya Dadang Ari Murtono, sastrawan muda yang masih bujang dan berprestasi Jawa Timur asal Pacet Mojokerto. Sebuah karya buku sepilihan sajak tentang Kesenian Ludruk yang di dalamnya berisi sebanyak empat puluh dua judul. Menariknya, buku sepilihan sajak ini berisi persoalan yang berkaitan erat dengan persoalan kesenian Ludruk.
Mulai dari tentang Dunia yang Dilupakan, tentang Lerok, tentang Ludruk, tentang Tranvesti, tentang Ketika Maling Caluring Memaling, tentang Cak Markeso, tentang Cak Durasim, hingga tentang persoalan Menonton Ludruk dari Balik Cerita Sewaktu Gerimis.
Buku ini saya katakan menarik untuk dibaca dan diapresiasi. Oleh karena, “Ludruk Kedua” adalah salah satu karya yang merekam secara padat tapi berisi semua persoalan yang berkaitan erat tentang kesenian Ludruk; mulai dari persoalan sejarah kesenian Ludruk, tokoh-tokoh pejuang kesenian Ludruk, sisi menarik dari pertunjukan kesenian Ludruk, sisi menarik dari kerja kelompok-kelompok Ludruk, sisi menarik dari penonton-penonton pementasan Ludruk, sisi menarik para pemain-pemain kesenian Ludruk di belakang layar (prapentas), sisi menarik kehidupan para pegiat dan pelaku kesenian Ludruk, sisi menarik lakon-lakon yang diusung dalam kelompok kesenian Ludruk, dan lain sisi-sisi lain sebagainya.
Sebuah Refleksi Tentang Ludruk Pertama dan Kedua
Mohon maaf. Sedikit saya ingin menyinggung tentang sejarah lama. Lebih khususnya sejarah tentang kesenian Ludruk. Singkat cerita, pada dasarnya, presiden pertama yang memimpin negeri kita, Soekarno, yang notabene-nya asli lahir dan dibesarkan di Jawa Timur saya katakan sangat apresiatif dalam menjunjung tinggi semua kesenian daerah-daerahnya.
Sebagai petinggi Negara nomor satu di NKRI, Presiden Soekarno pernah mengundang kelompok kesenian Ludruk ke Istana Presiden pada tahun 1958-an dan menggelar acara pementasan kesenian Ludruk selama kurun waktu tujuh belas harian.
Begitu juga putrinya, Presiden Megawati, pada saat menjabat sebagai petinggi Negara di Indonesia juga pernah mengundang kelompok keseneian Ludruk pada tahun 2002. Sebuah upaya yang konkret; mengenalkan, menempatkan, menjunjung, atau memosisikan bahwa kesenian daerah yang sudah mendarah daging di tanah air, lebih khususnya di tanah kelahirannya patut serta layak untuk dijunjung tinggi derajatnya dan harus diapresiasi. (Mohon maaf, perihal sumber foto pementasan, poster, undangan, dan lain sebagainya belum saya unggah atau saya lengkapi di tulisan ini).
Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, dan adik-adik pembaca yang budiman. Di era yang serba digital dan serba instan ini mari kita bayangkan dan kita pikirkan sejenak, kira-kira bagaimana kultur masyarakat Jawa Timur lebih khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya 3, 5, hingga 10 tahun ke depan.
Lebih khususnya tantangan pemerintah daerah dalam kaitannya dalam merespons local genius dan local wisdom. Dalam hal ini, bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melestarikan budaya-budaya lokal baik dalam mengenalkan, mewariskan nilai-nilai leluhur, serta menumbuhkembangkan jiwa cinta dan bangga masyarakat pendukungnya terhadap salah satu dari sekian banyak kesenian di daerahnya.
Dengan demikian, kalau mau kita berkata jujur, sebagai warga asli Jawa Timur, pastinya kita akan memunculkan beragam pertanyaan yang semestinya bisa kita jawab dengan tepat guna: Apakah perihal kelompok-kelompok kesenian Ludruk sudah tidak dianggap penting keberadaannya? Apa kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak pernah membanggakan kita sebagai warga asli pendukungnya? Sebagai warga asli Jawa Timur pada khususnya?
Apakah kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak bisa dijadikan salah satu media shock teraphy, sebagai wahana rekreasi edukasi, dan lain sebagainya. Tentunya, cara pandang kita dalam menjawab atau menanggapi akan pastilah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan semua, tergantung dari yang di atas sana. Tergantung atasannya!*)
Penulis: Anton Wahyudi
Article courtesy: Factualnews.co
Photo courtesy: Factualnews.co
Perawakan tak terlalu tinggi. Rambutnya yang putih, menutupi sebagian kepala yang agak botak itu seolah memberi tanda sang seniman gaek asal Dusun Karangsuko, Kelurahan Tasikmadu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang ini memang sudah tak muda lagi. Hanya suaranya yang kecil, tinggi dan kuat itu yang tersisa membangkitkan kenangan di masa kejayaannya dimana setiap penonton dibuat terpukau oleh gregelnya yang khas.
Ya, Kadam (68 tahun) adalah pemilik gleger atau suara cengkok yang meliuk tinggi di ujung lirik kidung yang dinyanyikannya. Berkat kemampuan yang dahsyat itu dirinya dikenal sebagai tandhak ludruk yang kerap mengundang decak kagum dan tepuk meriah penonton. “Kata orang gregel saya itu masih murni, seperti emas, ya tidak dicampuri besi, apalagi kuningan,” ujar pria pemilik nama asli Radi ini.
Jangankan penonton biasa, Soekarno yang mantan presiden pertama RI saja dibuat terkagum-kagum oleh liukan kidung sang tandhak ini. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960-an saat dirinya masih bergabung dalam group ludruk “Marhaen”, dan ludruk kala itu menjadi salah satu kesenian rakyat yang tak pernah sepi penonton. “Rupanya Pak Karno langsung keki, kok ada ya anak masih muda yang bisa ngidung seperti itu,” kenang Kadam yang kala itu baru berumur 18 tahun. Ia mengakui kelebihannya terletak pada gregel yang ia miliki dan sejak saat itu pula ia sering diundang ke Istana. Bahkan terhitung sekitar 16 kali ia tampil di Istana, salah satunya manggung di Istana Tampak Siring dan Istana Bogor. Tetapi di atas semua, kunci utamanya adalah kepercayaan diri. “Langsung enak gitu saja, wong bapak (Sukarno-red.) kan tidak mengerti ludruk, saya itu kan gitu pokoknya waktu pentas yang nonton itu saya anggap tidak mengerti ludruk,” katanya, sambil menyebut banyak personel ludruk “Marhaen” yang masih sangat rikuh tampil di depan Bung Karno.“Sebagai seniman daerah saya rasa itu sudah cukup,” kata Kadam yang menuturkan sempat bergabung dengan dengan sejumlah group ludruk di Jawa Timur ini mengaku puas. Sebagai seorang seniman yang hidup pas-pasan, Kadam sebelumnya memang pernah malang melintang bersama Ludruk “Warna-Warni Nusantara” Malang dan “Sari Rukun” di Jombang. Baru setelah pecah huru-hara G 30 S 1965, ia terpaksa keluar dari “Marhaen” dan bergabung bersama group “Wijaya Kusuma” Surabaya dan terakhir di group “Persada Malang”.Meski kini usianya sudah tua dan ludruk sudah tak seramai dulu yang kerap tampil di berbagai acara, Kadam belum benar-benar berhenti bermain ludruk. Sambil bekerja memotong dan menjual jahitan pesanan orang di rumahnya, katanya ada saja group ludruk yang memakai jasanya untuk mentas. Belakangan ini misalnya, ludruk “Tonil Baru” Malang mengajak pentas di TMII Jakarta, tepatnya pertangahan 2006 lalu. Pertunjukan ludruk yang belakangan ini makin jarang dan sepi penonton, menurut Kadam, adalah hasil perubahan jaman. Banyak kesenian selain ludruk seperti wayang kulit yang masih menggunakan Jawa Kromo Inggil, lanjutnya, akan tergilas. Ini lantaran bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris lebih disukai dan menjadi bahasa praktek sehari-hari masyarakat generasi sekarang. Untuk bisa bertahan dari badai kepunahan, ludruk harus kreatif. Hal itu, kata Kadam, satu-satunya yang bisa menolong seperti ludruk-ludruk di Mojokerto dan Jombang. Selain karena dukungan kondisi sosio-kultural dan geografis, grup-grup ludruk tersebut terus melakukan inovasi kreatif. Kreativitas yang dimaksudkan Kadam adalah kemampuan sutradara untuk menampilkan hal baru dan menarik dalam bingkai ceritanya. Dan yang tak kalah penting adalah peremajaan. “Kalau ini tidak dilakukan, penonton akan jemu dan bosan,” tandasnya. Selain itu ia juga menyarankan agar sebuah grup ludruk berhati-hati dalam mengelola keuangan. Manajemen keuangan mesti dikelola secara transparan agar kelompok ludruk tersebut bisa maju dan menghidupi para anggotanya. “Dapat duit berapa saja, semua seniman harus tahu,” tegas Kadam mengingatkan, meski dirinya sebenarnya juga mengakui pengelolaan semacam itu makin sulit karena mayoritas ludruk belakangan ini dikelola dengan sistem juraganan. “Kalau di juragan kan nggak transparan, juragan kan sak maunya sendiri apalagi kalau orangnya sendiri, itu seperti tidak ada harganya,” kata Kadam.
Penulis: –
Article courtesy: desantara.or.id
Photo courtesy: budaya-indonesia.org
Kata siapa melestarikan seni budaya itu sangat ribet?
Kata siapa melestarikan seni budaya itu membutuhkan dana yang besar?
Kata siapa melestarikan seni budaya hanya melibatkan kalangan tertentu saja?
Kata siapa melestarikan seni budaya dilakukan nanti-nanti saja?
Ya, pelestarian seni dan budaya memang seperti ayam dan telur selalu ada pro kontra, ini dan itu yang akhirnya tidak terwujud dalam bentuk apapun. Banyak orang ilang bahwa pelestarian seni budaya juga membutuhkan banyak uang. Hm, sepertinya ini mungkin ada benarnya namun ada juga salahnya. Seperti makanan paket hemat, ada juga lo paket hemat pelestarian seni budaya. Nah, berikut ini adalah beberapa cara:
Yuk didata!
Pendataan itu penting sekali. Data yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya akan menjadi rujukan atau referensi di masa mendatang. Banyak seni budaya yang hanya hilang begitu saja tanpa ada pendataan. Kemudian ketika generasi saat ini mencarinya, tidak ada data yang bisa digunakan. Para seniman, seniwati dan pegiat seni budaya juga mungkin sudah berusia uzur atau bahkan mungkin sudah berpulang ke Tuhan YME. Data ini penting karena menjadi catatan historis. Dana ini juga harus diverifikasi kebenarannya sehingga nantinya bisa digunakan oleh siapa saja. Data tersebut beranekaragam mulai dari macam-macam seni budaya, profil seniman seniwati sampai profil grup seni budaya. Jika kamu tertarik untuk ikut serta, Njombangan juga suatu saat akan melaksanakan program pendataan ini. Silahkan klik di sini.
Yuk dipromosikan!
Nah mempromosikan ini caranya banyak sekali bisa melalui penyeleggaraan event fisik, bisa melalui promosi di dunia maya. Berikut ini ada banyak cara yang bisa dilakukan:
Apapun pilihannya, prioritaskan yang tidak berbiaya atau berbiaya minim sehingga promosi dapat dilaksanakan sesering mungkin. Bahkan jika bisa, promosi dapat diduplikasi oleh orang lainnya dengan mudah.
Yuk ditonton!
Kadang pertunjukan seni budaya tradisional ini sepi sekali penonton. Hal ini tentu membuat kecewa para seniman dan seniwatinya. Nah dimanapun ada pertunjukan seni dan budaya, terutama yang live/ langsung/ sedang berlangsung, ada baiknya kamu ikut menonton pertunjukan tersebut. Tontonlah dari awal sampai akhir. Jika kamu merasa bosan cobalah untuk betah. Jika masih bosan, coba kamu berpindah posisi atau jajan sebentar kemudian balik menonton lagi.
Yuk didokumentasikan!
Didokumentasikan ini dalam hal foto dan video. Sebisa mungkin kamu mendokumentasikan seni dan budaya itu melalui video, film, foto, rekaman suara dan lainnya. Ini adalah data hidup dibandingkan data berupa kata dan angka yang bisa dibaca. Setelah itu, kamu bisa simpan dan bagi melalui media sosial yang kamu miliki.
Yuk diapresiasi!
Nah, kamu juga bisa memberi apresiasi kepada seniman dan seniwati ini. Caranya bagaimana, ada banyak sekali seperti di bawah ini:
Nah, demikian ada banyak sekali cara yang mana kita bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni dan budaya Njombangan. Yuk melakukannya bersama-sama! Kalau bukan kita, siapa lagi?!
Penulis:
Article courtesy:
Photo courtesy:
Berbicara tentang seni dan budaya memang tidak ada habisnya. Apalagi yang bersifat tradisional dan diwariskan dari generasi ke generasi. Nah, berbicara tentang seni budaya tradisional ini maka banyak rasa kecemasan dan keprihatinan karena kekayaan tradisi ini semakin lama semakin hilang dan kurang diminati. Masyarakat di berbagai daerah cenderung berganti preferensi ke bentuk seni budaya yang merasa lebih kekinian. Hal serupa juga terjadi di Jombang. Beberapa saat lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke basecamp Ludruk Budhy Wijaya yang ada di Kecamatan Ngusikan. Ini adalah pertama kali saya berkunjung ke kecamatan yang ada di ujung timur Kabupaten Jombang ini, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Mojokerto ini.
Obrolan yang berlangsung bersama Mas Didik selaku generasi kedua dari Ludruk Budhy Wijaya selama kurang lebih empat jam berjalan dengan seru. Banyak poin-poin yang dibicarakan dalam obrolan tersebut, antara lain:
Tentang Popularitas Seni Tradisional Khususnya Ludruk
Saat ini memang masyarakat preferensinya sudah berubah. Dulu ludruk dan kesenian tradisional memang sangat digandrungi namun saat ini sudah lewat masa keemasannya. Walaupun demikian, bahwa kerinduan masyarakat akan seni tradisi ini masih bisa dirasakan. Begitu juga di kalangan generasi muda, makin banyak bahkan dari mereka yang tidak mengetahui ludruk, besut dan kesenian lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan. Beruntung Ludruk Budhy Wijaya masih bisa bertahan dan menjadi satu dari sedikit sekali grup ludruk yang masih hidup. Alasannya adalah masih banyaknya undangan tampil di berbagai daerah di Jawa Timur atau bahkan di luar provinsi. Jika tidak, maka tentu para seniman/ seniwati juga akan kurang semangat.
Pekerjaan Para Seniman Seniwati di Luar Ludruk
Dalam kesehariannya, mereka juga memiliki pekerjaan lain misalnya bertani, berdagang, menjadi guru dan lainnya. Hal ini mengingat karena tanggapan ludruk tidak terjadi setiap hari sehingga mereka juga perlu tambahan sumber pendapatan lainnya. Nah, kecintaan mereka pada seni ludruk ini yang membuat mereka terus bertahan dan berkesenian.
Perhatian Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah masih dirasa kurang memperhatikan seni budaya tradisional khas Jombang baik ludruk atau lainnya baik terkait pendataan, promosi, pelestarian dan apresiasi terhadap seniman seniwati. Beberapa tahun lalu sempat diadakan festival ludruk, namun kemudian hal tersebut dirasakan kurang memberikan manfaat karena kurangnya greget regenerasi. Yang tampil akhirnya grup ludruk itu-itu saja, padahal diharapkan ada grup baru atau setidaknya pemain ludruk yang lebih junior. Ada juga festival tari remo masal, namun yang ini sifatnya juga insidental dan selebrasi sesaat setelah itu tidak ada kelanjutan, tidak ada perhatian pada pelestarian dan promosi lebih lanjut agar tari ini semakin dikenal masyarakat.
Tentang Kekompakan Mengembangkan Tim Ludruk
Ya membina tim yang berasal dari latar belakang yang beragam dan umur yang beragam pula memang tidak mudah. Ada perbedaan pandangan dan ekspektasi akan tim namun kecintaan pada ludruk menyatukan para anggota tim ini. Dan hal ini pula yang membuat tim kompak termasuk soal pembagian honor ketika pentas. Sebagian honor disisihkan untuk ditabung. Sebagian lagi ada bagian yang disisihkan untuk kegiatan sosial untuk santunan anak-anak yatim, piatu dan yatim piatu di desa tersebut. Hal ini menjadi bakti sosial mereka untuk membantu sesama. Begitu juga kepedulian kepada sesama anggota ludruk, jika ada yang sekiranya sakit atau kenapa-napa maka mereka akan kompak saling membantu satu sama lain.
Tentang Regenerasi
Regenerasi dipercaya sebagai salah satu faktor penting dalam melestarikan seni dan budaya. Nah, ini pula yang dirasakan oleh Ludruk Budhy Wijaya. Harapan adalah ada kampung ludruk yang dibangun di sini. Ada panggung permanen dimana anak-anak bisa belajar ludruk sambil bermain. Dan siapapun dari manapun yang tertarik untuk belajar ludruk dapat ikut serta di kampung ludruk ini. Nah, sebagai salah satu bentuk regenerasi adalah diajarkannya ludruk di salah satu sekolah dasar di sana. Anak-anak SD tersebut belajar secara sukarela dan tanpa dipaksa. Mereka terlihat menikmati belajar ludruk gratis tersebut. Mereka juga biasa tampil dalam acara SD misalnya saat perpisahan kelas dengan membawakan lakon timun mas. Para orang tua pun mendukung adanya aktivitas tersebut. Bahkan kadangkala, mereka datang ke rumah mas Didik dan membawa hasil bumi sebagai ucapan terima kasih. Sungguh apresiasi yang priceless dari masyarakat apapun itu bentuknya. Selain berlatih ludruk, anak-anak ini juga berlatih bermain gamelan.
Tentang Regenerasi Lewat Institusi Pendidikan
Regenerasi memang patut menyasar kepada anak-anak idealnya siswa SD dan SMP. Sebenarnya hal ini pernah dipikirkan dimana beberapa anggota dari ludruk Budhy Wijaya ini memiliki kemampuan untuk mengajar. Kemudian mereka juga tersebar di beberapa daerah di Jombang. Dengan demikian kemudian dilakukan pemetaan, satu orang seniman sekiranya dapat mengajar di berapa sekolah dalam seminggu. Seniman-seniman ini yang kemudian dibayar oleh sekolah. Akhirnya terjadi simbiosis mutualisme bahwa seniman mendapatkan penghasilan tambahan plus memiliki kesempatan untuk regenerasi seni budaya sedang anak-anak juga terfasilitasi minat dan bakatnya. Pada akhirnya diharapkan ludruk dan seni budaya tradisional lainnya akan terus lestari. Namun konsep dan pemikiran ini baru sebatas ide dan wacana, entah kapan akan direalisasikan.
Ludruk setidaknya masih digemari. Walau di Jombang peminat dan pegiatnya makin sedikit, namuan setidaknya seni budaya ini masih berkembang pula di daerah lainnya di Jawa Timur. Beberapa kesenian lain seperti Tari Topeng Bapang Manduro dan Wayang Topeng Jatiduwur bahkan nasibnya lebih memprihatinkan. Semoga makin banyak pihak yang peduli akan warisan luhur nenek moyang ini sebagai suatu identitas yang kaya dan wajib disyukuri serta dilestarikan. Ayo cintai dan lestarikan seni dan budaya Njombangan!
Penulis:
Article courtesy:
Photo courtesy: