Njombangan dengan bangga mempersembahkan Buku Kompilasi Esai Pembangunan Njombangan Tahun 2018. Buku ini merupakan kompilasi dari berbagai esai dengan tema Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang merupakan peserta Lomba Esai Pembangunan Njombangan (LEPEN) 2018. Esai yang termuat dalam buku kompilasi ini adalah yang sudah terpilih. Kami mengucapkan terima kasih atas semua keterlibatan dari Arek-Arek Jombang. Esai ini menjelaskan berbagai ide cemerlang dari masyarakat Jombang. Kami berharap agar buku ini dapat menjadi referensi untuk para pihak terkait dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka. Matur nuwun.
Untuk download, silahkan klik di sini.
JOMBANG – Seutas tali bisa dibentuk menjadi aksesoris yang menarik. Mardiyah Solekati, membuat aksesoris berbahan dasar xuping dan tali yang dirangkai menjadi gelang dan kalung.
Beberapa waktu lalu, Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke rumahnya. Suasana pagi yang begitu sejuk, setelah diguyur hujan, tak mebuat Mardiyah Solekati berdiam diri. Namun, tangannya terus bergerak merangkai seutas tali. Tangannya berkreasi dengan dua tali yang dirangkai menjadi sebuah karya seni berupa gelang.
“Saya memang hobi dan suka membuat aksesoris dari dulu, jadi ada saja yang dibuat, daripada santai tidak ada hasilnya lebih baik dimanfaatkan,” ujar Diah Sello panggilan akrabnya.
Di ruang tamu rumahnya di Dusun/Desa Senden, Kecamatan Peterongan ini, ada sebuah etalase yang penuh dengan manik-manik serta hasil karya yang sudah jadi. Tidak hanya gelang, tapi juga kalung, bros, giwang atau anting-anting, hingga toples hias juga dibuatnya.
Kali ini koleksinya yang paling banyak adalah gelang, alasan ia membuat gelang cukup simpel, yaitu mengikuti zaman. “Sekarang sedang musim gelang tali jadi saya buat itu, kalau nanti ganti musim lagi ya ganti lagi karyanya,” jelasnya.
Gelang dibuat memang berbahan dasar dua tali, bisa satu warna atau dua warna, di tengahnya diberi aksesoris berwarna emas atau manik-manik yang ia beli di Gudo. Tali sepanjang dua meter tersebut dirangkai menjadi berbagai macam motif dan bentuk. Ada tali simpul, ada tali kepang, ada sumpul A dasar dan ada parakot. Tali simpul membutuhkan tali dua kali lipat lebih panjang, sedangkan tali parakot yang paling banyak peminatnya.
“Saya menyesuaikan dengan pesanan saja. Tapi banyak yang pesan tali parakot,” imbuhnya. Tak butuh waktu lama tangan Diah untuk belajar membuat gelang dari tali. Ia hanya membutuhkan referensi youtube dan google, sisanya dikreasikan sesuai keinginannya sendiri. Seperti menambahkan manik-manik di tengah-tengah rangkaian talinya, atau membentuk tali yang tadinya gelang diperpanjang menjadi sebuah kalung.
Bahkan ada yang bisa memesan sesuai dengan model yang diinginkan. Seperti manik-manik diganti dengan emas sungguhan dan lain sebagainya. “Ada yabg bawa emas dari rumah minta dirangkaikan talinya, kalau kalung banyak juga peminatnya, karena fleksibel bisa dipanjang-pendekkan, bentuknya juga unik dan jarang ada yang punya,” tambah Diah.
Tidak hanya sebagai penyalur hobi saja, tapi asesoris yang dibuat juga dijual. Ia menggunakan media sosial untuk memasarkan karyanya. Kadang juga mengikuti sejumlah bazar seperti yang ia ikuti di Hotel Yusro Jombang pagi ini (23/3). Harga gelangnya juga lumayan, mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 135 ribu tergantung kerumitan gelang yang dibuat.
“Kalau saya ikut bazar tidak hanya menjual tapi juga belajar membuat karya lain dari orang lain, soalnya saya suka berkreasi jadi suka juga nambah ilmunya,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Badri, seniman asli Jombang kelahiran tahun 1938 ini adalah satu-satunya pelaku kesenian kentrung yang hingga kini masih bertahan di Jombang. Di rumahnya di Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang Jombang, ia masih menyimpan benda bersejarah yang pernah jadi ujung tombak perekonomian keluarganya tersebut.
Tak ada nama khusus untuk keseniannya ini, namun dirinya seringkali menyebut kelompoknya sebagai kentrung muda. “Kentrung muda ini saya sesuaikan dengan kondisi saya waktu itu, saat pertama memegang kesenian ini, usia saya masih belum sampai 20 tahun, setelah bapak saya meninggal dunia,” jelas Badri saat ditemui di kediamannya kemarin.
Menurutnya, kesenian ini sebenarnya berasal dari bapaknya yang bernama Sanawi yang sebelumnya memimpin kelompok kentrung ini. Ayahnya sendiri mendapatkan kemampuan melakonkan kesenian ini setelah beberapa tahun ikut dalam kelompok kesenian sejenis di luar kota. “Bapak saya ini kan memang dulu ada masalah dengan penglihatannya, tapi saat mendengar kesenian ini main pertama kali di sini, akhirnya beliau tertarik dan kemudian belajar dengan cara ikut nyantrik (belajar dengan mengabdi ke guru) kentrung asal Nganjuk,” lanjut pria berusia 80 tahun ini.
Awalnya kesenian ini dijajakan dengan mengamen dari satu daerah ke daerah lain. Daerah yang dipilih menurutnya tergantung musim panen dan wilayah yang dianggap ramai pengunjung. “Dulunya ya ngamen mas, kadang-kadang sampai Sidoarjo juga sana, tapi kemudian kita lama-lama terbiasa dengan undangan karena sudah mulai punya nama. Namun sekarang tidak pernah main sama sekali,” imbuh bapak lima orang anak ini.
Sedangkan untuk personel, biasanya kesenian ini dilakukan empat sampai lima orang dengan tugas yang berbeda-beda. “Empat orang, atau kadang-kadang juga lima, saya di bagian kendang besar sekaligus dalangnya, yang lain biasanya wanita bagiannya memukul rebana dan alat pukul lainnya, bahkan salah satu pemukul rebananya juga istri saya sendiri,” sambung Badri.
Meski cukup sederhana, Badri menyebut pertunjukan ini juga bisa berlangsung semalam suntuk. Meski di akhir-akhir pementasan kini, pertunjukan biasanya hanya berlangsung setengan malam. “Dulunya memang semalam suntuk kayak wayang begitu, tapi lama kelamaan memang makin pendek, kan cerintanya juga bisa dipanjangkan bisa juga dipotong sebenarnya, jadi kita bisa saja menyesuaikan,” ujarnya.
Kentrung sendiri merupakjan sebuah kesenian yang berpaku mada musik dan cerita. Sepanjang pertunjukan, pemain kendang yang biasanya juga berlaku sebagai dalang akan menceritakan kisah-kisah baik kisah bernuansa Islam, cerita tradisional hingga cerita panji. “Memang kesenian ini sebenarnya unik, meski bentuknya pertunjukan yang menyajikan cerita lakon, namun tak seperti pada ludruk, wayang topeng hingga teater, semua cerita hanya diucapkan dalang tanpa satu pun alat peraga baik berupa wayang atau apapun,” sambung Nasrul Illah Budayawan Jombang dalam suatu sesi wawancara dengan Jawa Pos Radar Jombang.
Dalam pertunjukannya, kesenian ini biasanya digunakan untuk melayani hiburan dalam beberapa hajatan. Selain itu, di beberapa kegiatan lain seperti ritual wiwit ( memulai masa tanam, Red) hingga pemenuhan nazar, kesenian ini juga seringkali dipentaskan. Sedangkan, cerita yang dipentaskan, biasanyajuga menyesuaikan dengan jenis pentas yang sedang berlangsung.
“Biasanya cerita juga akan menyesuaikan penanggapnya, kalau memang sedang wiwit akan pakai cerita Dewi Sri, atau mungkin acara lain pakai cerita panji kadang-kadang dan yang paling sering biasanya memang cerita nabi atau juga detita Angling Darma dan Aji Saka,” lanjutnya.
Meski kini Badri sangat menguasai pertunjukan kentrung yang telah dimainkannya lebih dari 50 tahun dalam hidupnya, ternyata Badri malah belajar banyak dari sang istri Sarmini tentang bagaimana bermain pertunjukan kentrung dengan benar.
“Bapak itu dulu malah awalnya tidak bisa apa-apa, meski memang sudah bisa menabuh kendang sejak kecil, namun saat pertama memegang kenrtung ini dia tidak bisa jadi dalang, ceritanya saja tidak hafal,” ucap Sarmini saat menemani suaminya di rumahnya.
Maklum saja, Sarmini memang terhitung lebih lama ikut kesenian kentrung ketimbang Badri. Semenjak kesenian ini dipegang bapaknya Badri, Sarmini memang telah berposisi sebagai penabuh rebana. “Jadi memang dulu saya yang lebih hafal caranya bertutur dan bercerita karena memang saya kan ikut lebih dulu, saat masih dipegang Pak Sanawi saya sudah jadi panjak (penabuh,Red),” lanjut.
Hal inipun diakui Badri, dirinya kemudian bercerita bagaimana awalnya dirinya bisa memimpin kesenian ini. Awalnya, kesenian ini memang dijalankan sendiri oleh bapaknya. Namun setelah bapaknya meninggal dunia, praktis tak ada lagi yang bisa meneruskan kesenian ini selain dirinya. “Saat itu saya beru tamat sekolah SMP, ya memang mau tidak mau saya harus bisa, beruntung saya sudah bisa main kendang, itu modalnya awal,” ucapnya.
Saat pertama kali tanggapan dirinya masih ingat betul bagaimana kondisinya. Ia mengaku kala itu sedang tak siap untuk bermain, namun keadaan sangat memaksa mengingat Sanawi sudah terlanjur mengiyakan untuk tampil dalam sebuah acara nadzar, namun dirinya meninggal beberapa hari sebelum pementasan dilakukan.
“Itu di Tembelang tanggapan pertamanya, untung saja yang nanggap ini mengerti dan hanya ngomong: gowo en ae bekakasmu nang omah nak, pokok e awakmu teko, soale wes kadung ujar (bawa saja alatnya kerumah saya nak, yang penting kamu datang saya sudah terlanjur bernadzar),” ucap Badri menirukan penanggap keseniannya.
Setelah pertunjukan pertama itu, disebutnya dirinya harus berlatih keras. Beberapa cerita yang diwariskan ayahnya pun harus pelan-pelan ia pelajari. “Bahkan karena dulu saya masih belum hafal, masih harus menulis dan membaca teksnya,” lanjutnya.
Namun, setelah dirinya menguasai kesenian ini, dirinya juga tak terlalu saklek menjalankannya, Badri mengaku seringkali harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pertunjukannya agar penonton tak jenuh. “Misalnya tentu dengan lawakan yang tetap segar, selain itu juga beberapa adat saklek seperti ritual sebelum pertunjukan serta uba rampe (sesajen, Red) juga kita akhirnya pasrah, tidak harus ada, dan terserah yang punya hajat saja,” lontarnya.
Alat berdebu, berbunyi tak nyaring serta beberapa bagian utama yang terbuat dari kulit telah terlihat menjamur. Itulah pandangan saat Jawa Pos Radar Jombang mendatangi rumah Badri untuk memintanya memainkan kembali alat musiknya.
Badri menyebut, hal ini sangat wajar mengingat alat musikya ini memang telah bertahun-tahun tak pernah lagi dimainkan. Sudah sejak sewindu lalu, Badri berharap ada undangan pementasan keseniannya ini namun tak juga bersambut baik. “Terakhir pentas sudah delapan tahun lalu mungkin mMas, terakhir juga di nazaran warga di desa sini juga kok,” ucapnya.
Kondisi ini tenu berbanding terbalik dengan 20 hingga 30 tahun lalu, saat kesenian miliknya ini masih jadi primadona. Badri menyebut, saat itu dirinya bahkan tak sempat pulang karena banyaknya undangan pementasan yang ia terima. “Kalau di tahun 65-70an dulu, saya sendiri satu bulan bisa sampai 15 kali pentas di banyak tempat Mas. Waktu itu sudah kayak nggak mau tampil lagi saking capeknya karena pertunjukannya kan semalam suntuk,” sambungnya.
Belum lagi dengan banyaknya sambutan dari pemerintahan saat itu, Badri memang di era keemasannya seringkali diundang untuk sekedar mementaskan keseniannya ini di kawasan kota. “Di pendopo pernah, di Pasar Legi juga pernah, bahkan pernah diajak ikut festival juga di Banyuwangi dan Madiun dan banyak tempat lah. Itu saat zamannya pak Hudan Dardiri bupatinya,” lontarnya sembari mencoba mengingat.
Namun kini, minimnya undangan memaksanya menyimpan rapat-rapat alat yang sempat membawa namanya moncer hampir seantero Jawa Timur ini. Beberapa alatnya pun kini juga kondisinya sangat berdebu, saat ditunjukkan kepada wartawan koran ini, bahkan kendang milik Badri yang jadi musik utama pun harus terlebih dahulu mendapatkan sentuhan sebelum akhirnya bisa dipakai kembali. “Harus dikencangi dulu mas, kalau gitu tidak bisa dipakai, suaranya jelek,” lanjutnya.
Selain minimnya perhatian dari pemerintah kini hingga tanggapan dari masyarakat yang telah tak ada, yang lebih dipusingkannya tentu saja regenerasi. Sebagai satu-satunya kesenian kentrung yang kini bertahan di Jombang, Badri memang tak memiliki penerus dalam hal bermusik kentrung. “Sampai sekarang tidak ada penerusnya, anak-anak saya juga memilih bekerja di luar semua. Jadi kalau saya meninggal mungkin kesenian ini jua akan punah,” ucapnya.
Karena itu, meski mengakui terkuburnya kentrung sebagai hal yang wajar dengan gempuran kebudayaan modern. Dirinya tetap berharap ada anak-anak muda kini yang mau belajar mengenal kesenian ini. “Ya tentu kepingin sekali ada yang belajar, paling tidak, ada yang mengenal lagi dan bisa memainkan, ini kan budaya kita sendiri tentu akan sangat sayang kalau punah begitu saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Pentas Remo Njombangan Maret 2019 berlangsung di Minggu, 17 Maret 2019. Acara ini bertempat di Desa Ngampel Kecamatan Ngusikan . Ini adalah ajang penutupan dari Program Njombangan Menari 2019. Pentas ini diikuti oleh sekitar 10 anak-anak yang telah belajar tari remo Njombangan selama beberapa bulan belakangan. Mereka kemudian diberi kesempatan untuk unjuk keberanian mereka menari. Akhirnya di akhir acara dipilih 3 orang pemenang yang akan menerima piagam pemenang, piala dan hadiah. Adapun untuk semua peserta mendapatkan merchandise keren dari Njombangan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada:
Sampai jumpa pada Program Njombangan Menari dan Pentas Tari Remo Njombangan berikutnya!
Jombang – Tak hanya kambing jenis etawa atau peranakan etawa (PE), maupun merino yang dikembangbiakan di Kabupaten Jombang. Baru baru ini, kambing jenis boer juga mulai diminati.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, beberapa waktu lalu, sejumlah warga tampak sibuk mengangkut rumput yang didapat dari hutan. Di ujung desa, terdengar lolongan anjing bersamaan suara kambing yang mengembik.
Tepat di ujung selatan Desa Ngrimbi yang berbatasan dengan Kecamatan Wonosalam ini terdapat peternakan kambing boer. Kambing yang berasal dari Afrika Selatan ini memang mulai digemari para peternak di kawasan Wonosalam dan sekitarnya.
Salah satunya, Angelo, 44, yang sudah mengembangbiakan kambing boer selama empat tahun. Warga pindahan NTT ini tertarik dengan kambing boer karena harga jualnya menguntungkan. Satu kilogram daging kambing ini dihargai Rp 80 ribu. Untuk kambing pejantan usia 2-3 tahun bisa mencapai 150 kg. ”Ini merupakan kambing jenis boer yang diminati sejumlah peternak,” ujar dia kemarin.
Kambing jenis ini, kata dia, memang posturnya tidak bisa tinggi seperti kambing jenis PE maupun etawa. Namun keunikan lain kambing ini adalah postur badan yang memanjang, bahkan untuk kambing pejantan berat bisa mencapai 100 kg lebih. ”Memang ini adalah jenis pedaging, seekor pejantang dewasa bisa mencapai 1,5 kuintal,” tandasnya.
Apalagi, jika asupan nutrisi dan makanan kambing ditambah. Peternak bisa meraup untung hingga puluhan juta perbulan. ”Per ekor kambing boer harga di pasaran Rp 80 ribu/kg. jadi hitungan penjualan bukan per ekor, tapi perkilo. Sehingga meskipun kambing baru setahun tapi kalau bobot 60 kg ya tinggal mengalikan saja,” papar dia.
Untuk mempercpat proses penggemukan, Angelo memberi makan binatang piaraannya hingga empat kali dalam sehari yakni pagi siang, sore dan malam. Selain diberi makanan rumput hijau. Dia juga memberi sentrat pabrikan. ”Sentrat pabrikan memang untuk nambah supaya cepat gemuk,” papar dia.
Perawatan kambing boer menurutnya juga susah-susah gampang. Pada awal merintis dia mengaku kesulitan dengan kambing jenis boer yang tak begitu tahan hawa dingin seperti di Ngrimbi dan Wonosalam. Namun kini kambing tersebut sudah beradaptasi. Bahkan di kandangnya jumlah mencapai ratusan.
”Perawatannya hanya butuh ketelatenan. Kalau kuku mulai tumbuh kita gunting, itu saja. Sebab kalau tidak digunting akan mudah patah kakinya, karena bobot kambing rata rata berat,” jelas dia.
Kambing-kambing tersebut tidak hanya dipasarkan di pasaran lokal. Melainkan di luar Jombang mulai Surabaya dan sekitarnya. ”Pemasaran kami hanya menggunakan facebook dan online saja, karena lebih cepat dan menguntungkan,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Menjadi pengusaha pengeringan kelapa bukan hal mudah bagi Badi, 60. Di musim tak menentu seperti sekarang, ia harus berusaha ekstra mengeringkan kelapa sebelum dikirim ke pabrik minyak goreng.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke tempat usahanya di pinggir jalan raya Dusun/Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, irisan dan potongan kelapa terlihat ditata memanjang dan memenuhi halaman rumah. Aroma sedap tentu saja langsung menyeruak dari tumpukan kelapa ini.
Tanpa satupun penutup, irisan dan potongan kelapa ini dijemur di sebuah tempat berukuran 3×4 meter yang terbuat dari lapisan semen. Di atasnya, seorang pekerja terlihat membolak-balik dan menata bagian-bagian kelapa.
Beberapa pecahan yang terlalu besar, terlihat dipotong dengan tangan, agar menjadi lebih kecil. Kelapa yang tertata dengan kondisi kurang sempurna, juga terlihat dibalik agar mendapat penyinaran matahari lebih baik. “Supaya panasnya merata dan bisa kering bareng,” celetuk Badi, 60 pemilik usaha ini saat Jawa Pos Radar Jombang menghampiri.
Ya. Menurut Badi, kelapa ini masih dalam tahap penjemuran. Masih setengah jalan, ia menyebut kelapa baru dipotong dan masih membutuhkan beberapa hari lagi untuk bisa kering sempurna. “Kalau sudah kering warnanya semakin cokelat, dan tidak berair. Lha ini kan masih terlihat sekali kandungan airnya,” lanjutnya.
Pria yang sudah dua tahun menekuni bisnis penjemuran kelapa ini menyebut proses pengeringan beberapa bulan belakangan cukup panjang. Maklum, ia memang masih mengandalkan sinar matahari sebagai pengering alami. “Karena hujan lama keringnya, sampai 4 hari lebih. Kalau panasnya bagus bisa 2-3 hari selesai,” beber dia.
Selain pengeringan yang makin susah, ia mengaku harga jual kelapa kering terus menurun. Jika dua tahun lalu perkilogram kelapa kering bisa Rp 10 ribu, kini hanya separo saja. “Sekarang cuma Rp 5 ribu perkilo, memang turun harga jualnya, nggak tahu kenapa,” imbuhnya.
Padahal, kelapa-kelapa ini cukup susah dicari. Badi harus mendatangkan langsung dari luar Jawa untuk mendapat kelapa dengan jumlah banyak dan kualitas bagus. “Ini dari Sulawesi, di Jawa sudah susah, kalaupun ada mungkin Jawa Tengah sama Pacitan saja yang di Jatim. Jumlahnya juga tidak bisa banyak. Tapi memang masih untung meski harganya turun,” tambahnya.
Selanjutnya, kelapa-kelapa kering tersebut bakal dikirim langsung kepada pabrik-pabrik di Surabaya dan Mojokerto untuk diproses menjadi minyak goreng. Hanya saja, pengiriman dilakukan dalam jumlah banyak sehingga kelapa yang kering dikumpulkan terlebih dahulu. Minimal satu truk penuh baru kirim ke pabrik.
“Kalau yang ini untuk minyak goreng, kan kelapa afkir. Kalau yang bagus biasanya lain proses untuk santan cair, atau bahan-bahan lain yang butuh kualitas kelapa lebih baik,” pungkas dia. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Puncak acara apresiasi penyerahan hadiah Tryout Unas 2019 di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang terasa istimewa. Sebab pembawa acaranya adalah lawakan kondang cak Besut dan Rusmini.
Lantunan gamelan terdengar dari gedung sebelah timur di kantor Disdikbud Jombang kemarin pagi (13/3). Sejumlah pemain panggung yang notabene anak-anak ini mulai merias diri mereka dengan bedak dan rias wajah seadanya.
Tampak beberapa pemain gamelan juga menyelaraskan nada dengan pemain gamelan lain. Ya, dalam puncak acara apresiasi penyerahan hadiah Tryout Unas 2019 kemarin, dihibur oleh grup besutan khas Jombang yang berasal dari SMPN 1 Mojowarno.
Namanya adalah Grup Besutan Langen Budoyo. Grup yang memiliki enam personel diantaranya, pemain kendang, gong, peking, saron serta dua pembawa acara yakni Rusmini dan Besut. Ini merupakan pertama kali manggung di acara yang besar. Sebelumnya mereka hanya tampil sekali saat acara pisah kenal kepala sekolah dua bulan yang lalu.
”Kalau acara yang besar dan tampil di panggung. Ini memang yang pertama kali,” ungkap Martha Kristianingrum pelatih grup tersebut. Meski baru pertama tampil, penampilan mereka kemarin cukup memukau. Lantunan gamelan serta joke yang dibawakan cukup apik dan enak di dengar.
Tak pelak, jika Bupati Mundjidah Wahab dan beberapa tamu undangan sempat tertawa dengan penampilan Besut dan Rusmini yang menghibur. Selain menggunakan bahasa Jawa campuran, mereka juga terlihat menjiwai sosok rusmini dan besut yang selalu humoris. ”Memang jokenya atau guyonan itu yang menjadi pelengkapnya,” sambung perempuan yang juga guru seni budaya di SMPN 1 Mojowarno ini.
Dalam penampilan pertama kemarin, ada satu kejutan yang membuat grup besutannya kaget. Ini setelah susunan acara yang semula sudah ditata rapi tiba tiba diubah, karena padatnya agenda bupati hari itu. Sehingga mau tidak mau mereka yang harus menyesuaikan diri.
”Jadi kemarin ada yang dibolak balik susunan acaranya. Otomatis kami yang dari gamelan kan kebingugan menyesuaikan ritme MC. Tapi kami sudah bulatkan tekat, saya yakin anak anak mampu untuk tampil maksimal,” jelas dia.
Untuk mempersiapkan penampilan kemarin, perjuangan grup besutan ini cukup maksimal. Mereka sudah berkali-kali latihan sepulang sekolah. Apalagi mendekati event, mereka kerap bertemu untuk menyeleraskan penampilan. ”Kami latihannya setelah kegiatan KBM. Kebetulan di dekat sekolah kami ada grup gamelan jadi kami pinjam latihan di sana,” jelas dia.
Berbicara soal alat, memang grup ini mengakui tidak punya alat sendiri. Di penampilan perdana mereka kemarin, semua alat mulai dari gong, kendang hingga saron pimjam milik grup gamelan yang ada di desanya. ”Ya otomatis kami nanti kembalikan. Karena alat ini pinjam,” pungkasnya.
Sementara, Yoni Trijoko Kurnianto selaku kepala SMPN 1 Mojowarno mengakui jika kemampuan murid-muridnya dalam bidang seni musik tradisional cukup potensial. Namun selama ini belum terfasilitasi dengan peralatan yang memadai. ”Selama ini kami memimjam mas. Ya memang tidak punya alat sendiri,” papar dia kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Ke depan, dia berharap Disdikbud Jombang mau memperhatikan grup-grup kesenian di sekolah. Apalagi, pengembangan kesenian uri uri budaya Jombang perlu dilestarikan oleh murid-murid yang kebanyakan sekarang jarang diminati. ”Kami berharap dinas pendidikan dan kebudayaan lebih memperhatikan dengan memberikan kami peralatan yang layak,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Menjadi salah satu peninggalan Raja Airlangga, Prasasti Gurit yang terletak di Dusun Sumbergurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang sampai saat ini masih sering dikunjungi warga. Ada yang sekedar ingin belajar sejarah, tapi ada juga yang melakukan ritual khusus.
“Pengunjung tidak banyak, hanya ada beberapa yang datang, satu dua orang setiap hari, kebanyakan ingin tahu sejarah seperti pelajar atau mahasiswa, tapi ada juga yang melakukan ritual atau berdoa menyampaikan hajatnya disini,” kata Badri, juru pelihara Prasasti Gurit.
Meski seringkali didatangi untuk melakukan ritual tertentu, prasasti ini tidak pernah dijadikan tempat maksiat seperti pacaran atau yang lainnya. Sebab, prasasti gurit terletak tepat di tengah perkampungan warga. Sehingga tidak pernah lepas dari pengawasan.
“Kalau hanya berkunjung tidak masalah, asal tidak digunakan untuk hal yang macam-macam seperti pacaran, atau minum-minum, agar tidak meresahkan warga,” tambahnya.
Selain bernama prasasti gurit, banyak juga yang menyebut prasasti ini dengan sebutan Prasasti Munggut. Pasalnya isi dari prasasti gurit menetapkan pembebasan pajak untuk daerah Munggut. ”Munggut itu nama dusun di tengah hutan, Munggut masuk wilayah Desa Cupak Kecamatan Ngusikan,” jelasnya.
Pembebasan pajak saat itu ditetapkan pada tanggal 14 Krisnapaksa, Bulan Caitra, Tahun 944 Saka (3 April 1022 M). Meski hanya penetapan sima bebas pajak, prasasti ini dinilai cukup penting sebagai wujud dari eksistensi Raja Airlangga.
Prasasti Gurit ini berbentuk segilima dimana setiap sisinya terpahat tulisan-tulisan kuno yang sebagian sudah tidak terbaca lagi. Mulai dari sisi depan, kanan, kiri, belakang hingga atas pun penuh dengan pahatan. Prasasti ini ditulis dalam bahasa sansekerta dipahat di atas batu andesit.
Letak prasasti ini pun masih asli dan tidak berubah sejak dulu. Warga sekitar hanya melakukan pemeliharaan saja, dan tidak pernah memindah. Prasasti gurit sendiri termasuk salah satu cagar budaya di Jombang yang terdaftar di BPCB Jawa Timur. Hanya saja belum banyak masyarakat Jombang yang mengetahui keberadaan prasasti ini.
“Padahal prasasti ini terletak di tengah pemukiman warga, lokasinya juga tidak jauh dari Sendang Made, namun antusias pengunjung ke prasasti gurit lebih rendah dibanding ke Sendang Made, sehingga prasasti ini semakin tak dikenal,” terangnya.
Kegiatan warga sendiri di sekitar prasasti gurit masih cukup banyak. Beberapa ada yang meletakkan sesajen di sekitar prasasti sebelum mengadakan hajatan. Bahkan sedekah bumi juga masih bertahan diselenggarakan setiap tahun di sekitar prasasti. Namun untuk penetapan waktunya berubah-ubah tergantung kebijakan dusun/desa.
Kondisi cagar budaya ini cukup bersih dan terawat. Hanya saja papan yang berisi penjelasan mengenai sejarah prasasti belum ada. Sehingga pengunjung harus bertanya kepada juru kunci untuk mengetahui sejarah prasasti gurit.
”Ini merupakan peninggalan nenek moyang kita. Sudah seharusnya kita jaga dan lestarikan, dan ada baiknya generasi muda belajar tentang sejarah terutama yang ada di Jombang untuk terus bisa melestarikan sejarah,” pungkas Badri. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Kecintaan Kwat Prayitno pada karate juga diwujudkan dengan terus membina junior-junior yang jauh di bawahnya. Bahkan ia merelakan sepetak tanah pribadinya digunakan sebagai dojo atau tempat berlatih karateka setiap harinya.
Dojo yang diberi nama Dojo Mahameru itu diresmikan mantan ajudan Presiden Soeharto, Irjen Pol (Purn) Hamami Nata pada 2002. Bahkan Dojo Mahameru disebut-sebut sebagai dojo tertutup dan milik pribadi pertama di Indonesia.
“Sebenarnya saya punya dojo itu sudah lama, tapi hanya seperti pelataran dan tanpa atapnya, tempat itu sering dipakai latihan sama teman-teman atlet karate,” kata alumni SMPK Wijana Jombang 1974.
Suasana Dojo Mahameru ketika dipakai latihan para karateka. (Wenny Rosalina/Jawa Pos Radar Jombang)
Dojo Mahameru diresmikan Irjen Pol Hamami Nata yang saat itu menjabat sebagai ketua PB Inkanas dan kebetulan sedang ada kegiatan di Jombang, sekaligus meresmikan dojo milik Kwat.
Singkat cerita, pada 2001 lalu toko emas miliknya kebakaran. Tidak ingin menyia-nyiakan sisa bangunan, kemudian dirinya mengolah kembali besi-besi sisa kebakaran kemudian dibuatlah atap dojo yang dulunya adalah tempat parkir kendaraannya.
Ditambah dengan dana pribadinya, akhirnya cita-cita memiliki dojo yang tertutup terwujud. Sampai sekarang dojo masih dimanfaatkan karateka muda seperti Jombang Karate Club atau (JKC) yang setiap hari memanfaatkan dojo tersebut untuk berlatih.
“Sebetulnya banyak juga dojo di Jombang, dojo tidak harus seperti tempat saya yang tertutup dan kesannya seperti gedung jadi, dojo itu tempat latihan, dimanapun tempatnya itu disebut dojo, entah itu di teras rumah maupun di balai desa biasanya, tapi tetap namanya dojo, jadi dojo saya sama yang lain sama saja,” jelas alumnus STIE Satya Widya Surabaya 1988 ini.
Ia mengaku membuat dojo memang cita-citanya, tapi hal tersebut wajar, menurutnya seluruh pegiat olahraga pasti menginginkan tempat berlatih untuk atlet-atlet lainnya. Namun meski sudah memiliki dojo cukup besar dan bagus, Kwat masih memiliki cita-cita membangun tempat tinggal sekaligus tempat berlatih para karateka yang hiasa disebut dengan istilah honbu.
Cita-citanya tersebut terinspirasi dari ungkapan Widjono Soejono yang menginginkan Jombang memiliki tempat yang layak untuk berlatih sekaligus dengan tempat tinggal karateka. Namun ia belum bisa memperkirakan kapan bisa mewujudkannya. “Ya semoga saja segera terwujud kalau sudah ada rezeki, agar teman-teman lebih total berlatih serta ikatan persaudaraannya semakin kuat,” tambahnya.
Menjadi dojo tertutup pertama dan milik pribadi pertama di Indonesia, dojo Kwat juga menjadi inspirasi bagi teman-temannya yang lain.
Manfaat dojo milik Kwat ini betul-betul membuat karateka generasi berikutnya turut berbangga dengan Jombang. Salah satu atlet binaannya adalah Ade Rengga yang sangat mengapresiasi semangat suhunya ini karena sudah membuatkan tempat berlatih yang layak.
“Manfaatnya sangat besar sekali, beruntung sekali memiliki guru seperti beliau yang mau memberikan separuh hartanya untuk membuat dojo, sehingga kita atlet juniornya yang merasakan manfaat,” kata Ade Rengga kemarin.
Pantas saja, pelatih JKC ini mengakui jika karateka-karateka berprestasi tak lepas begitu saja dengan binaan serta tempat berlatih yang juga turut menunjang prestasi. “Kalau cabor-vabor lain pasti juga membutuhkan tempat untuk berlatih, tapi alhamdulillah kita sudah memiliki tempat yang layak untuk berlatih,” tambahnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Sosok yang satu ini adalah salah seorang ulama, tokoh politik, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM), juga tokoh pemikir yang asalnya dari Jombang. Tokoh yang juga salah satu putra daerah dari trah keluarganya menghasilkan banyak tokoh besar.
Ia adalah KH Salahuddin wahid atau akrab disapa Gus Solah, lahir di Jombang tanggal 11 september 1942. Putra ketiga dari enam bersaudara putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholihah putri KH. Bisri Sansuri. Ia juga adik kandung dari Mantan presiden ke empat, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Meski menjadi putra kiai, Gus Solah memperoleh pengajaran cukup berbeda dengan saudaranya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, Gus Solah malah banyak menempuh pendidikan umum mulai dari SD Perwari Salemba, SMP Negeri 1 Cikini lanjut SMA Negeri 1 Budi Utomo hingga menamatkan kulaihnya di jurusan Arsitek ITB.
“Saya di Jombang memang tidak lama, karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda yang saat itu menjabat menteri agama. Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya biasanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama,” ceritanya saat ditemui di kediamannya.
Tak saja itu, kehidupannya usai lepas dari kampus juga banyak bergerak di bidang arsitektur. Gus Solah adalah salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar hingga akhirnya berhenti di tahun 1998, setelah krisis moneter melanda Indonesia. Selain juga bergerak di beberapa organisasi dan partai politik, bahkan sempat juga digandeng Wiranto untuk menjadi calon wakil presiden 2004.
“Bisa dibilang hampir 57 tahun saya tidak lagi hidup di Jombang dan memang sibuk di Jakarta. Saya baru pulang kampung ke Jombang ketika usia sudah 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Tebuireng,” lanjutnya.
Meski mengaku sempat kagok dengan dipilihnya dirinya untuk memimpin pesantren. Dirinya terbukti mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Ini terlihat dari pembangunan dan revitalisasi hampir di segala bidang di Tebuireng, mulai berjalan secara masif.
“Tentu kalau disebut memodernkan, sudah jauh-jauh hari dilakukan ayah saya yang mulai memasukkan pelajaran umum di kurikulum pesantren. Bahkan di Jaman Pak Ud (KH. Yusuf Hasyim, Red) sekolah juga sudah mulai dibangun. Hanya di era saya intensitas dan percepatannya saja naik,” ujarnya.
Terhitung sejak 2007, sejumlah wisma baru dibangun menggantikan pemondokan lama. Masjid baru Tebuireng juga dipugar. Bahkan sejumlah kamar baru dibangun dengan konsep modern dan tertata rapi. “Kalau ditanya kenapa ya memang saya ingin pondok ini berkembang, ini bisa diukur dengan makin banyaknya santri, dan untuk bisa menampung santri, ya bangunanya harus dipersiapkan. Selain itu agar semua tertata dan santri nyaman dan bisa disiplin,” sebutnya.
Tak saja di sisi fisik, di ranah pendidikan, sejumlah kebijakan baru diterapkan. Kurikulum ditata sedemikian rupa hingga dibuatnya lembaga khusus bernama penjamin mutu untuk mengawasi langsung kurikulum yang berjalan. Sejumlah sekolah baru juga didirikan. Sebut saja madrasah Muallimin hingga Sma Trensains. Juga tak ketinggalan Unhasy yang berhasil dibangkitkan setelah sempat mengalami kemunduran saat bernama Ikaha.
Saat ditanyai hal ini, Gus Solah menyebut faktor perbedaan latar belakang yang mempengaruhi hal ini bisa terjadi dengan cepat. “Saya kan seorang insinyur, sehingga terbiasa bekerja dalam target dan capaian yang terukur. Kalau tidak dengan target bagaimana kita mengukur, karena itu dengan target yang jelas upayanya juga akan jelas, dan terbuki itu berhasil,” lanjut suami dari Nyai Hj Farida ini.
Dan setelah 11 tahun menjadi Pengasuh Tebuireng, dirinya kini mulai menata kehidupannya sendiri. Bahkan ia menyebut kemungkinan besar tahun depan dirinya akan segera melepas jabatan sebagai pengasuh, dan akan lebih konsen untuk menikmati hari tua. “Mungkin sudah saatnya tahun depan saya akan berhenti, memberikan kepada orang yang layak memimpin dan tentunya dari kalangan Dhuriyyah, setelah itu mungkin saya akan lebih berkonsentrasi untuk menjalani masa tua,” pungkasnya.
Tak saja KH Wahid Hasyim yang dikenal jago menulis dan membaca. Kebiasaan ini ternyata juga menurun ke Gus Solah. Ya, kebiasaan Gus Solah menulis sebenarnya baru muncul ketika dirinya mulai menutup kantor jasa kontraktornya karena krisis moneter 1998 silam.
Di tahun-tahun itu, Gus Solah mengaku sempat menganggur setelah ditutup kantornya. Masa itulah yang menjadi titik tolak kehidupannya. Ia mengaku menjadi lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca dan belajar menulis. “Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” sebutnya.
Bahkan disebutnya untuk berhasil menembus surat kabar kala itu, dirinya harus sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. “Setelah itu baru saya mulai bisa terbiasa dan sampai sekarang menjadi kebutuhan,” lanjutnya.
Hal ini diakui pula Nyai Farida, istrinya. Ia menyebut di awal penulisan, Gus Solah bukan orang yang pandai merangkai kata. Dirinya menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, mengingat background Gus Solah dari kalangan eksakta dan tak terbiasa dengan tulisan yang berkembang.
“Di awal, tulisannya memang kaku sekali, bahkan untuk menulis surat saja tidak akan bisa lebih dari tiga baris. Malah saya sendiri juga tidak tahu kenapa dulu beliau itu mulai suka menulis, padahal sebelumnya tidak pernah, karena lebih banyak menggambar sebagai seorang arsitektur,” jelasnya.
Bahkan, di awal Gus Solah menulis, dirinya seringkali jadi korektor atas tulisan sang suami sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. “Saya selalu diminta beliau untuk mengecek tulisannya, sebelum dikirim ke surat kabar. Beruntung beliau adalah orang yang sangat mau belajar dan menerima kritik, sehingga tidak pernah merasa tersinggung kalaupun diingatkan. Beliau itu orang yang tidak pernah mau berhenti belajar,” lanjutnya.
Bahkan hingga kini, dikediamannya ada ruang tersendiri untuk Gus Solah melakukan aktifitas unik yakni mengliping surat kabar setiap hari. “Setiap hari beliau akan membaca koran dan mengguntingnya untuk dikliping menjadi satu berkas khusus dan diindex per kasus,” ucapnya. Hal ini disebutnya biasa dilakukan setiap hari dan akan mempermudah ketika membutuhkan sebuah kajian dan harus diungkapkan dalam ceramah.
Selain itu, kebiasaan menulis yang seolah tak bisa ditinggalkan Gus Solah juga bisa dilihat dengan terus menerusnya mengetik meski sambil beraktifitas. “Beliau itu punya dua HP, yang satu itu memang khusus untuk nulis, jadi seringkali meski di kendaraan atau sedang bersantai dan memegang handphone tersebut, beliau pasti sedang mengetik. Mungkin terlihat seperti orang SMS, padahal beliau sedang menulis,” lanjutnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com