• info@njombangan.com

Category ArchiveBerita Jombang

Produk Kerajinan Kipas Lipat Desa Sentul Tembus Pasar Asia dan Afrika

JOMBANG – Satu lagi,  karya unik dihasilkan dari tangan warga Jombang. Kipas dari kain yang dijuluki sebagai kipas sakti ini dibuat Suwandi, 61, warga Desa Sentul, Kecamatan Tembelang. Penggemar kipasnya hingga luar negeri.

Meski terlihat sepele, ternyata di pasaran kipas ini memiliki daya jual yang cukup tinggi. Bahkan kipas ini tidak lagi dibeli untuk memenuhi kebutuhan, tapi banyak juga yang membeli untuk koleksi karena bentuknya yang unik. 

’’Banyak yang beli bukan hanya untuk kipasan karena udara panas. Tapi karena memang unik,  dijual di wilayah yang cukup dingin, kipas ini tetap laku,” kata Suwandi. Menurut Suwandi, saat ini ia adalah satu-satunya dan yang pertama membuat kipas lipat di Jombang. 

Sejarah pembuatan kipas produksi rumahan ini cukup berliku. Awalnya Suwandi yang  tak memiliki pekerjaan tetap itu prihatin melihat banyaknya kain perca yang dibuang  teman  penjahit. 

Banyaknya kain perca rupanya membuatnya berpikir untuk mengambil peluang usaha dari kain tersebut. Tapi membuat kipas lipat awalnya sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Awalnya ia hanya membuat sarung bantal. Tapi sarung bantal saat itu tidak ramai di pasaran, sehingga ia mencoba inovasi baru dengan membuat tas, dompet dan juga gantungan kunci yang bahan dasarnya juga kain perca. 

Tapi lagi-lagi usaha tersebut hanya laku apa adanya saja, tidak laku keras hingga membuahkan omzet yang cukup tinggi. Akhirnya, ia mendapat ide membuat kipas lipat di awal tahun 2006. 

Awalnya, kipas lipat buatannya tidak begitu ramai di pasaran. Tapi lebih baik dibandingkan tas dan dompet sehingga ia tetap mempertahankannya. Kemudian ia mulai merasakan manisnya buah  usahanya pada 2008. ’’Saya mengikuti banyak pameran yang diadakan pemerintah, akhirnya produk saya semakin dikenal dan mulai banyak pemesan,” tambahnya. 

Masa jayanya saat itu hanya sebatas lapak offline, dikenal melalui pameran dan dari mulut ke mulut. Ia mulai berada di puncak kejayaan saat Gubernur Jatim Soekarwo memesan 5.000 kipas untuk sebuah acara besar. Mulai saat itulah ia kebanjiran order dari banyak tempat. 

Kipas yang sekarang sudah mulai dikenal hingga mancanegara ini awalnya hanya olahan yang serba limbah. Kain perca yang didapatkan dari konveksi, gagang kipas yang terbuat dari botol oli dan diburu dari pengepul rongsokan, serta kawat baja yang dibeli dari limbah kawat  di Surabaya.

Kawat baja dipilih karena lebih lentur dan mudah dibentuk tapi tetap kembali pada bentuk semula. ’’Semua serba limbah pokoknya, dulu botol oli bekas itu diplong sendiri, lalu digunting sendiri pokoknya masih manual semua, tapi sekarang sudah tidak,” ungkap bapak tiga anak ini.

Menurutnya, kualitas dari gagang plastik yang dipesan dari pabrik dengan gagang limbah botol sama saja. Hanya saja limbah botol tidak memiliki banyak warna, paling banyak warna   merah. Sedangkan jika pesan bisa warna apa saja. 

Sementara itu kawat baja jika harus beli di pabrik harus dalam jumlah besar, minimal satu ton. Dan harganya juga tidak murah. Sehingga ia memilih mencari limbah pabrik saja yang ia beli dari pengepul limbah. “Kalau beli limbahnya, harganya murah, dan bisa beli kiloan,” imbuhnya. 

Banyaknya permintaan membuatnya tidak lagi membuat dari barang limbah seadanya. Kain perca yang dari konveksi juga sudah tidak bisa memenuhi jumlah permintaan, sehingga ia membeli perca di toko dan di konveksi besar. Sedangkan gagang dari botol oli juga tidak bisa menutupi jumlah permintaan, sehingga harus beli.

Satu kipas membutuhkan kain satin 25 x 30 centimeter. Kawat baja yang digunakan sepanjang 90 centimeter harus dipipihkan dulu. Meski terlihat sederhana, menurut Suwandi, proses pembuatan kipas ini lumayan rumit. Pemotongan kain harus pas, kadar baja pada kawat harus pas, dan pemasangan juga harus betul, agar saat dilipat  memiliki bentuk yang bagus. 

Dibantu dengan sejumlah karyawan, satu hari, Suwarno bisa membuat minimal 100 kipas. Namun banyaknya kipas yang dibuat disesuaikan dengan jumlah pemesanan. Satu bulan ia bisanya bisa menjual kipas sebanyak 3.000 kipas.

Pembeli kipas paling banyak dari Kalimantan, Jakarta dan Bali. Juga dipesan dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan NTT. Untuk Jombang sendiri pemasarannya  di kawasan wisata religi makam Gus Dur. 

Permintaan juga datang dari luar negeri. Seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Afrika, hingga India. Kipasnya banyak di kenal warga mancanegara dari pameran internasional yang pernah ia ikuti di Jakarta. ’’Sudah banyak yang kenal, kita juga kirim ke beberapa negara. tapi tidak banyak,” tambahnya. 

Pemasarannya kini tidak hanya melalui pameran saja, tapi juga melalui media online, tapi kebanyakan pembeli yang datang adalah pelanggan tetap. 

Harga kipasnya beragam, mulai dari yang paling murah Rp 6 ribu hingga Rp 9 ribu. Rp 6 ribu yang memiliki bentuk standar, tapi jika permintaan ada sablon tulisan, dan sablon wajah atau khusus kampanye, harganya bisa sampai Rp 9 ribu. Tidak hanya dijual dalam bentuk kipas, tak jarang ia mendapatkan banyak pesanan untuk suvenir pernikahan. ’’Kalau suvenir ditambah boks mika harganya bisa sampai Rp 12 ribu, tergantung modelnya juga,’’ ujarnya.  

Satu bulan, ia bisa meraup omzet hingga Rp 18 juta dari penjualan kipas yang dihitung rata-rata Rp 6 ribu per biji. Desember, permintaan sedang tinggi. ’’Desember gedhe-gedhene sumber,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Testimoni Kwik Kian Gie di Haul Ke-9 Gus Dur: Kaget, Saya Orang Tionghoa Ditunjuk jadi Menko Ekuin

Surya.co.id | JOMBANG – Cerita tentang mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seolah tak pernah habis.

Ada saja pengalaman menarik dari orang-orang yang pernah ‘bersama’ Gus Dur semasa hidup.

Seperti cerita Kwik Kian Gie, mantan Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) era Presiden Gus Dur.

Kwik mengaku sangat kaget dan tak pernah menyangka dirinya akan diberi jabatan menteri koordinator (Menko) oleh Gus Dur.

“Bayangkan saja. Saya ini keturunan Tionghoa yang tidak ganti nama dan istri orang Belanda, diangkat menjadi menko ekuin,” kata Kwik Kian Gie.

Kisah Kwik Kian Gie ini disampaikan dalam acara Haul Ke-9 Gus Dur di Ponpes Tebuireng, Jombang, Minggu (16/12/2018) menjelang tengah malam.

Kwik lantas berkisah, saat itu, 1999, dia baru saja menghadiri pelantikan Megawati, yang memenangkan pilihan wakil presiden di MPR, mendampingi Gus Dur sebagai presiden.

Begitu pelantikan selesai, kata Kwik, dia dihampiri ajudan Presidein Gus Dur agar setelah selesai acara pelantikan langsung menuju ke wisma negara di Istana Merdeka.

Saat sampai di sebuah ruang di wisma negara di situ sudah berkumpul belasan orang yang seluruhnya adalah ketua partai politik dan ketua fraksi, kecuali Kwik Kian Gie.

Saat itu, imbuh dia, Gus Dur menyatakan kepada peserta pertemuan, yang intinya, dalam membentuk kabinet, tidak akan menggunakan hak prerogatifnya secara mutlak, kecuali untuk dua jabatan menteri.

“Yakni Menteri Agama yang dijabat oleh Tolchah Hasan dan Menteri Luar Negeri yang dijabat oleh Alwi Shihab,” ungkap Kwik Kian Gie yang juga mantan Ketua DPP PDIP ini.

Selanjutnya, para ketua parpol dipersilakan memasukkan usulannya untuk jabatan menteri, dengan cara memasukkan nama calonnya dalam amplop tertutup keesokan harinya.

Pada saat itulah, Wiranto yang mewakili Fraksi ABRI menyatakan dirinya tidak mengetahui struktur kabinet yang diinginkan Gus Dur.

Wiranto juga mengaku punya usulan struktur kabinet.

Dalam struktur kabinet yang diusulkan Wiranto, tidak terdapat Menko Kesejahteraan Rakyat.

Yang ada, kata Kwik,  menko ekuin dan menko polkam.

Mendengar ini, lanjut Kwik, Gus Dur langsung menggunakan hak prerogatifnya, dengan menentukan Wiranto sebagai Menko Polkam dan Kwik Kian Gie sebagai Menko Ekuin.

“Terkejutlah semua hadirin.

Tapi sayalah yang paling terkejut karena tidak menyangka sedikitpun kedudukan menko ekuin akan diberikan kepada orang Tionghoa yang tidak mengganti namanya, dan beristrikan orang Belanda,” tandas Kwik, disambut tepuk tangan hadirin.

Kwik juga berkisah, selama menyertai Gus Dur dalam perjalanan ke luar negeri, dia melihat kebesaran Gus Dur.

Dia mengaku melihat dan merasakan sendiri, selain dihormati sebagaimana layaknya seorang presiden, Gus Dur juga dihormati sebagai humanis, universalis, dan pluralis.

“Tidak pernah ada seorang presiden RI sebelumnya dan sesudahnya yang memiliki penasihat-penasihat internasional yang secara sungguh-sungguh dan ikhlas memberikan nasihatnya.

Sebut saja, antara lain, Henry Kissinger (mantan Menlu AS) dan Lew Kuan Yew (Singapura),” tutur Kwik.

Haul ke-9 Gus Dur selain dihadiri mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, juga mantan Mensesneg Bondan Gunawan, serta mantan Kepala Protokol Istana era Gus Dur, Wahyu Muryadi. Meredka masing-masing juag meberikan testimoninya.

Hadir pula keluarga besar Gus Dur, seperti anak Gus Dur, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny Wahid), adik Gus Dur Lily Chotidjah Wahid, dan Dr Umar Wahid.

Tak ketinggalan, menteri Pemberdayaan Perempuan Era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa yang juga gubernur terpilih Provibnsi Jawa Timur.

Haul berlangsung hingga lepas tengah malam ditutup dengan ceramah agama oleh KH Nazaruddin Umar, imam besar masjid Istiqlal Jakarta.

Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa tak bisa lepas dari peran sosok keempat dalam jabatan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.

Perlu diketahui, Gus Dur adalah orang yang pertama menyudahi diskriminasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur ketika itu mencabut instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.

Di dalam peraturan itu, kelompok Tionghoa tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok, dan hanya dibolehkan di lingkungan keluarga.

Alasannya, ketika itu, Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa telah menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.

Alhasil, perayaan Tahun Baru Imlek pun tidak dilakukan terbuka selama masa Orde Baru.

Pada Masa Orde Baru pula, semua warga keturunan Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama Tionghoa-nya ke bahasa Indonesia.

Begitu menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu.

Dia meyakini bahwa warga Tionghoa sebelumnya dibedakan dari warga negara Indonesia sehingga mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalani keyakinannya.

Pada tahun 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa hari raya Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif.

Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur.

Kebijakan itu kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekanorputri yang menetapkan hari raya tersebut sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.

Gus Dur pun menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.

Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama, sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa. (*)

 

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Pendopo Kabupaten; Simbol Rumah Masyarakat Jombang

JOMBANG – Pendopo Kabupaten  yang terletak di Jl Alun Alun Jombang nomor 1 Kaliwungu, Kecamatan/Kabupaten Jombang menyimpan sejarah sejak awal pemerintahan di Kabupaten  Jombang.

Di pendopo telah terukir sejarah tentang awal mula masa pemerintahan di Jombang sejak dipimpin R.A.A. Soeroadiningrat V (Kanjeng Sepuh) masa jabatan 1910-1930 hingga Bupati Jombang Mundjidah Wahab (2018-2023).

Di dalam Pendopo Kabupaten, hingga kini masih tersimpan beberapa peninggalan lama yang masih dijaga dan tetap terawat. Ciri khas pendapa Jombang adalah pohon beringin kunting yang berusia ratusan tahun. Pohon itu, sudah beberapa kali dipangkas namun hingga sekarang masih tumbuh. 

Disebut kunting, karena pohon tersebut tidak bisa tumbuh maksimal. Tidak memiliki akar gantung laiknya pohon beringin pada umumnya. 

Salah satu budayawan Jombang, Dian Sukarno mengatakan, Pendopo Kabupaten  pertama kali dibangun pada era R.A.A. Soeroadiningrat V. ”Jadi pertama dibangun pada era  Kanjeng Sepuh R.A.A. Soeroadiningrat V, setelah mendapatkan beselit alias surat pengangkatan dari batavia yang dibawa oleh penghulu Sumobito bernama Imam Zaid,’’ ujar dia kemarin (16/12).

Pembangunan Pendopo Kabupaten bersamaan dengan dibangunnya Ringin Tjontong, sekitar Februari 1910, dengan penanaman empat pohon ringin kunting di pendopo dan pembangunan Masjid Jamik Baitul Mukminin.

Lalu, pada era bupati ke-13 Tarmin Hariadi (1988-1993) Pendopo Kabupaten mengalami perombakan setelah adanya pemisahan Kecamatan Bandarkedungmulyo dengan Perak. Beberapa ornamen dan perabotan asli pendopo di bawa ke Balai Kecamatan Bandarkedungmulyo.

”Pada saat itu joglo dan lain-lain Kanjeng Sepuh dipindahkan ke Bandakedungmulyo,’’ jelas dia. Ciri khas lain dari pendopo, adalah dua bangunan yang berusia sangat lama.

Yakni rumah dinas bupati (bagian belakang) dan pendopo utama yakni bangunan tanpa dinding. Baik rumah dinas bupati dan pendapa memiliki bentuk atap yang hampir mirip. Bentuknya lancip seperti rumah tradisional zaman dahulu. 

Pendopo utama memiliki delapan tiang penyangga. Namun di bagian tengah ada empat tiang berukuran besar. Di atasnya ada sebuah lampu gantung tua yang memiliki bentuk cukup unik. Di bagian kanan pendapa sendiri, masih ada satu set alat gamelan.

Mulai dari kendang, bonang, saron, hingga gong masih tertata rapi. Gamelan itu, ditempatkan di pojok selatan dengan ukiran kayu berwarna emas. 

Sedangkan di sisi utara, ada sebuah kentongan yang cukup unik. Kentongan berkepala naga dengan mulut memanjang dengan lubang kentongan. Tingginya sekitar dua meter. (Pewarta: ANGGI FRIDIANTO)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Geliat Usaha Kerajinan Anyaman Bambu di Dusun Patuk Mojowarno

JOMBANG – Dusun Patuk, Desa Kertorejo, Kecamatan Mojowarno, sudah bertahun-tahun menjadi sentra kerajinan anyaman bambu. Bahkan hingga kini hampir 70 persen warga setempat masih bekerja sebagai penganyam bambu. 

Budi Santoso dan keluarganya adalah salah satu contoh pengrajin, yang sudah 25 tahun menggeluti usaha kerajinan anyaman bambu. Di rumahnya, beraneka macam hasil anyaman bambu dibikin. Mulai dari kukusan, tempeh, wakul (tempat nasi), hingga model model baru seperti tempat tisu dan pensil.

Ya, Budi adalah salah satu dari sejumlah perajin ayaman bambu yang masih eksis. ”Saya sudah belajar ngayam sejak masih di bangku SMP. Kira-kira tahun 93,” ujar dia sembari mengayam kemarin (14/12). Sebetulnya, lanjut bapak dua anak ini, kerajinan anyaman bambu di dusun setempat sudah ada sejak zaman nenek moyang.

Lalu, pada masa Bupati Suyanto sering ada pelatihan dari Dinas Perindustrian tentang bagaimana membuat anyaman yang bisa mengikuti perkembangan zaman. “Nah sejak saat itu saya mulai tertarik dengan model-model yang baru. Misalnya tempat tisu dan tempat bolpoin,” sambungnya.

Model lama seperti wakul, tempeh dan kukusan memang masih diminati. Setiap dua bulan sekali, dirinya mengirim pesanan ke Surabaya hampir 200 buah. “Tapi, yang paling diminati pelanggan akhir-akhir ini ya tempat tisu,” jelas dia. Dirinya membuat anyaman tempat tisu terinspirasi saat melihat tempat tisu yang dinilai terlalu monoton dan biasa-biasa saja.

Lalu, muncul ide bagaimana membuat tempat tisu terlihat memiliki nilai seni dan tidak membuat bosan. “Akhirnya saya coba-coba, mulai dari menghitung ukuran hingga bahan-bahan yang saya siapkan,” jelas dia. Tak butuh waktu lama bagi dia untuk bisa membuat tempat tisu itu. Dengan kelihaiannya, tempat tisu anyaman bambu pun siap dipasarkan.

“Saya belajarnya otodidak. Kebetulan kan sudah punya skill menganyam,” papar dia. Tak semua bambu bisa digunakan  untuk membuat anyaman tempat tisu. Bambu yang dipilih adalah jenis bambu apus. Itu karena karakter bambu apus lebih tipis dan ulet dibandingkan bambu ori atau bambu jenis Jawa.

“Saat dianyam juga lebih enak, karena lentur,” papar dia. Dalam memproduksi kerajinan anyaman bambu, Budi dibantu beberapa tetangganya. Budi kadang mengambil atau membeli hasil anyaman mentah dari tetangganya. “Untuk satu lembar anyaman saya mengambilnya Rp 4 ribu, lalu saya lanjutkan membuat dengan model saya sendiri,” papar dia.

Namun sebelum dibuat jadi tempat tisu, bambu tersebut harus dijemur di bawah terik matahari selama dua hari. Itu dilakukan untuk menghilangkan kadar air yang ada di dalam bambu. Semakin kering anyaman tersebut, semakin awet produknya.

“Karena tidak mudah dimakan totor dan bisa bertahan hingga lima tahun,” jelas dia. Satu buah tempat tisu buatannya dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Mulai Rp 4 ribu hingga Rp 10 ribu. Ada juga model ukuran jumbo yang dijual dengan harga Rp 25 ribu.

Dalam seminggu Budi bisa menghasilkan 50 buah tempat tisu. “Kadang saya juga membuat berdasarkan pesanan. Biasanya pesanan terbanyak dari Surabaya,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Satu Atlet Paralayang Jombang Raih Emas di Kejurda Jatim

OMBANG – Kabar gembira untuk publik Kabupaten Jombang datang dari cabang olahraga paralayang. Satu atlet yang dikirim untuk mengikuti Kejuaraan Daerah Paralayang tingkat Jawa Timur di perbukitan Donomulyo, Kabupaten Malang, berhasil meraih medali emas.

Atlet paralayang peraih emas tersebut adalah Ilham Erwahyudha, yang bertanding di kategori lintas alam. “Kejuaraan berlangsung tiga hari, dan Alhamdulillah dapat satu emas,” kata Salikul Imam, Ketua Paralayang Kabupaten Jombang. Hasil yang diraih Yudha cukup bagus, sebab cuaca di arena kejuaraan cukup mendukung.

Tim paralayang Jombang sebenarnya memiliki peluang untuk menambah emas. Tapi sayang di kategori ketepatan mendarat, atlet yang bertanding hanya mampu finish di peringkat ke-5. Meski gagal, tim pelatih tetap memberikan apresiasi atas capaian yang diraih. Sebab para atlet masih butuh tambahan jam terbang dari setiap kejuaraan.

“Karena persaingannya ketat, pilot Jatim hebat-hebat,” tambahnya. Salikul menyebut, emosi dan mental atlet akan dijadikan tim pelatih sebagai bahan evaluasi utama. “Di paralayang, semakin kecil nilai ketepatan mendarat, semakin bagus,” ujarnya.

Selain evaluasi emosi dan mental, tim pelatih juga akan berupaya meningkatkan porsi latihan dan tanding. Sebab selama ini beberapa atlet paralayang Jombang yang masih duduk di bangku sekolah, tidak memiliki jam latihan dan jam tanding yang cukup. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Tim Cricket Putri Jombang Juara Dua Kejurnas Terbuka di Surabaya

JOMBANG – Tim cricket Kabupaten Jombang pulang dengan kepala tegak usai mengikuti kejuaraan terbuka tingkat nasional di Surabaya yang baru berakhir beberapa hari lalu. Juara kedua diraih tim putri setelah di babak final kalah melawan tim asal Surabaya.

Sedangkan dua tim putra gagal menciptakan All Jombang final, setelah dua tim yang bertanding di babak semifinal kalah melawan tim asal Surabaya dan Bali. Meski gagal meraih hasil lebih maksimal, namun satu tim putra berhasil meraih predikat best fielding atau pertahanan terbaik.

Ketua Persatuan Cricket Indonesia (PCI) Jombang Khoirul Hasyim mengatakan, hasil yang didapat dari kejuaraan ini menurutnya tidak buruk. “Sudah masuk semifinal saja cukup membanggakan, jika dilihat usia PCI Jombang yang baru lahir tahun lalu. Juga diukur dari peralatan yang digunakan untuk latihan, tertinggal jauh dengan tim yang juara,” katanya.

Karena fasilitas yang minim itu, tim harus beradaptasi dulu dengan perlengkapan pertandingan. “Butuh pembiasaan dulu, dan itu cukup sulit dilakukan atlet. Sehingga masuk semi final ini menurut kami sudah sangat luar biasa,” lanjut Hasyim.

Ia mengatakan, pemain cricket Jombang selama ini hanya menggunakan alat pokok saja untuk latihan. Seperti bola dan pemukul, sedangkan untuk pelindung seperti pad atau pelindung kaki, helm untuk pelindung kepala, dan gloves atau pelindung tangan, bagi para atlet masih sangat asing.

“Jombang belum punya alat-alat pelindung, sedangkan di kejuaraan alat itu digunakan. Di latihan kaki gerak bebas, sedangkan di pertandingan nasional pemain pakai pelindung lengkap untuk menghindari cidera,” tambahnya. Hasyim menyebut hasil dari kejuraan ini akan dilaporkan pihaknya ke KONI Jombang.

Langkah ini dilakukan agar tim cricket mendapat perhatian yang lebih baik dari lembaga otoritas keolahragaan kabupaten tersebut. “Harapannya KONI bisa mendorong pemerintah daerah lebih peduli dengan olahraga ini. Sekelas Jombang dengan alat yang seadanya, meraih hasil ini sudah sangat bagus,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Melihat Pembudidayaan Kopi Liberika di Desa Panglungan Wonosalam

Jombang – Petani kopi di  Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang mulai tertarik untuk mengembangkan lagi kopi varietas liberika. Kopi jenis ini sebenarnya sudah lama dikembangkan, namun tidak begitu diminati karena jarang disukai para penikmat kopi.

Jawa Pos Radar Jombang kemarin mendatangi salah satu kebun kopi di Dusun/DesaPanglungan, Kecamatan Wonosalam. Cuacanya kebetulan cukup teduh, beberapa tanaman kopi mulai dari varietas arabica (asisah), robusta, hingga jenis yang cukup langka, yakni liberika masih terlihat. Kebun ini milik Choirulanwar, 38, salah satu petani ini masih ada beberapa pohon kopi jenis liberika.

Sekilas, pohon ini tak jauh berbeda dengan jenis lain. Namun, jika dilihat dengan seksama, baik ukuran daun maupun buah kopi jauh berbeda. Pertama, ukuran daun kopi jenis liberika ini lebih besar dan tebal dari pada daun jenis asisah dan robusta alias bestak. Lalu, biji kopinya lebih besar dan berat.

”Jadi kopi jenis liberika ini memang sudah langka. Di Wonosalam sendiri hanya ada beberapa wilayah saja, misalnya Panglungan ini,”ujarnya di sela-sela merawat pohon.

Kopi jenis ini, adalah kopi induk andaria sisah atau belum pernah dilakukan kawin silang dengan varietas kopi lainnya. Sehingga baik bentuk tanaman atau pun buah kopi besar-besar.

Pada  beberapa tahun sebelumnya, kopi jenis ini masih begitu mudah dijumpai di beberapa kebun kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, kopi ini sangat sulit ditemukan khususnya di Kecamatan Wonosalam. Misalnya di wilayah Desa Wonomerto dan Galengdowo, kopi ini sudah hampir langka. Namun di beberapa wilayah yang lebih tinggi seperti Desa Panglungan dan Carangwulung masih ada beberapa pohon.

”Kopi liberika di kebun ini tinggal beberapa pohon saja, dulu banyak. namun banyak yang ditebang karena tidak laku,”sambung bapak satu anak ini. Dijelaskan, kopi ini sempat hilang dari pasaran karena minim peminat. Alasannya berbeda-beda, misalnya karena harganya yang cukup mahal. Bijinya yang dinilai terlalu besar sehingga berpengaruh pada nilai ekonomis.

”Saat itu harganya anjlok hingga per kilonya hanya Rp 24-26 ribu saja,”beber dia.Namun setelah ada kelompok alias asosiasi petani kopi Wonosalam, kopi jenis ini mulai diminati dan dikenalkan ke beberapa penikmat kopi. Banyak penikmati kopi menilai aroma kopi liberika sangat kuat. Aromanya wangi seperti buah nangka, dan rasanya asam seperti jeruknipis.

”Mulai dikenalnya kopi ini karena beberapa perubahan dalam metode penanaman dan pengolahan. Karena berbeda pengolahan akan menghasilkan rasa yang berbeda,”jelasnnya.

Kopi ini sendiri memiliki berat sekitar9,1 gram berbeda dengan kopi asisah yang hanya memiliki berat 1,6 gram. di tingkat petani kopi, untuk satu kilogram kopi liberika dijual sehargaRp 80 ribu.”Memanglebih mahal dibandingkan dengan kopi asisah yang hanyaRp 50 ribu, dan lebih murah lagi dengan kopi bestak (robusta) yang hanya dihargai RP 40 ribu per kilogram,”tandasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Bupati Jombang Terima Penghargaan BPJS Ketenagakerjaan, Desa Catakgayam, Mojowarno Desa SJSK

Surya.co.id | JOMBANG – Desa Catakgayam Kecamatan Mojowarno, Jombang, menerima penghargaan dari Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Desa ini dinobatkan sebagai salah satu Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (SJSK). Pemberian penghargaan itu dalam rangkaian HUT BPJS Ketenagakerjaan ke-41.
Penghargaan diberikan di Jakarta, bersamaan dengan tujuh desa lainya se-Indonesia.
Penghargaan diserahkan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto, kepada Bupati Jombang, Mundjidah Wahab, Rabu (5/12/2018).
“Direktur BPJS menyatakan penghargaan ini apresiasi kepada pemerintah daerah dan desa dalam komitmennya terhadap penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan berhasilnya program Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” kata Bupati Mundjidah, sekembalinya dari Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Menurut Mundjidah, penilaian penghargaan didasarkan pada aspek diseminasi, regulasi, inisiatif, dan aspek coverage.
Itu dilakukan masing-masing pemerintah daerah dan desa yang masuk dalam program desa sadar jaminan sosial Ketenagakerjaan.
Program Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan merupakan program strategis BPJS Ketenagakerjaan guna memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat pekerja.
Tujuannya meningkatkan kesejahteraan warga di desa melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian
“Penyelenggaraan program ini sejalan dengan kebijakan pemerintah, untuk membangun Indonesia dari pinggiran dan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka Negara dan Kesatuan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui jaminan sosial untuk seluruh rakyat,” imbuh Mundjidah.
Bupati Mundjidah Wahab sendiri menyambut positif program BPJS Ketenagakerjaan yang telah memberikan jaminan perlindungan kepada para pekerja informal.
Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan ini disambut positif 302 Desa dan 4 Kelurahan di Jombang. Sedangkan, di desa Catakgayam kepesertaannya sudah seribu lebih, manfaatnya telah dirasakan oleh para peserta.
“Selain memberikan rasa aman, memberikan jaminan perlindungan kerja, dan di Kabupaten Jombang juga sudah ada peserta yang telah menerima manfaatnya,” tutur Mundjidah.

 

 

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

OMBANG – Komunitas relawan di Jombang terus berkembang. Terbaru, muncul relawan pengawal mobil ambulans bernama Indonesian Escorting Ambulance (IEA). Tak ubahnya jiwa relawan, semangatnya pun kemanusiaan.

Seperti yang terlihat kemarin (5/12) siang, suasana lalu lintas di Jalan KH Wahid Hasyim ramai lancar. Kurang lebih pukul 10.00 WIB, ambulans dengan sirine berbunyi berupaya menerobos antrean kendaraan di traffic light.

Upaya agar ambulan terhindar dari kemacetan juga dilakukan relawan IEA. Terlihat tiga pengendara mengenakan jaket khusus, dominan warna hijau. Masing-masing bergantian mengambil posisi guna membuka jalan ambulans agar terhindar dari hambatan.

”Fokus kami biasanya di titik traffic light, biasanya para pengendara tetap tidak mau mengalah. Meski tahu mobil ambulans lewat, kalau pasiennya kondisinya kritis, kan bisa bahaya kalau rujukannya tidak cepat,” beber Syarifuddin, 22, salah satu relawan IEA Jombang.

Pria asal Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek ini mengatakan, ambulan yang dikawal kemarin membawa pasien rujukan dari RSK Mojowarno ke RSUD Jombang.

Untuk aksi sosial ini, pihaknya sudah menjalin kerjasama dengan pihak RSUD Jombang. ”Semangatnya kepedulian, kebetulan fokus kita mengawal ambulans yang sedang merujuk pasien,” bebernya. Untuk mempermudah koordinasi, pihaknya membuat grup khusus dan mendaftarkan secara resmi ke pihak RSUD Jombang.

”Jadi begitu diperlukan jasa kami, tinggal menyampaikan di grup. Nanti teman-teman akan segera mengambil posisi sesuai rute tujuan rujukan, khususnya di titik-titik rawan macet,” bebernya. Ide awal dibentuknya komunitas ini, menurutnya bermula dari keprihatinan sulitnya ambulan menempuh perjalanan saat membawa pasien.

”Kesadaran masyarakat kita tentang tertib lalu lintas juga masih kurang. Kadang sirine dikeraskan pun, masih ada yang nekat menyerobot. Bahkan ada juga yang tidak mau mengalah memberi jalan,” imbuhnya.

Dengan pengawalan, waktu tempuh ambulans dari RSK Mojowarno sampai ke RSUD Jombang jadi lebih cepat. ”Kalau tanpa pengawalan mungkin bisa setengah jam. Ini tadi dari Mojowarno ke Jombang tidak sampai setengah jam sudah sampai. Pasien juga langsung ditangani tadi,” pungkasnya.

Ia menjelaskan, aksi relawan ini dilakukan tanpa pamrih. ”Sukarela saja, bensin beli sendiri, jaket juga kami buat sendiri. Bahkan kalau ada risiko di jalan, kami juga tanggung sendiri,” imbuhnya. Meski IEA Jombang baru dirintis, anggotanya sudah mencapai belasan orang.

”Namanya juga relawan, jadi semampunya. Jangan sampai terpaksa, tapi sewaktu-waktu kita dibutuhkan, anggota siap,” bebernya. Relawan yang bertugas mengawal ambulance, menurutnya juga tetap harus membawa surat-surat yang lengkap dan alat pengaman berkendara yang memenuhi standar. (*)

(jo/naz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Ikuti Perkemahan Pramuka, Siswa Luar Biasa Gunakan Bahasa Isyarat

OMBANG – Memiliki keterbatasan fisik, bukan penghalang bagi ratusan siswa berkebutuhan khusus di Jombang mengikuti kegiatan pramuka dan perkemahan. Mereka menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.

Semua peserta perkemahan ini merupakan siswa tunarungu wicara hingga tunagrahita. Meski memiliki kekurangan, tak menghambat mereka untuk mengikuti kegiatan. Mulai dari baris berbaris, teknik kepramukaan hingga penjelajahan.

”Ada 11 lembaga SLB yang mengikuti perkemahan pramuka luar biasa ini. Kegiatan ini melatih anak-anak supaya lebih percaya diri, tentu juga menekankan kemandirian,” ujar M Rusik, Ketua Kelompok Kerja Kepala SLB Jombang.

Dia menambahkan, terdapat 21 regu terdiri dari 11 regu putra dan 10 regu putri yang mengikuti pramuka luar biasa. Perkemahan ini gabungan dari jenjang SDLB, SMPLB hingga SMALB. Sebab, jika dibedakan perjenjang maka jumlahnya akan sedikit, mengingat jumlah siswa SLB tak sebanyak siswa reguler.

Mereka tetap antusias mengikuti kegiatan pramuka ini. Selain bisa bertemu dengan sesama siswa difabel di Jombang, pramuka ini juga menjadi ajang untuk menampilkan bakat dan kreasi terpendam.

”Setelah dibuka kemarin langsung hujan deras sampai malam, kami tidak jadi tidur di tenda. Karena lapangan banjir, tenda juga terendam banjir, jadi tidak ada api unggun,” lontarnya.

Meski demikian, rangkaian kegiatan pramuka luar biasa tetap berlanjut. Hanya saja, lokasi yang semula di lapangan, dipindah di dalam aula yaitu pentas seni. ”Pagi hari baru lanjut di lapangan, hari kedua ini kegiatannya teknik kepramukaan, daur ulang, penjelajahan dan permainan,” tandasnya.

Siswa berkebutuhan khusus ini menunjukkan kreasi masing-masing dalam mengolah berbagai jenis limbah daur ulang. Seperti yang dilakukan Rizal Maulana dan Insani Rahayu, siswa SLB Kurnia Asih Ngoro. Mereka memanfaatkan botol bekas dan limbah kertas bekas untuk dijadikan lampu duduk.

”Saya senang ikut pramuka bisa ketemu banyak teman dari SLB lain. Kerajinan limbah itu sudah biasa diajarkan guru di sekolah, jadi tidak sulit,” ungkapnya menggunakan bahasa isyarat.

Menurut Sri Sundri, salah satu guru SLB mengatakan, SLB lebih menyiapkan siswa untuk mandiri baik merawat diri sendiri maupun mandiri secara ekonomi saat terjun di masyarakat nanti.

”Memang pembelajaran di SLB menuntut anak-anak kreatif, termasuk memanfaatkan limbah di sekitar kita untuk didaur ulang,” jelas guru SLB Kurnia Asih.

Ia berharap orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tidak usah ragu memasukkan anak mereka ke SLB. “Sebab penanganan siswa berkebutuhan khusus di SLB jauh lebih tepat dan terarah,” pungkas dia. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com