Jombang – Sebuah kampung kecil di Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang punya tradisi unik sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Yakni, warganya sebagai perajin rumahan sejumlah alat dapur. Setiap minggunya ribuan kaluh berbahan anyaman bambu bisa dihasilkan penduduk kampung ini.
Bagi ibu-ibu, kaluh biasa digunakan untuk wadah sayuran, sekaligus untuk tempat mencuci. Juga bisa digunakan untuk menaruh bahan-bahan dapur lainnya.
Masuk kampung ini, akan disuguhi pemandangan unik. Banyak rumah di dusun ini memajang lembaran-lembaran kecil dan potongan bambu di depan rumahnya. Beberapa yang lain, juga memajang hasil kerajinan di depan rumah.
Tumpukan kaluh yang sudah selesai dibuat dan siap untuk dijual. (ACHMAD RW/ JAWA POS RADAR JOMBANG)
Ya, di Dusun Tulungrejo, ada ratusan warga yang tiap harinya berjibaku dengan bambu. Mereka membuat alat-alat rumah tangga tradisional seperti kaluh, tedok,besek, hingga erek. Alat-alat perlengkapan rumah tradisional ini berbentuk bulat nyaris seperti tampah.
Bedanya, kaluh, tedok dan erek punya bentuk dasar yang melengkung, ketiganya juga dibedakan dengan kerenggangan anyaman bambu penyusunnya. ’’Kalau kaluh kan lebih rapat, kalau erek itu lebih renggang,” lanjutnya.
Pembuatan benda ini, disebutnya juga cukup mudah, meski membutuhkan ketelitian dan keterampilan. Alat yang diperlukan pun sederhana, hanya gergaji dan parang untuk memotong bambu, dan jarum besar untuk menganyam tali untuk merapatkan pinggiran anyaman.
Dimulai dari mendapatkan bambu besar sebagai bahan utama. Bambu ini, biasanya diperolehnya dengan cara membeli. Bambu utuh, kemudian dipotong dan ditipiskan menyesuaikan ukuran yang diperlukan. Setelah siap, bambu lantas dijemur. ’’Penjemuran biasanya dua sampai tiga hari, tujuannya untuk mengeringkan bambu, juga biar tidak mudah berjamur,” lontarnya.
Setelah kering, barulah bambu-bambu ini dianyam dan dibentuk menjadi lembaran persegi. Setelah itu, proses selanjutnya adalah membentuk dengan menambahkan penguat di masing-masing pinggiran anyaman.
Dibantu istrinya, Suryani, 55, Sumiar menyebut bisa membuat kaluh siap jual hingga 10 hingga 11 buah setiap harinya. Biasanya, kerajinan buatannya ini akan diambil sejumlah pengepul setiap satu minggu sekali. “Seminggu itu rata-rata 100 yang dibuat, dijualnya Rp 5.000 per buahnya. Kalau pemasaran biasanya hampir di seluruh Jawa Timur ya,” pungkasnya.
Seluruh perajin anyaman bambu di Dusun Tulungrejo, adalah warga asli yang mendapat ketrampilan ini sejak kecil. Keterampilan menganyam dan membuat alat rumah tangga ini diwariskan turun-temurun.
“Kalau ditanya sejak kapan, ya sudah sejak ratusan tahun lalu mungkin ya, karena sejak nenek saya banyak warga yang sudah membuat kerajinan begini, dan dari dulu bentuknya ya tiga ini saja,” terang Sumiar.
Sumiar juga menyebut, hampir seluruh warga di desa ini mahir menganyam bambu sejak kecil. Ia sendiri, bahkan mengaku sudah membuat kerajinan ini sejak berusia 10 tahun. “Ya, sudah 50 tahunan membuatnya, karena sejak kecil pasti diajari,” tambahnya.
Tak heran hingga kini jumlah pengrajin terus bertahan, meski jumlah pesanan yang datang juga terus menyusut. ’’Masih cukup banyak jumlah perjin. Karena yang tua, yang muda semuanya sekarang membuat kerajinan semacam ini,’’ pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang