Jombang – Kesenian Sandur Manduro di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, yang sudah berusia ratusan tahun, tetap bertahan hingga kini. Pemain dan penerusnya pun masih menjaga kelestarian cerita dan topengnya.
Sebuah rumah di Dusun Guwo, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh menjadi saksi. Hanya di rumah milik Warito ini, topeng-topeng Sandur Manduro dan alat pementasannya disimpan.
Keranjang kotak besar kusam, juga jadi saksi karena sebagai tempat menyimpan delapan topeng berwajah manusia. Topeng Klono, Topeng Bapang, dua Topeng Panji dan dua Topeng Ayon-ayon diletakkan lengkap dengan beberapa aksesori sayap dan gelang.
Selain itu, ada sebuah karung, meski bukan karung yang berusia ratusan tahun, namun isi di dalamnya juga topeng kuno. Topeng Jepaplok, Manuk, Celeng dan Topeng Sapen yang mewakili hewan macan, burung, babi dan sapi disimpan di karung ini. “Kalau alat musiknya juga ada di dalam, disimpan juga,” ucap Warito kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Menurut Warito, topeng-topeng ini kondisinya masih terawat hingga kini. Meski mulai terdapat beberapa kerusakan, ia mengaku tetap menggunakan topeng ini untuk pentas setiap kali ada tanggapan. “Semuanya masih asli, khususnya pada topengnya ini, ini sejak buyut masih dipakai. Jadi dulu dari buyut, ke mbah, ke bapak saya kemudian ke saya ini, saya turunan ke empat yang melanjutkan,” lanjutnya.
Maklum, kesenian yang kini dipimpinnya ini adalah satu dari dua kesenian Sandur Manduro yang hingga kini bertahan. Sayang, satu kelompok memilih berhenti beroperasi dan menjual seluruh topeng lamanya.
“Ya kan dulu sempat sepi sekali, mati suri lah istilahnya, jadi awalnya ada dua, kemudian yang satu dijual, tapi karena saya dapat pesan untuk tidak boleh menjual, ya saya pertahankan sampai sekarang,” lanjutnya. Hal inilah yang membuat keseniannya ini masih orisinil hingga kini.
Selain topeng, yang hingga kini masih dipertahankan adalah jalan cerita dalam Sandur Manduro. Warito menyebut, kendati bisa dilakukan variasi pada beberapa titik pementasan, secara umum pementasan Sandur Manduro pimpinannya tak berubah sejak dulu.
Pertunjukan biasanya diawali dengan Tari Klono, dilanjut dengan Tari Bapang, Tari Gunungsari, Tari Panji dan Ayon-ayon. Ditutup dengan lawak pada bagian sapen. “Nah di bagian sapen ini yang ada improvisasinya biasanya, lainnya tetap karena kan pakem, dan pamakai topeng tidak berdialog,” tambah mantan Sekdes Manduro ini.
Hanya yang berubah, pada sisi pemakaian bahasa. Karena yang mengundangnya tak melulu dari Desa Manduro yang biasa memakai Bahasa Madura, Warito menyebut bahasa dalam pertunjukan pun seringkali disesuaikan dengan wilayah pengundang.
“Jadi kalau yang mengundang dominan Jawa ya pakai Bahasa Jawa. Kalau pengundangnya orang Manduro ya pakai Bahasa Madura. Tapi tetap tidak merubah jalan cerita, karena ini sudah pakem dan diwariskan,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, warga Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang merupakan keturunan orang Madura, yang sejak ratusan tahun lalu hijrah ke Jombang. Setelah berhasil mbabat alas di Kecamatan Kabuh, mereka menamakan desanya Desa Manduro. Saat ini sebagian warganya masih menggunakan Bahasa Madura. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang