Jombang – Kabupaten Jombang kental akan sejarah penyebaran agama Islam. Tak terkecuali ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Salah satu bukti sejarah tarekat ini pernah eksis di wilayah utara Brantas yakni, keberadaan bangunan musala tua di Dusun/Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso.
Dilihat sekilas, bangunan musala yang dipercaya sudah berdiri sejak abad 20 an ini seperti bangunan rumah. Tidak ada kubah yang terpasang di atas musala. Atapnya membentuk pola limas.
Tidak ada papan nama musala terpajang seperti pada umumnya bangunan musala. Musala ini pun tak memiliki nama khusus. Warga sekitar menyebutnya musala panggung.
Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Bangunan musala tua ini memiliki dua lantai. Dinding bangunan pun masih setengah kayu. Bangunan lantai dasar dari tembok tembok tebal, sementara bangunan lantai dua masih dari bahan kayu.
Kesan bangunan tua pun sangat kentara sekali. Terlihat bangunan tembok sangat tebal dan warna catnya sudah mulai memudar. Sementara tembok kayu di ruang atas terlihat mulai lapuk, mengingat usianya sudah ratusan tahun.
Bangunan ini memiliki empat pintu serta satu jendela. Kesemuanya terbuat dari bahan kayu. Atap bangunan terbuat dari bahan genting kuno. Sementara bagian serambi musala, atapnya sudah menggunakan seng yang kondisinya sudah karatan.
Ruang utama musala terlihat masih sangat sederhana. Bagian lantai dari bahan keramik tua. Ruangannya pun cukup sempit. ”Bangunan musala ini memang sudah tua. Dibangunnya awal abad ke 20an mungkin. Sejak dulu masih asli, tidak ada yang dirubah kecuali pintu depan dan sumur. Juga kran wudu ini yang sudah diperbarui 2011 lalu,” terang Ainur Rofiq, pengurus musala ini.
Untuk menemukan musala ini tidaklah sulit. Sebab, lokasi bangunan sangat strategis lantasan berada di pinggir jalan provinsi atau sekitar seratus meter sisi timur jembatan Ploso utara sungai.
Jaraknya dengan sungai Brantas hanya terpisahkan jalan. Tak jauh dari lokasi berdiri kantor UPT Pengairan Ploso.
Dari cerita yang sampai ke Rofiq, musala panggung ini didirikan oleh salah satu tuan tanah di wilayah Dusun/Desa Rejoagung. ”Jadi yang mendirikan pemilik tanah ini. Keluarga almarhum Haji Bakri,” bebernya.
Namun demikian, pengelolaannya dipercayakan kepada KH Yunus. Seorang pemuka agama yang juga pengamal tarekat Naqsabandiyah. “Jadi kakek saya (KH Yunus,Red) itu adalah salah satu murid KH Ali Muntaha Kedung Macan. Dan musala ini, jadi pintu masuk menyebarnya tarekat Naqsabandiyah di kawasan utara Brantas,” tambahnya.
Adapun dua ruangan yang berada di musala memiliki fungsi berbeda. Ruang lantai bawah, berguna sebagai ruang peribadatan, seperti salat dan lainnya. ”Di bawah ada tempat imam. Itu juga masih asli bangunannya,” bebernya.
Sementara, bangunan kayu di lantai dua digunakan untuk aktivitas tarekat yang lebih khusus. “Jadi seperti mujahadah, terus khususiyah itu di atas semuanya. Karena kan butuh ketenangan. Dulu salat id (Idul Fitri, Red) juga pakai musala ini, terlebih tarekat Naqsyabandiyah kan memang seringkali hari rayanya tidak bareng sama pemerintah,” tambah Rofiq.
Hanya Digunakan Saat Ramadan
MESKI sempat jadi pusat kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah di wilayah utara Brantas. Seiring berkurangnya pengikutnya, sejak 1970 musala panggung mulai ditinggalkan. Kegiatan musala baru hidup saat Ramadan.
“Iya, jadi setelah ada masjid di desa, penganut tarekatnya juga sudah mulai berkurang. Akhirnya lama-lama tidak terpakai lagi musalanya. Sekarang kegiatan tarekat pindah di musala samping klinik itu,” kembali ucap Ainur Rofiq sambil menunjuk salah satu klinik sekitar seratus meter dari musala.
Selain itu, mempertimbangkan kondisi bangunan yang sudah tua. Sekitar 2011, ruangan atas sama sekali ditutup dan tak digunakan lagi. “Iya, karena sudah lapuk, dan dikhawatirkan bisa membahayakan. Tangganya diambil, dan pintu akses ke ruang atas dari tengah juga ditutup,” imbuhnya.
Adapun kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah berpindah ke musala baru di samping klinik. ”Kurang lebih seratus meter dari sini. Masih di wilayah Rejoagung,” bebernya.
Meski begitu, pada bulan tertentu, kegiatan musala panggung hidup. Kegiatan rutin salat lima waktu termasuk salat terawih juga dipusatkan di musala. “Kalau Ramadan digunakan. Tapi ya tetap tidak seperti dulu. Kalau dulu sehari satu juz tarawihnya, sekarang ya normal saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang