Jombang – Selain di Kecamatan Bareng, Jombang juga memiliki sentra perkebunan salak lainnya, yaitu di Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang. Tak hanya sebagai penghasil buah salak, Desa Pulogedang juga terkenal dengan berbagai macam produk makanan hasil olahan salak.
“Disini salak bisa diolah menjadi banyak jenis makanan, tapi alatnya masih terbatas jadi yang dibuat warga yang gampang-gampang saja,” ungkap Zumrotul Mufidah, salah satu petani salak yang juga menekuni makanan olahan salak.
Banyak ragam olahan buah salak yang ditekuni petani di Pulogedang. Di antaranya minuman sari salak hingga es krim salak termasuk dodol salak. Zumrotul sendiri memilih membuat dodol salak dan minuman sari salak saja. Pasalnya, dua jenis makanan olahan tersebut paling mudah dibuat dan serta alatnya terjangkau.
Dodol misalnya, cara membuatnya cukup mudah, salak yang sudah dikupas dari kulitnya selanjutnya direbus dan dihaluskan. Kemudian dicampurkan dengan tepung ketan, gula dan santan.
Hanya saja membuat dodol membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih empat jam mengaduk olahan dodol.
Jika dilihat dodol salak tidak ada bedanya dengan dodol yang lain, berwarna coklat kehitaman. Hanya saja ketika dirasakan, rasa salak sudah sangat terasa, masam-masam manis.
dodol salak yang sudah jadi langsung dikemas dalam kemasan plastik saat masih hangat. “Kalau terlalu dingin nanti malah susah digulung kalau masih hangat pengemasannya mudah,” tambah ibu dua anak ini.
Dodol salak sudah cukup terkenal di kawasan Pulogedang, biasanya dipakai untuk hantaran, oleh-oleh hingga untuk lomba.
Sari salak malah lebih mudah lagi cara membuatnya yaitu dengan cara merebus salak kurang lebih 15 menit, diblender kemudian ditambahkan air, dan gula.
Sari salak rasanya sangat segar. Bahkan sari salak menjadi minuman sehari-hari siswa pulang sekolah dan gampang ditemui di toko-toko sekitar Pulogedang.
Harganya juga cukup murah, satu cup kecil sari salak hanya dijual Rp 1.000, sedangkan untuk ukuran botol kecil hanya Rp 3 ribu saja. Sedangkan dodol salak dikemas dalam kemasan mika, satu mika diisi empat dodol yang dijual dengan harha Rp 5.000.
Sebetulnya, banyak olahan salak yang bisa dibuat, kurma salak misalnya bentuknya juga sama persis seperti kurma, kopi salak, es krim salak, hingga keripik salak. Sayangnya banyaknya ragam olahan salak tak diimbangi dengan jumlah alat yang bisa dipakai untuk mengolah salak.
Sehingga warga hanya membuat dengan alat sederhana yang bisa ditemui di rumah-rumah. “Ada alatnya untuk buat es krim tapi bantuan dari pemerintah jadi tidak bisa bikin banyak, yang gampang-gampang saja pakai alat yang ada di rumah, keripik salak juga bisa bikinnya kalau ada alatnya tapi belum ada,” tambahnya.
Olahan salak menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kerugian salak jika gagal panen. Apalagi musim hujan salak gampang busuk dan diserang hama tikus. Salak yang sudah mengalami tanda-tanda kerusakan langsung diambil, dikupas dan diolah. “Jadi harus rajin-rajin ke kebun, untuk melihat buah yang bisa diolah,” tambahnya.
Selain itu biasanya warga mengolah salak dari buah yang terlalu kecil dan tidak layak jika dijual, namun memiliki kualitas yang cukup baik. Tapi olahan salak pemasarannya masih belum terlalu luas, hanya warga Pulogedang dan sekitarnya saja yang sudah tak asing dengan olahan salak ini. “Salak yang diolah masih bagus tapi tidak layak jual, kalau busuk ya dibuang tidak diolah. Tapi kalau bisa jangan sampai busuk sudah diambil,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang