Jombang – Limbah kayu gaharu di tangan Fachrur Rochman, 27, warga Dusun/Desa Bawangan, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang menjadi tak terbuang. Di rumahnya sendiri, limbah itu ia sulap menjadi dupa bernilai jual tinggi.
Industri rumahan dupa ini berada tak jauh dari Balai Desa Bawangan. Rochman, sang pemilik, menggunakan areal belakang rumahnya menjadi pusat pembuatan dupa. Puluhan ember penampungan berukuran besar terlihat dijajar di belakang rumah.
Sementara di dalam bangunan dari kayu itu dua orang terlihat sibuk dengan timba dan mesin. Satu orang, bertugas menggiling di depan mesin selep. Satu orang lagi terlihat menghadap bak besar dengan serbuk lembek di dalamnya. “Ya ini pembuatan dupa, masih proses awal, karena memang cukup panjang,” terangnya.
Ia menceritakan, proses pembuatan dupa diawali dengan mengumpulkan serbuk kayu. Serbuk kayu yang ia gunakan adalah serbuk kayu beraroma wangi. Pria yang juga membuat gelang kayu ini menyebut seluruh bahan berasal dari limbah produksi gelang.
“Jadi semua serbuk kayu gaharu, tapi jenisnya macam-macam, jadi setelah dapat serbuk itu harus dikelompokkan dulu, tidak boleh dicampur,” lanjutnya. Setelah itu, proses berlanjut pada penggilingan serbuk. Penggilingan ini bertujuan untuk membuat serbuk menjadi halus. Jika sudah halus, serbuk dicampur air dan diaduk sampai menjadi adonan.
“Adonan itu biasanya didiamkan dulu seharian sampai keluar aroma,” tambahnya. Setelah siap, baru percetakan dupa siap dilakukan. Ia biasa menggunakan mesin khusus untuk proses ini. Lidi dupa terlebih dahulu disiapkan di belakang mesin, sementara adonan diletakkan di bagian atas mesin.
“Nah, tinggal pencet, nanti dupa akan terbentuk dengan sendirinya, jadi prosesnya memang semi otomatis, pengadukannya manual, tapi cetak kita harus pakai mesin, beda sama dupa celup,” lanjut Rochman.
Tak butuh lama, mesin pencetak ini bisa memproduksi puluhan hingga ratusan dupa tiap jam. Bahkan dengan mesin ini produksinya bisa mencapai 50 kilogram dupa setiap hari. Dupa yang telah dicetak, terlebih dahulu harus dijemur sebelum siap diedarkan.
Metode penjemuran ini juga bisa dilakukan dengan dua cara, yakni diangin-anginkan atau dipanaskan langsung di terik matahari. “Biasanya dupa yang harganya lebih mahal, adalah dupa yang diangin-anginkan, jadi butuh waktu dua hari sampai benar-benar kering, baru bisa dikemas dan dijual,” tambahnya.
Ia biasanya menjual dupa-dupa ini dengan harga bervariasi, tergantung jenis dupa dan kayu yang digunakan. “Kalau kayu bukan gaharu dengan tambahan parfum celup, murah biasanya, kalau dupa jenis alami pakai gaharu ini bisa jauh lebih mahal. Harganya mulai Rp 12 ribu sampai Rp 50 ribu tiap bungkus isi 12 batang,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang