JOMBANG – Di Dusun Bedander, Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh, terdapat sumur yang dikeramatkan warga sekitar. Sumur itu diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit 1319 M.
”Pada waktu itu ada pemberontakan Rakuti sehingga memaksa Kerajaan Majapahit untuk mengamankan Raja Jayanegara ke tempat yang aman,” ujar Sambang salah seorang tokoh masyarakat. Konon, sumur itu digunakan Raja Jayanegara untuk mandi.
Dikatakannya, Dusun Bedander ini diyakini menjadi tempat persembunyian Raja Jayanegara. Banyak situs atau prasasti yang ditinggalkan, salah satunya sumur tersebut. ”Sumur itu sekarang dinamai Sumur Bujo,” katanya.
Sumur yang berada di tengah permukiman itu dikelilingi pagar khas kerajaan berwarna merah. Terdapat banyak batu-batu atau lumbung di sekitar prasasti. ”Sumur ini tidak pernah surut. Dulu desa sebelah (Desa Jatibanjar, Red) kesulitan air ya mengambil air di sumur bujo,” ungkap dia.
Tak hanya itu, sumur peninggalan Kerajaan Majapahit juga sering digunakan ritual khusus untuk warga sekitar. ”Biasanya kalau warga mau menggelar hajatan atau akan menikah, datang ke sumur tersebut,” bebernya.
Sementara itu, Iswandi Sekretaris Desa Sumbergondang, menambahkan warga tidak pernah merasakan hal aneh atau penampakan di sekitar sumur bujo. Akan tetapi, tempat tersebut tetap dikeramatkan warga sampai sekarang. ”Biasanya sedekah desa, ke sumur itu untuk mencari keberkahan,” pungkas dia. (yan/bin/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Produksi kerupuk nonkolesterol di Desa Jabon, Kecamatan/Kabupaten Jombang tetap eksis. Hingga 18 tahun ini, permintaan makin meluas ke luar kota. Termasuk dikirim ke sejumlah tempat wisata religi.
Sreng…sreng…sreng… Seorang perempuan paro baya tampak sibuk mengaduk kerupuk dengan pasir di sebuah alat penggorengan tradisional. Setelah mengembang, kerupuk itu diangkat kemudian didiamkan beberapa menit. Sementara di ruang tamu rumah sederhana itu, sudah ada sejumlah ibu yang siap mengemas kerupuk dengan aneka warna.
Ya, itulah kesibukan ibu-ibu yang bekerja di produksi kerupuk upil setiap hari. ”Saya memulai usaha ini sejak 2005. Awalnya melayani skala kecil di warung-warung dengan kemasan Rp 500-an,’’ ujar Mahfullah, 41, produsen kerupuk upil kepada wartawan yang berkunjung ke rumahnya, kemarin (6/5).
Selama 18 tahun memproduksi kerupuk upil, usahanya terus berkembang. Termasuk kemasan yang ia jual juga ada beberapa varian. Seperti kemasan bungkus besar yang dijual Rp 4.000 per bungkus. Sekarang kebanyakan yang laku justru kemasan kerupuk besar. “Alhamdulillah pemasaran juga berkembang, dikirim ke tempat wisata religi seperti Makam Gus Dur, Makam Troloyo, toko buah dan juga dikirim ke Surabaya,’’ tambahnya.
Seiring banyaknya permintaan, pembuatan kerupuk nonkolesterol di tempatnya terus ditambah. Saat ini, ia bisa membuat 2 kuintal setiap hari. Cuaca terik beberapa hari terakhir juga membuat produksi kerupuknya makin meningkat. ”Ya, cuaca terik juga menguntungkan karena bisa mempercepat proses penjemuran,’’ jelas dia.
Kerupuk upil buatan Mahfullah terbuat dari bahan sederhana. Yakni tepung tapioka, garam dan bawang. ”Ini nonkolestrol, karena kita goreng dengan pasir, bukan minyak,’’ pungkasnya. Karena tanpa mengandung minyak itulah permintaan kerupuk yang datang justru meningkat. Permintaan cenderung stabil saat musim penghujan karena banyak yang suka nyemil. (ang/bin/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.