JOMBANG – Tradisi memakan ketupat, lontong dan lepet di hari Lebaran Ketupat membawa berkah bagi perajin lontong di Dusun Ngembeh, Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto. Tak tanggung-tanggung, pesanan mereka naik tiga kali lipat.
Seperti yang dirasakan Tita Agi Suryani, 26. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk membuat menyelesaikan pesanan lontong. Gulungan daun pisang terlihat menumpuk di ruang tengah rumahnya. Satu per satu gulungan daun pisang itu.
Dibantu suami dan beberapa orang lainnya, ia terlihat sibuk mengisi gulungan daun itu dengan beras sesuai takaran. Setelah terisi, gulungan-gulungan daun pisang tersebut selanjutnya dirapikan dan siap dimasak. ”Di sini cuma produksi lontong saja, ketupat tidak,” ungkap Tita.
Ia menjelaskan, semenjak awal Lebaran, ia mengaku banyak mendapat pesanan lontong. Bahkan, saat mendekati Lebaran Ketupat seperti sekarang, jumlah pesanan meningkat hingga tiga kali lipat. ”Kalau hari biasa itu paling banyak sampai 1.500 lontong per hari, kalau sekarang bisa 5.000 lebih, naiknya sampai tiga kali lipat,” lontarya.
Hal itu juga seiring dengan kebutuhan masyarakat akan lontong saat Lebaran Ketupat. Jika di hari biasa, ia hanya melayani sejumlah pedagang rujak ataupun bakso, berbeda saat mendekati Lebaran Ketupat, permintaan di pasar juga akan naik karena banyak warga biasa yang mencari. ”Kalau hari biasa hanya pedagang yang beli biasanya, tapi kalau sudah Lebaran begini kan memang jadi kebutuhan rumah tangga juga,” lontarnya.
Tak heran, dengan produksi yang sangat besar itu, ia mengaku bisa menghabiskan hingga dua kuintal beras saat puncak Lebaran Ketupat. ”Padahal di hari-hari biasanya sekitar 50-80 kilogram saja,” lontarnya.
Lontong ini, juga diproduksinya sejak pagi hingga sore. Keesokan harinya, barulah lontong ini diedarkan di sejumlah pasar di Kabupaten Jombang. Meski permintaannya sedang tinggi, Tita mengaku tak menaikkan harganya. ”Untuk harganya tetap, yang kecil itu Rp 500 per biji, yang besar Rp 1.000 di pasar,” pungkasnya. (riz/naz/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Kerajinan mahkota kubah di Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, tergolong eksis hingga sekarang. Hanya saja, jumlah pesanan yang masuk kali ini relatif menurun dibandingkan tahun lalu.
Teng…teng…teng…bunyi sebuah besi dipukul cukup lantang terdengar dari sebuah rumah di Dusun/ Desa Janti, Kecamatan Jogoroto. Sosok pria paro baya kemudian memotong plat stainless untuk ditempatkan pada sebuah kerangka yang sudah didesain sedemikian rupa. Itulah aktivitas Imam Mutaqin, salah seorang perajin mahkota kubah.
”Saya memulai usaha ini sejak 2016 dan bisa bertahan sampai sekarang,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Jombang, kemarin. Pria perantauan asal Ciamis Jawa Barat ini lantas bercerita sebelum memulai usaha mahkota kubah, sebelumnya ia melayani pembuatan kaligrafi. Seiring berjalannya waktu, ada permintaan mahkota kubah dari salah seorang pelanggan. ”Akhirnya membuat mahkota kubah musala dari bahan logam stainless,’’ terangnya.
Setiap menjelang Ramadan hingga lebaran, ia banyak menerima pesanan dari berbagai daerah. Namun, permintaan mahkota kubah tahun ini relatif menurun jika dibandingkan tahun lalu. Selama Ramadan tahun ini ia hanya mendapat empat pesanan kubah masjid. Berbeda dengan tahun lalu yang mendapatkan 15 pesanan kubah. “Kalau tahun ini menurun, faktornya apa kurang begitu paham,’’ tambah dia.
Satu unit mahkota kubah, bisa diselesaikan dalam waktu dua hingga tiga hari. Harga untuk satuan kubah masjid buatannya juga bersaing, mulai harga paling murah dengan ukuran paling kecil Rp 300 ribu hingga Rp 3,5 juta. ”Kalau ramai sekali dalam sebulan bisa menyelesaikan 20 hinga 25 unit mahkota kubah. Tapi kalau sepi 4-5 buah,’’ jelasnya.
Ia menyebut, pesanan kubah masjid rata-rata berasal dari luar kota. Selain lokal Jombang, juga ada dari Sidoarjo, Surabaya, Malang, Banyuwangi dan Lamongan. Untuk menjaga kualitas kubah, Imam sengaja menyelesaikan pekerjaannya seorang diri. Dengan bahan plat stainless, mahkota kubah bikinannya bisa bertahan hingga puluhan tahun. ”Bisa bertahan puluhan tahun,’’ pungkas Imam. (ang/bin/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Ramadan menjadi berkah bagi perajin jenang salak di Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh. Pasalnya, tahun ini pemintaan jenang salak meningkat sampai tiga kali lipat. Terlebih jelang Lebaran, permintaan kian tinggi.
”Lebaran tahun pesanan juga ramai tapi tidak sebanyak Lebaran tahun ini,” terang Kuswartono.
Peningkatan order camilan olahan salak ini terjadi pada pemesanan sistem online. Sedangkan untuk pembelian sistem offline masih stagnan. Selama Ramadan ini, dirinya mampu menjual rata-rata 30 Kg jenang salak per hari. Yang sebelumnya, hanya mampu menjual Rp 10 Kg saja per hari. ”Jadi yang mulai laku itu, mereka-mereka yang di pasar online, walaupun belum semuanya,” katanya.
Di tempat ini, berbagai macam makanan olahan dan minuman berbahan baku salak diproduksi. Mulai dari jenang salak, bakery, keripik salak, pleret, nastar, stik, sirup, es krim, sari buah salak, hingga kopi dari biji salak. ”Kalau yang dari daging salak banyak turunannya. Kemudian yang dari air daging (salak, Red) itu, saya jadikan sirup, saya jadikan sari buah,” beber Kuswartono.
Selain itu, Kuswartono mampu juga mampu memproduksi sabun dari biji salak serta teh dari kulit buah salak. Dari sekian produk, jenang salak paling banyak diburu. ”Kenapa jenang, karena jenang produk yang saya anggap banyak menolong orang. Mulai dari kemasannya itu saya memberdayakan masyarakat,” terangnya.
Kuswartono menambahkan,dari usaha produksi olahan salak ini, mampu menyerap tenaga kerja sebanyak delapan orang. ”Kalau omzet dari penjualan dari olahan salak bisa puluhan juta per bulannya,” pungkasnya. (yan/naz/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – H+3 Lebaran sejumlah wisata di Jombang terlihat dipadati pengunjung. Wisata Sumber Biru di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, bahkan ramai pengunjung sejak H+2 Lebaran.
Bambang Mutaqin, 35, pengunjung asal Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto mengaku, setiap tahun setelah Lebaran selalu berkunjung ke salah satu wisata di Kecamatan Wonosalam. ’’Kebetulan saya punya saudara di Wonosalam. Jadi setelah silahturahmi saya bersama keluarga menyempatkan wisata,’’ katanya.
Dia sudah dua kali berkunjung ke wisata Sumberbiru. Menurutnya, suasananya sangat menyenangkan. ’’Bisa kuliner diatas sungai,’’ bebernya.
Sementara Ketua Unit Wisata Sumber Biru, Tekad Selamet, mengatakan, wisata Sumber Biru dibuka sejak dua hari setelah Lebaran. ’’Minggu (23/4) itu sudah buka,’’ ungkapnya.
Setiap libur Lebaran, pengunjung jauh meningkat dibandingkan hari-hari biasa. ’’Hampir ratusan pengunjung setiap hari. Biasanya hanya puluhan,’’ jelasnya. (yan/jif/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Di wilayah utara Brantas memiliki tempe khas. Berbentuk tipis dengan ketebalan 2 sentimeter. Lokasinya di Dusun Jatirowo, Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso. Ada lebih dari 10 warga yang setia menekuni usaha turun temurun ini.
Tak sedikit warga Dusun Jatirowo yang memproduksi tempe. Mereka rata-rata memproduksi tempe dengan ukuran tipis. Salah satunya Suliyanto yang membuat tempe sejak 1994 silam. ”Ini meneruskan usaha orang tua, jadi saya generasi kedua,” katanya.
Di samping rumahnya ada ruangan khusus yang dijadikan tempat produksi. Mulai dari memproses seluruh bahan hingga penjemuran kedelai. Ada empat lembaran potongan bambu berukuran 5×3 meter. Masing-masing ditutup plastik panjang dan di atasnya ditumpuki karung goni. ”Ini tempe yang sudah siap dipotong,” imbuh Suliyanto.
Dikatakan, proses produksi tempe miliknya sama persis yang dilakukan warga lain. Bahan utamanya kedelai impor, beras, dan ragi. ”Kedelai direbus sampai matang sekitar 2 jam, setelah itu direndam satu hari baru digiling dan dibersihkan,” ujar lelaki yang kini berusia 56 tahun ini.
Sementara untuk beras, setelah dicuci dimasak setengah matang, kemudian dibersihkan dan dicampur ragi. ”Baru kemudian dijadikan satu dengan kedelai,” tutur dia.
Kedelai itu kemudian diratakan di atas lembaran bambu yang sudah dirangkai sedemikian rupa menyerupai gedek guling. Setelah rata, kedelai ditutup plastik dan di atasnya ditutup lagi dengan karung goni. ”Lalu dibiarkan atau istilahnya dijemur selama dua hari dua malam, baru bisa dipotongi,” lanjut Suliyanto.
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Kerajinan ayaman daun pandan asli Jombang semakin eksis. Momentum lebaran Idul Fitri ini tas anyaman daun pandan banjir pesanan. Bahkan para pengrajin di Dusun Karanggebang, Desa Munungkerep, Kecamatan Kabuh sampai kuwalahan memenuhi permintaan pasar.
Salah satunya diakui Nur Hadi, 40, warga setempat. Sejak awal Ramadan hingga lebaran, permintaan yang datang semakin meningkat. “Alhamdulillah tas anyaman pandan kita semakin diminati. Terbukti sejak Ramadan sudah 1.000 pieces pesanan, bahkan ini bisa menambah lagi,’’ terangnya kepada Jawa Pos Radar Jombang, beberapa waktu kemarin (14/4).
Saking banyaknya permintaan pasar, ia sampai menambah pengrajin yang notabene ibu-ibu sekitar. ”Ya kita tambah jumlah pengrajin,’’ terangnya. Soal bahan baku, lanjut dia, tak ada kendala. Sebab, ketersediaan pandan di lingkungan sekitar cukup melimpah ruah. Tak heran, Dusun Karanggebang, Desa Munungkerep ini dikenal sebagai sentra pengrajin anyaman pandan. ”Kalau bahan baku disini melimpah,’’ tambahnya.
Untuk tas parcel anyaman pandan, Nur Hadi mengemas dalam dua kemasan yakni untuk kemasan kecil dijual Rp 8 ribu sedangkan kemasan besar dijual Rp 18 ribu. ”Jadi tas itu untuk souvernir dan parcel,’’ jelas dia.
Dirumahnya, Nur Hadi tak hanya membuat tas parcel anyaman pandan, ada juga produk lain yang cukup banyak diminati saat momentum Ramadan ini. Seperti halnya songkok pandan yang diminati hingga luar Jawa. ”Alhamdulillah untuk kopiah atau songkok pandan juga digemari. Beberapa hari ini pesanan naik,’’ jelasnya lagi.
Saat ini, ia mengerjakan 10 pesanan songkok pandan. Ia juga menambahkan beberapa motif untuk mempercantik tampilan songkok. ”Untuk produksi songkok terus kita kebut, karena untuk melayani permintaan yang terus bertambah,’’ tambahnya senang.
Dalam sehari, untuk membuat pesanan songkok dan tas anyaman pandan, ia membutuhkan 80-100 lembar daun pandan. ”Memang bahan cukup banyak yang dibutuhkan,’’ terangnya.
Mengenai harga songkok, Hadi menjual dengan harga terjangkau. Per kopiah dijual mulai Rp 60-80 ribu tergantung motif dan tingkat kesulitan. ”Untuk sekarang pesanan kita ada yang dari luar Jawa seperti Sulawesi,’’ pungkasnya. (ang/bin/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Lebaran kali ini membawa berkah tersendiri bagi keluarga Neneng, 40, warga Desa Plosogeneng, Kecamatan/Kabupaten Jombang. Sejak turun temurun, ia produksi lampion dengan model bentuk bintang yang dihiasi aneka macam karakter.
Ditemui di rumahnya, Neneng dan keluarganya terlihat antusias mengerjakan pesanan lampion. Ia mengaku, menjelang lebaran, pesanan lampion terus meningkat. Sehingga harus membuat stok lampion untuk mencukupi permintaan pelanggan.
”Alhamdulillah, permintaan jelang lebaran ini naik cukup banyak, kira-kira 50 persen dari hari-hari biasanya,’’ ujar dia kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Sebelum lebaran, pesanan yang datang per hari rata-rata lima hingga 10 buah. Namun menjelang lebaran bisa tembus 20 buah. Dalam sehari, Neneng mampu menyelesaikan pembuatan lampion sebanyak 20 biji. Namun karena banyak proses yang dilalui, ia dibantu tiga orang. “Ya kalau sendiri tentu kewalahan,’’ jelas dia.
Khusus lebaran tahun ini, pesanan tak hanya datang dari panitia TPQ di sejumlah masjid tempat tinggalnya. Beberapa pelanggan dari Jombang, Tulungagung, Kediri dan Blitar juga pesan padanya. ”Alhamdulillah bahan baku pembuatan lampion tidak ada kesulitan. Untuk harga lampion Rp 10 ribu per buah,’’ tegasnya.
Dijelaskan, keunggulan lampion buatan Neneng adalah awet dan tidak mudah rusak. Selain terbuat dari bahan mika yang berbentuk bulan dan bintang, ia sengaja menambahkan gambar karakter baik kartun, superhero dan tokoh idola anak-anak. ”Sehingga anak anak lebih suka,’’ jelas dia.
Dia menceritakan, usaha turun temurun keluarganya itu sudah ditekuni selama 15 tahun terakhir. Dulunya, ayahnya tidak membuat dengan bahan mika, melainkan berbahan kertas manila. Namun, kertas manila dinilai kurang efektif sebab ketika terkena hujan mudah kertas sobek dan rusak.
”Saya dapat keluhan kalau pakai lilin berbahaya bagi anak-anak. Akhirnya sekarang berinovasi dengan bahan mika warna warni dan memakai lampu LED pakai baterai,’’ pungkasnya. (ang/bin/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.
JOMBANG – Jelang hari raya Idul Fitri, pemandangan berbeda terlihat di Alun-Alun Jombang, Jumat (14/4) siang. Petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jombang mempersolek rumput alun-alun dengan pola kotak-kotak ala sarung. Selain elok dipandang, alun-alun menjadi kental akan suasana bulan Ramadan.
”Itu sengaja kita persolek dengan berpola kotak-kotak terinspirasi sarung,” terang Kepala DLH Jombang Miftahul Ulum kepada Jawa Pos Radar Jombang (14/4).
Ia menambahkan, sarung sebagai salah satu kelengkapan alat beribadah umat Islam di nusantara lambat laun menjadikannya, sarung sebagai identitas umat muslim. ”Selain itu konon pada masa kolonial, sarung menjadi identitas bangsa kita sebagai simbol penolakan atas budaya barat yang dibawa penjajah,” imbuhnya.
Sarung di Indonesia, lanjut Ulum, identik dengan motif kotak-kota yang konon memiliki filosofi kehidupan yang dalam. ”Bahwa dalam menjalankan hidup manusia dan ke mana pun arah langkah hidupnya, entah ke kiri ataupun ke kanan, ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang selalu harus lurus sesuai ajaran agama dan nilai-nilai luhur,” singkat Ulum. (fid/naz/riz)
Sarung di Indonesia, lanjut Ulum, identik dengan motif kotak-kota yang konon memiliki filosofi kehidupan yang dalam. ”Bahwa dalam menjalankan hidup manusia dan ke mana pun arah langkah hidupnya, entah ke kiri ataupun ke kanan, ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang selalu harus lurus sesuai ajaran agama dan nilai-nilai luhur,” singkat Ulum. (fid/naz/riz)