Jombang – Tahun Baru Imlek 2571 hari ini dirayakan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Mojoagung dengan suka cita. Sejak malam kemarin (24/1), mereka sudah melakukan berbagai persiapan acara perayaan. Termasuk memasang berbagai ornamen khas Imlek di rumah dan tempat peribadatan.
Seperti yang terlihat di Klenteng Boo Hway Bio Mojoagung, yang dipenuhi ornamen khas Imlek bernuansa merah. Paling mencolok, lampion yang bergantungan di langit-langit klenteng. “Untuk persiapannya sudah matang. Kemarin kita sudah bersih-bersih, patung-patung dewa sudah dimandikan semua,” ujar Hery Atmaja, penjaga klenteng Boo Hway Bio Mojoagung.
Berbagai persiapan ini dilakukan masyarakat Tionghoa secara bergotong royong. Ia menyebut, tradisi bersih-bersih klenteng dilakukan setiap tahun jelang perayaan Imlek. “Perayaan pergantian tahun baru di klenteng ini tidak ada, hanya acara sembayang diikuti warga Tionghoa sekitar Mojoagung besok pagi (hari ini),” lanjutnya.
Untuk diketahui, Klenteng Hoo Hway Bio ini berada di sisi utara RTH Mojoagung. Usianya sudah lebih dari 60 tahun dan satu-satunya klenteng di wilayah timur Jombang. Warga Tionghoa sendiri meyakini Imlek tahun ini merupakan tahun Tikus Logam yang memiliki makna tahun yang sibuk dan penuh kreativitas. (*)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
(jo/fid/mar/JPR)
JOMBANG – Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mendorong pesantren dan sekolah madrasah mencetak santripreneur alias usahawan muda dari kalangan pesantren. Hal tersebut diungkapkan saat menghadiri Rapat kerja nasional Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, siang kemarin (23/1).
Di hadapan IPPNU, dia menyampaikan sebagai pelajar putri kebanggaan Nahdlatul Ulama harus tetap konsisten mengajarkan santri yang masih duduk di bangku sekolah dalam penguasaan era digital. ”Santri harus menjadi agen perubahan yang dapat membawa perubahan besar dari segala aspek,” ujarnya kemarin.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin berziarah ke makam KH Wahab Hasbullah (Anggi Fridianto/Jawa Pos Radar Jombang)
Dia menilai pemberdayaan santri dengan cara berwirausaha sangat perlu dilakukan di era digital saat ini, apalagi dengan berkembangnya market place dan e-commerce, santri harus dituntut dinamis, kreatif dan inovatif. Sehingga bisa memiliki produk unggulan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi syariah. ”Santri tidak hanya pintar ngaji, tapi pintar usaha untuk kemajuan bangsa,” papar dia.
Usai memberi sambutan, Wapres sempat meninjau beberapa stand produk milik santri dari berbagai pelosok Indonesia. ia sempat terkagum dengan produk cokelat berbahan kelor. ”Ini kan unik, dan kalau tidak dipasarkan kita yang rugi. Saya menilai produk ini akan bisa bersaing dengan produk dari dalam maupun luar negeri,” terangnya.
Kunjungan Wapres Ma’ruf Amin di Kabupaten Jombang juga dihadiri sejumlah menteri kabinet. Diantaranya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Sekjen Kominfo R Niken Widiastuti, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Wamenag Zainut Tauhid Sa’ad, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Bupati Jombang Mundjidah Wahab dan bebeberapa tokoh lainnya.
Usai membuka Rakernas yang bertempat di GOR Tambakberas, Wapres juga melakukan ziarah ke makam pahlawan nasional KH Wahab Chasbullah di komplek Ponpes Tambakberas. Wapres didampingi pengurus pondok termasuk pengasuh PPBU KH Moh Hasib Wahab. (ang)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Perajin bambu di Jombang lumayan banyak. Satu di antaranya yang masih eksis di Dusun Bermanik, Desa Jantiganggong, Kecamatan Perak. Sejak puluhan tahun warga setempat menekuni kerajinan itu.
Waktu sudah memasuki siang hari. Aktivitas warga di Dusun Bermanik, Desa Jantiganggong, Kecamatan Perak nampak masih bersemangat. Rata-rata mereka tengah sibuk menghaluskan potongan bambu.
Beberapa di antaranya terlihat di halaman depan rumah membuat kandang ayam. Ada juga yang merangkai bambu untuk dibuat leyek atau semacam kursi bangku dari bambu. Ya, setiap hari aktivitas itu mereka lakukan. Maklum, di dusun setempat dikenal menjadi sentra perajin berbahan bambu. Di antaranya produk kandang ayam, kelinci hingga leyek.
Salah satunya Iswandi, yang mengaku sudah 20 tahunan menekuni kerajinan itu. “Sudah dari mbah-mbah saya dulu buat, sekarang tinggal neruskan,” katanya.
Saking lamanya, mayoritas warga setempat membuat kerajinan itu. “Pokoknya setiap rumah pasti ada yang buat, terkadang ada yang buruh. Kalau dihitung ada 10 orang lebih,” sebut dia.
Sembari melanjutkan aktivitasnya diceritakan, untuk kerajinan yang dia buat seperti perajin lainnya. Yakni leyek bambu dan kandang. “Yang paling banyak memang buat kandang, ada yang buat kandang ayam, kelinci. Pokoknya kandang binatang,” tutut lelaki usia 39 tahun ini.
Sedangkan leyek atau semacam dipan bambu tergantung perajin. “Ya ada yang buat kalau ada pesanan, kalau saya ini mesti buat. Soalnya sudah ada bagian jual sendiri,” beber dia.
Miliknya ada dua dipan yang siap dijual. Keduanya diletakkan di halaman depan rumah, menunggu diambil. Seluruhnya terbuat dari bambu ori. Menurut Iswandi, mayoritas bambu yang dipergunakan yakni bambu jenis ori. Karena dirasa lebih kuat dibanding bambu lainnya. “Buat bayang ini semua pakai bambu ori, untuk kandang sekarang sudah ada yang pakai kayu. Tetapi buat tiangnya saja, yang lain masih tetap pakai bambu,” terang bapak dua anak ini.
Bambu itu didapat dari berbagai daerah. Sementara perajin masih mengandalkan wilayah Jombang. “Kalau ini baru saja beli dari Bareng satu truk. Buat saya sama dijual lagi bambunya,” papar dia sembari memperlihatkan bambu ori.
Proses pembuatan leyek maupun kandang tak ada perbedaan. Sama persis pembuatan pada umumnya. Biasanya butuh waktu sekitar dua sampai tiga hari. “Dibersihkan dahulu, lalu dipotong sesuai ukuran. Kemudian dijemur satu hari, berikutnya baru dibuat. Pokoknya tergantung bahan, kalau sudah siap semua, bisa cepat selesai,” papar dia.
Harganya pun bervariatif, tergantung ukuran. Milik Iswandi misalnya, dipan bambu berukuran 170X70 centimeter ini dihargai Rp 80.000. Sedangkan kandang ayam paling murah dibandrol Rp 35.000. “Bayang yang ada sandarannya lebih mahal sampai Rp 90.000. Itu harga ke yang bagian jual, kalau ke konsumen langsung itu bisa sampai Rp 100.000 lebih,” rinci Iswandi.
Untuk pemasaran kata dia, rata-rata sudah ke berbagai daerah. Dia yang dulunya pernah menjadi pemasaran, pernah menjual hingga keluar Jombang. “Semua tergantung yang jual, mau dilarikan ke mana barangnya. Ada yang ke Mojokerto, Madiun, sampai ke Jember. Tetapi kalau yang jauh biasanya pesanan saja, kalau dijual keliling masih di Jombang,” pungkas dia. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Akhirnya lomba yang kalian tunggu-tunggu hadir kembali. Melalui LEPEN 2020, Njombangan ingin menginisiasi sebuah kampanye yang didedikasikan untuk wanita dan anak-anak. Tema yang kami usung adalah “Mewujudkan masyarakat yang memiliki pemahaman, kesadaran, dan komitmen akan pemenuhan hak serta potensi wanita dan anak-anak”. Hal ini dilandasi oleh adanya data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait jumlah wanita yang sama besarnya dengan populasi pria, termasuk di wilayah Kabupaten Jombang. Sehingga, hal ini mengindikasikan pentingnya peran wanita, layaknya kaum laki-laki, untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan baik. Kontribusi ini tidak sebatas di ranah domestic atau keluarga, tapi juga domain yang lebih luas seperti lingkungan masyarakat, maupun di kancah internasional.
Selain itu, pemenuhan lingkungan yang layak dan nyaman untuk anak juga penting untuk diperhatikan. Mengingat, peradaban saat ini masih belum mampu menyediakan ruang yang ramah terhadap wanita dan anak-anak. Oleh karena itu, Njombangan berharap banyak anak muda, khususnya yang memiliki keterikatan dengan Jombang, untuk memberikan sumbangsihnya melalui lomba esai ini.
Teman-teman bisa memilih sub-tema berikut sebagai topik tulisan:
Silakan mengirimkan karya orisinil kalian melalui link berikut atau kalian juga bisa mengirimkan e-mail ke njombangan@gmail.com dengan judul LEPEN 2020_Nama. Ditunggu karya terbaiknya!
Salam,
Njombangan
Jombang – Selain di Kecamatan Bareng, Jombang juga memiliki sentra perkebunan salak lainnya, yaitu di Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang. Tak hanya sebagai penghasil buah salak, Desa Pulogedang juga terkenal dengan berbagai macam produk makanan hasil olahan salak.
“Disini salak bisa diolah menjadi banyak jenis makanan, tapi alatnya masih terbatas jadi yang dibuat warga yang gampang-gampang saja,” ungkap Zumrotul Mufidah, salah satu petani salak yang juga menekuni makanan olahan salak.
Banyak ragam olahan buah salak yang ditekuni petani di Pulogedang. Di antaranya minuman sari salak hingga es krim salak termasuk dodol salak. Zumrotul sendiri memilih membuat dodol salak dan minuman sari salak saja. Pasalnya, dua jenis makanan olahan tersebut paling mudah dibuat dan serta alatnya terjangkau.
Dodol misalnya, cara membuatnya cukup mudah, salak yang sudah dikupas dari kulitnya selanjutnya direbus dan dihaluskan. Kemudian dicampurkan dengan tepung ketan, gula dan santan.
Hanya saja membuat dodol membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih empat jam mengaduk olahan dodol.
Jika dilihat dodol salak tidak ada bedanya dengan dodol yang lain, berwarna coklat kehitaman. Hanya saja ketika dirasakan, rasa salak sudah sangat terasa, masam-masam manis.
dodol salak yang sudah jadi langsung dikemas dalam kemasan plastik saat masih hangat. “Kalau terlalu dingin nanti malah susah digulung kalau masih hangat pengemasannya mudah,” tambah ibu dua anak ini.
Dodol salak sudah cukup terkenal di kawasan Pulogedang, biasanya dipakai untuk hantaran, oleh-oleh hingga untuk lomba.
Sari salak malah lebih mudah lagi cara membuatnya yaitu dengan cara merebus salak kurang lebih 15 menit, diblender kemudian ditambahkan air, dan gula.
Sari salak rasanya sangat segar. Bahkan sari salak menjadi minuman sehari-hari siswa pulang sekolah dan gampang ditemui di toko-toko sekitar Pulogedang.
Harganya juga cukup murah, satu cup kecil sari salak hanya dijual Rp 1.000, sedangkan untuk ukuran botol kecil hanya Rp 3 ribu saja. Sedangkan dodol salak dikemas dalam kemasan mika, satu mika diisi empat dodol yang dijual dengan harha Rp 5.000.
Sebetulnya, banyak olahan salak yang bisa dibuat, kurma salak misalnya bentuknya juga sama persis seperti kurma, kopi salak, es krim salak, hingga keripik salak. Sayangnya banyaknya ragam olahan salak tak diimbangi dengan jumlah alat yang bisa dipakai untuk mengolah salak.
Sehingga warga hanya membuat dengan alat sederhana yang bisa ditemui di rumah-rumah. “Ada alatnya untuk buat es krim tapi bantuan dari pemerintah jadi tidak bisa bikin banyak, yang gampang-gampang saja pakai alat yang ada di rumah, keripik salak juga bisa bikinnya kalau ada alatnya tapi belum ada,” tambahnya.
Olahan salak menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kerugian salak jika gagal panen. Apalagi musim hujan salak gampang busuk dan diserang hama tikus. Salak yang sudah mengalami tanda-tanda kerusakan langsung diambil, dikupas dan diolah. “Jadi harus rajin-rajin ke kebun, untuk melihat buah yang bisa diolah,” tambahnya.
Selain itu biasanya warga mengolah salak dari buah yang terlalu kecil dan tidak layak jika dijual, namun memiliki kualitas yang cukup baik. Tapi olahan salak pemasarannya masih belum terlalu luas, hanya warga Pulogedang dan sekitarnya saja yang sudah tak asing dengan olahan salak ini. “Salak yang diolah masih bagus tapi tidak layak jual, kalau busuk ya dibuang tidak diolah. Tapi kalau bisa jangan sampai busuk sudah diambil,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Limbah kayu gaharu di tangan Fachrur Rochman, 27, warga Dusun/Desa Bawangan, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang menjadi tak terbuang. Di rumahnya sendiri, limbah itu ia sulap menjadi dupa bernilai jual tinggi.
Industri rumahan dupa ini berada tak jauh dari Balai Desa Bawangan. Rochman, sang pemilik, menggunakan areal belakang rumahnya menjadi pusat pembuatan dupa. Puluhan ember penampungan berukuran besar terlihat dijajar di belakang rumah.
Sementara di dalam bangunan dari kayu itu dua orang terlihat sibuk dengan timba dan mesin. Satu orang, bertugas menggiling di depan mesin selep. Satu orang lagi terlihat menghadap bak besar dengan serbuk lembek di dalamnya. “Ya ini pembuatan dupa, masih proses awal, karena memang cukup panjang,” terangnya.
Ia menceritakan, proses pembuatan dupa diawali dengan mengumpulkan serbuk kayu. Serbuk kayu yang ia gunakan adalah serbuk kayu beraroma wangi. Pria yang juga membuat gelang kayu ini menyebut seluruh bahan berasal dari limbah produksi gelang.
“Jadi semua serbuk kayu gaharu, tapi jenisnya macam-macam, jadi setelah dapat serbuk itu harus dikelompokkan dulu, tidak boleh dicampur,” lanjutnya. Setelah itu, proses berlanjut pada penggilingan serbuk. Penggilingan ini bertujuan untuk membuat serbuk menjadi halus. Jika sudah halus, serbuk dicampur air dan diaduk sampai menjadi adonan.
“Adonan itu biasanya didiamkan dulu seharian sampai keluar aroma,” tambahnya. Setelah siap, baru percetakan dupa siap dilakukan. Ia biasa menggunakan mesin khusus untuk proses ini. Lidi dupa terlebih dahulu disiapkan di belakang mesin, sementara adonan diletakkan di bagian atas mesin.
“Nah, tinggal pencet, nanti dupa akan terbentuk dengan sendirinya, jadi prosesnya memang semi otomatis, pengadukannya manual, tapi cetak kita harus pakai mesin, beda sama dupa celup,” lanjut Rochman.
Tak butuh lama, mesin pencetak ini bisa memproduksi puluhan hingga ratusan dupa tiap jam. Bahkan dengan mesin ini produksinya bisa mencapai 50 kilogram dupa setiap hari. Dupa yang telah dicetak, terlebih dahulu harus dijemur sebelum siap diedarkan.
Metode penjemuran ini juga bisa dilakukan dengan dua cara, yakni diangin-anginkan atau dipanaskan langsung di terik matahari. “Biasanya dupa yang harganya lebih mahal, adalah dupa yang diangin-anginkan, jadi butuh waktu dua hari sampai benar-benar kering, baru bisa dikemas dan dijual,” tambahnya.
Ia biasanya menjual dupa-dupa ini dengan harga bervariasi, tergantung jenis dupa dan kayu yang digunakan. “Kalau kayu bukan gaharu dengan tambahan parfum celup, murah biasanya, kalau dupa jenis alami pakai gaharu ini bisa jauh lebih mahal. Harganya mulai Rp 12 ribu sampai Rp 50 ribu tiap bungkus isi 12 batang,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kampung bibit Wedani merupakan kawasan yang terletak di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Dinamakan kampung bibit, karena banyak warganya memiliki usaha penyediaan jasa pembuatan persemaian, berbagai jenis tanaman hortikultura di sekitar rumahnya.
”Jadi dusun ini sudah dikenal sebagai kampung bibit ini puluhan tahun bahkan lebih dari 15 tahun,” ujar Sholichudin, Kepala Desa Badang, Kecamatan Ngoro. Tak heran, saat memasuki dusun ini, hampir semua rumah di depan maupun samping perkarangan rumah warga dijadikan tempat persemaian bibit sayur-mayur maupun buah-buahan. Bahkan, usaha pembibitan ini terus berkembang dari waktu ke waktu.
Usaha pembibitan ini mampu meningkatkan perekonomian rumah tangga di kawasan tersebut. ”Untuk di Dusun Wedani saja ada kurang lebih 40 kepala keluarga yang menekuni usaha ini,” bebernya. Bahkan, karena cukup menjanjikan, beberapa dusun lainnya seperti Dusun Sukotirto, Wonoasri, maupun Watulintang juga banyak masyarakat yang menekuni usaha persemaian bibit tersebut.
Kampung bibit Wedani merupakan kawasan yang terletak di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang (Azmy Endiyana/Jawa Pos Radar Jombang)
Ditambahkan, keberadaan kampung bibit Wedani ini semakin lama semakin dikenal luas di masyarakat, bahkan sampai di luar kota seperti Mojokerto, Nganjuk dan Kediri.
”Banyak petani dari luar juga ambil bibit di Wedani,” ungkapnya. Dikarenakan, para petani juga mengandalkan kualitas dan kuantitas bibit.
Diharapkan, masyarakat tetap konsisten dengan usaha yang dikembangkan sekarang. Sehingga, Dusun Wedani ini benar-benar menjadi kampung bibit. ”Kami berharap konsistensi dalam kualitas dan kuantitas bibit yang dihasilkan. Sehingga mampu mempertahankan pasar yang sudah ada, bahkan dapat mengembangkan menjadi lebih luas,” pungkasnya.
Di kampung bibit Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro ini menyediakan berbagai macam bibit. Diantaranya, terong, tomat, cabai kecil, cabai besar, bongkol, kubis dan pepaya. Untuk harganya, bervariatif tergantung jenis bibitnya.
Tohir, salah satu petani mengatakan, harganya ditentukan pada lama persemaian dan perawatan. Biasanya satu bibit dihargai Rp 120- 200 per biji. ”Untuk yang paling mahal pepaya sampai Rp 1.000 – Rp 1.500 per biji,” ungkapnya.
Pria yang sudah menekuni usaha sejak 1985 ini menjelaskan, selain benih yang harus berkualitas, hal yang perlu dipersiapkan saat melakukan persemaian yakni media tanahnya. Media harus berkualitas baik, dari tingkat kandungan organiknya dan homogenitasnya. Media tersebut biasanya dari tanah dan kotoran hewan seperti sapi dan ulat. ”Harus dipaskan dan dilihat fisik tanah yang kelihatan sudah gembur dan berwarna agak pucat berarti sudah pas,” terangnya.
Setelah media sudah pas, persemaian dilakukan di dalam plastik yang sudah diisi dengan tanah. Ini untuk memudahkan proses pemindahan dan menghindari kerusakan akar pada saat pengangkutan ke lahan. Plastik yang biasanya digunakan, plastik yang sudah dipotong kecil-kecil berukuran 6 centimeter dan berdiameter 5 centrimeter. ”Biasanya sayu jam bisa mendapatkan seribu biji,” ungkapnya.
Selanjutnya, dilakukan penyiraman dan pengendapan untuk menstabilkan kadar airnya. Setelah semuanya siap, baru dilakukan penanaman benih satu bulir per lubang. Perawatan rutin yang dilakukan penyiraman. ”Penyiraman dilakukan pagi dan sore untuk menghindari kekurangan kelembaban yang dapat menyebabkan kurang optimalnya pertumbuhan,” ungkapnya.
Ditambahkan, hama dan penyakit yang biasanya menyerang yakni ulat dan thirps. Pengamatan rutin harus dilakukan untuk menghindari serangan yang berakibat fatal. Jika serangan sudah sangat parah, akan dilakukan penyemprotan pestisida. ”Kalau pertumbuhan kurang bagus, biasanya dilakukan pemupukan menggunakan gombor plastik, dengan pupuk NPK dicampur dengan air,” bebernya.
Dijelaskan, lama waktu persemaian berbeda setiap jenis tanaman. Tanaman bongkol dan tomat memiliki waktu yang paling cepat yaitu antara 15-17 hari setelah semai, cabai besar dan terong membutuhkan waktu 25 hari, pepaya selama satu bulan. ”Cabai kecil memiliki waktu yang paling lama 36 hari setelah semai,” terangnya.
Untuk pemasaran, para petani bibit di Dusun Wedani memilih mengerjakan pesanan dibandingkan menyediakan bibit tanpa ada pesanan. Karena, untuk pesanan, sudah jelas siapa nanti yang akan mengambil, sedangkan jika tanpa pesanan ada risiko tidak laku. Namun, mereka tetap menyediakan bibit dengan tanpa pesanan, akan tetapi jumlahnya tidak banyak. ”Biasanya ada yang mengambil sendiri, kadang-kadang dari luar Jombang juga ada,” pungkas Tohir. (*)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Wana wisata Banyu Biru yang terletak di Dusun Wonotirto, Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang dulu merupakan tempat tak terawat. Bahkan, sungai tersebut menjadi tempat pembuangan sampah (TPS) oleh warga sekitar.
Jarak untuk bisa menuju wana wisata ini cukup jauh, sekitar 40 kilometer dari Jombang kota. Letak wisata yang masuk cukup dalam ke pelosok desa, membutuhkan niat tersendiri. Maklum, selain jalan berkelok dan kondisi jalan tak mulus, menjadi penghambat tersendiri.
Kendati demikian, wisata konsep bernuansa alam itu tetap jadi jujugan masyarakat Jombang dan sekitarnya. Saat gerbang wisata yang terbuat dari bambu terbaca, pengunjung langsung bisa merasakan kesejukan udara Wonosalam. Saat datang siang hari pun, matahari tak begitu menyengat.
Apalagi setelah masuk ke dalam, suguhan pemandangan cukup menarik yang dibuat dari tangan-tangan kreatif masyarakat sendiri. Suara gemericik air di sungai dan air terjun buatan menambah kesejukan tersendiri. Terasa ada sensasi berbeda dari tempat lainnya sehingga pengunjung merasa betah berlama-lama.
Pengunjung bisa makan-makan di atas aliran sungai yang jernih. “Dulu tempat ini bukan seperti ini, tapi tempat pembuangan sampah masyarakat. Karena masyarakat sekitar dulu kurang peduli dengan alam,” ujar Eko Wahyudi, salah satu pengelola.
Disampaikan, pada 2016 lalu para pemuda sekitar punya niat untuk membersihkan sungai dari sampah yang dibuang masyarakat. Sampah-sampah itu menumpuk setiap hari. Sehingga tidak ada rencana membuat wana wisata. “Ternyata itu tidak mudah, kadang sudah dibersihkan, tapi dibuangi kembali sama masyarakat. Bahkan kita sampai membuat pos penjagaan sampah,” ungkapnya.
Selain membersihkan sampah, menurut dia, langkah anak-anak muda itu sekaligus menjaga situs yang diduga benda bersejarah di dalamnya. Hanya saja, niat membersihkan sampah itu sempat terhenti dengan berbagai kendala dan rintangan. “Karena ekonomi, yang biasa menjaga kerja semua,” kenang dia. ungkapnya.
Kemudian di penghujung 2017, niat untuk membersihkan sungai kembali muncul agar sungai dijaga tetap bersih. Kemudian, ada inisiatif untuk menjadikan tempat tersebut menjadi ramai. “Kami mengadakan lomba memancing agar tempat itu menjadi ramai,” katanya. Kemudian ide membuat kolam buatan muncul. Waktu itu dinamakan kolam cinta dan air terjun buatan yang terbuat dari pipa. Gayung bersambut, kemudian ada wacana dari Pemkab Jombang, yang menyebut Wonosalam bakal dijadikan tempat wisata.
Berjalannya waktu, akhir 2018 konsep wisata baru itu mulai diperkenalkan ke masyarakat melalui media sosial. “Ternyata antusias masyarakat sangat bagus, banyak yang datang sampai sekarang,” ceritanya. Hanya saja, memang lahan seluas 3 hektare tersebut belum bisa dikelola semua karena terbentur dengan pembiayaan. Selain itu, akses jalan menuju wisata ini juga sebagian masih rusak.
“Yang dikelola masih sekitar 1 hektare, masih terbentur biaya,” tambah dia. Karena itu dia berharap, ada bantuan dari pemerintah untuk pengembangan pengelolaan wisata tersebut. Apalagi dengan konsep yang ditawarkan masyarakat sekarang ini, perekonomian warga sekitar turut terdongkrak. “Dulu ibu-ibu hanya mengandalkan penghasilan suami, sekarang bisa berjualan. Kami berharap ada perhatian dari pemerintah karena masyarakat sudah bergerak,” harap Eko.
Apalagi untuk masuk ke lokasi ini tidak merogoh kocek terlalu dalam. “Parkir sepeda kami gratiskan, untuk mobil kita kenakan Rp 5 ribu,” tegasnya. Melihat kreasi masyarakat ini Agung, 25, warga Desa Blimbing, Kecamatan Gudo, mengaku tidak bosan berkunjung ke wana wisata Banyu Biru. Bahkan, dia sudah tiga kali datang bersama teman-temannya. Menikmati makan sembari berendam di air sungai jarang ditemukan.
Sehingga, setiap kali punya waktu luang atau liburan dirinya selalu berkunjung ke wisata bernuansa alam tersebut. “Airnya juga bersih. Sehingga betah lama-lama disini,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Usaha pembuatan hanger dari bahan kawat dapat dijumpai di Dusun Plosokendal, Desa Plosogeneng, Kecamatan/Kabupaten Jombang. Dari industri rumahan ini ratusan lusin hanger kawat bisa dibuat setiap hari.
Beberapa hari lalu Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke salah satu tempat produksi hanger. Dari depan, satu orang terpantau sibuk memegang mesin dan memasukkan besi panjang ke dalam mesin. Di samping rumah, terdapat empat orang sibuk menekuk-nekuk kawat.
Sementara di dalam rumah, terlihat dua orang yang juga asyik bekerja di depan kompor. Keduanya membakar bagian ujung kawat yang telah berbentuk segitiga dan memasangi dengan plastik kecil berwarna merah. Sementara di bagian belakang, tumpukan hanger siap jual terlihat ditumpuk rapi.
Ya, inilah kegiatan sehari-hari di rumah Mohammad Rokhim, 31, pembuat hanger di Jombang. “Ini dari limbah kawat,” ucapnya. Hanger-hanger ini dibuat dari material kawat semi baja. Kawat tersebut didapatkan dari sejumlah pabrik di Mojokerto dan Surabaya. “Biasanya dari pabrik kertas, bekas talinya kertas,” lanjutnya.
Proses pembuatannya terbilang sederhana meski juga rumit. Kawat yang didatangkan masih berupa gelondongan. Harus terlebih dahulu diluruskan menggunakan mesin. Ini adalah tugas pekerja di depan rumah. “Kawat datang kan masih bengkok, biasanya panjang enam meter,” sambung Rokhim.
Kawat yang sudah lurus itu kemudian dipotong kecil-kecil hingga seukuran 104 sentimeter. Potongan kawat kemudian dibengkokkan dan dibentuk sesuai yang diinginkan. Pekerjaan inilah yang dilakukan beberapa orang di samping rumahnya. “Disini modelnya cuma satu, cuma ada 4 kali proses tekukan,” imbuhnya.
Setelah selesai, hanger setengah jadi dibawa masuk ke dalam rumah. Ujung atas hanger harus dibakar diatas kompor hingga suhu tertentu. Jika sudah siap, dipasangi plastik pengaman di ujung. “Setelah itu selesai, kecuali kalau memang kawatnya agak kusam atau berkarat, harus di krom dulu, kalau tidak ya langsung bisa dijual,” lanjut dia.
Meski enggunakan sistem kerja manual, dibantu sembilan pekerja, Rokhim bisa menghasilkan hingga 350 lusin hanger kawat setiap hari. “Pokoknya seminggu sekali kawat satu ton habis, untuk satu ton bisa sampai 1.000 lusin hanger,” rincinya bangga.
Hanger produksinya itu biasa diambil beberapa sales kebutuhan rumah tangga. Termasuk beberapa pengepul lain untuk dipasarken ke luar kota. Untuk harga, ia biasa menjual hanger kawat antara Rp 10 ribu sampai Rp 13 ribu per lusin. “Kalau beli banyak atau tengkulak yang mengambil bisa lebih murah, beda harganya untuk eceran,” pungkas bapak dua anak ini. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kehadiran DeDurian Park akan mendongkrak dan menaikkan pamor durian Wonosalam. Penegasan ini disampaikan Prof Mohammad Reza Tirtiwinata, pakar durian Indonesia.
“Kebun durian harus ditata dengan sistem modern. Dengan ilmu dan penataan yang benar. Saya senang ada DeDurian Park, karena akan angkat pamor durian Wonosalam,” tegas Ketua Yayasan Durian Nusantara ini.
“Saya sudah ke DeDurian Park Wonosalam. Meninjau kebun, melihat perencanaan yang matang oleh manajemen. Bahkan berdialog dengan petani durian Wonosalam. Saya lihat sinerginya bagus. Ini yang akan mengangkat pamor durian Wonosalam ke level nasional,” urainya lagi.
Bahkan Prof Reza, salah satu pendiri kebun buah Mekarsari Bogor menjelaskan, Wonosalam punya potensi durian unggulan kayak Durian Bido dan lainnya, tapi belum tergarap dengan baik.
Sinergi yang dimaksudkan Prof Reza dijelaskan oleh Djoko Setyono salah satu pendiri DeDurian Park. “Nanti DeDurian Park akan memiliki kebun inti 10 hektare dan plasma di masyarakat 100 hektare hingga 200 hektare. Itulah sinergi yang akan kami lakukan. Kami dan petani durian menyatu dalam kebersamaan memajukan durian Wonosalam,” tegas alumnus IPB ini.
Dirut DeDurian Park Yusron Aminulloh menambahkan, petani Wonosalam sudah jago menanam dan membuat pembibitan pohon durian. Maka kehadiran DeDurian Park akan melengkapi dan menjadi pintu masuk ke dunia luas. “Kami mimpi bersama-sama petani Wonosalam untuk memajukan durian unggulan. Standar soal rasa, ketebalan, warna, tekstur tetap harus kami penuhi. Dan kami yang bantu branding biar punya posisi bagus di level nasional. Maka festival dan kenduren durian yang sudah berlangsung tahunan akan terus dikemas lebih professional,” ujar Yusron yang juga Ketua SC Panitia Kenduren 2020.
Kebun DeDurian yang dibangun dengan para members itu oleh Prof Reza disarankan untuk menanam berbagai jenis durian unggulan nasional. “Kami merancang bersama Prof Reza menyiapkan satu hektare khusus untuk pembibitan seluruh durian unggulan nusantara, dan mengutamakan Durian Bido unggulan durian Wonosalam,” papar Yusron.
Pada kesempatan terpisah komisaris utama De Durian Park Muhammad Gurning menegaskan, sudah saatnya masyarakat bisa menikmati durian berkualitas hasil jerih payah petani anak negeri. Betapa tidak ? Selama berpuluh tahun lamanya konsumsi durian yang sedemikian besar ternyata dinikmati oleh petani durian dari Thailand dengan Durian Monthong dan Malaysia dengan unggulan Durian Musangking.
Data BPS Tahun 2017 menunjukkan ekspor durian hanya 240 ton sementara impor lebih besar mencapai 764 ton sehingga neraca perdagangan defisit 524 ton. Namun ekspor durian 2018 melonjak 1.084 ton, impor hanya 351 ton artinya neraca perdagangan surplus 733 ton. Namun, bukan jaminan akan terus begitu. Sedangkan di saat yang sama peluang ekspor ke negara Cina masih terbuka lebar.
Inilah momentum yang tepat untuk meraih supremasi produksi buah durian, tidak hanya di sektor hulu namun hingga di sektor hilir. Mengolah durian menjadi berbagai produk turunan yang sangat lezat yang dapat dinikmati sambil berwisata di berbagai penjuru nusantara. Sehingga ekonomi pedesaan akan bertumbuh dengan memadukan pertanian dengan wisata dan edukasi yang salah satunya dipelopori Dedurian Park Wonosalam di Kabupaten Jombang Jawa Timur yang digadang-gadang menjadi Kota Wisata Masa Depan. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang