• info@njombangan.com

Yearly Archive2020

Tahu Bulat Ploso; Gurih Renyah, Resep Bumbu Khusus, Harga Terjangkau

Jombang – Salah satu produk industri rumahan yang dimiliki Kabupaten Jombang adalah IKM tahu bulat. Zaenal Abidin, 63, warga Dusun/Desa/Kecamatan Ploso sudah 20 tahun lebih menggeluti usaha rumahan ini. Hingga kini masih eksis.

Tak sulit menemukan rumah produksi tahu bulat milik Zainal. Lantaran rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter dengan bibir tanggul sungai Brantas.

Zaenal memanfaatkan sisa lahan kosong di belakang rumahnya untuk tempat memproduksi tahu bulatnya.

Kepada Jawa Pos Radar Jombang, dia pun menceritakan awal mula dia memproduksi tahu bulat yang sudah dirintisnya sejak 1990. “Jadi ini kan sebenarnya sisa dari irisan tahu goreng. Ternyata kok peminatnya banyak, jadi kita teruskan sampai sekarang,” terang Zaenal.

Menurut zaenal, proses pembuatan tahu bulat terbilang cukup mudah. Mula-mula potongan tahu yang tak simetris dikumpulkan dalam sebuah karung. Setelah terkumpul, potongan-potongan tahu itu kemudian diperas untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat pada potongan tahu.

Untuk proses ini, Zaenal memanfaatkan sejumlah bongkahan batu. “Ini untuk memeras air dalam tahu. Sebab, kalau untuk tahu bulat kan airnya harus sedikit, biar mudah dibentuk,” lanjutnya.

Proses ini memakan waktu sekitar dua jam. Sebab, dia harus memastikan kandungan air dalam potongan tahu benar-benar keluar.

Proses selanjutnya, yakni menghaluskan potongan dengan cara digiling. Hal ini dilakukan agar teksturnya menjadi lebih empuk. “Setelah proses penggilingan selesai, baru kemudian diberi bumbu, biar rasanya tidak hambar. Sebab, tahu bulat ini kan makanan camilan,” sambung Zaenal.

Untuk bumbu ini, Zaenal bener-bener menaruh perhatian. Sebab, jika racikan bumbunya maksimal, maka akan menghasilkan tahu bulat yang istimewa. Sejumlah bahan bumbu di antaranya, garam, hingga beberapa bumbu lainnya yang dia rahasiakan. ”Bumbu ini menentukan rasa. Jadi harus dari bahan pilihan,” bebernya.

Selanjutnya, keseluruhan bumbu tersebut dicampur pada adonan tahu dan diaduk hingga seluruhnya merata. Baru setelah itu, proses selanjutnya dibentuk menjadi bulatan-bulatan.

Prosesnya pun masih serba manual. Hanya mengandalkan tangan kosong, sedikit demi sedikit adonan tahu diputar-putar pada bagian permukaan piring hingga membentuk bulatan-bulatan. Besar kecilnya tergantung selera. “Biasanya kita buat dua macam ukuran. Ada ukuran besar dan kecil, setelahnya tinggal proses penggorengan,” lontarnya.

Dibantu istri, anak dan satu karyawannya, setiap harinya rumah prosuksi Zaenal bisa menghasilkan tiga keranjang besar tahu bulat. Untuk pemasaran produknya, Zaenal sudah punya sejumlah langganan tetap di sejumlah pasar.

Harga tahu bulat Zaenal cukup terjangkau. Untuk satu plastik berisi 10 butir tahu bulat, biasa dijual Rp 2.500 untuk tahu berukuran kecil. Dan untuk tahu bulat ukuran besar dipatok harga Rp 5.000. ”Jual ke pasar, kadang juga ada orang yang pesan untuk hajatan juga,” singkatnya.

Jumlah IKM Tahu Bulat Ploso Terus Menyusut

PADA 1990 an, wilayah Dusun/Desa/Kecamatan Ploso bisa dikatakan menjadi sentra Industri Kecil Menengah (IKM) tahu bulat. Sedikitnya lebih dari sepuluh warga yang menggeluti IKM tahu bulat.

Seiring berjalannya waktu, jumlahnya kian menyusut. Saat ini diperkirakan tinggal separo. ”Kalau dulu banyak warga sini yang buat tahu bulat, mungkin kalau sebelas orang ada. Sekarang terus berkurang, mungkin tinggal 5 – 6 saja yang masih bertahan,” bebernya.

Dia pun tak mengetahui persis penyebab menyusutnya jumlah pengusaha tahu bulat. Bisa jadi disebabkan kondisi pasar yang kurang bersahabat. “Kalau disebut berkurang ya berkurang. Produksi memang masih ada, cuma kalau dibanding sepuluh tahun yang lalu sudah beda jauh,” ucap Zaenal.

Menurutnya, pada era 1990an, jumlah pengusaha tahu bulat di wilayah kecamatan lain masih minim. Saat ini, banyak warga di kecamatan lain juga mengembangkan usaha produksi tahu bulat. ”Jadi pasarnya semakin sempit, sebab di wilayah lain sudah banyak yang juga buat tahu bulat mungkin,” bebernya.

Bahkan konsumen tahu bulat Zaenal sampai dipasarkan ke luar kota. ”Dulu kirim sampai ke Surabaya juga, sekarang hanya di wilayah sekitar Ploso saja,” bebernya. Meski begitu, dia tetap bersemangat melanjutkan usaha yang sudah menjadi mata pencaharian sehar-hari keluarganya tersebut. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Produksi Cincau Hitam di Plandi Jombang Puluhan Tahun Tetap Eksis

Jombang – Sebuah rumah di ujung timur Dusun/Desa Plandi, Kecamatan/Kabupaten Jombang terlihat berbeda dari rumah lain. Di depan rumah, terlihat kulit kayu kering menumpuk. Mendekati rumah, tercium aroma dedaunan sangat khas.

Terlihat dua pekerja sibuk di samping rumah. Satu orang terlihat mengaduk cairan hitam di dalam drum besar. Satu orang lainnya, menjaga nyala api pada tungku di bawahnya. Beberapa menit kemudian, orang di atas drum mulai mengambil air hitam itu dan menaruhnya di kaleng kotak.

Sementara, pekerja sebelumnya yang menjaga tungku, ikut mengaduk air dalam kaleng. Sejurus kemudian ia ikut menata kaleng berisi air hitam tersebut. “Ini sedang membuat janggelan, karena kita tidak pakai mesin, semuanya harus dikerjakan manual, masih tradisional,” ucap Abdul Rokhim, pemilik usaha janggelan.

Lebih dari 20 tahun, industri rumahan di Plandi Jombang eksis membuat janggelan atau cincau hitam sampai sekarang. Padahal, produksinya masih gunakan cara manual tanpa mesin.

Proses pembuatan janggelan disebutnya cukup rumit. Dimulai dari daun janggelan yang harus disiapkan terlebih dahulu. Kondisi daun harus sangat kering sebelum diproses. “Biasanya daun ini kita datangkan dari Ponorogo, Ngawi dan beberapa kota lain, di Jombang sendiri tidak ada,” lanjutnya.

Daun yang sudah kering kemudian direbus selama beberapa kali. Rebusan pertama untuk mengambil sari daun janggelan. Sedangkan rebusan kedua dilakukan untuk mencampur sari janggelan dengan tepung kanji agar teksturnya bisa kenyal. Dan rebusan terakhir, dilakukan untuk mematangkan janggelan sampai benar-benar sempurna.

“Prosesnya bisa sampai empat jam, setelah siap, baru dituang di wadah kotak itu, untuk dicetak jadi kotak. Baru bisa dijual keesokan harinya,” tambahnya. Produk rumahan miliknya hanya dikerjakan seorang diri dengan dibantu anaknya M Syarifuddin, beserta dua pekerja.

Meski begitu, Rokhim menyebut setiap hari bisa produksi hingga 20 kaleng janggelan. Bahkan, jumlah ini bisa lebih banyak ketika pesanan membeludak. “Kalau hari biasa 20 kaleng, kalau bulan Ramadan biasanya permintaan naik, jadi produksinya bisa dua kali lipat,” tambahnya.

Setiap hari, ia dan beberapa anggota keluarganya juga memasarkan sendiri produk janggelan ke beberapa pasar tradisional. “Kalau harga biasanya Rp 40 ribu satu kaleng, ya dijual sendiri, ditunggui sendiri di pasar,” pungkas dia. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Tak Lagi Diminati, Kerajinan Kipas Bambu di Jombang Semakin Meredup

J

OMBANG – Di Dusun Kedungbanteng, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang dulu terkenal sebagai sentra pembuat kipas bambu. Namun kini jumlah perajinnya semakin habis. Hanya satu perajin yang masih bertahan.

“Dulu satu desa semua bikin kipas bambu, tapi sekarang tidak ada, hanya tinggal saya yang menganyam, lumayan untuk ngisi waktu kosong,” ungkap Ngasiyah, 63, salah seorang warga Dusun Kedungbanteng.

Berdasarkan penuturan warga, satu-satunya yang masih bertahan hanya Ngasiyah yang rumahnya berada di gang kecil. Di teras rumahnya, penuh dengan tumpukan bambu yang siap dianyam. Saat ditemui koran ini ia juga sedang berada di kebun untuk membelah bambu.

“Daripada nganggur tidak ngapa-ngapain, begini saja sambil momong cucu, yang lain sudah tidak ada yang meneruskan,” tuturnya. Ngasiyah dengan telaten membelah bambu yang sudah dipotong. Dibelah tipis-tipis hingga menjadi banyak. Bambu basah setelah dibeli langsung dibelah. Karena kalau kering, proses pembelahan bambu akan sulit.

“Kalau bambunya terlanjur kering harus direndam dulu lama, kalau kering ngeratnya sulit,” ungkap ibu empat anak ini. Setelah itu, potongan bambu dijemur hingga kering. Proses penjemuran berlangsung kurang lebih satu hari. Setelah kering, bambu-bambu tersebut kemudian diberi warna. Ada merah, hijau, dan kuning. “Dulu waktu masih banyak, saya bikin banyak warna ada biru oranye, tapi sekarang nyari warna biru susah, warna oranye juga kelamaan, yang gampang-gampang saja,” tambahnya.

Pemberian warna dilakukan dengan cara direbus. Tidak lama, cukup lima menit, bambu kemudian dijemur lagi hingga kering. Setelah kering, bambu itu dibelah lagi kurang lebih setengah sampai satu sentimeter. Baru kemudian dianyam dengan memadukan tiga warna tersebut.

Untuk menganyam satu kipas, Ngasiyah hanya butuh waktu kurang lebih lima menit. Tangannya cukup cekatan. Ia menganyam dengan cepat dan membentuk pola yang bagus dengan perpaduan warna. Dalam sehari, dijalani dengan santai ia bisa menghasilkan 100 anyaman. “Tapi kalau lagi malas ya tidak sampai 100,” tambahnya lagi.

Setelah terkumpul 100, hasil anyaman kipas itu kemudian dijual ke pengepul untuk dirapikan sebagai proses terakhir. Untuk diberi kain di sisi samping dan gagang. “Sebetulnya bisa kasih sendiri, tapi lama dan modalnya juga besar,” imbuhnya. Per 100 anyaman kipas mentah biasanya dibeli dengan harga Rp 40 ribu.

Beberapa kali ia juga mendapat tawaran untuk membuat keranjang, atau kerajinan dari bambu lain. Tapi ia menolak dengan halus. Meski harga keranjang lebih mahal, namun ia tetap setia dengan kipas bambu yang bisa dikerjakan dengan santai. “Enak kipas saja, tidak terlalu ribet,” urai dia.

Selain menjual kipas, ia juga sering didatangi siswa untuk membeli bambu yang sudah diwarna. Bambu tersebut biasanya dipakai untuk praktik kerajinan di sekolah-sekolah. “Ada yang beli bambu saja ya saya jual, kemarin ada yang beli sampai Rp 100 ribu. Tapi kadang anak sekolah datang pingin lihat prosesnya saja,” jelasnya.

Ia tak ingat, sejak usia berapa belajar menganyam bambu. Namun yang pasti sejak ia kecil sudah diajarkan menganyam oleh orangtuanya. Kini, bahkan tak ada lagi yang berminat melestarikan kipas bambu di desanya. Termasuk anak muda  tak tertarik belajar menganyam.

“Kalau empat tahun terakhir jumlah yang bikin anyaman semakin berkurang, lama-lama habis, sekarang sama sekali tidak ada. Yang tua saja tidak mau dan yang muda malah tidak mau belajar sama sekali,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Budidaya Cacing ala Sulaiman; Tak Butuh Tempat, Hasilnya Menggiurkan

Jombang – Sebagian orang menganggap cacing sangat menjijikkan. Namun bagi Sulaiman, warga Dusun Surak, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, hewan ini sangat berharga karena bisa mendatangkan rupiah.

Di halaman rumah sederhana milik Sulaiman, diletakkan puluhan kotak berukuran sekitar 1×2 meter yang sudah diisi tanah. Di dalam kotak itu berisi ratusan bahkan ribuan cacing. Bapak satu anak ini harus berani membuang jauh-jauh rasa jijik terhadap cacing.

”Yang saya ternak ini cacing jenis fosfor, karena sangat mudah hidup,” ungkapnya sembari memilah cacing yang akan dijual. Pertama, dia mulai beternak cacing 2011 silam. Saat itu  dirinya mencari cacing untuk dijual ke tempat-tempat pemancingan dan penjualan burung.

”Dulu itu saya hanya mencari di sawah atau serapan limbah rumah tangga,” bebernya. Dalam satu hari, dia hanya bisa memperoleh 5-10 kilogram cacing. Lambat laun, permintaan cacingnya meningkat sehingga dia kewalahan kalau harus  mencari di sawah atau sampah rumah tangga.

”Kemudian saya berpikir ternak cacing sendiri,” ceritanya. Sebagaimana pelaku usaha yang lain, kali pertama beternak cacing juga tidak langsung berjalan mulus. Media tanah yang digunakan sering tidak cocok dengan cacing yang diternaknya. Sehingga cacingnya tidak bertambah banyak, justru bibit cacing semakin menyusut.

”Akhirnya saya cari tanah dengan campuran kotoran hewan ternak, biasanya di Papar Kediri. Tanah tersebut cocok dengan cacing,” terang dia. Saking cocoknya, bibit cacing sebanyak satu kilogram yang disebar di dalam kotak-kotak tersebut, bisa berkembang hingga 10 kilogram. Yang menguntungkan, perkembangan cacing yang cepat itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.

Dia menyebut, ternak cacing sangat mudah dan tidak ada perawatan khusus. Bahkan, makanan cacing sangat mudah  dicari dengan harga yang murah. Yaitu ampas tahu. ”Kalau musim hujan ini malah gampang sekali, tidak perlu perawatan khusus,” katanya.

Akan tetapi, pada musim kemarau, cacing peliharaannya setiap pagi dan sore harus disiram dengan air. Selain itu, Sulaiman harus bolak-balik cacing agar tidak kepanasan. ”Kalau kepanasan cacing jadi menyusut, tapi kalau musim penghujan seperti ini harga cacing biasanya turun,” ungkapnya.

Harga jual cacing sendiri, diakuinya memang cukup mengiurkan. Pria yang kerap disapa Cak Leman ini menjual dengan harga Rp 100 ribu per kilogram cacing. ”Kalau musim hujan harganya turun Rp 10 ribu, karena memang cacing sangat mudah berkembang,” imbuh dia.

Penjualan cacing pun tidak perlu dirisaukan karena dirinya sudah memiliki pelanggan yang siap mengambil. Selain dijual di tempat penjualan burung dan tempat pemancingan, Sulaiman juga mempunyai pelanggan khusus dari luar kota. ”Biasanya yang banyak dari Gresik dan Surabaya,” pungkasnya. (*)

(jo/yan/mar/JPR)

Warga Jombang Olah Biji Salak Jadi Kopi, Bisa Sembuhkan Darah Tinggi

Jombang – Pagi itu, tampak dua pekerja sedang sibuk memilah biji salak kering. Usai disortir mana biji berkualitas baik dan mana yang tidak. Selanjutnya biji salak itu dimasukan pada mesin penggiling kopi. Satu persatu biji dihaluskan hingga menjadi serbuk.

Dua pekerja itu tengah sibuk membuat bubuk kopi berbahan biji salak. Kopi salak ini diklaim satu-satunya dan yang pertama di Jombang. Biji salak itu disuplai petani di wilayah Kecamatan Tembelang. Awalnya biji kopi dianggap sebagai sampah. Namun ditangan Kuswartono, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, biji kopi bisa diolah sebagai kopi.

Ide membuat biji salak menjadi kopi muncul karena banyak salak di desanya namun sepi pembeli. Rasa prihatin itulah yang memaksa Kuswartono untuk berpikir kreatif, agar salak asli Sentul tetap diminati. ”Akhirnya saya coba-coba membuat berbagai olahan dari salak, yang pertama muncul adalah kopi dari biji salak,” ujar dia. Setelah melakukan beberapa eksperimen, akhirnya dia berhasil membuat kopi dengan takaran yang pas.

Agar tak dianggap asal-asalan, ia pun melakukan uji nutrisini, mengurus ijin edar hingga sertifikasi halal. ”Setelah berhasil melakukan uji nutrisi dan mendapatkan ijin edar, akhirnya saya mulai memproduksi dalam jumlah banyak,” jelasnya. Saat wartawan koran ini diminta menyeruput secangkir kopi salak, rasanya tak jauh berbeda dengan kopi pada umumnya. Namun ada rasa sedikit asam dan aroma khas harum buah salak.

Dengan memanfaatkan tanaman salak di pekarangan rumahnya dan menampung biji salak dari petani setempat, ia kini memproduksi hingga satu ton oalahan kopi setiap bulan. ”Lambat laun akhirnya petani setempat mulai bergairah kembali. Karena salak otomatis juga laku,” terang dia.

Kopi berbahan biji salak tersebut dipercaya dapat memberikan efek pada kesehatan. Mulai dari menambah stamina, rematik hingga darah tinggi. ”Sesuai dengan referensi yang saya baca memang seperti itu. Apalagi, di olahan saya tidak ada campuran bahan pengawet. Jadi aman,” tegasnya.

Selama ini, pemasaran kopi berbahan biji salak tidak hanya di sekitar pasar lokal. Namun mulai tembus pasar regional. ”Alhamdulilah omsetnya juga lumayan banyak,” pungkas Kuswartono. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

Keranjang Anyaman Plastik dari Kesamben Jombang Tembus Pasar Bali

Jombang – Sebuah rumah di samping jalan raya Desa Wuluh, nampak sangat beda. Di depan rumah sederhana itu, terlihat puluhan keranjang warna-warni. Di sisi lain, terdapat sejumlah tali yang masih terlihat kusut.

Di sela-sela keranjang, terlihat seorang pria sedang asyik menyulam tali. Tali warna-warni itu ia selip, lipat dan tumpuk lagi dengan tali lain. Hanya pisau potong, serta palu, dan sebuah kursi kecil yang menemani bekerja. “Ini sedang menganyam tali, ya dibuat kerajinan begini,” ucap Dedik, pemilik usaha sambil menunjukkan anyaman plastik.

Ide kreatif memanfaatkan limbah pabrik banyak dilakukan warga Jombang. Salah satunya Dedik Miftakhul Jainuri, 47, warga Dusun/Desa Wuluh, Kecamatan Kesamben yang menyulap limbah tali plastik jadi anyaman bernilai jual.

Sejak 2001, ia mengaku sudah terbiasa dengan kegiatan menganyam tali plastik. Bahan untuk keranjang, disebutnya juga berasal dari limbah industri tekstil. Plastik yang dianyam itu adalah limbah tali dari beberapa industri kapas hingga kertas di Mojokerto. “Bahan mengambil karena limbah, satu kilo dijual Rp 5.500, nanti sampai sini baru dibersihkan dan diolah,” sambungnya.

Cara membuatnya terkesan mudah. Meski disebut Dedik tetap harus teliti dan ulet. Pembuatan kerajinan ini diawali dengan pembentukan pola dan menentukan bentuk kerajinan. Kemudian tali yang sudah disiapkan, perlahan dianyam hingga membentuk pola yang diinginkan. “Selain dianyam, juga harus dipadatkan, makanya ada palu, biar celahnya tidak terlalu besar dan rapi,” rinci dia.

Dikerjakan sendiri, setiap hari ia mengaku bisa membuat satu hingga dua bentuk kerajinan berbahan plastik tersebut. “Ya tergantung, kalau keranjang kecil bisa sampai dua, cuma kalau besar seperti rengkek biasanya cuma satu, karena kan dikerjakan sendiri,” lontar Dedik.

Berbagai bentuk kerajinan anyaman bisa dibuatnya, mulai tempat sampah, anyaman bilik rumah, rengkek, hingga keranjang belanja. Untuk penjualan, ia pun mengaku tak mematok harga mahal. “Paling murah Rp 40 ribu untuk keranjang kecil, kalau rengkek bisa Rp 170 ribu sampai Rp 250 ribu, tergantung bentuk dan ukurannya,” tambahnya.

Sementara untuk pemasaran, Dedik mengaku harus menunggu pesanan. Barang-barang yang dibuat biasanya akan dipesan terlebih dahulu dan diambil setelah jadi dengan jumlah tertentu. “Kalau penjualannya sudah ke beberapa kota di luar Jombang, seperti Surabaya, Sidoarjo, bahkan Bali juga pernah,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Di Desa Rejoagung Ploso, Ada Musala yang Berdiri Sejak Abad 20

Jombang – Kabupaten Jombang kental akan sejarah penyebaran agama Islam. Tak terkecuali ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Salah satu bukti sejarah tarekat ini pernah eksis di wilayah utara Brantas yakni, keberadaan bangunan musala tua di Dusun/Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso.

Dilihat sekilas, bangunan musala yang dipercaya sudah berdiri sejak abad 20 an ini seperti bangunan rumah. Tidak ada kubah yang terpasang di atas musala. Atapnya membentuk pola limas.

Tidak ada papan nama musala terpajang seperti pada umumnya bangunan musala. Musala ini pun tak memiliki nama khusus. Warga sekitar menyebutnya musala panggung.

Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat.

Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

Bangunan musala tua ini memiliki dua lantai. Dinding bangunan pun masih setengah kayu. Bangunan lantai dasar dari tembok tembok tebal, sementara bangunan lantai dua masih dari bahan kayu.

Kesan bangunan tua pun sangat kentara sekali. Terlihat bangunan tembok sangat tebal dan warna catnya sudah mulai memudar. Sementara tembok kayu di ruang atas terlihat mulai lapuk, mengingat usianya sudah ratusan tahun.

Bangunan ini memiliki empat pintu serta satu jendela. Kesemuanya terbuat dari bahan kayu. Atap bangunan terbuat dari bahan genting kuno. Sementara bagian serambi musala, atapnya sudah menggunakan seng yang kondisinya sudah karatan.

Ruang utama musala terlihat masih sangat sederhana. Bagian lantai dari bahan keramik tua. Ruangannya pun cukup sempit. ”Bangunan musala ini memang sudah tua. Dibangunnya awal abad ke 20an mungkin. Sejak dulu masih asli, tidak ada yang dirubah kecuali pintu depan dan sumur. Juga kran wudu ini yang sudah diperbarui 2011 lalu,” terang Ainur Rofiq, pengurus musala ini.

Untuk menemukan musala ini tidaklah sulit. Sebab, lokasi bangunan sangat strategis lantasan berada di pinggir jalan provinsi atau sekitar seratus meter sisi timur jembatan Ploso utara sungai.

Jaraknya dengan sungai Brantas hanya terpisahkan jalan. Tak jauh dari lokasi berdiri kantor UPT Pengairan Ploso.

Dari cerita yang sampai ke Rofiq, musala panggung ini didirikan oleh salah satu tuan tanah di wilayah Dusun/Desa Rejoagung. ”Jadi yang mendirikan pemilik tanah ini. Keluarga almarhum Haji Bakri,” bebernya.

Namun demikian, pengelolaannya dipercayakan kepada KH Yunus. Seorang pemuka agama yang juga pengamal tarekat Naqsabandiyah. “Jadi kakek saya (KH Yunus,Red) itu adalah salah satu murid KH Ali Muntaha Kedung Macan. Dan musala ini, jadi pintu masuk menyebarnya tarekat Naqsabandiyah di kawasan utara Brantas,” tambahnya.

Adapun dua ruangan yang berada di musala memiliki fungsi berbeda. Ruang lantai bawah, berguna sebagai ruang peribadatan, seperti salat dan lainnya. ”Di bawah ada tempat imam. Itu juga masih asli bangunannya,” bebernya.

Sementara, bangunan kayu di lantai dua digunakan untuk aktivitas tarekat yang lebih khusus. “Jadi seperti mujahadah, terus khususiyah itu di atas semuanya. Karena kan butuh ketenangan. Dulu salat id (Idul Fitri, Red) juga pakai musala ini, terlebih tarekat Naqsyabandiyah kan memang seringkali hari rayanya tidak bareng sama pemerintah,” tambah Rofiq.

Hanya Digunakan Saat Ramadan

MESKI sempat jadi pusat kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah di wilayah utara Brantas. Seiring berkurangnya pengikutnya, sejak 1970  musala panggung mulai ditinggalkan. Kegiatan musala baru hidup saat Ramadan.

“Iya, jadi setelah ada masjid di desa, penganut tarekatnya juga sudah mulai berkurang. Akhirnya lama-lama tidak terpakai lagi musalanya. Sekarang kegiatan tarekat pindah di musala samping klinik itu,” kembali ucap Ainur Rofiq sambil menunjuk salah satu klinik sekitar seratus meter dari musala.

Selain itu, mempertimbangkan kondisi bangunan yang sudah tua. Sekitar  2011, ruangan atas sama sekali ditutup dan tak digunakan lagi. “Iya, karena sudah lapuk, dan dikhawatirkan bisa membahayakan. Tangganya diambil, dan pintu akses ke ruang atas dari tengah juga ditutup,” imbuhnya.

Adapun kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah berpindah ke musala baru di samping klinik. ”Kurang lebih seratus meter dari sini. Masih di wilayah Rejoagung,” bebernya.

Meski begitu, pada bulan tertentu, kegiatan musala panggung hidup. Kegiatan rutin salat lima waktu termasuk salat terawih juga dipusatkan di musala. “Kalau Ramadan digunakan. Tapi ya tetap tidak seperti dulu. Kalau dulu sehari satu juz tarawihnya, sekarang ya normal saja,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Meneladani Jombang Sebagai Miniatur Toleransi Nusantara melalui Permainan Game Edukasi Njombangan.Apk

Erwin Joko Susanto

 

 

Latar Belakang & Permasalahan

Isu globalisasi di segala bidang kehidupan manusia sudah pasti menjadi hulu mengalirnya latar belakang ditulisnya pengalaman ini. Seakan isu abadi itu ikut mewahanakan arus suksesi kemajuan IPTEK. Akses tanpa batas untuk berbagai kepentingan, baik download maupun upload. Isu robotisasi dalam berbagai bidang semakin mempertajam keberangsungan Era Industri 4.0. Tantangan inilah yang harus menjadi momentum bagi kita sebagai generasi milenial untuk ikut berperan dalam memperbaiki dan menentukan nasib zaman pada suatu wilayah atau negara (NOTONEGORO).

 

Tujuan Penulisan

Tidak ada kata yang lebih mulia kecuali bahwa tidak ada ciptaan-Nya yang tidak mampu memberi manfaat. Oleh karena itu tulisan pendek ini diharapkan mampu memberi manfaat baik untuk pribadi penulis sendiri dan secara umum untuk semua pembaca dari semua kalangan dari segala jenis umur, profesi, gender, dan segala kebermaknaan tiap individu di dalam kehidupan di dunia.

 

 

Solusi & Implementasi

Dengan kata lain perkembangan isu dan paradigma di atas jangan hanya menjadi masalah dan lagu sedih kehidupan tetapi malah justru mampu menjadi modal untuk mengefisiensikan tugas pokok setiap profesi kita untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa agar tujuan positif kehidupan dapat dirasakan secara nyata. Nilai-nilai luhur seperti mensyukuri, semangat, santun, peduli, jujur, disiplin, percaya diri, bertanggung jawab, kerjasama, cinta damai dan toleransi  adalah nilai yang harus ditanamkan sejak dini kepada generasi milenial baik secara langsung maupun tidak langsung dan secara sadar atau tidak sadar. Dari sekian nilai luhur dan karakter tersebut ada satu nilai yang dianggap sangat krusial dan perlu dititikberatkan akses pembelajarannya dalam segala bidang kehidupan seiring dengan merebaknya kasus-kasus TERORISME, RADIKALISME dan INTOLERANSI, yaitu nilai “TOLERANSI”. Oleh karena itu dengan cara mengintegrasikan pemanfaatan aplikasi teknologi terkait seperti HP, Laptop untuk mengimplementasikan pembelajaran hidup bertoleransi maka pada kesempatan ini, penulis ingin berbagi pengalaman yang dituangkan dalam karya tulis yang berjudul MENELADANI JOMBANG SEBAGAI MINIATUR TOLERANSI NUSANTARA MELALUI PERMAINAN GAME EDUKASI NJOMBANGAN.APK

 

Dipilihnya Kota Jombang sebagai kota pilihan adalah karena Jombang adalah salah satu kota di Indonesia yang paling banyak mencetak tokoh-tokoh Nasional yang super toleran dan tidak diragukan tentang kiprahnya dalam mensyiarkan dan mendakwahkan TOLERANSI seperti K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, Ainun Nadjib dan lain-lain. NJOMBANGAN.APK adalah sebuah file aplikasi berbasis android yang dapat diinstall pada HP android apapun mereknya dan didalamnya mengandung serangkaian test-test pengetahuan dan game edukasi seputar Jombang sebagai kota toleransi dan miniatur toleransi nusantara serta mampu diakses oleh berbagai pihak dengan profesi apapun yang melekat pada kita orang Indonesia.

 

Obyektifitas penilaian yang didapat akan mencerminkan dan mengilustrasikan seberapa toleran kita sebagai warga sipil terutama dalam meneladani Jombang sebagai kota toleransi dan memaknai Jombang sebagai miniatur toleransi nusantara di era kekinian dan era industri 4.0.

 

Hasil Penilaian Pembelajaran Hidup Bertoleransi

Hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh berkat adanya usaha atau pikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan, dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Maka wajarlah jika ada skor/nilai yang didapat ketika telah mengakses dan menyelesaikan serangkaian test di dalam aplikasi NJOMBANGAN.APK.

 

Para pengakses NJOMBANGAN.APK akan di hadapkan dengan berbagai pertanyaan dan tantangan pada game-game toleransi dengan bobot soal yang berbeda-beda dan mampu ditingkatkan ke level yang lebih tinggi.

 

Terlebih dahulu para toleran harus mendownload atau mengunduh aplikasi di url atau klik di sini: https://doc-08-9g-docs.googleusercontent.com/docs/securesc/8638d44t8d06rage556mo1c152d0boq3/sjnr7gts3429c2c18osl1n582t9r5ur5/1556078400000/04784793403094760674/04784793403094760674/1rhe6OiGgWS7-MaW-eCj8ca3tZPHg0J03?e=download&nonce=2a8s815l5t1m6&user=04784793403094760674&hash=m3qtk3c2kevlptc1ppro984t205g13tn

 

Kesimpulan & Saran

Belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila tidak terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil. Termasuk adanya perubahan sikap dalam menjalani kehidupan. Karena dalam kehidupan ada pembelajaran termasuk bagaimana belajar hidup toleran atau bertoleransi di dalam kemajemukan hidup.

 

Hasil belajar yang dicapai mampu dilihat oleh individu itu dengan memanfaatkan skor atau nilai yang didapat. Agar tidak hanya mengakses moral knowing maka hasil belajar mampu ditingkatkan menjadi moral assesment untuk dikembangkan sesuai profesi yang kita emban.

Gus Sholah dalam Kenangan Gus Ipul, Sosok Teladan yang Menjunjung Tinggi Perbedaan

Liputan6.com, Surabaya – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menilai sosok K.H. Sholahuddin Wahid atau Gus Sholah yang memiliki sikap menghargai perbedaan patut diteladani.

“Beliau dikenal sangat menghargai dan menghormati perbedaan, sama seperti kakak kandungnya, Gus Dur,” ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin (3/2/2020) dini hari.

Menurut dia, Gus Sholah menjunjung tinggi perbedaan karena setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, namun tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak.

“Beliau juga tidak memaksakan pendapat yang sama. Cara menyelesaikan perbedaan juga tidak saling menghujat. Ini yang harus diteladani,” ucap dia dilansir Antara.

Mantan Wagub Jatim itu, mengucapkan duka cita sedalam-dalamnya dan mendoakan almarhum Gus Sholah diterima di sisi Allah SWT serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran.

“Saya sangat sering komunikasi dengan putra Gus Sholah, Ipang Wahid, termasuk menanyakan kabar ayahnya saat tadi sempat kritis dan masuk rumah sakit. Sekarang, kita semua berduka karena ditinggalkan ulama hebat di negeri ini,” katanya.

Atas nama PBNU, ia juga mengimbau kepada pengurus wilayah, cabang, lembaga, badan otonom, serta pondok pesantren mendoakan almarhum Gus Sholah melalui doa bersama, tahlil, dan menunaikan Shalat Gaib.

Tokoh penting Nahdlatul Ulama, Gus Sholah itu, tutup usia setelah kondisinya kritis dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, Minggu (2/2), pukul 20.55 WIB.

Dari laman media sosial putra Gus Sholah, Irfan Wahid (Ipang Wahid) meminta permohonan maaf dari almarhum ayahnya jika ada kesalahan.

Gus Sholah adalah adik kandung dari Presiden ke-4 RI, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Gus Sholah lahir di Jombang, 11 September 1942 dan mengembuskan napas terakhir pada usia 77 Tahun.

Photo courtesy: CNN Indonesia

Article courtesy: Liputan 6

Gunakan Organik, Hasil Panen Kelengkeng Pingpong Wonosalam Melimpah

Jombang – Ingin tanaman kelengkeng berbuah lebat? Bisa belajar dari petani kelengkeng di Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Cukup dengan menggunakan pupuk organik, buah kelengkeng bakal tumbuh subur dan berbuah lebat.

”Ini kami membudidayakan baru beberapa tahun lalu, dan Alhamdulillah berbuah cukup lebat,” ujar Sumiarsih, 37, salah satu petani kelengkeng kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (31/1).

Dijelaskan, jenis kelengkeng pingpong yang ditanamnya memang berbeda dengan kelengkeng lain. Tekstur daging lebih tebal dan rasanya cenderung lebih manis. ”Harganya juga lebih mahal, dibanding kelengkeng impor yang dijual di pasaran,” tambahnya.

Harga jual kelengkeng perkilonya dari petani Rp 40 ribu. Harga itu akan bertambah dua kali lipat bisa dijual ke pedagang atau tengkulak. ”Kalau dari kami petani Wonosalam, lebih murah,” tandas dia.

Ditanya cara penanamannya? Sumiarsih menjelaskan jika perawatan yang dilakukan selama ini cukup mudah. Ia hanya menggunakan pupuk organik yang diperoleh dari peternak sapi perah setempat. Selain lebih ramah lingkungan, hasil dari pupuk organik juga membuat tanaman lebih subur. ”Kalau pohon sudah berbunga, langsung kita tutup pakai jaring plastik, supaya tidak rontok atau dimasukin hama,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang