Jombang – Pagi itu, tampak dua pekerja sedang sibuk memilah biji salak kering. Usai disortir mana biji berkualitas baik dan mana yang tidak. Selanjutnya biji salak itu dimasukan pada mesin penggiling kopi. Satu persatu biji dihaluskan hingga menjadi serbuk.
Dua pekerja itu tengah sibuk membuat bubuk kopi berbahan biji salak. Kopi salak ini diklaim satu-satunya dan yang pertama di Jombang. Biji salak itu disuplai petani di wilayah Kecamatan Tembelang. Awalnya biji kopi dianggap sebagai sampah. Namun ditangan Kuswartono, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, biji kopi bisa diolah sebagai kopi.
Ide membuat biji salak menjadi kopi muncul karena banyak salak di desanya namun sepi pembeli. Rasa prihatin itulah yang memaksa Kuswartono untuk berpikir kreatif, agar salak asli Sentul tetap diminati. ”Akhirnya saya coba-coba membuat berbagai olahan dari salak, yang pertama muncul adalah kopi dari biji salak,” ujar dia. Setelah melakukan beberapa eksperimen, akhirnya dia berhasil membuat kopi dengan takaran yang pas.
Agar tak dianggap asal-asalan, ia pun melakukan uji nutrisini, mengurus ijin edar hingga sertifikasi halal. ”Setelah berhasil melakukan uji nutrisi dan mendapatkan ijin edar, akhirnya saya mulai memproduksi dalam jumlah banyak,” jelasnya. Saat wartawan koran ini diminta menyeruput secangkir kopi salak, rasanya tak jauh berbeda dengan kopi pada umumnya. Namun ada rasa sedikit asam dan aroma khas harum buah salak.
Dengan memanfaatkan tanaman salak di pekarangan rumahnya dan menampung biji salak dari petani setempat, ia kini memproduksi hingga satu ton oalahan kopi setiap bulan. ”Lambat laun akhirnya petani setempat mulai bergairah kembali. Karena salak otomatis juga laku,” terang dia.
Kopi berbahan biji salak tersebut dipercaya dapat memberikan efek pada kesehatan. Mulai dari menambah stamina, rematik hingga darah tinggi. ”Sesuai dengan referensi yang saya baca memang seperti itu. Apalagi, di olahan saya tidak ada campuran bahan pengawet. Jadi aman,” tegasnya.
Selama ini, pemasaran kopi berbahan biji salak tidak hanya di sekitar pasar lokal. Namun mulai tembus pasar regional. ”Alhamdulilah omsetnya juga lumayan banyak,” pungkas Kuswartono. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Jombang – Sebuah rumah di samping jalan raya Desa Wuluh, nampak sangat beda. Di depan rumah sederhana itu, terlihat puluhan keranjang warna-warni. Di sisi lain, terdapat sejumlah tali yang masih terlihat kusut.
Di sela-sela keranjang, terlihat seorang pria sedang asyik menyulam tali. Tali warna-warni itu ia selip, lipat dan tumpuk lagi dengan tali lain. Hanya pisau potong, serta palu, dan sebuah kursi kecil yang menemani bekerja. “Ini sedang menganyam tali, ya dibuat kerajinan begini,” ucap Dedik, pemilik usaha sambil menunjukkan anyaman plastik.
Ide kreatif memanfaatkan limbah pabrik banyak dilakukan warga Jombang. Salah satunya Dedik Miftakhul Jainuri, 47, warga Dusun/Desa Wuluh, Kecamatan Kesamben yang menyulap limbah tali plastik jadi anyaman bernilai jual.
Sejak 2001, ia mengaku sudah terbiasa dengan kegiatan menganyam tali plastik. Bahan untuk keranjang, disebutnya juga berasal dari limbah industri tekstil. Plastik yang dianyam itu adalah limbah tali dari beberapa industri kapas hingga kertas di Mojokerto. “Bahan mengambil karena limbah, satu kilo dijual Rp 5.500, nanti sampai sini baru dibersihkan dan diolah,” sambungnya.
Cara membuatnya terkesan mudah. Meski disebut Dedik tetap harus teliti dan ulet. Pembuatan kerajinan ini diawali dengan pembentukan pola dan menentukan bentuk kerajinan. Kemudian tali yang sudah disiapkan, perlahan dianyam hingga membentuk pola yang diinginkan. “Selain dianyam, juga harus dipadatkan, makanya ada palu, biar celahnya tidak terlalu besar dan rapi,” rinci dia.
Dikerjakan sendiri, setiap hari ia mengaku bisa membuat satu hingga dua bentuk kerajinan berbahan plastik tersebut. “Ya tergantung, kalau keranjang kecil bisa sampai dua, cuma kalau besar seperti rengkek biasanya cuma satu, karena kan dikerjakan sendiri,” lontar Dedik.
Berbagai bentuk kerajinan anyaman bisa dibuatnya, mulai tempat sampah, anyaman bilik rumah, rengkek, hingga keranjang belanja. Untuk penjualan, ia pun mengaku tak mematok harga mahal. “Paling murah Rp 40 ribu untuk keranjang kecil, kalau rengkek bisa Rp 170 ribu sampai Rp 250 ribu, tergantung bentuk dan ukurannya,” tambahnya.
Sementara untuk pemasaran, Dedik mengaku harus menunggu pesanan. Barang-barang yang dibuat biasanya akan dipesan terlebih dahulu dan diambil setelah jadi dengan jumlah tertentu. “Kalau penjualannya sudah ke beberapa kota di luar Jombang, seperti Surabaya, Sidoarjo, bahkan Bali juga pernah,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kabupaten Jombang kental akan sejarah penyebaran agama Islam. Tak terkecuali ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Salah satu bukti sejarah tarekat ini pernah eksis di wilayah utara Brantas yakni, keberadaan bangunan musala tua di Dusun/Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso.
Dilihat sekilas, bangunan musala yang dipercaya sudah berdiri sejak abad 20 an ini seperti bangunan rumah. Tidak ada kubah yang terpasang di atas musala. Atapnya membentuk pola limas.
Tidak ada papan nama musala terpajang seperti pada umumnya bangunan musala. Musala ini pun tak memiliki nama khusus. Warga sekitar menyebutnya musala panggung.
Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Bangunan musala tua ini memiliki dua lantai. Dinding bangunan pun masih setengah kayu. Bangunan lantai dasar dari tembok tembok tebal, sementara bangunan lantai dua masih dari bahan kayu.
Kesan bangunan tua pun sangat kentara sekali. Terlihat bangunan tembok sangat tebal dan warna catnya sudah mulai memudar. Sementara tembok kayu di ruang atas terlihat mulai lapuk, mengingat usianya sudah ratusan tahun.
Bangunan ini memiliki empat pintu serta satu jendela. Kesemuanya terbuat dari bahan kayu. Atap bangunan terbuat dari bahan genting kuno. Sementara bagian serambi musala, atapnya sudah menggunakan seng yang kondisinya sudah karatan.
Ruang utama musala terlihat masih sangat sederhana. Bagian lantai dari bahan keramik tua. Ruangannya pun cukup sempit. ”Bangunan musala ini memang sudah tua. Dibangunnya awal abad ke 20an mungkin. Sejak dulu masih asli, tidak ada yang dirubah kecuali pintu depan dan sumur. Juga kran wudu ini yang sudah diperbarui 2011 lalu,” terang Ainur Rofiq, pengurus musala ini.
Untuk menemukan musala ini tidaklah sulit. Sebab, lokasi bangunan sangat strategis lantasan berada di pinggir jalan provinsi atau sekitar seratus meter sisi timur jembatan Ploso utara sungai.
Jaraknya dengan sungai Brantas hanya terpisahkan jalan. Tak jauh dari lokasi berdiri kantor UPT Pengairan Ploso.
Dari cerita yang sampai ke Rofiq, musala panggung ini didirikan oleh salah satu tuan tanah di wilayah Dusun/Desa Rejoagung. ”Jadi yang mendirikan pemilik tanah ini. Keluarga almarhum Haji Bakri,” bebernya.
Namun demikian, pengelolaannya dipercayakan kepada KH Yunus. Seorang pemuka agama yang juga pengamal tarekat Naqsabandiyah. “Jadi kakek saya (KH Yunus,Red) itu adalah salah satu murid KH Ali Muntaha Kedung Macan. Dan musala ini, jadi pintu masuk menyebarnya tarekat Naqsabandiyah di kawasan utara Brantas,” tambahnya.
Adapun dua ruangan yang berada di musala memiliki fungsi berbeda. Ruang lantai bawah, berguna sebagai ruang peribadatan, seperti salat dan lainnya. ”Di bawah ada tempat imam. Itu juga masih asli bangunannya,” bebernya.
Sementara, bangunan kayu di lantai dua digunakan untuk aktivitas tarekat yang lebih khusus. “Jadi seperti mujahadah, terus khususiyah itu di atas semuanya. Karena kan butuh ketenangan. Dulu salat id (Idul Fitri, Red) juga pakai musala ini, terlebih tarekat Naqsyabandiyah kan memang seringkali hari rayanya tidak bareng sama pemerintah,” tambah Rofiq.
Hanya Digunakan Saat Ramadan
MESKI sempat jadi pusat kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah di wilayah utara Brantas. Seiring berkurangnya pengikutnya, sejak 1970 musala panggung mulai ditinggalkan. Kegiatan musala baru hidup saat Ramadan.
“Iya, jadi setelah ada masjid di desa, penganut tarekatnya juga sudah mulai berkurang. Akhirnya lama-lama tidak terpakai lagi musalanya. Sekarang kegiatan tarekat pindah di musala samping klinik itu,” kembali ucap Ainur Rofiq sambil menunjuk salah satu klinik sekitar seratus meter dari musala.
Selain itu, mempertimbangkan kondisi bangunan yang sudah tua. Sekitar 2011, ruangan atas sama sekali ditutup dan tak digunakan lagi. “Iya, karena sudah lapuk, dan dikhawatirkan bisa membahayakan. Tangganya diambil, dan pintu akses ke ruang atas dari tengah juga ditutup,” imbuhnya.
Adapun kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah berpindah ke musala baru di samping klinik. ”Kurang lebih seratus meter dari sini. Masih di wilayah Rejoagung,” bebernya.
Meski begitu, pada bulan tertentu, kegiatan musala panggung hidup. Kegiatan rutin salat lima waktu termasuk salat terawih juga dipusatkan di musala. “Kalau Ramadan digunakan. Tapi ya tetap tidak seperti dulu. Kalau dulu sehari satu juz tarawihnya, sekarang ya normal saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Erwin Joko Susanto
Latar Belakang & Permasalahan
Isu globalisasi di segala bidang kehidupan manusia sudah pasti menjadi hulu mengalirnya latar belakang ditulisnya pengalaman ini. Seakan isu abadi itu ikut mewahanakan arus suksesi kemajuan IPTEK. Akses tanpa batas untuk berbagai kepentingan, baik download maupun upload. Isu robotisasi dalam berbagai bidang semakin mempertajam keberangsungan Era Industri 4.0. Tantangan inilah yang harus menjadi momentum bagi kita sebagai generasi milenial untuk ikut berperan dalam memperbaiki dan menentukan nasib zaman pada suatu wilayah atau negara (NOTONEGORO).
Tujuan Penulisan
Tidak ada kata yang lebih mulia kecuali bahwa tidak ada ciptaan-Nya yang tidak mampu memberi manfaat. Oleh karena itu tulisan pendek ini diharapkan mampu memberi manfaat baik untuk pribadi penulis sendiri dan secara umum untuk semua pembaca dari semua kalangan dari segala jenis umur, profesi, gender, dan segala kebermaknaan tiap individu di dalam kehidupan di dunia.
Solusi & Implementasi
Dengan kata lain perkembangan isu dan paradigma di atas jangan hanya menjadi masalah dan lagu sedih kehidupan tetapi malah justru mampu menjadi modal untuk mengefisiensikan tugas pokok setiap profesi kita untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa agar tujuan positif kehidupan dapat dirasakan secara nyata. Nilai-nilai luhur seperti mensyukuri, semangat, santun, peduli, jujur, disiplin, percaya diri, bertanggung jawab, kerjasama, cinta damai dan toleransi adalah nilai yang harus ditanamkan sejak dini kepada generasi milenial baik secara langsung maupun tidak langsung dan secara sadar atau tidak sadar. Dari sekian nilai luhur dan karakter tersebut ada satu nilai yang dianggap sangat krusial dan perlu dititikberatkan akses pembelajarannya dalam segala bidang kehidupan seiring dengan merebaknya kasus-kasus TERORISME, RADIKALISME dan INTOLERANSI, yaitu nilai “TOLERANSI”. Oleh karena itu dengan cara mengintegrasikan pemanfaatan aplikasi teknologi terkait seperti HP, Laptop untuk mengimplementasikan pembelajaran hidup bertoleransi maka pada kesempatan ini, penulis ingin berbagi pengalaman yang dituangkan dalam karya tulis yang berjudul MENELADANI JOMBANG SEBAGAI MINIATUR TOLERANSI NUSANTARA MELALUI PERMAINAN GAME EDUKASI NJOMBANGAN.APK
Dipilihnya Kota Jombang sebagai kota pilihan adalah karena Jombang adalah salah satu kota di Indonesia yang paling banyak mencetak tokoh-tokoh Nasional yang super toleran dan tidak diragukan tentang kiprahnya dalam mensyiarkan dan mendakwahkan TOLERANSI seperti K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, Ainun Nadjib dan lain-lain. NJOMBANGAN.APK adalah sebuah file aplikasi berbasis android yang dapat diinstall pada HP android apapun mereknya dan didalamnya mengandung serangkaian test-test pengetahuan dan game edukasi seputar Jombang sebagai kota toleransi dan miniatur toleransi nusantara serta mampu diakses oleh berbagai pihak dengan profesi apapun yang melekat pada kita orang Indonesia.
Obyektifitas penilaian yang didapat akan mencerminkan dan mengilustrasikan seberapa toleran kita sebagai warga sipil terutama dalam meneladani Jombang sebagai kota toleransi dan memaknai Jombang sebagai miniatur toleransi nusantara di era kekinian dan era industri 4.0.
Hasil Penilaian Pembelajaran Hidup Bertoleransi
Hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh berkat adanya usaha atau pikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan, dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Maka wajarlah jika ada skor/nilai yang didapat ketika telah mengakses dan menyelesaikan serangkaian test di dalam aplikasi NJOMBANGAN.APK.
Para pengakses NJOMBANGAN.APK akan di hadapkan dengan berbagai pertanyaan dan tantangan pada game-game toleransi dengan bobot soal yang berbeda-beda dan mampu ditingkatkan ke level yang lebih tinggi.
Terlebih dahulu para toleran harus mendownload atau mengunduh aplikasi di url atau klik di sini: https://doc-08-9g-docs.googleusercontent.com/docs/securesc/8638d44t8d06rage556mo1c152d0boq3/sjnr7gts3429c2c18osl1n582t9r5ur5/1556078400000/04784793403094760674/04784793403094760674/1rhe6OiGgWS7-MaW-eCj8ca3tZPHg0J03?e=download&nonce=2a8s815l5t1m6&user=04784793403094760674&hash=m3qtk3c2kevlptc1ppro984t205g13tn
Kesimpulan & Saran
Belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila tidak terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil. Termasuk adanya perubahan sikap dalam menjalani kehidupan. Karena dalam kehidupan ada pembelajaran termasuk bagaimana belajar hidup toleran atau bertoleransi di dalam kemajemukan hidup.
Hasil belajar yang dicapai mampu dilihat oleh individu itu dengan memanfaatkan skor atau nilai yang didapat. Agar tidak hanya mengakses moral knowing maka hasil belajar mampu ditingkatkan menjadi moral assesment untuk dikembangkan sesuai profesi yang kita emban.
Liputan6.com, Surabaya – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menilai sosok K.H. Sholahuddin Wahid atau Gus Sholah yang memiliki sikap menghargai perbedaan patut diteladani.
“Beliau dikenal sangat menghargai dan menghormati perbedaan, sama seperti kakak kandungnya, Gus Dur,” ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin (3/2/2020) dini hari.
Menurut dia, Gus Sholah menjunjung tinggi perbedaan karena setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, namun tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak.
“Beliau juga tidak memaksakan pendapat yang sama. Cara menyelesaikan perbedaan juga tidak saling menghujat. Ini yang harus diteladani,” ucap dia dilansir Antara.
Mantan Wagub Jatim itu, mengucapkan duka cita sedalam-dalamnya dan mendoakan almarhum Gus Sholah diterima di sisi Allah SWT serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran.
“Saya sangat sering komunikasi dengan putra Gus Sholah, Ipang Wahid, termasuk menanyakan kabar ayahnya saat tadi sempat kritis dan masuk rumah sakit. Sekarang, kita semua berduka karena ditinggalkan ulama hebat di negeri ini,” katanya.
Atas nama PBNU, ia juga mengimbau kepada pengurus wilayah, cabang, lembaga, badan otonom, serta pondok pesantren mendoakan almarhum Gus Sholah melalui doa bersama, tahlil, dan menunaikan Shalat Gaib.
Tokoh penting Nahdlatul Ulama, Gus Sholah itu, tutup usia setelah kondisinya kritis dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, Minggu (2/2), pukul 20.55 WIB.
Dari laman media sosial putra Gus Sholah, Irfan Wahid (Ipang Wahid) meminta permohonan maaf dari almarhum ayahnya jika ada kesalahan.
Gus Sholah adalah adik kandung dari Presiden ke-4 RI, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Gus Sholah lahir di Jombang, 11 September 1942 dan mengembuskan napas terakhir pada usia 77 Tahun.
Photo courtesy: CNN Indonesia
Article courtesy: Liputan 6
Jombang – Ingin tanaman kelengkeng berbuah lebat? Bisa belajar dari petani kelengkeng di Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Cukup dengan menggunakan pupuk organik, buah kelengkeng bakal tumbuh subur dan berbuah lebat.
”Ini kami membudidayakan baru beberapa tahun lalu, dan Alhamdulillah berbuah cukup lebat,” ujar Sumiarsih, 37, salah satu petani kelengkeng kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (31/1).
Dijelaskan, jenis kelengkeng pingpong yang ditanamnya memang berbeda dengan kelengkeng lain. Tekstur daging lebih tebal dan rasanya cenderung lebih manis. ”Harganya juga lebih mahal, dibanding kelengkeng impor yang dijual di pasaran,” tambahnya.
Harga jual kelengkeng perkilonya dari petani Rp 40 ribu. Harga itu akan bertambah dua kali lipat bisa dijual ke pedagang atau tengkulak. ”Kalau dari kami petani Wonosalam, lebih murah,” tandas dia.
Ditanya cara penanamannya? Sumiarsih menjelaskan jika perawatan yang dilakukan selama ini cukup mudah. Ia hanya menggunakan pupuk organik yang diperoleh dari peternak sapi perah setempat. Selain lebih ramah lingkungan, hasil dari pupuk organik juga membuat tanaman lebih subur. ”Kalau pohon sudah berbunga, langsung kita tutup pakai jaring plastik, supaya tidak rontok atau dimasukin hama,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Memasuki rumah sederhana milik Fatkurohman, warga Dusun/Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, langsung terlihat berjejer miniatur alat musik. Miniatur alat musik itu tertata rapi di etalase berukuran kurang lebih 1×2 meter.
Rata-rata, alat musik yang terpajang itu semua jenis gitar mulai akustik, gitar bas sampai gitar elektrik. Ukurannya juga beragam mulai dari ukuran 10 centimeter hingga 25 centimeter. Yang paling menarik, ada satu set miniatur drum. Bermacam miniatur alat musik itu hasil kreasi Fatkur, sapaan akrabnya.
Tak mudah untuk membuat miniatur alat musik yang terbuat dari kayu palet. Selain butuh kejelian agar bisa mirip dengan alat musik yang asli. Waktu pengerjaan juga cukup lama, rata-rata tiga hari baru selesai. Setiap hari, dia berkutat dengan kayu palet, gergaji dan penggaris untuk membuat miniatur alat musik itu.
”Pertama kali membuat dulu hanya iseng, karena saya suka musik. Jadi terbesit niat untuk membuat miniatur alat musik,” ungkapnya. Untuk membuat miniatur alat musik itu dibutuhkan kejelian ekstra. Sebab, dia ingin hasilnya sempurna, sedetail mungkin bahkan mirip dengan alat musik aslinya.
”Ukuran semakin kecil semakin rumit, karena pengecatannya makin, termasuk menambah detail-detailnya,” kata bapak satu anak ini. Dia memaparkan, untuk membuat miniatur gitar, pertama yang dipersiapkan limbah kayu palet yang sudah dibeli kiloan. Kayu itu kemudian digambar sesuai model gitar, lantas digergaji sesuai pola.
”Yang paling sulit pengecatan dan pemasangan senar karena terlalu kecil,” terangnya. Karena itulah proses pengerjaan yang dilakukannya untuk membuat satu gitar, minimal perlu waktu tiga hari. Berbeda dengan gitar, khusus pembuatan drum, dibuat dari pipa yang dipotong sesuai ukuran.
”Setelah itu dilakukan pengecatan dan perakitan,” ungkapnya. Tidak jauh berbeda dengan gitar, pembuatan juga membutuhkan waktu paling sedikit tiga hari. Semua dikerjakannya sendiri di rumah. Termasuk pemasaran dilakukannya sendiri melalui media sosial.
”Ya masih gunakan media sosial untuk promosi, karena tidak ada modal untuk membuat toko,” tambah dia. Kendati begitu, sebenarnya ia berkeinginan membuka lapak dalam acara car free day di Jombang. Biar, hasil kreasinya lebih diketahui warga Jombang sendiri.
Apalagi harga yang dipatok Fatkur cukup terjangkau antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu untuk satu miniatur gitar. Sedangkan miniatur satu drum ia hargai Rp 150 ribu. ”Tapi untuk satu set gitar sama drum harganya Rp 350 ribu, berisi tiga gitar dan kelengkapan yang lain,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Sebuah kampung kecil di Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang punya tradisi unik sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Yakni, warganya sebagai perajin rumahan sejumlah alat dapur. Setiap minggunya ribuan kaluh berbahan anyaman bambu bisa dihasilkan penduduk kampung ini.
Bagi ibu-ibu, kaluh biasa digunakan untuk wadah sayuran, sekaligus untuk tempat mencuci. Juga bisa digunakan untuk menaruh bahan-bahan dapur lainnya.
Masuk kampung ini, akan disuguhi pemandangan unik. Banyak rumah di dusun ini memajang lembaran-lembaran kecil dan potongan bambu di depan rumahnya. Beberapa yang lain, juga memajang hasil kerajinan di depan rumah.
Tumpukan kaluh yang sudah selesai dibuat dan siap untuk dijual. (ACHMAD RW/ JAWA POS RADAR JOMBANG)
Ya, di Dusun Tulungrejo, ada ratusan warga yang tiap harinya berjibaku dengan bambu. Mereka membuat alat-alat rumah tangga tradisional seperti kaluh, tedok,besek, hingga erek. Alat-alat perlengkapan rumah tradisional ini berbentuk bulat nyaris seperti tampah.
Bedanya, kaluh, tedok dan erek punya bentuk dasar yang melengkung, ketiganya juga dibedakan dengan kerenggangan anyaman bambu penyusunnya. ’’Kalau kaluh kan lebih rapat, kalau erek itu lebih renggang,” lanjutnya.
Pembuatan benda ini, disebutnya juga cukup mudah, meski membutuhkan ketelitian dan keterampilan. Alat yang diperlukan pun sederhana, hanya gergaji dan parang untuk memotong bambu, dan jarum besar untuk menganyam tali untuk merapatkan pinggiran anyaman.
Dimulai dari mendapatkan bambu besar sebagai bahan utama. Bambu ini, biasanya diperolehnya dengan cara membeli. Bambu utuh, kemudian dipotong dan ditipiskan menyesuaikan ukuran yang diperlukan. Setelah siap, bambu lantas dijemur. ’’Penjemuran biasanya dua sampai tiga hari, tujuannya untuk mengeringkan bambu, juga biar tidak mudah berjamur,” lontarnya.
Setelah kering, barulah bambu-bambu ini dianyam dan dibentuk menjadi lembaran persegi. Setelah itu, proses selanjutnya adalah membentuk dengan menambahkan penguat di masing-masing pinggiran anyaman.
Dibantu istrinya, Suryani, 55, Sumiar menyebut bisa membuat kaluh siap jual hingga 10 hingga 11 buah setiap harinya. Biasanya, kerajinan buatannya ini akan diambil sejumlah pengepul setiap satu minggu sekali. “Seminggu itu rata-rata 100 yang dibuat, dijualnya Rp 5.000 per buahnya. Kalau pemasaran biasanya hampir di seluruh Jawa Timur ya,” pungkasnya.
Seluruh perajin anyaman bambu di Dusun Tulungrejo, adalah warga asli yang mendapat ketrampilan ini sejak kecil. Keterampilan menganyam dan membuat alat rumah tangga ini diwariskan turun-temurun.
“Kalau ditanya sejak kapan, ya sudah sejak ratusan tahun lalu mungkin ya, karena sejak nenek saya banyak warga yang sudah membuat kerajinan begini, dan dari dulu bentuknya ya tiga ini saja,” terang Sumiar.
Sumiar juga menyebut, hampir seluruh warga di desa ini mahir menganyam bambu sejak kecil. Ia sendiri, bahkan mengaku sudah membuat kerajinan ini sejak berusia 10 tahun. “Ya, sudah 50 tahunan membuatnya, karena sejak kecil pasti diajari,” tambahnya.
Tak heran hingga kini jumlah pengrajin terus bertahan, meski jumlah pesanan yang datang juga terus menyusut. ’’Masih cukup banyak jumlah perjin. Karena yang tua, yang muda semuanya sekarang membuat kerajinan semacam ini,’’ pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang