• info@njombangan.com

Daily ArchiveFebruary 14, 2020

Tak Lagi Diminati, Kerajinan Kipas Bambu di Jombang Semakin Meredup

J

OMBANG – Di Dusun Kedungbanteng, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang dulu terkenal sebagai sentra pembuat kipas bambu. Namun kini jumlah perajinnya semakin habis. Hanya satu perajin yang masih bertahan.

“Dulu satu desa semua bikin kipas bambu, tapi sekarang tidak ada, hanya tinggal saya yang menganyam, lumayan untuk ngisi waktu kosong,” ungkap Ngasiyah, 63, salah seorang warga Dusun Kedungbanteng.

Berdasarkan penuturan warga, satu-satunya yang masih bertahan hanya Ngasiyah yang rumahnya berada di gang kecil. Di teras rumahnya, penuh dengan tumpukan bambu yang siap dianyam. Saat ditemui koran ini ia juga sedang berada di kebun untuk membelah bambu.

“Daripada nganggur tidak ngapa-ngapain, begini saja sambil momong cucu, yang lain sudah tidak ada yang meneruskan,” tuturnya. Ngasiyah dengan telaten membelah bambu yang sudah dipotong. Dibelah tipis-tipis hingga menjadi banyak. Bambu basah setelah dibeli langsung dibelah. Karena kalau kering, proses pembelahan bambu akan sulit.

“Kalau bambunya terlanjur kering harus direndam dulu lama, kalau kering ngeratnya sulit,” ungkap ibu empat anak ini. Setelah itu, potongan bambu dijemur hingga kering. Proses penjemuran berlangsung kurang lebih satu hari. Setelah kering, bambu-bambu tersebut kemudian diberi warna. Ada merah, hijau, dan kuning. “Dulu waktu masih banyak, saya bikin banyak warna ada biru oranye, tapi sekarang nyari warna biru susah, warna oranye juga kelamaan, yang gampang-gampang saja,” tambahnya.

Pemberian warna dilakukan dengan cara direbus. Tidak lama, cukup lima menit, bambu kemudian dijemur lagi hingga kering. Setelah kering, bambu itu dibelah lagi kurang lebih setengah sampai satu sentimeter. Baru kemudian dianyam dengan memadukan tiga warna tersebut.

Untuk menganyam satu kipas, Ngasiyah hanya butuh waktu kurang lebih lima menit. Tangannya cukup cekatan. Ia menganyam dengan cepat dan membentuk pola yang bagus dengan perpaduan warna. Dalam sehari, dijalani dengan santai ia bisa menghasilkan 100 anyaman. “Tapi kalau lagi malas ya tidak sampai 100,” tambahnya lagi.

Setelah terkumpul 100, hasil anyaman kipas itu kemudian dijual ke pengepul untuk dirapikan sebagai proses terakhir. Untuk diberi kain di sisi samping dan gagang. “Sebetulnya bisa kasih sendiri, tapi lama dan modalnya juga besar,” imbuhnya. Per 100 anyaman kipas mentah biasanya dibeli dengan harga Rp 40 ribu.

Beberapa kali ia juga mendapat tawaran untuk membuat keranjang, atau kerajinan dari bambu lain. Tapi ia menolak dengan halus. Meski harga keranjang lebih mahal, namun ia tetap setia dengan kipas bambu yang bisa dikerjakan dengan santai. “Enak kipas saja, tidak terlalu ribet,” urai dia.

Selain menjual kipas, ia juga sering didatangi siswa untuk membeli bambu yang sudah diwarna. Bambu tersebut biasanya dipakai untuk praktik kerajinan di sekolah-sekolah. “Ada yang beli bambu saja ya saya jual, kemarin ada yang beli sampai Rp 100 ribu. Tapi kadang anak sekolah datang pingin lihat prosesnya saja,” jelasnya.

Ia tak ingat, sejak usia berapa belajar menganyam bambu. Namun yang pasti sejak ia kecil sudah diajarkan menganyam oleh orangtuanya. Kini, bahkan tak ada lagi yang berminat melestarikan kipas bambu di desanya. Termasuk anak muda  tak tertarik belajar menganyam.

“Kalau empat tahun terakhir jumlah yang bikin anyaman semakin berkurang, lama-lama habis, sekarang sama sekali tidak ada. Yang tua saja tidak mau dan yang muda malah tidak mau belajar sama sekali,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang