Jombang – Pagi itu, tampak dua pekerja sedang sibuk memilah biji salak kering. Usai disortir mana biji berkualitas baik dan mana yang tidak. Selanjutnya biji salak itu dimasukan pada mesin penggiling kopi. Satu persatu biji dihaluskan hingga menjadi serbuk.
Dua pekerja itu tengah sibuk membuat bubuk kopi berbahan biji salak. Kopi salak ini diklaim satu-satunya dan yang pertama di Jombang. Biji salak itu disuplai petani di wilayah Kecamatan Tembelang. Awalnya biji kopi dianggap sebagai sampah. Namun ditangan Kuswartono, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, biji kopi bisa diolah sebagai kopi.
Ide membuat biji salak menjadi kopi muncul karena banyak salak di desanya namun sepi pembeli. Rasa prihatin itulah yang memaksa Kuswartono untuk berpikir kreatif, agar salak asli Sentul tetap diminati. ”Akhirnya saya coba-coba membuat berbagai olahan dari salak, yang pertama muncul adalah kopi dari biji salak,” ujar dia. Setelah melakukan beberapa eksperimen, akhirnya dia berhasil membuat kopi dengan takaran yang pas.
Agar tak dianggap asal-asalan, ia pun melakukan uji nutrisini, mengurus ijin edar hingga sertifikasi halal. ”Setelah berhasil melakukan uji nutrisi dan mendapatkan ijin edar, akhirnya saya mulai memproduksi dalam jumlah banyak,” jelasnya. Saat wartawan koran ini diminta menyeruput secangkir kopi salak, rasanya tak jauh berbeda dengan kopi pada umumnya. Namun ada rasa sedikit asam dan aroma khas harum buah salak.
Dengan memanfaatkan tanaman salak di pekarangan rumahnya dan menampung biji salak dari petani setempat, ia kini memproduksi hingga satu ton oalahan kopi setiap bulan. ”Lambat laun akhirnya petani setempat mulai bergairah kembali. Karena salak otomatis juga laku,” terang dia.
Kopi berbahan biji salak tersebut dipercaya dapat memberikan efek pada kesehatan. Mulai dari menambah stamina, rematik hingga darah tinggi. ”Sesuai dengan referensi yang saya baca memang seperti itu. Apalagi, di olahan saya tidak ada campuran bahan pengawet. Jadi aman,” tegasnya.
Selama ini, pemasaran kopi berbahan biji salak tidak hanya di sekitar pasar lokal. Namun mulai tembus pasar regional. ”Alhamdulilah omsetnya juga lumayan banyak,” pungkas Kuswartono. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Jombang – Sebuah rumah di samping jalan raya Desa Wuluh, nampak sangat beda. Di depan rumah sederhana itu, terlihat puluhan keranjang warna-warni. Di sisi lain, terdapat sejumlah tali yang masih terlihat kusut.
Di sela-sela keranjang, terlihat seorang pria sedang asyik menyulam tali. Tali warna-warni itu ia selip, lipat dan tumpuk lagi dengan tali lain. Hanya pisau potong, serta palu, dan sebuah kursi kecil yang menemani bekerja. “Ini sedang menganyam tali, ya dibuat kerajinan begini,” ucap Dedik, pemilik usaha sambil menunjukkan anyaman plastik.
Ide kreatif memanfaatkan limbah pabrik banyak dilakukan warga Jombang. Salah satunya Dedik Miftakhul Jainuri, 47, warga Dusun/Desa Wuluh, Kecamatan Kesamben yang menyulap limbah tali plastik jadi anyaman bernilai jual.
Sejak 2001, ia mengaku sudah terbiasa dengan kegiatan menganyam tali plastik. Bahan untuk keranjang, disebutnya juga berasal dari limbah industri tekstil. Plastik yang dianyam itu adalah limbah tali dari beberapa industri kapas hingga kertas di Mojokerto. “Bahan mengambil karena limbah, satu kilo dijual Rp 5.500, nanti sampai sini baru dibersihkan dan diolah,” sambungnya.
Cara membuatnya terkesan mudah. Meski disebut Dedik tetap harus teliti dan ulet. Pembuatan kerajinan ini diawali dengan pembentukan pola dan menentukan bentuk kerajinan. Kemudian tali yang sudah disiapkan, perlahan dianyam hingga membentuk pola yang diinginkan. “Selain dianyam, juga harus dipadatkan, makanya ada palu, biar celahnya tidak terlalu besar dan rapi,” rinci dia.
Dikerjakan sendiri, setiap hari ia mengaku bisa membuat satu hingga dua bentuk kerajinan berbahan plastik tersebut. “Ya tergantung, kalau keranjang kecil bisa sampai dua, cuma kalau besar seperti rengkek biasanya cuma satu, karena kan dikerjakan sendiri,” lontar Dedik.
Berbagai bentuk kerajinan anyaman bisa dibuatnya, mulai tempat sampah, anyaman bilik rumah, rengkek, hingga keranjang belanja. Untuk penjualan, ia pun mengaku tak mematok harga mahal. “Paling murah Rp 40 ribu untuk keranjang kecil, kalau rengkek bisa Rp 170 ribu sampai Rp 250 ribu, tergantung bentuk dan ukurannya,” tambahnya.
Sementara untuk pemasaran, Dedik mengaku harus menunggu pesanan. Barang-barang yang dibuat biasanya akan dipesan terlebih dahulu dan diambil setelah jadi dengan jumlah tertentu. “Kalau penjualannya sudah ke beberapa kota di luar Jombang, seperti Surabaya, Sidoarjo, bahkan Bali juga pernah,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kabupaten Jombang kental akan sejarah penyebaran agama Islam. Tak terkecuali ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Salah satu bukti sejarah tarekat ini pernah eksis di wilayah utara Brantas yakni, keberadaan bangunan musala tua di Dusun/Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso.
Dilihat sekilas, bangunan musala yang dipercaya sudah berdiri sejak abad 20 an ini seperti bangunan rumah. Tidak ada kubah yang terpasang di atas musala. Atapnya membentuk pola limas.
Tidak ada papan nama musala terpajang seperti pada umumnya bangunan musala. Musala ini pun tak memiliki nama khusus. Warga sekitar menyebutnya musala panggung.
Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Bangunan musala tua ini memiliki dua lantai. Dinding bangunan pun masih setengah kayu. Bangunan lantai dasar dari tembok tembok tebal, sementara bangunan lantai dua masih dari bahan kayu.
Kesan bangunan tua pun sangat kentara sekali. Terlihat bangunan tembok sangat tebal dan warna catnya sudah mulai memudar. Sementara tembok kayu di ruang atas terlihat mulai lapuk, mengingat usianya sudah ratusan tahun.
Bangunan ini memiliki empat pintu serta satu jendela. Kesemuanya terbuat dari bahan kayu. Atap bangunan terbuat dari bahan genting kuno. Sementara bagian serambi musala, atapnya sudah menggunakan seng yang kondisinya sudah karatan.
Ruang utama musala terlihat masih sangat sederhana. Bagian lantai dari bahan keramik tua. Ruangannya pun cukup sempit. ”Bangunan musala ini memang sudah tua. Dibangunnya awal abad ke 20an mungkin. Sejak dulu masih asli, tidak ada yang dirubah kecuali pintu depan dan sumur. Juga kran wudu ini yang sudah diperbarui 2011 lalu,” terang Ainur Rofiq, pengurus musala ini.
Untuk menemukan musala ini tidaklah sulit. Sebab, lokasi bangunan sangat strategis lantasan berada di pinggir jalan provinsi atau sekitar seratus meter sisi timur jembatan Ploso utara sungai.
Jaraknya dengan sungai Brantas hanya terpisahkan jalan. Tak jauh dari lokasi berdiri kantor UPT Pengairan Ploso.
Dari cerita yang sampai ke Rofiq, musala panggung ini didirikan oleh salah satu tuan tanah di wilayah Dusun/Desa Rejoagung. ”Jadi yang mendirikan pemilik tanah ini. Keluarga almarhum Haji Bakri,” bebernya.
Namun demikian, pengelolaannya dipercayakan kepada KH Yunus. Seorang pemuka agama yang juga pengamal tarekat Naqsabandiyah. “Jadi kakek saya (KH Yunus,Red) itu adalah salah satu murid KH Ali Muntaha Kedung Macan. Dan musala ini, jadi pintu masuk menyebarnya tarekat Naqsabandiyah di kawasan utara Brantas,” tambahnya.
Adapun dua ruangan yang berada di musala memiliki fungsi berbeda. Ruang lantai bawah, berguna sebagai ruang peribadatan, seperti salat dan lainnya. ”Di bawah ada tempat imam. Itu juga masih asli bangunannya,” bebernya.
Sementara, bangunan kayu di lantai dua digunakan untuk aktivitas tarekat yang lebih khusus. “Jadi seperti mujahadah, terus khususiyah itu di atas semuanya. Karena kan butuh ketenangan. Dulu salat id (Idul Fitri, Red) juga pakai musala ini, terlebih tarekat Naqsyabandiyah kan memang seringkali hari rayanya tidak bareng sama pemerintah,” tambah Rofiq.
Hanya Digunakan Saat Ramadan
MESKI sempat jadi pusat kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah di wilayah utara Brantas. Seiring berkurangnya pengikutnya, sejak 1970 musala panggung mulai ditinggalkan. Kegiatan musala baru hidup saat Ramadan.
“Iya, jadi setelah ada masjid di desa, penganut tarekatnya juga sudah mulai berkurang. Akhirnya lama-lama tidak terpakai lagi musalanya. Sekarang kegiatan tarekat pindah di musala samping klinik itu,” kembali ucap Ainur Rofiq sambil menunjuk salah satu klinik sekitar seratus meter dari musala.
Selain itu, mempertimbangkan kondisi bangunan yang sudah tua. Sekitar 2011, ruangan atas sama sekali ditutup dan tak digunakan lagi. “Iya, karena sudah lapuk, dan dikhawatirkan bisa membahayakan. Tangganya diambil, dan pintu akses ke ruang atas dari tengah juga ditutup,” imbuhnya.
Adapun kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah berpindah ke musala baru di samping klinik. ”Kurang lebih seratus meter dari sini. Masih di wilayah Rejoagung,” bebernya.
Meski begitu, pada bulan tertentu, kegiatan musala panggung hidup. Kegiatan rutin salat lima waktu termasuk salat terawih juga dipusatkan di musala. “Kalau Ramadan digunakan. Tapi ya tetap tidak seperti dulu. Kalau dulu sehari satu juz tarawihnya, sekarang ya normal saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang