Jombang – Ingin tanaman kelengkeng berbuah lebat? Bisa belajar dari petani kelengkeng di Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Cukup dengan menggunakan pupuk organik, buah kelengkeng bakal tumbuh subur dan berbuah lebat.
”Ini kami membudidayakan baru beberapa tahun lalu, dan Alhamdulillah berbuah cukup lebat,” ujar Sumiarsih, 37, salah satu petani kelengkeng kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (31/1).
Dijelaskan, jenis kelengkeng pingpong yang ditanamnya memang berbeda dengan kelengkeng lain. Tekstur daging lebih tebal dan rasanya cenderung lebih manis. ”Harganya juga lebih mahal, dibanding kelengkeng impor yang dijual di pasaran,” tambahnya.
Harga jual kelengkeng perkilonya dari petani Rp 40 ribu. Harga itu akan bertambah dua kali lipat bisa dijual ke pedagang atau tengkulak. ”Kalau dari kami petani Wonosalam, lebih murah,” tandas dia.
Ditanya cara penanamannya? Sumiarsih menjelaskan jika perawatan yang dilakukan selama ini cukup mudah. Ia hanya menggunakan pupuk organik yang diperoleh dari peternak sapi perah setempat. Selain lebih ramah lingkungan, hasil dari pupuk organik juga membuat tanaman lebih subur. ”Kalau pohon sudah berbunga, langsung kita tutup pakai jaring plastik, supaya tidak rontok atau dimasukin hama,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Memasuki rumah sederhana milik Fatkurohman, warga Dusun/Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, langsung terlihat berjejer miniatur alat musik. Miniatur alat musik itu tertata rapi di etalase berukuran kurang lebih 1×2 meter.
Rata-rata, alat musik yang terpajang itu semua jenis gitar mulai akustik, gitar bas sampai gitar elektrik. Ukurannya juga beragam mulai dari ukuran 10 centimeter hingga 25 centimeter. Yang paling menarik, ada satu set miniatur drum. Bermacam miniatur alat musik itu hasil kreasi Fatkur, sapaan akrabnya.
Tak mudah untuk membuat miniatur alat musik yang terbuat dari kayu palet. Selain butuh kejelian agar bisa mirip dengan alat musik yang asli. Waktu pengerjaan juga cukup lama, rata-rata tiga hari baru selesai. Setiap hari, dia berkutat dengan kayu palet, gergaji dan penggaris untuk membuat miniatur alat musik itu.
”Pertama kali membuat dulu hanya iseng, karena saya suka musik. Jadi terbesit niat untuk membuat miniatur alat musik,” ungkapnya. Untuk membuat miniatur alat musik itu dibutuhkan kejelian ekstra. Sebab, dia ingin hasilnya sempurna, sedetail mungkin bahkan mirip dengan alat musik aslinya.
”Ukuran semakin kecil semakin rumit, karena pengecatannya makin, termasuk menambah detail-detailnya,” kata bapak satu anak ini. Dia memaparkan, untuk membuat miniatur gitar, pertama yang dipersiapkan limbah kayu palet yang sudah dibeli kiloan. Kayu itu kemudian digambar sesuai model gitar, lantas digergaji sesuai pola.
”Yang paling sulit pengecatan dan pemasangan senar karena terlalu kecil,” terangnya. Karena itulah proses pengerjaan yang dilakukannya untuk membuat satu gitar, minimal perlu waktu tiga hari. Berbeda dengan gitar, khusus pembuatan drum, dibuat dari pipa yang dipotong sesuai ukuran.
”Setelah itu dilakukan pengecatan dan perakitan,” ungkapnya. Tidak jauh berbeda dengan gitar, pembuatan juga membutuhkan waktu paling sedikit tiga hari. Semua dikerjakannya sendiri di rumah. Termasuk pemasaran dilakukannya sendiri melalui media sosial.
”Ya masih gunakan media sosial untuk promosi, karena tidak ada modal untuk membuat toko,” tambah dia. Kendati begitu, sebenarnya ia berkeinginan membuka lapak dalam acara car free day di Jombang. Biar, hasil kreasinya lebih diketahui warga Jombang sendiri.
Apalagi harga yang dipatok Fatkur cukup terjangkau antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu untuk satu miniatur gitar. Sedangkan miniatur satu drum ia hargai Rp 150 ribu. ”Tapi untuk satu set gitar sama drum harganya Rp 350 ribu, berisi tiga gitar dan kelengkapan yang lain,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Sebuah kampung kecil di Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang punya tradisi unik sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Yakni, warganya sebagai perajin rumahan sejumlah alat dapur. Setiap minggunya ribuan kaluh berbahan anyaman bambu bisa dihasilkan penduduk kampung ini.
Bagi ibu-ibu, kaluh biasa digunakan untuk wadah sayuran, sekaligus untuk tempat mencuci. Juga bisa digunakan untuk menaruh bahan-bahan dapur lainnya.
Masuk kampung ini, akan disuguhi pemandangan unik. Banyak rumah di dusun ini memajang lembaran-lembaran kecil dan potongan bambu di depan rumahnya. Beberapa yang lain, juga memajang hasil kerajinan di depan rumah.
Tumpukan kaluh yang sudah selesai dibuat dan siap untuk dijual. (ACHMAD RW/ JAWA POS RADAR JOMBANG)
Ya, di Dusun Tulungrejo, ada ratusan warga yang tiap harinya berjibaku dengan bambu. Mereka membuat alat-alat rumah tangga tradisional seperti kaluh, tedok,besek, hingga erek. Alat-alat perlengkapan rumah tradisional ini berbentuk bulat nyaris seperti tampah.
Bedanya, kaluh, tedok dan erek punya bentuk dasar yang melengkung, ketiganya juga dibedakan dengan kerenggangan anyaman bambu penyusunnya. ’’Kalau kaluh kan lebih rapat, kalau erek itu lebih renggang,” lanjutnya.
Pembuatan benda ini, disebutnya juga cukup mudah, meski membutuhkan ketelitian dan keterampilan. Alat yang diperlukan pun sederhana, hanya gergaji dan parang untuk memotong bambu, dan jarum besar untuk menganyam tali untuk merapatkan pinggiran anyaman.
Dimulai dari mendapatkan bambu besar sebagai bahan utama. Bambu ini, biasanya diperolehnya dengan cara membeli. Bambu utuh, kemudian dipotong dan ditipiskan menyesuaikan ukuran yang diperlukan. Setelah siap, bambu lantas dijemur. ’’Penjemuran biasanya dua sampai tiga hari, tujuannya untuk mengeringkan bambu, juga biar tidak mudah berjamur,” lontarnya.
Setelah kering, barulah bambu-bambu ini dianyam dan dibentuk menjadi lembaran persegi. Setelah itu, proses selanjutnya adalah membentuk dengan menambahkan penguat di masing-masing pinggiran anyaman.
Dibantu istrinya, Suryani, 55, Sumiar menyebut bisa membuat kaluh siap jual hingga 10 hingga 11 buah setiap harinya. Biasanya, kerajinan buatannya ini akan diambil sejumlah pengepul setiap satu minggu sekali. “Seminggu itu rata-rata 100 yang dibuat, dijualnya Rp 5.000 per buahnya. Kalau pemasaran biasanya hampir di seluruh Jawa Timur ya,” pungkasnya.
Seluruh perajin anyaman bambu di Dusun Tulungrejo, adalah warga asli yang mendapat ketrampilan ini sejak kecil. Keterampilan menganyam dan membuat alat rumah tangga ini diwariskan turun-temurun.
“Kalau ditanya sejak kapan, ya sudah sejak ratusan tahun lalu mungkin ya, karena sejak nenek saya banyak warga yang sudah membuat kerajinan begini, dan dari dulu bentuknya ya tiga ini saja,” terang Sumiar.
Sumiar juga menyebut, hampir seluruh warga di desa ini mahir menganyam bambu sejak kecil. Ia sendiri, bahkan mengaku sudah membuat kerajinan ini sejak berusia 10 tahun. “Ya, sudah 50 tahunan membuatnya, karena sejak kecil pasti diajari,” tambahnya.
Tak heran hingga kini jumlah pengrajin terus bertahan, meski jumlah pesanan yang datang juga terus menyusut. ’’Masih cukup banyak jumlah perjin. Karena yang tua, yang muda semuanya sekarang membuat kerajinan semacam ini,’’ pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang