Jombang – Dipungkiri atau tidak, wayang kulit semakin ditinggalkan masyarakat. Pertunjukan kesenian tradisional ini hanya muncul di waktu-waktu tertentu. Meski begitu, masih ada tangan trampil yang konsisten melestarikan warisan nenek moyang ini.
Salah satu perajin yang masih bertahan adalah Teguh Basuki. Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung di rumahnya, ia nampak sibuk mewarnai wayang yang hendak diselesaikan. Wayang kulit berbentuk gunung itu berukuran lebih 60 centimeter. Sebagian sudah dalam keadaan berwarna. Teguh, panggilan akrabnya, sesekali turut memelototi wayang buatannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hasil akhir yang tidak ingin mengecewakan pelanggan.
”Tidak ada yang sulit membuat wayang, dulu memang ada kesulitan saat memahat. Hanya saja memang harus bersabar dan telaten,” ujarnya sembari meneruskan pengecatan. Langkah pertama yang dilakukan adalah membersihkan kulit dan menghilangkan bulu-bulunya.
Bahkan itu juga membutuhkan waktu cukup lama agar bahan kulit yang diproses, siap dijadikan wayang. ”Butuh waktu selama dua hari agar kulit siap dijadikan wayang,” bebernya. Kulit yang dipilih Teguh untuk dijadikan wayang juga tidak kulit sembarangan. Berbeda dengan produk lain, kulit kerbau maupun kambing itu segera dicuci dan disimpan kembali untuk anak-cucunya.
”Paling bagus memang kulit dari kerbau, pahatannya juga sangat mudah,” paparnya. Untuk mengerjakan satu wayang kulit, dia membutuhkan waktu paling sedikit lima hari untuk menyelesaikan. Karena dirinya juga menginginkan hasil yang sempurna. Apalagi membuat wayang juga harus teliti tebal dan tipis.
Setelah wayang selesai dipahat, wayang-wayang tersebut dicat agar seperti hidup. ”Mengecatnya juga seperti itu harus membutuhkan ketelitian agar lebih menarik lagi,” bebernya. Meski begitu, pria berusia 57 tahun ini sempat mengalami jatuh bangun dan malang melintang di dunia kerajinan selama hampir berpuluh tahun. Bahkan usahanya melanjutkan warisan orang tua.”Belajar saya dulu pakai kertas, setelah SMP saya sudah disuruh mengerjakan pesanan orang,” sahut Asmi, orangtua mahasiswa.
Bahkan, karena cintanya terhadap seni budaya, dia ingin terus membuat wayang kulit, agar tidak tergerus dengan zaman. Kendati demikian, dirinya tetap bersyukur masih banyak orang yang memasang. Bahkan Teguh sendiri memasarkan wayang buatannya melalui media sosial.
Lantaran sudah dikenal banyak orang itulah hasil kreasi positifnya juga pernah dikirim hingga ke Taiwan. ”Dulu ada orang pekerja dari Taiwan membeli banyak untuk dibawa ke Taiwan,” katanya.
Ia menyebut, butuh waktu yang lama dan cukup rumit selama proses pengerjaan wayang. Tak heran satu wayang buatan Teguh dibanderol Rp 1 juta, tergantung ukuran dan kerumitan. Biasanya jenis wayang yang paling mahal yakni Buto dan Gunung karena memang ukurannya lebih besar dibanding wayang-wayang lain. ”Ukurannya memang harus besar jadi paling mahal,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang