• info@njombangan.com

Monthly ArchiveMarch 2019

Melihat Usaha Pengeringan Kelapa untuk Minyak Goreng di Ceweng Diwek

JOMBANG – Menjadi pengusaha pengeringan kelapa bukan hal mudah bagi Badi, 60. Di musim tak menentu seperti sekarang, ia harus berusaha ekstra mengeringkan kelapa sebelum dikirim ke pabrik minyak goreng.

Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke tempat usahanya di pinggir jalan raya Dusun/Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, irisan dan potongan kelapa terlihat ditata memanjang dan memenuhi halaman rumah. Aroma sedap tentu saja langsung menyeruak dari tumpukan kelapa ini.

Tanpa satupun penutup, irisan dan potongan kelapa ini dijemur di sebuah tempat berukuran 3×4 meter yang terbuat dari lapisan semen. Di atasnya, seorang pekerja terlihat membolak-balik dan menata bagian-bagian kelapa.

Beberapa pecahan yang terlalu besar, terlihat dipotong dengan tangan, agar menjadi lebih kecil. Kelapa yang tertata dengan kondisi kurang sempurna, juga terlihat dibalik agar mendapat penyinaran matahari lebih baik. “Supaya panasnya merata dan bisa kering bareng,” celetuk Badi, 60 pemilik usaha ini saat Jawa Pos Radar Jombang menghampiri.

Ya. Menurut Badi, kelapa ini masih dalam tahap penjemuran. Masih setengah jalan, ia menyebut kelapa baru dipotong dan masih membutuhkan beberapa hari lagi untuk bisa kering sempurna. “Kalau sudah kering warnanya semakin cokelat, dan tidak berair. Lha ini kan masih terlihat sekali kandungan airnya,” lanjutnya.

Pria yang sudah dua tahun menekuni bisnis penjemuran kelapa ini menyebut proses pengeringan beberapa bulan belakangan cukup panjang. Maklum, ia memang masih mengandalkan sinar matahari sebagai pengering alami. “Karena hujan lama keringnya, sampai 4 hari lebih. Kalau panasnya bagus bisa 2-3 hari selesai,” beber dia.

Selain pengeringan yang makin susah, ia mengaku harga jual kelapa kering terus menurun. Jika dua tahun lalu perkilogram kelapa kering bisa Rp 10 ribu, kini hanya separo saja. “Sekarang cuma Rp 5 ribu perkilo, memang turun harga jualnya, nggak tahu kenapa,”  imbuhnya.

Padahal, kelapa-kelapa ini cukup susah dicari. Badi harus mendatangkan langsung dari luar Jawa untuk mendapat kelapa dengan jumlah banyak dan kualitas bagus. “Ini dari Sulawesi, di Jawa sudah susah, kalaupun ada mungkin Jawa Tengah sama Pacitan saja yang di Jatim. Jumlahnya juga tidak bisa banyak. Tapi memang masih untung meski harganya turun,” tambahnya.

Selanjutnya, kelapa-kelapa kering tersebut bakal dikirim langsung kepada pabrik-pabrik di Surabaya dan Mojokerto untuk diproses menjadi minyak goreng. Hanya saja, pengiriman dilakukan dalam jumlah banyak sehingga kelapa yang kering dikumpulkan terlebih dahulu. Minimal satu truk penuh baru kirim ke pabrik.

“Kalau yang ini untuk minyak goreng, kan kelapa afkir. Kalau yang bagus biasanya lain proses untuk santan cair, atau bahan-bahan lain yang butuh kualitas kelapa lebih baik,” pungkas dia. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Mengenal Grup Besutan Langen Budoyo dari SMPN 1 Mojowarno

Jombang – Puncak acara apresiasi penyerahan hadiah Tryout Unas 2019 di Aula  Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang terasa istimewa. Sebab pembawa acaranya adalah lawakan kondang cak Besut dan Rusmini.

Lantunan gamelan terdengar dari gedung sebelah timur di kantor Disdikbud Jombang kemarin pagi (13/3). Sejumlah pemain panggung yang notabene anak-anak ini mulai merias diri mereka dengan bedak dan rias wajah seadanya.

Tampak beberapa pemain gamelan juga menyelaraskan nada dengan pemain gamelan lain. Ya, dalam puncak acara apresiasi penyerahan hadiah Tryout Unas 2019 kemarin, dihibur oleh grup besutan khas Jombang yang berasal dari SMPN 1 Mojowarno. 

Namanya adalah Grup Besutan Langen Budoyo. Grup yang memiliki enam personel diantaranya, pemain kendang, gong, peking, saron serta dua pembawa acara yakni Rusmini dan Besut. Ini merupakan pertama kali manggung di acara yang besar. Sebelumnya mereka hanya tampil sekali saat acara pisah kenal kepala sekolah dua bulan yang lalu.

”Kalau acara yang besar dan tampil di panggung. Ini memang yang pertama kali,” ungkap Martha Kristianingrum pelatih grup tersebut. Meski baru pertama tampil, penampilan mereka kemarin cukup memukau. Lantunan gamelan serta joke yang dibawakan cukup apik dan enak di dengar.

Tak pelak, jika Bupati Mundjidah Wahab dan beberapa tamu undangan sempat tertawa dengan penampilan Besut dan Rusmini yang menghibur. Selain menggunakan bahasa Jawa campuran, mereka juga terlihat menjiwai sosok rusmini dan besut yang selalu humoris. ”Memang jokenya atau guyonan itu yang menjadi pelengkapnya,” sambung perempuan yang juga guru seni budaya di SMPN 1 Mojowarno ini. 

Dalam penampilan pertama kemarin, ada satu kejutan yang membuat grup besutannya kaget. Ini setelah susunan acara yang semula sudah ditata rapi tiba tiba diubah, karena padatnya agenda bupati hari itu. Sehingga mau tidak mau mereka yang harus menyesuaikan diri.

”Jadi kemarin ada yang dibolak balik susunan acaranya. Otomatis kami yang dari gamelan kan kebingugan menyesuaikan ritme MC. Tapi kami sudah bulatkan tekat, saya yakin anak anak mampu untuk tampil maksimal,” jelas dia.

Untuk mempersiapkan penampilan kemarin, perjuangan grup besutan ini cukup maksimal. Mereka sudah berkali-kali latihan sepulang sekolah. Apalagi mendekati event, mereka kerap bertemu untuk menyeleraskan penampilan. ”Kami latihannya setelah kegiatan KBM. Kebetulan di dekat sekolah kami ada grup gamelan jadi kami pinjam latihan di sana,” jelas dia. 

Berbicara soal alat, memang grup ini mengakui tidak punya alat sendiri. Di penampilan perdana mereka kemarin, semua alat mulai dari gong, kendang hingga saron pimjam milik grup gamelan yang ada di desanya. ”Ya otomatis kami nanti kembalikan. Karena alat ini pinjam,” pungkasnya. 

Sementara, Yoni Trijoko Kurnianto selaku kepala SMPN 1 Mojowarno mengakui jika kemampuan murid-muridnya dalam bidang seni musik tradisional cukup potensial. Namun selama ini belum terfasilitasi dengan peralatan yang memadai. ”Selama ini kami memimjam mas. Ya memang tidak punya alat sendiri,” papar dia kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Ke depan, dia berharap Disdikbud Jombang mau memperhatikan grup-grup kesenian di sekolah. Apalagi, pengembangan kesenian uri uri budaya Jombang perlu dilestarikan oleh murid-murid yang kebanyakan sekarang jarang diminati. ”Kami berharap dinas pendidikan dan kebudayaan lebih memperhatikan dengan memberikan kami peralatan yang layak,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Prasasti Gurit, Salah Satu Peninggalan Raja Airlangga di Jombang

Jombang – Menjadi salah satu peninggalan Raja Airlangga, Prasasti Gurit yang terletak di Dusun Sumbergurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang sampai saat ini masih sering dikunjungi warga. Ada yang sekedar ingin belajar sejarah, tapi ada juga yang melakukan ritual khusus.

“Pengunjung tidak banyak, hanya ada beberapa yang datang, satu dua orang setiap hari, kebanyakan ingin tahu sejarah seperti pelajar atau mahasiswa, tapi ada juga yang melakukan ritual atau berdoa menyampaikan hajatnya disini,” kata Badri, juru pelihara Prasasti Gurit.

Meski seringkali didatangi untuk melakukan ritual tertentu, prasasti ini tidak pernah dijadikan tempat maksiat seperti pacaran atau yang lainnya. Sebab, prasasti gurit terletak tepat di tengah perkampungan warga. Sehingga tidak pernah lepas dari pengawasan. 

“Kalau hanya berkunjung tidak masalah, asal tidak digunakan untuk hal yang macam-macam seperti pacaran, atau minum-minum, agar tidak meresahkan warga,” tambahnya. 

Selain bernama prasasti gurit, banyak juga yang menyebut prasasti ini dengan sebutan Prasasti Munggut. Pasalnya isi dari prasasti gurit menetapkan pembebasan pajak untuk daerah Munggut. ”Munggut itu nama dusun di tengah hutan, Munggut masuk wilayah Desa Cupak Kecamatan Ngusikan,” jelasnya. 

Pembebasan pajak saat itu ditetapkan pada tanggal 14 Krisnapaksa, Bulan Caitra, Tahun 944 Saka (3 April 1022 M). Meski hanya penetapan sima bebas pajak, prasasti ini dinilai cukup penting sebagai wujud dari eksistensi Raja Airlangga. 

Prasasti Gurit ini berbentuk segilima dimana setiap sisinya  terpahat tulisan-tulisan kuno yang sebagian sudah tidak terbaca lagi. Mulai dari sisi depan, kanan, kiri, belakang hingga atas  pun penuh dengan pahatan. Prasasti ini ditulis dalam bahasa sansekerta dipahat di atas batu andesit. 

Letak prasasti ini pun masih asli dan tidak berubah sejak dulu. Warga sekitar hanya melakukan pemeliharaan saja, dan tidak pernah memindah. Prasasti gurit sendiri termasuk salah satu cagar budaya di Jombang yang terdaftar di BPCB Jawa Timur. Hanya saja belum banyak masyarakat Jombang yang mengetahui keberadaan prasasti ini. 

“Padahal prasasti ini terletak di tengah pemukiman warga, lokasinya juga tidak jauh dari Sendang Made, namun antusias pengunjung ke prasasti gurit lebih rendah dibanding ke Sendang Made, sehingga prasasti ini semakin tak dikenal,” terangnya.

Kegiatan warga sendiri di sekitar prasasti gurit masih cukup banyak. Beberapa ada yang meletakkan sesajen di sekitar prasasti sebelum mengadakan hajatan. Bahkan sedekah bumi juga masih bertahan diselenggarakan setiap tahun di sekitar prasasti. Namun untuk penetapan waktunya berubah-ubah tergantung kebijakan dusun/desa. 

Kondisi cagar budaya ini cukup bersih dan terawat. Hanya saja papan yang berisi penjelasan mengenai sejarah prasasti belum ada. Sehingga pengunjung harus bertanya kepada juru kunci untuk mengetahui sejarah prasasti gurit. 

”Ini merupakan peninggalan nenek moyang kita. Sudah seharusnya kita jaga dan lestarikan, dan ada baiknya generasi muda belajar tentang sejarah terutama yang ada di Jombang untuk terus bisa melestarikan sejarah,” pungkas Badri. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Dojo Mahameru, Dojo Pribadi Pertama di Indonesia Milik Kwat Prayitno

JOMBANG – Kecintaan Kwat Prayitno pada karate juga diwujudkan dengan terus membina junior-junior yang jauh di bawahnya. Bahkan ia merelakan sepetak tanah pribadinya digunakan sebagai dojo atau tempat berlatih  karateka setiap harinya. 

Dojo yang diberi nama Dojo Mahameru itu diresmikan mantan ajudan Presiden Soeharto, Irjen Pol (Purn) Hamami Nata pada 2002. Bahkan Dojo Mahameru disebut-sebut sebagai dojo tertutup dan milik pribadi pertama di Indonesia.

“Sebenarnya saya punya dojo itu sudah lama, tapi hanya seperti pelataran dan tanpa atapnya, tempat itu sering dipakai latihan sama teman-teman atlet karate,” kata alumni SMPK Wijana Jombang 1974.

Suasana Dojo Mahameru ketika dipakai latihan para karateka.

Suasana Dojo Mahameru ketika dipakai latihan para karateka. (Wenny Rosalina/Jawa Pos Radar Jombang)

 

Dojo Mahameru diresmikan Irjen Pol Hamami Nata yang saat itu menjabat sebagai ketua PB Inkanas dan kebetulan sedang ada kegiatan di Jombang, sekaligus meresmikan dojo milik Kwat.

Singkat cerita, pada 2001 lalu toko emas miliknya kebakaran. Tidak ingin menyia-nyiakan sisa bangunan, kemudian dirinya mengolah kembali besi-besi sisa kebakaran kemudian dibuatlah atap dojo yang dulunya adalah tempat parkir kendaraannya. 

Ditambah dengan dana pribadinya, akhirnya cita-cita memiliki dojo yang tertutup terwujud. Sampai sekarang dojo masih dimanfaatkan karateka muda seperti Jombang Karate Club atau (JKC) yang setiap hari memanfaatkan dojo tersebut untuk berlatih. 

“Sebetulnya banyak juga dojo di Jombang, dojo tidak harus seperti tempat saya yang tertutup dan kesannya seperti gedung jadi, dojo itu tempat latihan, dimanapun tempatnya itu disebut dojo, entah itu di teras rumah maupun di balai desa biasanya, tapi tetap namanya dojo, jadi dojo saya sama yang lain sama saja,” jelas alumnus STIE Satya Widya Surabaya 1988 ini.

Ia mengaku membuat dojo memang cita-citanya, tapi hal tersebut wajar, menurutnya seluruh pegiat olahraga pasti menginginkan tempat berlatih untuk atlet-atlet lainnya. Namun meski sudah memiliki dojo cukup besar dan bagus, Kwat masih memiliki cita-cita membangun tempat tinggal sekaligus tempat berlatih para karateka yang hiasa disebut dengan istilah honbu.

Cita-citanya tersebut terinspirasi dari ungkapan Widjono Soejono yang menginginkan Jombang memiliki tempat yang layak untuk berlatih sekaligus dengan tempat tinggal karateka. Namun ia belum bisa memperkirakan kapan bisa mewujudkannya. “Ya semoga saja segera terwujud kalau sudah ada rezeki, agar teman-teman lebih total berlatih serta ikatan persaudaraannya semakin kuat,” tambahnya.

Menjadi dojo tertutup pertama dan milik pribadi pertama di Indonesia, dojo Kwat juga menjadi inspirasi bagi teman-temannya yang lain. 

Manfaat dojo milik Kwat ini betul-betul membuat karateka generasi berikutnya turut berbangga dengan Jombang. Salah satu atlet binaannya adalah Ade Rengga yang sangat mengapresiasi semangat suhunya ini karena sudah membuatkan tempat berlatih yang layak.

“Manfaatnya sangat besar sekali, beruntung sekali memiliki guru seperti beliau yang mau memberikan separuh hartanya untuk membuat dojo, sehingga kita atlet juniornya yang merasakan manfaat,” kata Ade Rengga kemarin.

Pantas saja, pelatih JKC ini mengakui jika karateka-karateka berprestasi tak lepas begitu saja dengan binaan serta tempat berlatih yang juga turut menunjang prestasi. “Kalau cabor-vabor lain pasti juga membutuhkan tempat untuk berlatih, tapi alhamdulillah kita sudah memiliki tempat yang layak untuk berlatih,” tambahnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Mengenal Sosok KH Salahuddin Wahid, Sang Pembaharu Pesantren Tebuireng

JOMBANG – Sosok yang satu ini adalah salah seorang ulama, tokoh politik, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM), juga tokoh pemikir yang asalnya dari Jombang. Tokoh yang juga salah satu putra daerah dari trah keluarganya menghasilkan banyak tokoh besar.

Ia adalah KH Salahuddin wahid atau akrab disapa Gus Solah, lahir di Jombang tanggal 11 september 1942. Putra ketiga dari enam bersaudara putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholihah putri KH. Bisri Sansuri. Ia juga adik kandung dari Mantan presiden ke empat, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Meski menjadi putra kiai, Gus Solah memperoleh pengajaran cukup berbeda dengan saudaranya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, Gus Solah malah banyak menempuh pendidikan umum mulai dari SD Perwari Salemba, SMP Negeri 1 Cikini lanjut SMA Negeri 1 Budi Utomo hingga menamatkan kulaihnya di jurusan Arsitek ITB. 

“Saya di Jombang memang tidak lama, karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda yang saat itu menjabat menteri agama. Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya biasanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama,” ceritanya saat ditemui di kediamannya.

Tak saja itu, kehidupannya usai lepas dari kampus juga banyak bergerak di bidang arsitektur. Gus Solah adalah salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar hingga akhirnya berhenti di tahun 1998, setelah krisis moneter melanda Indonesia. Selain juga bergerak di beberapa organisasi dan partai politik, bahkan sempat juga digandeng Wiranto untuk menjadi calon wakil presiden 2004.

“Bisa dibilang hampir 57 tahun saya tidak lagi hidup di Jombang dan memang sibuk di Jakarta. Saya baru pulang kampung ke Jombang ketika usia sudah 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Tebuireng,” lanjutnya.

Meski mengaku sempat kagok dengan dipilihnya dirinya untuk memimpin pesantren. Dirinya terbukti mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Ini terlihat dari pembangunan dan revitalisasi hampir di segala bidang di Tebuireng, mulai berjalan secara masif. 

“Tentu kalau disebut memodernkan, sudah jauh-jauh hari dilakukan ayah saya yang mulai memasukkan pelajaran umum di kurikulum pesantren. Bahkan di Jaman Pak Ud (KH. Yusuf Hasyim, Red) sekolah juga sudah mulai dibangun. Hanya di era saya intensitas dan percepatannya saja naik,” ujarnya.

Terhitung sejak 2007, sejumlah wisma baru dibangun menggantikan pemondokan lama. Masjid baru Tebuireng juga dipugar. Bahkan sejumlah kamar baru dibangun dengan konsep modern dan tertata rapi. “Kalau ditanya kenapa ya memang saya ingin pondok ini berkembang, ini bisa diukur dengan makin banyaknya santri, dan untuk bisa menampung santri, ya bangunanya harus dipersiapkan. Selain itu agar semua tertata dan santri nyaman dan bisa disiplin,” sebutnya.

Tak saja di sisi fisik, di ranah pendidikan, sejumlah kebijakan baru diterapkan. Kurikulum ditata sedemikian rupa hingga dibuatnya lembaga khusus bernama penjamin mutu untuk mengawasi langsung kurikulum yang berjalan. Sejumlah sekolah baru juga didirikan. Sebut saja madrasah Muallimin hingga Sma Trensains. Juga tak ketinggalan Unhasy yang berhasil dibangkitkan setelah sempat mengalami kemunduran saat bernama Ikaha.

Saat ditanyai hal ini, Gus Solah menyebut faktor perbedaan latar belakang yang mempengaruhi hal ini bisa terjadi dengan cepat. “Saya kan seorang insinyur, sehingga terbiasa bekerja dalam target dan capaian yang terukur. Kalau tidak dengan target bagaimana kita mengukur, karena itu dengan target yang jelas upayanya juga akan jelas, dan terbuki itu berhasil,” lanjut suami dari Nyai Hj Farida ini.

Dan setelah 11 tahun menjadi Pengasuh Tebuireng, dirinya kini mulai menata kehidupannya sendiri. Bahkan ia menyebut kemungkinan besar tahun depan dirinya akan segera melepas jabatan sebagai pengasuh, dan akan lebih konsen untuk menikmati hari tua. “Mungkin sudah saatnya tahun depan saya akan berhenti, memberikan kepada orang yang layak memimpin dan tentunya dari kalangan Dhuriyyah, setelah itu mungkin saya akan lebih berkonsentrasi untuk menjalani masa tua,” pungkasnya.

Tak saja KH Wahid Hasyim yang dikenal jago menulis dan membaca. Kebiasaan ini ternyata juga menurun ke Gus Solah. Ya, kebiasaan Gus Solah menulis sebenarnya baru muncul ketika dirinya mulai menutup kantor jasa kontraktornya karena krisis moneter 1998 silam.

Di tahun-tahun itu, Gus Solah mengaku sempat menganggur setelah ditutup kantornya. Masa itulah yang menjadi titik tolak kehidupannya. Ia mengaku menjadi lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca dan belajar menulis. “Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” sebutnya.

Bahkan disebutnya untuk berhasil menembus surat kabar kala itu, dirinya harus sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. “Setelah itu baru saya mulai bisa terbiasa dan sampai sekarang menjadi kebutuhan,” lanjutnya.

Hal ini diakui pula Nyai Farida, istrinya. Ia menyebut di awal penulisan, Gus Solah bukan orang yang pandai merangkai kata. Dirinya menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, mengingat background Gus Solah dari kalangan eksakta dan tak terbiasa dengan tulisan yang berkembang.

“Di awal, tulisannya memang kaku sekali, bahkan untuk menulis surat saja tidak akan bisa lebih dari tiga baris. Malah saya sendiri juga tidak tahu kenapa dulu beliau itu mulai suka menulis, padahal sebelumnya tidak pernah, karena lebih banyak menggambar sebagai seorang arsitektur,” jelasnya.

Bahkan, di awal Gus Solah menulis, dirinya seringkali jadi korektor atas tulisan sang suami sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. “Saya selalu diminta beliau untuk mengecek tulisannya, sebelum dikirim ke surat kabar. Beruntung beliau adalah orang yang sangat mau belajar dan menerima kritik, sehingga tidak pernah merasa tersinggung kalaupun diingatkan. Beliau itu orang yang tidak pernah mau berhenti belajar,” lanjutnya.

Bahkan hingga kini, dikediamannya ada ruang tersendiri untuk Gus Solah melakukan aktifitas unik yakni mengliping surat kabar setiap hari. “Setiap hari beliau akan membaca koran dan mengguntingnya untuk dikliping menjadi satu berkas khusus dan diindex per kasus,” ucapnya. Hal ini disebutnya biasa dilakukan setiap hari dan akan mempermudah ketika membutuhkan sebuah kajian dan harus diungkapkan dalam ceramah.

Selain itu, kebiasaan menulis yang seolah tak bisa ditinggalkan Gus Solah juga bisa dilihat dengan terus menerusnya mengetik meski sambil beraktifitas. “Beliau itu punya dua HP, yang satu itu memang khusus untuk nulis, jadi seringkali meski di kendaraan atau sedang bersantai dan memegang handphone tersebut, beliau pasti sedang mengetik. Mungkin terlihat seperti orang SMS, padahal beliau sedang menulis,” lanjutnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Brigjen R Kretarto, Pejuang yang Mempertahankan Kemerdekaan di Jombang

Jombang – Sosok pahlawan ini pernah turut berjuang mempertahankan kemerdekaan di Jombang periode 1945-1950. Namanya Brigjen R Kretarto, bagi warga Jombang nama ini tak asing. Maklum, namanya memang terabadikan sebagai salah satu jalan di wilayah Jombang yang juga ruas jalur nasional.

Dikutip dari buku karya Moch. Faisol, Jejak Perjuangan Laskar Hizbullah Jombang R Kretarto tercatat sebagai salah satu orang yang memimpin operasi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Jombang. Berbagai macam pangkat juga diperolehnya. Sebut saja Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada awal Kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi salah satu unsur pembentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karirnya di jalur militer terus naik dengan memegang berbagai jabatan. Didukung pengalaman lapangannya yang terlibat dalam berbagai pertempuran sejak 1945 di Surabaya, Mojokerto hingga harus mempertahankan benteng terakhir di Jombang. Sebab, pasukan NICA Belanda sudah berhasil menguasai Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Malang.

Monumen Brigjen R Kretarto yang terdapat di Jombang.

Monumen Brigjen R Kretarto yang terdapat di Jombang. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

 

“Sejak 1947, dia sudah menyandang pangkat Letnan Kolonel, R. Kretarto, dipercaya menjabat Komandan Resimen 32 dari Divisi VI / Narotama, sebelum dilebur menjadi satu dalam Divisi I Jawa Timur. Sebelumnya, pada 1946 pernah menjabat Komandan CoPP VI (Commando Pusat Pertempuran) Divisi VI/Narotama. Hingga dirinya menjadi salah satu anggota tentara Nasional Indonesia (TNI),” tulis Faisol dalam bukunya.

Pak Kret, sapaan akrabnya, salah satu orang yang berjasa ketika agresi militer Belanda II dilancarkan dan sempat membuat pasukan Indonesia mundur, setelah gagal mengebom jembatan Ploso yang saat itu jadi lokasi perbatasan Indonesia dengan wilayah Belanda. 

Tak banyak dokumen yang bisa diungkit untuk menjelaskan siapa sebenarnya dia dan seberapa besar kiprahnya. Namun  satu dari dua patung R Kretarto yang dibangun Pemkab Jombang menyebutkan, lahir di Bandung Jawa Barat 16 Januari 1913, dan wafat di Jawa tengah tanggal 26 Oktober 1961. Dalam monumen tersebut disebutkan jika R Kretarto berpangkat terkahir Brigjend, dengan jabatan Sekretaris Komando Tertinggi (KOTI).

Meski minim dokumen yang menjelaskan peran R Kretarto  di Jombang melawan Belanda. Namun tak berarti hilang begitu saja jejaknya di Jombang. Hingga saat ini, setidaknya terlihat dari beberapa monumen yang ada di Jombang selain jalan nasional yang menggunakan namanya.

Setidaknya ada dua buah monumen berupa patung dia di Jombang. Satu monumen sangat besar dan megah terletak di samping PG Jombang Baru. “Monumen Patung Brigjen R. Kretarto di pertigaan Jl PB. Sudirman sebelah utara PG Djombang Baru itu didirikan semasa pemerintaham Bupati Soewoto Adiwibowo. Monumen ini diresmikan pada peringatan HUT TNI 5 Oktober 1997,” jelas Moch Faisol kembali. 

Dan satu buah patung lagi terletak di Desa Gongseng, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang. Patung yang terletak tepat di pertigaan tak jauh dari Kantor Desa Gongseng itu hingga kini masih berdiri tegak meski terlihat kurang dirawat. Ini terlihat dari beberapa cat yang telah memudar dan bangunan yang mulai lapuk. “Sudah lama ini didirikan, mungkin tahun 70-an, memang kurang diperhatikan sepertinya, padahal ini peninggalan sejarah penting,” celetuk Adit, salah satu warga yang ditemui di lokasi. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Tak Pernah Promosi, Pelanggan Justru Datang Sendiri ke Pabrik Topik

Jombang – Munir mengaku jika dirinya tidak pernah promosi, karena sudah cukup legendaris, pelanggan datang sendiri untuk memesan. “Katanya bagus dan awet, itu yang menilai mereka, saya hanya membuat yang terbaik saja,” kata Munir.

Selain kenyamanan saat dipakai dan kualitasnya terjaga, salah satu yang membuat Sepatu Topik begitu dikenal, yakni membuat sepatu khas. Karena sepatu-sepatu itu sulit ditemui di toko sepatu. Misalnya, sepatu mayoret drumband yang unik, juga sepatu polisi, selop pasangan manten. 

“Yang banyak memang pesanan, seperti pasukan pengibar bendera,  pasukan drum band lengkap dengan mayoretnya, polisi, TNI, kepala desa, hingga jasa rias pengantin yang banyak memesan,” urainya. Tidak hanya sepatu, Munir juga membuat jaket, tas, dompet, ikat pinggang dan  sandal. 

 

Untuk satu pasang sendal wanita dan laki-laki, harganya antara Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu. Untuk sepatu wanita ia biasanya menjual antara Rp 225 ribu, sampai Rp 400 ribu. Untuk sepatu laki-laki, ia biasanya menjual Rp 250 ribu sampai Rp 700 ribu per pasang.

“Kalau jaket karena bahan baku yang dibutuhkan banyak, saya biasanya menjual Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” imbuhnya. Meski saat ini populer pemasaran melalui online, Munir mengaku tak tertarik. Karena untuk melayani pelanggan saja, dia mengaku sudah kuwalahan.

“Di kartu nama, tidak ada nomor whatsapp, hanya nomor telepon biasa. Nggak melalui online seperti sekarang, tetapi datang langsung ke sini,” jelasnya.

Jika kehabisan bahan baku atau pesanan sedang menumpuk, Munir lebih memilih untuk menolak pesanan pelanggan. “Daripada mengecewakan pelanggan, lebih baik saya tolak,” pungkasnya.

Selain memiliki beberapa model yang ia buat sendiri. Munir juga menerima pesanan semua bentuk yang diinginkan. Bahan yang digunakan juga bisa dipilih, bisa dari kulit asli atau bisa dari kulit imitasi. “Kalau pemesan menggunakan gambar dan saya memprediksi ini hasilnya akan jelek jika dibikin dengan kulit asli, maka saya tolak,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Ali Markasa, Sang Maestro Tari Remo Jombangan

JOMBANG – Nama Ali Markasa tak asing lagi bagi para pecinta ludruk maupun pengreman di Jawa Timur, khususnya Jombang. Pria kelahiran Dukuh Arum, Desa/Kecamatan Tembelang 9 Juli 1942 ini Maestro Tari Remo Jombangan. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kasemin dan Kaini ini puluhan tahun melanglang buana di dunia ludruk khususnya Tari Remo. 

”Saya memang suka kesenian tradisional sejak dulu. Ayah saya itu bayan tapi juga merupakan pengrawit,” ujar Ali Markasa kepada Jawa Pos Radar Jombang. Kecintaannya pada Tari Remo dibuktikan dengan bergabung pada grup ludruk sebagai penari remo sejak lulus SD. Bahkan ia rela meninggalkan bangku SMP demi menjadi penari remo. 

”Saya dulu sudah kelas 3 SMP Sawunggaling tapi tidak melanjutkan, padahal tinggal dua bulan sudah lulus,” sambungnya. Pria 75 tahun ini mengaku kerap ditegur gurunya lantaran kerap tertidur di kelas. Dia sendiri tidak dapat menahan kantuk setelah semalaman ikut tanggapan ludruk.

Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda.

Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda. (RICKY VAN ZUMA/JAWA POS RADAR JOMBANG)

 

Mulai tahun 1956 ia telah menjadi bagian dari grup ludruk Margo Rukun di desa tempat tinggalnya saat itu. Tiga tahun berselang, Ali Markasa muda pindah ke grup ludruk lainnya Margo Utomo di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh. Tiga tahun selanjutnya ia pindah ke grup Sinar Budaya Lamongan tahun 1962. Tak hanya itu, Ali Marksa juga pernah bergabung dengan sejumlah grup ludruk populer saat itu yaitu Marhaen Muda, Gaya Baru  hingga Gaya Marhaen. 

”Saya cukup lama jadi satu grup dengan Mbah Bolet di Gaya Baru. Tapi saat itu saya tidak pernah menari karena saya kurang suka dengan gaya Tari Remo Boletan,” paparnya.

Mbah Bolet juga menyadari jika Ali Markasa tidak menyukai Tari Remo Boletan yang dibawakannya. Ali Markasa pun pindah ke grup ludruk Bhiyana Mayangkara Jombang tahun 1966. Berbeda dengan pengreman lainnya, Ali Markasa ini belajar tari remo secara otodidak. 

Hanya dengan sekali menyaksikan pengreman menari, ia sudah bisa menirukan tarian remo tersebut. Berbagai gerak tari remo yang bagus dari penari yang disaksikannya pun diterapkannya dan disempurnakan dengan gerak saduk sampur (tendangan selendang, Red). 

Konsep gerak Tari Remo Jombangan ini dibentuk dari berbagai pengalaman Ali Markasa selama menari bertahun-tahun. Pada 28 Nopember 1967 terciptalah Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. Bahkan Tari Remo Jombangan ini telah diakui nasional, namun baru dipatenkan 27 Januari 2009 silam. ”Pada tahun 1974 Pak Slamet, ketua ludruk Bhiyana Mayangkara meminta Mbah Bolet untuk datang ke salah satu tanggapan menyaksikan saya menari remo di Pulodadi,” lanjutnya. Mbah Bolet pun menurutnya kagum dengan gaya Tari Remo Ali Markasa tersebut.

Mbah Bolet berpesan beberapa hal kepada Ali Markasa. ”Le aku sing nyiptakno Tari Remo Boletan, lek ngremoku iku ngremo Sudrun ora nggawe pakem. Ngremoku iku ngremo banyolan. Ngremo mu apik ono ojo kalah karo Suroboyo, opo maneh saduk sampur iku awakmu tok. Tarian mu iku Remo Jombangan, (Nak, aku yang membuat Tari Remo Boletan, tari remo ku ini Remo Sudrun tidak menggunakan pakem. Tari Remo ku ini tari komedi. Tari Remo mu itu bagus apalagi gerak tendang selendang itu asli hanya dirimu saja, Red),” ucapnya.

Pesan lain yang disampaikannya juga membahas terkait gerakan Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. ”Ojo nggawe gerak ayam alas model Suroboyoan, kekalemen kurang keras. Tanjak e sikil  ojo digawe dlosor, sikile kudu siku (Jangan menggunakan gerakan ayam hutan gaya Surabaya, terlalu lembut kurang keras. Tanjak kaki jangan dibuat panjang sebelah tapi kaki harus membentuk siku, Red)” tuturnya. 

Sehingga Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa ini semakin diperkuat dan masih sama sejak dulu hingga kini. Tak banyak yang tahu jika Tari Remo Boletan jauh berbeda dengan Tari Remo Jombangan. Tari Remo Boletan diciptakan Mbah Bolet Sastra Amenan, sedangkan Tari Remo Jombangan diciptakan Ali Markasa. Tari Remo Jombangan sudah didaftarkan hak paten sehingga gerakan, irama, ketukan, kostum hingga rias sudah baku. 

Sedangkan  Tari Remo Boletan masih belum didaftarkan hak cipta, sehingga beberapa gerakan sudah tidak sesuai dengan Tari Remo Boletan ala Mbah Bolet dulu. ”Kebanyakan orang menganggap Tari Remo Boletan itu sama dengan Tari Remo Jombangan, itu perlu diluruskan,” tandasnya. 

Ali Markasa sendiri sebenarnya juga pernah membentuk grup ludruk sendiri dengan nama Asmara Murni dan menjadi ketua. Meski bertahan cukup lama, namun grup ini bubar. Ali Markasa bergabung dengan grup ludruk Kopasgat Madiun mulai 1984-1994. Ia juga pernah menjadi anggota Sari Murni, Karya Budaya, Budhi Jaya dan yang terakhir Mustika Jaya Jombang tahun 2005.

Ali Markasa juga pernah melakukan battle dance (lomba menari, Red) dengan para penari remo papan atas di Jombang. ”Ada delapan penari remo terbaik yang diundang menari remo di Kodim tahun 1971, termasuk Mbah Bolet,” lontar Ali Markasa. 

Ia menuturkan jika juara pertama Tari Remo tersebut diraih Mbah Bolet. Menurutnya kelebihan Mbah Bolet sangat menonjol terutama pada gerakan tanjak sangat bagus. Olah tangan dan kaki Mbah Bolet juga luar biasa. Sedangkan Ali Markasa yang belum sempurna tariannya saat itu meraih juara tiga. 

”Gerakan saduk sampur itu memang saya saja yang melakukan. Itu yang membuat saya berbeda dan juara tiga padahal tarian saya saat itu belum maksimal,” tambahnya. Namun ia mengakui jika pesona dan karakter Mbah Bolet sangat kuat melekat di tengah masyarakat dengan segala kelebihannya. Meski demikian, ia mengaku kurang suka untuk menari Remo Boletan.

”Saya tidak suka tariannya karena tidak pakem, kalau dengan Mbah Bolet sangat baik. Tari Remo Boletan mengikuti pakem pada awalnya saja,” ungkapnya. Namun pada bagian pertengahan hingga akhir, gerakan tari Mbah Bolet itu sudah diluar pakem bahkan diselingi berbagai banyolan. 

Ketika selesai menari di satu panggung, gaya tari Mbah Bolet sudah berbeda keesokan harinya saat di tempat lain. Hal itu disesuaikan dengan humor yang sedang hangat saat itu. Meski demikian, gaya Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa tak kalah dinamis dari Remo Boletan. Ia mampu mengolah sampur dikombinasikan dengan tendangan menghasilkan visualisasi yang sangat atraktif, berkarakter dan cermat. 

Gerakan yang detaik dan ekspresif ini menggunakan teknik gerak tinggi. Gerakan Tari Remo Jombangan ini tak hanya menghibur tapi juga menyampaikan pesan moral kepada para penonton. Ali Markasa pun cukup berprestasi dalam bidang Tari Remo dan ludruk. Ia meraih juara 1 Tari Remo se-Provinsi Jawa Timur tahun 1981. Grup ludruk yang diikutinya pun meraih juara 1 Jawa Timur serta juara 2 lomba tari remo tahun 1994. 

Selain itu ia juga sering meraih penghargaan sebagai penari Remo Jombangan. Ia juga kerap menjadi bintang tamu, pengisi workshop dan juri lomba sejenis pada jamannya. Meski tak ada perhatian dari pemerintah, Ali Markasa tetap semangat  melestarikan Tari Remo Jombangan. Ia mengaku cukup prihatin dengan kondisi kesenian asli Jombang yang hampir punah. Kini dia dibantu isterinya mengajarkan tari kepada anak-anak, remaja dan masyarakat umum untuk belajar menari remo. Bahkan dia tetap mengajar menari di usia senja 74 tahun. 

”Saat ini saya sudah tidak sanggup menari. Usia saya sudah sepuh 75 tahun, kaki saya juga asam urat,” terang Ali Markasa. Dia dan isterinya, Winarsih pun dengan sabar mengajari ratusan penari yang belajar kepada mereka. Tak sekedar mengajar, ia juga menunjukkan nama-nama gerakan dan sejarahnya. Hanya saja menurutnya regenerasi ludruk dan tari remo di tempat lahirnya sendiri dalam kondisi cukup kritis. ”Sudah jarang orang nanggap ludruk di Jombang kalah dengan hiburan modern. Justru ludruk lebih berkembang di daerah lain,” cetusnya. Ia berharap dengan apa yang dilakukannya ludruk dan Tari Remo tidak punah. ”Tari Remo itu bukan sekedar tari. Remo itu ngerem lewat agomo,” jelasnya. 

Dia mengaku gemas melihat tari remo yang berkembang di Jombang sudah meremehkan nilai-nilai sakral tari remo. Remo sejati tidak asal-asalan dibuat, gerakan yang melenceng sudah mengubah filosofi gerakan remo itu sendiri. Ia mencontohkan gerakan manembah pada tari Remo Boletan yang miring, sudah tidak sesuai dengan tari Mbah Bolet sendiri. 

”Tari Remo Mbah Bolet itu manembah yang benar lurus. Manembah itu ibarat menghadap kepada Tuhan, lurus itu kebenaran atau agama,” paparnya. Sedangkan kepalan tangan melambangkan persatuan, lima jari menunjukkan Pancasila. Hentakan musik yang dinamis berarti mengajak masyarakat untuk bersatu bersama Pancasila. Ia tidak menampik hal ini berhubungan dengan sejarah perpecahan bangsa yang terjadi pada 1965 silam.

Sementara itu, tarian Remo Jombangan telah didokumentasikannya dalam CD (compact disk). Terdapat Remo Jombangan untuk TK, SD, SMP dan SMA atau umum. Perbedaan terletak pada durasi dan pengulangan gerakan namun tetap mengikuti pakem. Meski telah diakui hak ciptanya, penghargaan dari Pemkab Jombang sangat kurang. Ia pun menghabiskan tabungan belasan juta rupiah untuk biaya dokumentasi Tari Remo Jombangan ini. 

”Mulai dari upah maupun sewa panjak, gamelan, sound, makan, jasa shooting video, busana tata rias dan lain-lain cukup banyak. Itu kami tanggung sendiri, pernah mengajukan bantuan ke bupati katanya disetujui tapi saat saya ke dinas terkait bilangnya tidak tahu,” tandasnya kecewa. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Kreativitas Nusa Amin Menggeluti Produksi Batik dengan Pewarna Alam

Jombang – Bahan-bahan alam, misal serat daun, kulit pepohonan ternyata menyimpan bahan pewarnaan yang tinggi. Salah satunya, bahan untuk produksi batik warna alam.

Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, terlihat tiga perempuan paruh baya tengah duduk melingkar, sambil tangannya sibuk memegangi kain dan kuas. Di tengah-tengah mereka, ada bejana berukuran sedang berisikan cairan yang dipanaskan di atas tungku mini.

Secara bergantian, tangan ketiganya mencelupkan kuas ke dalam cairan di bejana dan menempelkannya ke permukaan kain sesuai motif yang diinginkan. Nampak pula di sudut lain, seorang pria tengah sibuk menjemur potongan-potongan kain basah di belakang rumah.

Mengetahui orang asing datang, bapak tiga anak ini segera melempar senyum sambil tangannya menyambut jabat tangan. Itulah sekelumit, gambaran suasana rumah Nusa Amin, warga Dusun Sanan Selatan, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung. Salah satu perajin yang mulai berdikari berkat keuletan dirinya menekuni kerajinan batik pewarna alam.

Suami Suniah ini dengan senang hati berbagi pengalaman menggeluti usaha kerajinan produksi batik pewarna alam. Tepatnya, sekitar 2005 lalu, Nusa Amin kembali menginjakkan kaki di Jombang dengan kondisi ekonomi keluarga yang carut marut. ”Punya tanggungan hutang cukup besar. Usaha batik saya di Bali bangkrut, sebab kena tipu orang, tapi bergerak di batik sintesis,” bebernya.

Dalam kondisi ekonomi keluarganya yang guncang, Amin, sapaan akrabnya berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan. ”Sampai kerja jadi kuli bangunan, sebab tidak punya pekerjaan tetap. Yang terpenting kebutuhan nafkah keluarga terpenuhi,” imbuhnya.

Ternyata dalam benaknya, Amin masih punya keinginan mengembangkan ketrampilan membatiknya di Jombang. Namun, dirinya kurang yakin dengan segmen pasarnya akan bisa berkembang.

Rupanya, di sela-sela bertahan menjadi kuli batu, Amin, masih terus memendam semangat menekuni kerajinan batik. Dirinya pun terus membaca peluang usaha tersebut. ”Nah, ingat saya Oktober 2009, batik mendapat pengakuan dari Unesco sebagai warisan bangsa Indonesia. Setelah itu, batik seolah menjadi primadona, banyak dicari orang,” bebernya.

Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Amin pun mulai mencari jalan untuk merintis kembali usaha kerajinan batik. ”Kebetulan, saya dapat tawaran mengerjakan pesanan batik tulis dari perajin di Mojokerto,” bebernya.

Karena sudah kenyang pengalaman membatik, Amin pun dengan mudah menyelesaikan pekerjaan. ”Itu saya jalani setahun lebih. Pulang pergi ke Mojokerto setor barang bawa sepeda pancal,” bebernya.

Seiring berjalannya waktu, dirinya pun mulai mengembangkan jaringan di Jombang. ”Terus saya kenal dengan perajin di Jombang, akhirnya ditawari ikut kerjakan pesanan. Saya kerjakan di rumah,” imbuhnya.

Singkatnya, 2012, dirinya mendapat tawaran mengikuti program pelatihan membatik difasilitasi dinas. Tanpa pikir panjang, dirinya pun berangkat. ”Pelatihannya di Jogjakarta, fokus batik warna alam,” bebernya.

Sepulang dari kegiatan pelatihan tersebut, selain mendapat wawasan baru di dunia membatik, Amin juga sedikit mendapat bantuan modal untuk mengembangkan usaha. ”Mulai saat itu, saya mulai merintis kerajinan batik warna alam,” bebernya.

Berbeda dengan batik sistetis, menurutnya batik warna alam memiliki daya tarik sendiri, salah satunya dari bahan pewarnanya  yang berasal dari bahan-bahan alami, bukan pewarna buatan (kimiawi). ”Jadi bahannya, misalnya dari kulit pohon mangga, mahoni, serabut kelapa, dedaunan dan bahan-bahan alam lainnya. Itu kemudian di ekstrak, diambil sarinya untuk bahan pewarna,” bebernya.

Karena menggunakan pendekatan tradisional, otomatis produksinya memerlukan proses relatif lebih lama. Misalkan, untuk membuat batik warna alam miliknya, prosesnya cukup panjang.

Mulai dari mencari bahan kain, setelah kain siap, selanjutnya lanjut Amin diketel. Dicelupkan dengan larutan air bekas bakaran merang. Terus berulang-ulang, celup kering-celup kering sampai tujuh kali. Proses ini memakan waktu cukup lama.

Setelahnya, kain-kain tersebut dicuci bersih baru setelahnya siap dipola. ”Biasanya menggunakan pensil, belum lagi proses canting,” bebernya.

Selanjutnya proses pewarnaan, ini juga membutuhkan waktu cukup panjang. ”Sama prosesnya, celup kering-celup kering sampai tujuh kali, itu kalau produk saya. Terus juga ada proses penguncian, menjaga warna agar tidak pudar. Jadi dicelupkan dalam ari tawar atau juga air batu tunjung,” imbuhnya.

Kebanyakan motif batik warna alam yang banyak dicari pelanggannya motif kuno, namun demikian, Amin juga mengembangkan sejumlah produknya dengan motif kontemporer. ”Motif kuno, misal parang, udan liris, sekar jagad. Selain indah, motif-motif ini juga menyimpan nilai filosofi yang tinggi, ada ceritanya. Misalnya, udan liris, biasanya dipakai perempuan yang sudah menikah, sekar jagad filosofinya junjung derajad dan masih banyak lagi,” bebernya.

Melihat proses pembuatannya yang njlimet, tak pelak produk batik warna alam memiliki nilai jual cukup tinggi. ”Harga per lembar, kisaran Rp 350 ribu hingga Rp 1,5 juta juga ada. Harga menyesuaikan teknik pembuatan dan kualitas bahan,” tegasnya. (*)

(jo/naz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Ikwanto, Salah Satu Pembudidaya Tanaman Bonsai yang Masih Bertahan

Jombang – Pembudidaya tanaman bonsai mulai jarang ditemui. Namun tidak dengan Ikwanto, yang hingga kini masih getol merawat tanaman bonsai hasil buruannya di hutan.

Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, Ikwanto terlihat sibuk menggunting beberapa tanaman mungil yang ditanam dalam pot. Dengan beberapa peralatan seadanya, dengan cepat dia merangkai tanaman bonsai yang cantik dan enak dilihat.

Ya, pria 40 tahun ini mulai tertarik  budidaya bonsai alias pohon yang dikerdilkan dalam pot sejak 2001. Kala itu, saat budidaya tanaman bonsai sempat booming, banyak rekan-rekannya yang ikutan budidaya.

Hanya, jika teman-temannya membudidayakan cara membeli, tidak dengan Ikwanto. Dia sering blusukan keluar masuk hutan untuk mencari koleksi tanaman. ”Saat awal awal ramai, saya sering berburu di hutan,” ujar dia.

Karena hobi, dia tidak mengenal waktu. Mulai pagi hingga sore dia jalani blusukan ke beberapa tempat di Jawa Timur mulai Lamongan, Gresik dan beberapa daerah lainnya. ”Dari dulu memang karena hobi, bahkan saya tidak ingat berapa biaya yang saya keluarkan untuk tanaman-tanaman ini,” jelas dia.

Di rumahnya, hingga kini masih ada berbagai macam tanaman bonsai. Mulai jenis lokal seperti pohon serut, asem kranji, hingga beberapa jenis yang sulit ditemui seperti beringin amplas, sisir, dan mustam, gulo gemantung dan beberapa jenis lainnya.

Pada dasarnya, kata bapak empat anak ini, semua tanaman bisa dibonsaikan. Asalkan, daunnya kecil, memiliki batang keras dan bisa hidup bertahun-tahun. ”Jenis yang paling saya sukai adalah pohon asam belanda,” jelas dia.

Tingkat keunikan dan keindahan suatu bonsai juga tergantung pada tingkat kekreatifan yang dimiliki pembudidaya bonsai. Jika sering bereksperimen dan mencoba hal baru, tentu bisa membuat bonsai yang biasa menjadi lebih unik. Selain itu, dari sekian jenis tanaman ada satu tanaman yang sulit ditanam. Yakni pohon asem kranji.

”Kalau pohon asem ini tidak bisa ditaman langsung. Tapi harus melalui bibit otomatis kan harus menunggu bertahun tahun hingga tumbuh besar,” jelas dia.

Selain itu perawatan bonsai ini juga butuh perhatian khusus, misalnya harus disiram setiap hari dan diberi pupuk seminggu sekali. ”Jika daunnya sudah agak lebat, kita potong dan kita beri kawat agar alur pohonnya tidak tumbuh ke atas, namun tumbuh sesuai konsep kita,” papar dia.

Saat booming, bonsainya sering dilirik bahkan dibeli sesama penggemar bonsai. Harganya juga cukup bervariatif, mulai Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta tergantung dari keunikan pohon tersebut. namun saat ini, jarang ada yang melirik tanaman tersebut karena sudah tidak begitu diminati. ”Kalau sekarang ya jarang, Cuma tanya tanya saja,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com