OMBANG – Mayoritas perajin gerabah di Dusun Mambang memang dikerjakan oleh orang-orang berusia lanjut tua. Produksinya hanya berkutat pada alat dapur yang harganya murah. Namun, beberapa generasi baru kini mulai menjajal pasar baru dengan bentuk karya bernilai jual tinggi.
Bagi Supinah, membuat gerabah memang sudah aktivitas rutinnya sejak lebih dari 70 puluh tahun lalu. Ya, Supinah mengaku memang sudah mulai membuat gerabah sejak neneknya berhenti dari usaha ini. ’’Saya membuat sejak masih jaman penjajahan dulu. Kalau diukur umur mungkin masih kelas 2 SD kalau anak sekarang, lha sekarang sudah 80 tahun lebih,” terangnya.
Supinah tak sendirian, masih ada puluhan perajin dengan usia yang tak jauh berbeda. Hal ini membuat produksi gerabah Dusun Mambang memang tak banyak bervariasi, hanya berkutat pada sejumlah alat dapur yang harganya rendah.
’’Ya memang di sini yang membuat rata-rata sudah tua, dan produksinya ya barang-barang sejak zaman dulu. Harganya mentok paling Rp 15 ribu, itu sudah besar sekali bentuknya. Ya memang murah ,” lanjutnya.
Namun, beberapa perajin generasi muda kini sudah mulai muncul dengan pasar baru. Seperti yang dilakukan Sumarlik, 33. Dengan ketrampilannya, ia mulai membawa kerajinan gerabah di desanya jadi bernilai tinggi dengan pembuatan sesuai pesanan.
“Kalau saya memang melayani pesanan, ada pot bunga besar, ada guci juga, selain itu gelas-gelas yang bentuknya etnik begitu,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Berbekal kemampuan dan beberapa kali pelatihan, di tangan Sumarlik gerabah-gerabah ini dibentuk dengan sangat baik. Meski pembuatannya manual, Sumarli mampu memberi detil ukiran hingga hiasan bahkan pewarnaan dan pelapisan pada gerabah buatannya. Alhasil, Tampilan gerabahnya pun jauh lebih indah, dan bernilai seni.
Dengan itu, ia mengaku mampu masuk ke sejumlah pasar baru, pelanggan yang kelasnya lebih tinggi. Tentu saja juga dengan harga yang lebih tinggi pula. ’’Kalau gelas itu bisanya yang pesan ya penginapan-penginapan, kalau guci biasanya dikirim ke hotel-hotel. Harganya sudah bisa mencapai Rp 300 ribu per bijinya untuk guci ini,” lanjutnya.
Meski begitu, ia mengaku masih sangat tergantung dengan jumlah pesanan yang masuk kepadanya. Karena itu di musim-musim tertentu, ia masih akan tetap membuat gerabah tradisional ketika pesanan sedang kosong. ’’Ya buat begini kan kalau ada pesanan, kalau tidak ya membuat gerabah biasa saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com