JOMBANG – Dusun Patuk, Desa Kertorejo, Kecamatan Mojowarno, sudah bertahun-tahun menjadi sentra kerajinan anyaman bambu. Bahkan hingga kini hampir 70 persen warga setempat masih bekerja sebagai penganyam bambu.
Budi Santoso dan keluarganya adalah salah satu contoh pengrajin, yang sudah 25 tahun menggeluti usaha kerajinan anyaman bambu. Di rumahnya, beraneka macam hasil anyaman bambu dibikin. Mulai dari kukusan, tempeh, wakul (tempat nasi), hingga model model baru seperti tempat tisu dan pensil.
Ya, Budi adalah salah satu dari sejumlah perajin ayaman bambu yang masih eksis. ”Saya sudah belajar ngayam sejak masih di bangku SMP. Kira-kira tahun 93,” ujar dia sembari mengayam kemarin (14/12). Sebetulnya, lanjut bapak dua anak ini, kerajinan anyaman bambu di dusun setempat sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Lalu, pada masa Bupati Suyanto sering ada pelatihan dari Dinas Perindustrian tentang bagaimana membuat anyaman yang bisa mengikuti perkembangan zaman. “Nah sejak saat itu saya mulai tertarik dengan model-model yang baru. Misalnya tempat tisu dan tempat bolpoin,” sambungnya.
Model lama seperti wakul, tempeh dan kukusan memang masih diminati. Setiap dua bulan sekali, dirinya mengirim pesanan ke Surabaya hampir 200 buah. “Tapi, yang paling diminati pelanggan akhir-akhir ini ya tempat tisu,” jelas dia. Dirinya membuat anyaman tempat tisu terinspirasi saat melihat tempat tisu yang dinilai terlalu monoton dan biasa-biasa saja.
Lalu, muncul ide bagaimana membuat tempat tisu terlihat memiliki nilai seni dan tidak membuat bosan. “Akhirnya saya coba-coba, mulai dari menghitung ukuran hingga bahan-bahan yang saya siapkan,” jelas dia. Tak butuh waktu lama bagi dia untuk bisa membuat tempat tisu itu. Dengan kelihaiannya, tempat tisu anyaman bambu pun siap dipasarkan.
“Saya belajarnya otodidak. Kebetulan kan sudah punya skill menganyam,” papar dia. Tak semua bambu bisa digunakan untuk membuat anyaman tempat tisu. Bambu yang dipilih adalah jenis bambu apus. Itu karena karakter bambu apus lebih tipis dan ulet dibandingkan bambu ori atau bambu jenis Jawa.
“Saat dianyam juga lebih enak, karena lentur,” papar dia. Dalam memproduksi kerajinan anyaman bambu, Budi dibantu beberapa tetangganya. Budi kadang mengambil atau membeli hasil anyaman mentah dari tetangganya. “Untuk satu lembar anyaman saya mengambilnya Rp 4 ribu, lalu saya lanjutkan membuat dengan model saya sendiri,” papar dia.
Namun sebelum dibuat jadi tempat tisu, bambu tersebut harus dijemur di bawah terik matahari selama dua hari. Itu dilakukan untuk menghilangkan kadar air yang ada di dalam bambu. Semakin kering anyaman tersebut, semakin awet produknya.
“Karena tidak mudah dimakan totor dan bisa bertahan hingga lima tahun,” jelas dia. Satu buah tempat tisu buatannya dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Mulai Rp 4 ribu hingga Rp 10 ribu. Ada juga model ukuran jumbo yang dijual dengan harga Rp 25 ribu.
Dalam seminggu Budi bisa menghasilkan 50 buah tempat tisu. “Kadang saya juga membuat berdasarkan pesanan. Biasanya pesanan terbanyak dari Surabaya,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com