JOMBANG – Belum banyak yang tahu, jika di Jombang ada pembuat gantungan baju. Ya, Viki Maulana, warga Dusun/Desa Jogoloyo Kecamatan Sumobito, menggeluti usaha gantungan baju yang dirintis orang tuanya.
“Usaha ini sebetulnya dirintis ayah saya sejak tahun 1996, saya hanya meneruskan, ceritanya dulu memang hanya iseng memanfaatkan kawat bekas gantungan timba. Karena ada saudara yang membuat gantungan timba, ayah saya mencoba membuat gantungan baju, terus berhasil dan sampai sekarang tetap jalan,” begitulah sepenggal cerita yang diungkapkan Viki, sapaan akrabnya kemarin.
Berawal dari yang sangat sederhana itulah, tak disangka usaha yang dirintis ayahnya bertahan hingga saat ini. Tentu saja kini sudah tidak menggunakan kawat bekas lagi, karena banyaknya pesanan dari pelanggan. Namun ia tetap memanfaatkan limbah kayu dari pabrik besar dari Gresik untuk diolah kembali.
Ia sengaja tak membeli kayu gelondongan, alasannya karena harga yang terlalu mahal dan pengerjaan yang lebih rumit. Berbeda dengan serpihan kayu bekas, ia hanya perlu memotong sesuai panjang yang diinginkan.
“Kalau kayu gelondongan mahal sekali, apalagi memotongnya nanti masih dalam bentuk besar, jadi sampai saat ini hanya menggunakan kayu limbah dari pabrik di Gresik,” tambahnya.
Sejak gantungan bajunya banyak diminati, ia tak lagi membuat gantungannya dengan menggunakan kawat bekas. Sayangnya semakin berkembangnya usahanya semakin mahal pula bahan baku.
Kenaikan dolar yang membuat kenaikan semua bahan baku tentu berimbas pada kenaikan harga jualnya pula. Beruntung, kenaikan harga tak berlangsung drastis sehingga masih cukup bisa diterima masyarakat.
“Kenaikan tidak langsung banyak, jadi masih dimaklumi, kita juga menyesuaikan harga bahan baku dengan harga jualnya, agar tidak rugi,” jelasnya. Dari tahun ke tahun, Viki mengaku mengalami kenaikan harga secara berkala. Dulu awal penjualan, gantungan bajunya hanya dijual mulai Rp 1.800 hingga Rp 2.500 saja. Tapi sekarang bisa mencapai Rp 5 ribu sesuai dengan ukurannya.
Untuk ukuran paling pendek yaitu enam gantungan harganya Rp 6 ribu, untuk tujuh gantungan Rp 4,5 ribu dan yang paling besar atau delapan gantungan Rp 5 ribu. “Harga ini sudah naik berkali-kali lipat dari awal pembuatan dulu, kita sesuaikan dengan bahan bakunya,” tambahnya.
Di awal-awal mengembangkan pasar, cukup sulit. Hanya saja saat ini sudah memiliki banyak jaringan dan pelanggan yang otomatis datang sendiri untuk memesan. Pelanggannya menyebar di hampir seluruh wilayah Jatim, termasuk Jombang sendiri.
Viki sudah berani produksi masal, karena pesanan datang sewaktu-waktu, dengan dibantu dua karyawannya, ia menghasilkan sekitar 240 gantungan per harinya. Dan bisa terjual sekitar 2.000 biji setiap bulan.
“Kita cukup kesulitan cari karyawan, sebetulnya mudah dan banyak yang berminat, tapi keterampilannya yang kurang memadai, karena buat gantungan baju harus ulet dan telaten,” tambahnya.
Ya, pembuatan gantungan baju memang cukup rumit. Yang pertama pengolahan limbah kayu dirapikan menjadi ukuran yang diinginkan, kemudian dibungkus menggunakan plastik khusus, setelah itu baru menempelkan kawat yang sudah diberi slang untuk jadi pengaitnya. Baru di ujung kawat diberi hiasan agar tidak merusak baju.
“Pembuatannya butuh tenaga orang-orang ulet, jadi memang harus teliti dan sabar, apalagi ngelem hiasannya itu satu per satu,” jelasnya. Pemasaran dulu awalnya hanya dari toko ke toko, namun sekarang sudah melalui reseller grosir perabotan rumah tangga di berbagai kota di Jatim.
Sayangnya, dibalik laku kerasnya gantungan baju yang dibuat Viki, gantungan baju miliknya belum diberi label. Sehingga banyak dijiplak orang lain. “Ayah memang tidak ingin ada label, katanya terlalu ribet pengerjaannya, sedangkan harganya tidak seberapa. Tapi yang jiplak gantungan baju milik kita cirinya kawat lebih kecil, kita menggunakan kawat yang besar, jadi lebih awet,” jelasnya.
Meski bukan menjadi kebutuhan yang dibeli orang setiap hari, Viki mengaku penjualannya dari tahun ke tahun meningkat. “Alhamdulillah semakin tahun semakin meningkat, paling ramai jelang kenaikan kelas sama Ramadan,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com