Kebanyakan dari kita tentu mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar, tentang seni Ludruk. Kesenian yang memiliki format pertunjukan sandiwara ini berasal dari Jawa Timur. Dan pastinya kita pun langsung berasumsi bahwa seni ludruk adalah sebuah pertunjukan hiburan yang humoris belaka. Hal ini dapat dimaklumi mengingat memang demikianlah ‘image’ ludruk masa kini dalam perspektif kebanyakan masyarakat kita.
Namun jika ditelaah lebih jauh mengenai sejarah perkembangannya, ternyata seni ludruk pernah menjadi instrumen perlawanan rakyat jelata atau wong cilik terhadap kekuasaan baik semasa era feodalisme Jawa, kolonialisme Eropa maupun fasisme Jepang. Pada masa-masa itu, ludruk menjadi wadah pelampiasan kekesalan dan kemuakan rakyat terhadap penindasan kekuasaan, ketika rakyat merasa tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara frontal. Ludruk menjadi sebuah seni pertunjukan yang menentang arogansi kekuasaan kaum feodal dan kolonial secara sarkastik.
Sejarah Seni Ludruk
Bila meninjau sejarah, terdapat dua versi sejarah kemunculan ludruk. Salah satu versi menyatakan bahwa ludruk merupakan kesenian rakyat yang berasal dari daerah Jombang. Sementara versi lainnya menjelaskan bahwa ludruk pertama kali muncul di kota Surabaya. Beberapa versi juga menjelaskan asal muasal dari nama ludruk. Dikatakan bila istilah ‘ludruk’ berasal dari pertunjukan yang diadakan tukang lawak atau badut yang berkeliling dari rumah ke rumah sambil menari dengan menghentakkan kakinya ke tanah sehingga menimbulkan suara “gedruk-gedruk”. Dari sinilah nama ludruk kemudian digunakan.
Tidak diketahui secara pasti pada masa apa sesungguhnya kesenian ludruk itu muncul. Bagi pihak yang meyakini bahwa seni ludruk lahir di Jombang, menurut mereka ludruk muncul di awal abad 20. Seni ludruk berawal dari seni pertunjukan yang diisi lantunan syair dan tetabuhan sederhana. Pentas seni tersebut dilakukan secara berkeliling dari rumah ke rumah ataungamen. Para pemainnya yang seluruhnya laki-laki mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias sedemikian rupa seperti badut. Oleh sebab itu masyarakat menamai para pemain kesenian itu sebagai Wong Lorek, yang dikemudian hari berubah menjadi Lerok dan digunakan untuk menamai seni pertunjukan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, seni lerok berubah nama menjadi seni ludruk.
Sementara versi lainnya menyatakan bahwa cikal bakal seni ludruk sebenarnya telah ada sejak masa Kerajaan Kanyuruhan di Jawa Timur pada abad 8 (S.Wojowasito, 1984). Sebagai buktinya, ada peninggalan peradaban abad 8 berupa Candi Badut yang dipercaya sebagai peninggalan para seniman badut masa itu. Lalu apa kaitan badut dengan ludruk? Merujuk pada kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk dapat diartikan sebagai Grappermaker atau badutan. Jadi, pada masa itu ludruk atau badutan merupakan pertunjukan rakyat yang sifatnya humoris namun memiliki nuansa perlawanan terhadap kekuasaan dan kebudayaan adiluhung milik kalangan elit kerajaan.
Nuansa perlawanan seni ludruk pun berlanjut dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai tema cerita yang mengobarkan semangat perlawanan dan rasa kebencian rakyat terhadap penguasa kolonial dipentaskan oleh banyak grup ludruk. Kisah-kisah semacam “Sarip Tambak Oso” dan “Sakera” yang mengangkat cerita heroisme rakyat Jawa Timur dan Madura dalam melawan VOC Belanda amat populer dimasa penjajahan.
Salah satu tokoh seniman ludruk yang senantiasa mempropagandakan nilai-nilai nasionalisme dan anti kolonialisme adalah cak Durasim. Beliau mendirikan sebuah organisasi ludruk pada tahun 1933 yang bernama Ludruk Oraganizatie (LO). Organisasi Ludruk ini populer di kalangan rakyat karena keberaniannya dalam mengkritik imperialis Belanda maupun Jepang. Perjuangan cak Durasim dan kawan-kawan berujung pada penangkapan dan pemenjaraan mereka oleh penguasa fasis Jepang sebagai akibat lirik kidungan Jula Juli yang dilantunkan grup cak Durasim pada sebuah pementasan. Kidung tersebut memuat lirik yang menyinggung pemerintah Jepang yakni, “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”. Konon cak Durasim disiksa oleh Jepang hingga wafat dalam tahanan.
Pada masa kemerdekaan, ludruk menjadi alat propaganda berbagai partai politik, seiring dengan kontestasi politik yang kencang baik dimasa demokrasi liberal tahun 1950-an maupun masa demokrasi terpimpin tahun 1960-an. Namun, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lekra lah yang paling gencar mengakomodasi ludruk sebagai instrumen perjuangan ideologis. Hal ini terkait dengan landasan perjuangan PKI dan Lekra yang ingin mengangkat seni budaya rakyat sebagai alat perjuangan melawan dominasi kebudayaan imperialis yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Perjuangan PKI di lapangan kebudayaan tersebut seiring dengan politik anti nekolim yang digelorakan Presiden Soekarno ketika itu. Grup ludruk dibawah naungan PKI yang paling populer adalah Ludruk Marhaen yang pernah pentas diistana negara sebanyak 16 kali.
Menyusul kejatuhan Bung Karno dan penumpasan kekuatan politik kiri pasca tragedi 1965, seni ludruk pun mengalami masa-masa sulit. Rezim militer Orde Baru mengekang bahkan melarang pementasan ludruk selama beberapa waktu. Ludruk diidentifikasi sebagai seni komunis yang lekat dengan Lekra. Di awal dekade 70-an, ludruk kembali diizinkan untuk eksis oleh pemerintah namun dengan pengawasan dan pembinaan yang ketat oleh pihak militer. Di berbagai daerah terjadi peleburan dan pembentukan grup-grup ludruk dengan supervisi yang mutlak dari struktur komando teritorial militer. Esensi seni ludruk yang awalnya merupakan wadah perlawanan rakyat terhadap penguasa pun berangsur hilang. Ludruk beralih menjadi alat propaganda berbagai program pemerintah Orde Baru seperti Repelita maupun Keluarga Berencana (KB).
Ludruk di Masa Kini
Setelah reformasi, seni ludruk kembali independen dari kekangan aparatur ideologis kekuasaan. Namun terjangan mekanisme pasar juga berdampak pada makin lunturnya nilai-nilai kerakyatan dan heroisme dari seni ludruk. Ludruk hanya menjadi seni hiburan yang mengundang gelak tawa penonton belaka, tanpa ada tujuan yang jelas dari cerita yang dipentaskan. Faktanya, memang masih ada kisah-kisah yang bermuatan kritik sosial dilakonkan dalam seni ludruk masa kini, tetapi ‘roh’ dari seni ludruk sebagai alat perlawanan wong cilik terhadap imperialisme seringkali tidak muncul pada kebanyakan pertunjukan ludruk kini. Situasi faktual yang menunjukkan terancamnya nasib jutaan kaum Marhaen negeri ini oleh sistem imperialisme baru, menuntut kita untuk mengembalikan seni ludruk pada ‘khittahnya’ sebagai “penyambung lidah” wong cilik.
Penulis: –
Article courtesy: sejarahri.com
Photo courtesy: youtube.com
Tumbuh dan besar pada zamannya ada di daerah pedesaan membuat saya akrab dengan banyak sekali permainan tradisional. Ya jauh dari sentuhan teknologi, yang membuat kami bergerak dan fisik terlatih, yang membuat kami secara intens berinteraksi satu sama lain. Permainan tradisional ini sering sekali saya mainkan bersama teman-teman ketika sore hari atau ketika libur sekolah.
Gedreg
Gedreg adalah permainan dengan menggunakan bidang tanah atau lantai. Kami akan membuat bidang berupa segi panjang dengan menggunakan kapur atau apapun. Nah, kemudian kami menggunakan pecahan genteng yang disebut dengan kreweng. Cara mainnya adalah pecahan genteng tersebut kami letakkan di kotak awal start, kemudian dengan kaki kami mendorong kreweng tersebut ke kotak lainnya sampai kotak finish. Geseran kreweng tidak boleh lompat keluar dari kotak berikutnya. Nah, setelah berhasil sukses finish, maka kami akan diberi kesempatan untuk melemparkan kreweng ke bidang kotak tersebut dari belakang, jadi kami membelakangi bidang tersebut. Kotak yang mana kreweng yang kami lempar jatuh, maka akan menjadi milik kami kotak tersebut. Kotak ini tidak boleh dilewati oleh pemain berikutnya. Artinya geseran kreweng harus melewati kotak milik orang lain.
Obak sodor
Obak sodor juga menggunakan tanah atau lantai sebagai bidang. Kami dibagi menjadi 2 tim dengan masing-masing beranggotakan beberapa orang. Ada orang yang jaga dan ada orang yang berlari. Orang yang jaga adalah mereka yang harus menjaga agar lawan tidak bisa melewati kotaknya. Lawan yang terkena sentuhan tangan maka dia akan mati. Sedang yang bisa finish semuanya akan tiba giliran menjadi penjaga. Permainan ini akan diulangi sampai ada tim yang anggotanya “mati” semua.
Dakon
Dakon dilakukan dengan menggunakan bidang, lubang, kotak atau semacamnya serta biji atau kerikil sebagai tambahan. Masing-masing bidang akan diberi kerikil atau sejenisnya dengan jumlah yang sama. Pemain akan mulai dari kotak start pertama dan akan berpindah kotak dengan memberi/ meninggalkan satu biji di tiap kotak yang dilalui dan akan berakhir sampai biji terakhir. Ini yang namanya duak. Duak ini adalah ketika kamu mendapatkan biji terakhir entah berapapun jumlanya. Jika di kotak yang berlawanan ada biji, maka itu juga akan menjadi kepunyaamu. Permainan diulangi dan yang menang adalah yang memiliki biji terbanyak di akhir permainan.
Bekel
Bekel sebenarnya adalah permainan anak perempuan namun kadang-kadang dimainkan anak laki-laki juga. Perangkatnya adalah berupa bola karet dan beebrapa semacam biji yang terbuat dari logam. Cara mainnya adalah bola dilambungkan dan sampai memantu lantai. Ketika memantul maka kamu harus meraih biji tersebut dan langsung mengambil bola karet sebelum bola tersebut memantul kedua kali. Total biji yang ada di setiap permainan adalah sekitar 6. Nah, setelah kamu ambil satu per satu, maka kamu ulangi sekali ambil dua, tiga, dan seterusnya. Pemain yang menang adalah yang bisa mengambil semua biji tersebut sampai senam sekaligus sekali pantul.
Pasaran
Namanya juga pasaran. Ya isinya adalah berupa mainan bahan-bahan pangan atau kebutuhan sehari-hari. Bahan-bahan pangan ini tentu bukan suatu yang asli namun dibuat dari daun, batang atau lainnya dari alam. Misalnya daging, adalah dibuat dari inti batang pisang, minyak sayur dibuat dari perasan daun waru muda, mie dibuat dari daun mangkok yang dicincang-cincang, dan lain sebagainya. Nah semuanya menggunakan alat sederhana termasuk piring yang dibuat dari daun mangkok atau daun pisang. Pasaran ini seru sekali. Anak-anak kecil ini berlaku seolah-olah sudah dewasa dan sudah mahir urusan dapur ehehe.
Obak Jompret
Obak jompret artinya sembunyi dan ditemukan. Pemain akan suit dan yang kalah akan menjaga. Nah, setelah yang jaga matanya ditutup dan berhitung beberapa saat, maka pemain lain akan sembunyi. Penjaga harus menemukan satu per satu sembari menjaga ‘rumahnya’. Apabila menemukan yang bersembunyi maka dia harus buru-buru memegang ‘rumahnya’ jika yang ditemukan lebih dulu maka dia bebas dari kemungkinan menjadi penjaga berikutnya. Mereka memegang ‘rumah’ tersebut dengan bilang “jompret!”
Benteng
Benteng adalah permainan yang terdiri dari dua tim dimana setiap orang dalam tim harus melindungi bentengnya dari lawan sembari menyerang benteng lawan. Pemenang adalah mereka yang berhasil memegang benteng lawan, bisa berupa pohon, tiang, dan sebagainya. Nah, jika dalam penyerangan itu kamu tertangkap maka dia akan menjadi tawanan. Tawanan ini bisa dibebaskan oleh musuh dengan memegang tawanan yang ditempatkan di benteng musuh. Pemenang adalah yang bisa memegang benteng lawan terlebih dulu.
Dulinan Tali
Ya ini permainan lompat tali karet. Karet disambungkan satu persatu menjadi banyak dan panjang dan kemudian dipegang oleh dua orang masing-masing di sisinya. Dibentangkan panjang dan kemudian ada anak lain yang melompat dari satu sisi ke sisi lainnya. Di permainan ini sepertinya tidak ada kalah atau menang, yang ada adalah naik level. Semakin naik levelnya maka tali akan makin ditinggikan mulai dari selutut, sepinggang, sedada, sekuping dan seterusnya. Adapun lompatan ada dua yakni lompatan biasa dan lompatan menyilang. Selain itu ada juga menggaro yakni melompat di tali secara terus menerus sampai capek lompatan terakhir. Biasanya menggaro ini adalah untuk rekor paling banyak/ banyak-banyakan.
Egrang
Egrang adalah batang bambu atau kayu yang dibuat semacam pegangan dan pijakan di kaki dan digunakan untuk berjalan. Egrang ini diinjak pada bagian injakan dan kedua tangan memegang bagian atasnya. Bermain egrang membutuhkan focus dan keseimbangan.
Nekeran
Nekeran adalah permainan menggunakan kelereng. Biasanya kami membuat lingkaran yang kemudian di tengahnya kami beri kumpulan kelereng. Setiap orang memberi jumlah kelereng yang sama kemudian tiap orang memiliki giliran untuk menembakkan kelereng ke lingkaran tersebut. Kelereng yang terpencar ke luar akan menjadi milik si penembak.
Wok-wokan
Ini juga permainan menggunakan kelereng. Pertama akan dibuat lubang-lubang di tanah kemudian kelereng akan dilemparkan ke dalam lubang tersebut. Kelereng yang masuk lubang satu akan berlanjut dibidik ke lubang berikutnya. Demikian sampai selesai. Yang menang adalah yang berhasil finish terlebih dahulu.
Mahkota-Mahkotaan
Ini saya agak lupa dengan namanya. Yang jelas adalah dengan menggunakan daun lamtoro. Daun lamtoro dibuang hanya disisakan batang yang paling ujung saja. Kedua batang daun diikat kemudian diadu satu sama lain. Pemenangnya adalah yang berhasil mempertahankan ikatan tersebut karena yang kalah maka ikatan akan tercabuk ke pemenang. Disebut dengan mahkota karena pemenang bentuknya akan mirip mahkota.
Cublek-Cublek Suweng
Permainan ini dilakukan dimana satu orang duduk membungkuk sedang yang lainnya meletakkan satu telapak tangan masing-masing di bagian punggung. Satu anak akan membawa biji atau satu benda kemudian mereka menyanyi lagu cublek-cublek suweng. Benda tersebut akan diputar dari satu tangan ke tangan lain. Nah ketika lagu berhenti maka semua anak akan menggenggam tangannya. Anak yang membungkuk tadi harus menebak sekali dimana biji tersebut disembunyikan/ di anak mana. Nah jika salah maka dia harus mengulangi lagi. Jika benar, maka anak yang menyembunyikan tadi yang harus membungkuk.
Poin
Poin adalah permainan ketangkasan dengan menggunakan kreweng/ pecahan genting dan bola kasti atau bola tenis. Kreweng disusun tegak berdiri vertikal. Ada 2 tim, tim pertama adalah penjaga kreweng kedua adalah penyerang. Penyerang kreweng ini akan meluncurkan bola di atas tanah atau lantai dan ketika bolanya mengenai susunan kreweng dan kreweng akan tercerai berai. Penjaga kreweng ini yang harus menyusunnya kembali. Nah penyerang ini yang harus memukulkan bola kasti ke arah anak-anak penjaga kreweng. Siapa yang kena bola maka akan mati. Jika kreweng bisa tersusun lagi seperti semula, maka tim penjaga yang akan menang. Begitu pula sebaliknya.
Dulinan Karet
Ini adalah bentuk permainan karet yang lain. Jadi anak-anak akan memasang kayu atau bambu di tanah. Kemudian anak-anak dari jarak yang sudah ditentukan. Nah, di tiap bambu tadi sudah diberi karet yang lain dengan demikian maka anak yang bisa memasukkan karet ke dalam bambu tadi akan mendapatkan karet yang ada di dalamnya. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Layangan
Layangan atau dalam Bahasa Indonesianya adalah layang-layang. Layang-layang di daerah saya bentuknya bisa dibilang sangat konvensional atau umum. Nah yang membedakan adalah jenis senarnya. Senar yang pertama adalah senar biasa sedang senar yang kedua adalah gelasan. Gelasan ini artinya adalah senar yang sudah dilapisi oleh serpihan kaca sehingga tajam. Senar gelasan ini yang biasanya digunakan sebagai adu layangan. Layangan yang putus biasanya dikejar anak-anak dan yang dapat akan memiliki layangan tersebut.
Ulo-Uloan
Jadi anak-anak akan berkumpul dan berdiri membentuk barisan menyerupai ular dari kepala sampai ekor. Nah ada satu orang yang akan berupaya untuk memegang ekor ular tersebut. Nah si ular ini harus berupaya menghindar sebisa mungkin. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Benthek
Benthek adalah permainan dengan menggunakan potongan kayu. Biasanya kayu yang digunakan adalah kayu yang ringan. Potongan pertama lebih pendek dan kedua lebih panjang digunakan sebagai tongkat pemukul. Di tanah, pertama dibuat lubang dan kemudian potongan kayu yang pendek diletakkan sehingga membentuk sudut kira-kira 45 derajat. Dengan potongan kayu panjang ini kamu pukul potongan kayu pendek sehingga dia terlempar sejauh mungkin. Pemenang adalan yang bisa melempar paling jauh.
Ninja-Ninjaan
Ini sebenarnya semacam perang-perangan. Dengan menggunakan sarung, kami membuat topeng ala ninja, topeng yang sederhana. Kemudian kita bersembunyi dan saling menemukan atau menyerang satu sama lain.
Drakula-Drakulaan
Pertama ditentukan siapa yang akan menjadi drakula melalui suit. Yang kalah suit akan menjadi drakula. Lantas di tanah akan dibuat lingkaran besar. Nah anak anak lainnya akan berada di lingkaran ini. Si drakula di awal akan mengetuk pintu:
‘Thok thok thok thok. Permisi” kata drakula
“Siapa ini?” tanya penghuni rumah
“Aku tetangga sebelah” jawab drakula
Kemudian penghuni rumah membuka pintu dan alangkah kagetnya dia ketika yang datang adalah drakula. Seketika itu pula dia langsung menutup pintu dan drakula kemudian berlari mengitari lingkaran dan berusaha memegang salah satu penghuni rumah. Penghuni rumah yang terpegang akan menjadi drakula selanjutnya.
PAMERAN – Gelar potensi Jombang ( GPJ ) merupakan event tahunan dengan pemangku kegiatan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Jombang yang dihelat (18-22/8) mendatang di area Makam Gus Dur Tebuireng Jombang.
Pameran ini sebagai wahana menampilkan, mempromosikan dan memasarkan produk UKM agrobis serta potensi unggulan yang ada di kota santri.
Diharapkan, mampu memberi gambaran secara nyata dan menyeluruh potensi serta keanekaragaman potensi dan produk asli Jombang yang bernuansa islami. GPJ tahun ini dapat menjadi ajang promosi investasi secara faktual, sehingga perlu diupayakan pemberdayaan secara maksimal dan memililki peran yang sama dengan promosi berskala nasional.
GPJ ini salah satu upaya pemkab untuk mendorong dan meningkatkan arus investasi di daerah, serta dalam rangka tumbuhkembangkan perekonomian daerah. Terutama di sektor koperasi dan UMKM.
Karena itu perlu campur tangan keterlibatan pelaku dunia usaha, dunia pendidikan dunia kesehatan ataupun pesantren.
GPJ juga ajang tepat bagi masyarakat Jombang untuk melakukan interaksi dan jual beli langsung antara produsen dan konsumen.
”Bagi masyarakat Jombang mari kita sukseskan GPJ dengan menghadiri dan memanfaatkan event sebagai wisata bersama keluarga tercinta, agar apa yang dicanangkan pemkab, sejahtera untuk semua akan terwujud secara nyata,” tutur Abdul Qudus, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Jombang.
(jo/bin/bin/JPR)
KABARJOMBANG.COM – Kemesraan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kodim 0814/Jombang bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), tampak di pelosok Kabupaten Jombang, yakni di Dusun Banyuasin, Desa Kromong, Kecamatan Ngusikan, Kamis (10/8/2017).
Dengan membawa 2 tangki mobil yang berisi 10 ribu liter air bersih, mereka menuju dusun yang berada di perbatasan antara Kabupaten Jombang dengan Kabupaten Lamongan. Setelah hampir 2 jam menempuh perjalanan, ratusan warga yang siap menanti, memberi senyuman bahagia atas datangnya air bersih yang mereka bawa.
Tak ayal, rombongan disuguhkan dengan ember, serta timba kosong yang akan digunakan untuk menerima bantuan air bersih. “Ini merupakan bentuk sinergisitas antara wartawan dengan TNI yang kita aplikasikan pada kegiatan sosial kepada masyarakat,” ujar Muktar Bagus, Ketua IJTI Korda Majapahit, saat di lokasi.
Menurutnya, bantuan air bersih ini sengaja diberikan warga karena kondisi dusun tersebut yang hampir setiap hari tidak bisa menikmati bersihnya air di tanah kelahiran mereka. Sebab sejak beberapa tahun, mereka hanya mendapatkan jatah 12 liter per hari dari tandon air yang dimiliki dusun setempat.
Bahkan, mereka terpaksa menggunakan resapan air sungai untuk bisa digunakan sebagai kebutuhan rumah tangga, seperti mencuci dan mandi. “Lokasi ini sudah kita pantau beberapa waktu lalu dan memang mereka mengalami krisis air bersih. Nah, pada Hari Kemerdekaan RI ini, sedikit bantuan air bersih kita berikan secara gratis,” terangnya.
Sementara itu, Komandan Koramil Ngusikan, Kapten Samsul, membenarkan hal tersebut. Dari penuturannya, memang warga setempat mengalami krisis air bersih untuk kebutuhan memasak. Dari data yang dikantonginya, ada sekitar 107 Kepala Keluarga (KK) yang berada di dusun tersebut. Mereka menggantungkan kebutuhan air dari tandon air yang harus dibagi dengan warga lainya.
“Memang kondisi warga kekurangan air bersih, sehingga kita mengumatakan bantuan ini berupa suplai air bersih. Setidaknya, bisa mengurangi derita mereka saat ini. Ini kan momentum Kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga pantaslah jika untuk hari ini mereka merdeka atas bantuan air bersih yang kita salurkan bersama-sama,” pungkasnya. (aan/kj)
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Sebanyak 12 orang pastor Serikat Jesuit dari beberapa negara berkunjung ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Rabu (9/8/2017).
Kunjungan tersebut merupakan rangkaian acara pertemuan rutin pastor yang tergabung dalam Jesuits Among Muslims (JAM) yang tahun ini digelar di Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut, mereka juga menyempatkan diri berziarah ke makam Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Delegasi ini dipimpin Romo Franz Magnis-Suseno SJ tersebut disambut Sekretaris Utama Pesantren Tebuireng, KH Abdul Ghofar di Dalem Kasepuhan Tebuireng.
Dalam dialog yang berlangsung akrab dan dibalut nuansa kekeluargaan, anggota delegasi yang berasal dari Jerman, Perancis, Nigeria, Turki, India, Spanyol dan Roma itu menanyakan banyak hal tentang Islam dan pesantren.
“Salah satu pastor dari Jerman bahkan bertanya, apakah seorang nonmuslim bisa diterima belajar di pesantren,” tutur pria yang akrab dipanggil Gus Ghofar itu.
Pertanyaan lain terkait dengan pola rekrutmen santri dan keberadaan santri putri.
“Pastor dari Nigeria sempat bertanya, apakah di Pesantren Tebuireng juga ada santri perempuan dan bagaimana pola relasi keseharian mereka dengan santri putra,” imbuh Gus Ghofar.
Yang tidak kalah menarik, dalam kesempatan tersebut, Romo Ignatius Ismartono SJ, menanyakan tingginya selera humor kaum santri dan warga Nahdlatul Ulama.
“Apakah di pesantren ada kurikulum atau faktor khusus yang membuat selera humor santri sedemikian tinggi?” tanya pria kelahiran Yogyakarta itu.
Pertanyaan itu tentu saja mengundang tawa seluruh peserta dialog. Bukannya mendapat jawaban serius, pertanyaan Romo Ismartono justru memancing peserta dialog berbagi kisah humor yang banyak diceritakan oleh Gus Dur semasa hidupnya.
Romo Franz Magnis-Suseno yang semula serius menyimak alur dialog lalu menceritakan kisah lucu yang pernah didengarnya dari Gus Dur.
Kisah lucu itu terkait tiga orang sedang antri di depan pintu surga. Satu orang pendeta, satu orang kiai dan satu orang yang berpakaian compang-camping.
Saat pendeta dan kiai sedang khusyu’ dan tawaduk menunggu antrian masuk sorga, datang lelaki berpakaian compang-camping yang tiba-tiba menyibak antrian dan langsung dipersilahkan oleh malaikat untuk memasuki pintu sorga. Melihat itu, sang kiai dan pendeta bertanya kepada malaikat,
“Siapa dia? Kenapa orang seperti itu bisa seenaknya masuk sorga dan mendahului kami?” kisah Romo Magnis dalam Bahasa Inggris.
Mendapat pertanyaan itu, malaikat menjawab, “Dia itu sopir bis jurusan Jakarta. Dia berhak masuk sorga lebih dulu, karena saat dia duduk di balik kemudi, semua penumpang terjaga dan berdoa dengan khusyu’ (karena sopir ngebut, red).
Sementara kalian, saat kalian berkhotbah di mimbar, umat kalian justru mengantuk dan tertidur lelap,” tutur Romo Magniz yang langsung disambut tawa para pastor.
Sebelum meninggalkan Pesantren Tebuireng, para pastor itu sempat berkeliling di kawasan makam dan memasuki salah satu kamar santri.
Mereka juga berdialog langsung dengan salah satu pembina santri.
Tampak hadir dalam pertemuan tersebut, Romo Gregorius Sutomo SJ (seorang pastor yang berhasil menyelesaikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Wakil Rektor II Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Muhsin Kasmin dan beberapa pengurus PP Tebuireng.
Menanam dengan cara hidropohnik atau budidaya menanam tanpa menggunakan tanah, semakin banyak digemari sebagian orang.
Selain hemat tempat, menanam dengan cara hidroponik dinilai sebagai salah stau cara mendapatkan produk yang lebih sehat.
WENNY ROSALINA, Megaluh
Di banyak tempat, kini sudah banyak masyarakat yang mempraktikkan dan berhasil. Salah satu yang mencoba sistem hidroponik ini Ulin Nikmatur Rosyidah, 24, gadis cantik asal Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh. Aktifitas yang awalnya berangkat dari hobi, kini sudah merambah ke dunia bisnis.
’’Jadi sayur yang saya tanam tidak hanya dimakan sendiri atau diberikan kepada tetangga, tapi juga dijual,” katanya.
Ya, itu karena pada umumnya tanaman yang dibudidayakan dengan cara hidroponik memiliki masa tanam, yang lebih pendek dengan harga jual yang cukup mahal.
Meskipun semua tanaman bisa dibudidayakan dengan menggunakan cara hidroponik, tapi Ulin sapaan aktrabnya memilih menanam sayuran.
’’Mulai dari sayur, hingga buah-buahan semuanya sebetulnya bisa ditanam dengan cara hidroponik, tapi umumnya sayuran,’’ terangnya.
Sayuran yang ditanam Ulin adalah sawi daging atau sawi sendok, ia biasa menyebutnya pakcoy.
Sawi ini memiliki bentuk yang lebih pendek, tumbuh menyamping, memiliki batang dan daun yang lebih tebal dibandingkan dengan sawi pada umumnya, rasanya juga sedikit manis. Pakcoy jarang ditemukan di pasaran karena harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan sawi biasanya.
’’Pakcoy jarang ada di sini, warga pasti penasaran dengan sayuran ini, awalnya pasti mencoba dan sekaligus saya sisipan edukasi setiap mereka bertanya,” lanjutnya.
Ulin memang seringkali memberikan pengajaran tentang makanan sehat kepada setiap orang yang bertanya, dengan harapan warga sekitarnya lebih sadar dengan cara hidup sehat dan membudayakan menanam sayur sendiri tanpa pestisida dan pupuk kimia lainnya yang membahayakan untuk tubuh dalam jangka panjang.
Ia sudah melakoni hobinya ini sejak satu tahun yang lalu. Kepada Jawa Pos Radar Jombang, sarjana pertanian dari salah satu universitas di Malang ini menceritakan jika pernah beberapa kali gagal menanam dengan cara hidroponik, saat ia pertama kali mencobanya.
Berawal dari ketidakpuasannya mendapatkan banyak teori dan sedikit praktik saat ia kuliah dulu, ia mencoba memanfaatkan ilmunya dengan bergabung dalam komunitas hidroponik.
Awal mencoba, ia hanya menggunakan botol air mineral bekas yang didapat dari teman-temannya. Menggunakan botol ia gagal, kemudian mencari kesalahannya, lalu mencoba kembali dan berhasil.
Berhasil menggunakan botol kemudian ia mencoba menggunakan boks, usahanya menggunakan box berhasil meskipun tidak maksimal karena air yang jarang diganti dan akhirnya kotor lalu berimbas kepada sayuran yang tumbuh tidak sehat.
Belajar dari pengalaman kurang sempurnanya ia kembali mencoba dan hasilnya bagus, tanaman bisa tumbuh dengan sehat dan bagus.
’’Menggunakan boks saya berhasil lalu saya menggunakan paralon, tapi masih satu tingkat, sebetulnya bisa disusun vertikal, hanya saja modalnya cukup besar,” ungkapnya.
Tidak hanya hidroponik, ia juga gemar menanam dengan sistem tanaman organik.
Baginya menanam hidroponik dan organik sama-sama sehat karena hanya menggunakan pupuk kandang dan pupuk kompos sebagai sumber nutrisi tanaman bagi organik.
Hanya saja menanam hidroponik lebih efisien tempat dan juga bisa tumbuh lebih cepat.
Menanam dengan cara hidroponik hanya menggunakan air dan pupuk AB-mix sebagai nutrisi tanaman.
Hanya saja menanam dengan cara ini boros di listrik karena diperlukan pompa untuk mengalirkan air setiap saat. ’’Kalau mati lampu sebentar saja, tanamannya pingsan dan bisa mati kalau terlalu lama,” katanya lagi.
Untuk menanam hidroponik hanya diperlukan benih, rock wool atau sejenis busa yang digunakan sebagai pengganti tanah untuk menopang akar, pompa air, paralon yang sudah diberi lubang dan salurannya, serta cup transparan yang sudah diberikan kain flanel untuk menyerap air ke atas.
Busa yang sudah disiapkan dipotong persegi masing-masing 2 centimeter, lalu ditata ke dalam nampan, lantas diberi air hingga basah, baru ditaburkan benih.
Untuk benih pakcoy biasanya Ulin memberikan satu benih di masing-masing busa, karena pakcoy tumbuh menyamping, sedangkan untuk kangkung, atau bayam ia memberi lebih banyak benih dalam satu busa.
Benih berubah menjadi bibit dalam waktu 2 minggu, baru kemudian dipindah dalam cup, masing-masing cup berisi satu busa yang sudah ada bibitnya, lalu diletakkan dalam paralon yang sudah dilubangi.
Pupuk AB mix yang tadinya bubuk harus dicairkan dulu, satu kilogram pupuk dicairkan dengan air lima liter.
’’Itu nanti masih kental, nah ditambah air lagi sesuai dengan kebutuhan tanaman,” lanjutnya.
Nutrisi AB mix kemudian dicampurkan dengan air yang siap dialirkan dalam paralon menggunakan pompa air.
Tidak butuh waktu lama, dalam waktu satu bulan, pakcoy bisa dipanen. Ulin biasa menjual satu pakcoy dengan harga Rp 2 ribu. Menurutnya, banyak yang menyukai sayuran ini karena memang jarang ditemui di pasaran.
Belakangan Ulin dan beberapa remaja sedesanya juga membentuk komunitas yang gemar menanam sayuran organik dan juga hidroponik.
Hasil dari sayuran yang dipanennya kemudian dijual kembali. Harga jual sayuran organik tentu lebih mahal karena tanpa ada pestisida.
Jika di pasaran satu ikat kangkung bisa dibeli dengan harga Rp 500 saja, tapi sayuran Ulin yang lebih sehat dijual Rp 5 ribu per tiga ikat.
’’Tetap banyak yang suka, karena sambil beli sambil belajar, dan sdah diberitau juga kepada pembeli kalau sayuran ini betul-betul sehat,” pungkasnya
(jo/nk/bin/JPR)
JOMBANG, (suarajatimpost.com) – Kedatangan orang nomer satu di Jombang yakni Bupati Jombang H. Nyono Suharli Wihandoko dari Jakarta sekitar jam 08.00 wib disambut dengan pawai oleh warga Jombang, Kamis (03/8/2017).
Kedatangan Bupati Jombang disambut oleh semua SKPD Kabupaten disambut Forkopimda, Tokoh Agama serta Lembaga Pendidikan, dan Kepala Desa dan Warga se-Kabupaten Jombang.
Pawai tersebut dimulai dari Mojoagung, Gor Merdeka, terakhir Alun alun Jombang. Warga dengan senang dan bangga ikut pawai dikarenakan Jombang mendapat Penghargaan Adipura Kencana dan Adiwiyata.
Penghargaan Adipura dan Adiwiyata tersebut diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo kepada Bupati Jombang H. Nyono Suharli Wihandoko di Plaza Ir. Soedjono Soerjo Manggala Wanabakti Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Jakarta, Kamis (2/8/2017).
Bupati Jombang, H. Nyono Suharli Wihandoko, mengaku sangat bangga dengan penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup. Prestasi itu menurutnya dapat diraih karena kerjasama dan kebersamaan semua komponen dan elemen masyarakat.
“Adipura ini adalah adipura yang fenomenal Karena kriteria penilaiannya sangat ketat dan tinggi, sehingga, ini merupakan pencapaian dari Kabupaten Jombang yang luar biasa namun berkat kerja sama dari seluruh pihak, terutama masyarakat penghargaan ini dapat kita raih dan penghargaan Adipura ini adalah penghargaan milik seluruh warga Jombang,” ungkap orang nomer satu di Jombang ini.
Bupati Jombang mdnambahkan, adipura hanyalah sebuah lambang. Dan yang terpenting adalah adanya perubahan pola hidup masyarakat menuju pola hidup yang bersih dan sehat.
“Adipura adalah sebuah lambang. Namun yang terpenting adalah adanya perubahan pola hidup masyarakat yakni menuju pola hidup yang bersih dan sehat menuju masyarakat yang sejahtera,” paparnya.
Pada saat yang sama, SMPN 2 Jombang juga mendapatkan penghargaan Adiwiyata Mandiri. Yakni merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Presiden RI untuk sekolah yang telah mengembangkan komponen dan menciptakan budaya dan perilaku peduli lingkungan kepada warga sekolah. Penilaian dilakukan terkait kebijakan sekolah, kurikulum pembelajaran yang terintegrasi lingkungan hidup, kegiatan partisipatif dan sarana prasarana lingkungan.
Dengan demikian saat ini Kabupaten Jombang telah memiliki 9 sekolah Adiwiyata Mandiri, dan 7 sekolah Adiwiyata Nasional.
Dari pengakuan salah satu Kepala Desa Watudakon Kesamben Jombang yang ikut pawai, Ainun Najib S.P, mengatakan pada tim suarajatimpost.com, bahwa dirinya sangat senang Jombang menerima penghargaan Adipura dan Adiwiyata.
“Saya sangat senang mas makanya saya rela ikut pawai kirap ini walau pun ngantuk, panas, capek jadi hilang guna menyambut kedatangan Tropi Adipura dan Adiwiyata yang dibawah Bupati Jombang dari Jakarta,” ungkapnya sambil teriak Jombang Hebat.
KABARJOMBANG.COM – Demi berangkat haji ke tanah suci, Chumaijah, perempuan berusia 95 tahun ini, rela menyimpan hasil jualan tahunya hingga puluhan tahun. Bahkan menurutnya, uang tabungannya itu, sudah dikumpulkan semenjak dirinya berjualan tahu pada tahun 1965. Sehingga kini, ia dijadwalkan bisa berangkat pada tahun ini.
Saat ditemui di kediamannya, di Dusun Bapang, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto Kabupaten Jombang, ia bercerita tentang keinginannya untuk bisa berangkat haji. Menurutnya, tabungan dari hasil penjualan tahu, ia simpan sedikit demi sedikit untuk membayar pendaftaran haji selama 50 tahun. Dan saat ini, dirinya direncanakan berangkat haji tahun ini pada Kloter 77.
“Sejak tahun 1965, saya sudah mengumpulkan uang untuk pergi ke tanah suci. Saat itu, saya bersama suami saya masih berjualan tahu bersama-sama,” cerita nenek yang menjadi jamaah haji tertua di Kabupaten Jombang ini.
Namun saat ini, ia harus berangkat haji sendirian. Sebab, suaminya sudah terlebih dahulu meninggal dunia. Dirinya mulai mendaftarkan menjadi Calon Jamaah Haji tahun 2012. Ia berencana akan berangkat bersama anak ketiganya, yang saat ini mengurusi kesiapannya untuk berangkat haji Agustus mendatang.
Dalam kesehariannya, ia hanya berteman dengan hewan peliharaannya. Sebab, ia tak mau merepotkan anaknya yang kini meneruskan usahanya menjadi pembuat dan penjual tahu. “Saya akan berangkat haji dengan anak saya nomor 3. Sebab ia yang meneruskan usaha saya menjadi pedagang dan pembuat tahu. Semua biaya sudah kita lunasi pada tahap pelunasan yang terakhir,” katanya.
Demi menjaga kesehatannya, nenek yang lahir pada 6 Juli 1922 ini, hampir setiap hari mengkonsumsi jamu tradisional buatannya sendiri. Bahkan tak jarang, saat pagi menyapa, ia menyempatkan dirinya untuk berjalan memutar kampung untuk terus menjaga kesehatannya jelang keberangkatan haji.
“Hampir setiap hari nenek saya beraktivitas. Bahkan, dia juga aktif di kebun, hingga jalan-jalan keliling kampung,” terang Khusnul Khuluk (19), salah satu cucu Chumaijah.
Bahkan, hingga saat ini, nenek yang mempunyai 5 anak dengan 15 cucu dan 5 cicit ini masih tampak sehat. Ia pun hanya berdoa agar dirinya bisa melaksakan ibadah haji tahun ini. “Saat ini saya hanya berdoa agar bisa berangkat haji dengan selamat. Sebab ini merupakan cita-cita saya bersama suami dahulu,” jelasnya.
Sekedar diketahui, pada tahun 2017 jumlah Calon Jamaah Haji (CJH) di Kabupaten Jombang, yang akan berangkat haji pada 23 Agustus mendatang, mencapai 1.283 orang. Jika dirinci, pada kelompok terbang (kloter) 75 ada 445 CJH. Di Kelompok terbang 76 ada 445 CJH. Dan pada kloter 77 sebanyak 395 CJH. (aan/kj)
KABARJOMBANG.COM – Hanya untuk mempertahankan kesenian asli Kabupaten Jombang, puluhan warga adu kekuatan dengan saling menyambuk dengan menggunakan kayu rotan dengan berukuran 1 meter.
Kesenian itu, sering disebut warga dengan Seni Ujung. Dimana, kesenian yang ditampilkan pada perayaan besar warga di desa lereng Gunung Anjasmoro yang berada di Kecamatan Wonosalam dan Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang.
Dalam penampilannya, warga dibebaskan untuk maju menjadi aktor dalam pertarungan adu cambuk. Meski begitu, sejumlah aturan diterapkan demi menjaga sportifitas kesenian yang diketahui sudah ada sejak jama Kerajaan Majapahit ini.
“Warga yang ingin beradu cambuk dipersilahkan untuk memilih lawan tandingnya. Mereka diberikan kesempatan 3 kali menyambuk dan dicambuk,” kata Samiaji (40) salah satu penggagas kesenian asal Desa/Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang, Kamis (27/7/2017).
Setelah itu, juri akan menilai berapa luka yang diderita masing-masing peserta. Nah, untuk peserta yang memiliki jumlah luka sedikit daripada lawanya, maka peserta tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang yang sudah disiapkan panitia penyelengara Seni Ujung.
“Untuk hadiahnya variatif, semua tergantung dari kesepakatan panitia. Ada yang dihadiahi dengan uang sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu dalam satu kali penampilan,” jelasnya.
Penonton tak hanya disuguhi dengan penampilan saling cambuk. Sebab, dalam kesenian yang sudah turun temurun itu juga disuguhkan musik gamelan yang dimainkan untuk mengiringi para peserta saat bertarung dalam panggung.
Musik itu, dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada peserta saat bertarung. Sehingga, mereka juga diwajibkan menari jika cambukannya mengenai lawan.
“Sedikit tarian, memang diwajibkan kepada peserta. Ini merupakan simbol, bahwa kesenian ini murni untuk adu kekuatan. Sehingga meski saling melukai tidak akan muncul dendam kepada sesama peserta,” beber pria yang akrab disapa Mijek ini.
Seni Ujung, sering digunakan warga sekitar Kecamatan Wonosalam dan Kecamatan Bareng untuk memperingati perayaan-perayaan besar bagi mereka. Seperti ritual meminta hujan, menyambut panen padi, hingga keperluan hajatan warga.
Namun sayang, hingga saat ini kesenian yang sudah lazim dilakukan warga di sekitar Gunung Anjasmoro ini belum dilirik Pemerintah Kabupaten (Prmkab) Jombang sebagai seni yang patut untuk dilestarikan secara profesional. Pasalnya, hingga tahun demi tahun berganti belum ada kegiatan untuk bisa mempopulerkan seni ujung pada masyarakat luas.
“Memang saat ini belum ada respon dari pemerintah daerah untuk melestarikan kesenian ini sebagai ikon Kota Santri. Namun, kita tetap akan melestarikan dengan cara-cara seperti ini. Termasuk kita akan memantenkan, kesenian ini sebagai kesenian asli Kabupaten Jombang,” pungkasnya. (aan/kj)
Sifatnya yang membumi membuat ludruk disukai banyak orang. Sayang, kesenian tradisional yang sempat populer pada 1960-an hingga 1980-an itu kini telah mati suri.
Saking populernya ludruk pada era tersebut membuat sejumlah orang tertarik melakukan penelitian mengenai ludruk. Salah satunya ialah antropolog James Peacock yang melakukan riset pada 1963 hingga 1964.
Berdasarkan hasil risetnya, ludruk telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Saat itu, masyarakat mengenal yang namanya ludruk lyrok dan ludruk bondan. Pada abad ke-20, muncul pula ludruk Besut yang menampilkan pemain dagelan bernama Besut serta seorang waria yang menari. Di tahun 1920, dua pemain ludruk bisa memainkan tiga peran dalam sebuah cerita. Kemudian ada pula ludruk Besep yang melibatkan empat pemain.
Kelahiran ludruk di Jawa Timur dianggap sebagai perlawanan terhadap seni pertunjukan ala keraton seperti wayang dan ketoprak lahir serta berkembang di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika seni pertunjukan ala keraton bertema elite dan menggunakan bahasa halus, ludruk justru mengangkat kisah sehari-hari dan menggunakan bahasa yang lebih kasar. Hal ini seirama dengan karakter Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur. Surabaya merupakan pusat perdagangan, industri dan politik yang masyarakatnya kurang menekankan pada titel dan adat istiadat.
Derasnya perputaran arus ekonomi dan politik di Surabaya berdampak pula pada pola kebudayaan di Surabaya yang cenderung terbuka, heterogen, egaliter, bahkan tak jarang “kasar”. Ludruk dianalogikan sebagai sebuah “ritus modernisasi” yang membantu gerak peralihan dari hal-hal berbau tradisional ke modern.
Ludruk biasanya dipentaskan mulai pukul 10 malam hingga pagi sehingga para pemain dituntut memiliki stamina tinggi. Tak heran bila ludruk biasanya hanya dipentaskan kaum pria atau waria. Pementasan ludruk biasanya dimulai dengan atraksi tari Remo, lalu Bedayan yang merupakan joget ringan. Setelah itu dilanjutkan dengan dagelan yang menyuguhkan sebuah kidung. Kemudian barulah masuk ke lakon yang merupakan inti pementasan.
Seni pertunjukan Jawa Timur ini mencapai popularitasnya pada 1963-1964, terlihat dari banyak grup ludruk yang mencapai 594. Sayang, sejak 1980-an popularitasnya terus menurun. Bahkan, Kartolo, seniman ludruk terkenal pun mulai meninggalkan dunia ludruk pada 1985. Hingga kini, belum ada seniman lain yang mampu menyamai kemampuannya.
Saat ini ludruk juga telah mati suri akibat ditinggalkan para penggemarnya. Seniman-seniman ludruk di Surabaya pun satu persatu meninggalkan dunia ludruk. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, Widodo Suryantoro, mengatakan seniman ludruk yang masih eksis kebanyakan berasal dari luar Surabaya.
“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil. Tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” ungkap Widodo.
Padahal Pemerintah Kota Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pelestarian ludruk, termasuk di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR). Namun, pertunjukan ludruk di THR selalu sepi penonton. Untuk membangkitkan kembali popularitas ludruk, masyarakat pun kini dimintai pendapatnya.
Anda punya saran untuk membangunkan ludruk dari mati suri? (*)