Menanam dengan cara hidropohnik atau budidaya menanam tanpa menggunakan tanah, semakin banyak digemari sebagian orang.
Selain hemat tempat, menanam dengan cara hidroponik dinilai sebagai salah stau cara mendapatkan produk yang lebih sehat.
WENNY ROSALINA, Megaluh
Di banyak tempat, kini sudah banyak masyarakat yang mempraktikkan dan berhasil. Salah satu yang mencoba sistem hidroponik ini Ulin Nikmatur Rosyidah, 24, gadis cantik asal Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh. Aktifitas yang awalnya berangkat dari hobi, kini sudah merambah ke dunia bisnis.
’’Jadi sayur yang saya tanam tidak hanya dimakan sendiri atau diberikan kepada tetangga, tapi juga dijual,” katanya.
Ya, itu karena pada umumnya tanaman yang dibudidayakan dengan cara hidroponik memiliki masa tanam, yang lebih pendek dengan harga jual yang cukup mahal.
Meskipun semua tanaman bisa dibudidayakan dengan menggunakan cara hidroponik, tapi Ulin sapaan aktrabnya memilih menanam sayuran.
’’Mulai dari sayur, hingga buah-buahan semuanya sebetulnya bisa ditanam dengan cara hidroponik, tapi umumnya sayuran,’’ terangnya.
Sayuran yang ditanam Ulin adalah sawi daging atau sawi sendok, ia biasa menyebutnya pakcoy.
Sawi ini memiliki bentuk yang lebih pendek, tumbuh menyamping, memiliki batang dan daun yang lebih tebal dibandingkan dengan sawi pada umumnya, rasanya juga sedikit manis. Pakcoy jarang ditemukan di pasaran karena harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan sawi biasanya.
’’Pakcoy jarang ada di sini, warga pasti penasaran dengan sayuran ini, awalnya pasti mencoba dan sekaligus saya sisipan edukasi setiap mereka bertanya,” lanjutnya.
Ulin memang seringkali memberikan pengajaran tentang makanan sehat kepada setiap orang yang bertanya, dengan harapan warga sekitarnya lebih sadar dengan cara hidup sehat dan membudayakan menanam sayur sendiri tanpa pestisida dan pupuk kimia lainnya yang membahayakan untuk tubuh dalam jangka panjang.
Ia sudah melakoni hobinya ini sejak satu tahun yang lalu. Kepada Jawa Pos Radar Jombang, sarjana pertanian dari salah satu universitas di Malang ini menceritakan jika pernah beberapa kali gagal menanam dengan cara hidroponik, saat ia pertama kali mencobanya.
Berawal dari ketidakpuasannya mendapatkan banyak teori dan sedikit praktik saat ia kuliah dulu, ia mencoba memanfaatkan ilmunya dengan bergabung dalam komunitas hidroponik.
Awal mencoba, ia hanya menggunakan botol air mineral bekas yang didapat dari teman-temannya. Menggunakan botol ia gagal, kemudian mencari kesalahannya, lalu mencoba kembali dan berhasil.
Berhasil menggunakan botol kemudian ia mencoba menggunakan boks, usahanya menggunakan box berhasil meskipun tidak maksimal karena air yang jarang diganti dan akhirnya kotor lalu berimbas kepada sayuran yang tumbuh tidak sehat.
Belajar dari pengalaman kurang sempurnanya ia kembali mencoba dan hasilnya bagus, tanaman bisa tumbuh dengan sehat dan bagus.
’’Menggunakan boks saya berhasil lalu saya menggunakan paralon, tapi masih satu tingkat, sebetulnya bisa disusun vertikal, hanya saja modalnya cukup besar,” ungkapnya.
Tidak hanya hidroponik, ia juga gemar menanam dengan sistem tanaman organik.
Baginya menanam hidroponik dan organik sama-sama sehat karena hanya menggunakan pupuk kandang dan pupuk kompos sebagai sumber nutrisi tanaman bagi organik.
Hanya saja menanam hidroponik lebih efisien tempat dan juga bisa tumbuh lebih cepat.
Menanam dengan cara hidroponik hanya menggunakan air dan pupuk AB-mix sebagai nutrisi tanaman.
Hanya saja menanam dengan cara ini boros di listrik karena diperlukan pompa untuk mengalirkan air setiap saat. ’’Kalau mati lampu sebentar saja, tanamannya pingsan dan bisa mati kalau terlalu lama,” katanya lagi.
Untuk menanam hidroponik hanya diperlukan benih, rock wool atau sejenis busa yang digunakan sebagai pengganti tanah untuk menopang akar, pompa air, paralon yang sudah diberi lubang dan salurannya, serta cup transparan yang sudah diberikan kain flanel untuk menyerap air ke atas.
Busa yang sudah disiapkan dipotong persegi masing-masing 2 centimeter, lalu ditata ke dalam nampan, lantas diberi air hingga basah, baru ditaburkan benih.
Untuk benih pakcoy biasanya Ulin memberikan satu benih di masing-masing busa, karena pakcoy tumbuh menyamping, sedangkan untuk kangkung, atau bayam ia memberi lebih banyak benih dalam satu busa.
Benih berubah menjadi bibit dalam waktu 2 minggu, baru kemudian dipindah dalam cup, masing-masing cup berisi satu busa yang sudah ada bibitnya, lalu diletakkan dalam paralon yang sudah dilubangi.
Pupuk AB mix yang tadinya bubuk harus dicairkan dulu, satu kilogram pupuk dicairkan dengan air lima liter.
’’Itu nanti masih kental, nah ditambah air lagi sesuai dengan kebutuhan tanaman,” lanjutnya.
Nutrisi AB mix kemudian dicampurkan dengan air yang siap dialirkan dalam paralon menggunakan pompa air.
Tidak butuh waktu lama, dalam waktu satu bulan, pakcoy bisa dipanen. Ulin biasa menjual satu pakcoy dengan harga Rp 2 ribu. Menurutnya, banyak yang menyukai sayuran ini karena memang jarang ditemui di pasaran.
Belakangan Ulin dan beberapa remaja sedesanya juga membentuk komunitas yang gemar menanam sayuran organik dan juga hidroponik.
Hasil dari sayuran yang dipanennya kemudian dijual kembali. Harga jual sayuran organik tentu lebih mahal karena tanpa ada pestisida.
Jika di pasaran satu ikat kangkung bisa dibeli dengan harga Rp 500 saja, tapi sayuran Ulin yang lebih sehat dijual Rp 5 ribu per tiga ikat.
’’Tetap banyak yang suka, karena sambil beli sambil belajar, dan sdah diberitau juga kepada pembeli kalau sayuran ini betul-betul sehat,” pungkasnya
(jo/nk/bin/JPR)