JOMBANG – Perjuangan Eko Febrianto, pesilat asal Jombang yang berlaga di ajang Sea Games Malaysia, akhirnya membuahkan hasil. Ini setelah di event bergengsi tersebut Eko berhasil menyabet medali perunggu.
Tito Kadar Isman, ketua umum KONI Jombang mengaku sangat bangga dengan perolehan atletnya tersebut. Perjuangan untuk meraih medali menurutnya tidaklah mudah.
Eko harus berjuang keras selama latihan dan saat melakukan pertandingan. ”Hasil tersebut sudah sangat membanggakan,” ujarnya kemarin.
Langkah Eko Febrianto terhenti di babak semi final setelah gagal mengalahkan pesilat asal Singapura.
Terlebih lagi pesilat Singapura tersebut merupakan pesilat kelas dunia yang sejauh ini belum bisa ditaklukkan. ”Tapi perjuangan Eko sudah luar biasa maksimal, dirinya bertanding cukup bagus,” imbuh Tito.
Atas prestasi yang diraihnya itu ia mendorong Eko nanti mendapat dana pembinaan dari pemerintah melalui Dispora Jombang. Terlebih lagi, Eko merupakan aset daerah yang sudah mengharumkan nama Jombang di kancah nasional dan internasional.
Paling tidak, bisa memberi pekerjaan yang layak untuk masa depannya nanti. ”Semoga pemerintah bisa mempermudah atlet berpretasi untuk mendapatkan pekerjaan di daerahnya sendiri,” katanya
(jo/yan/bin/JPR)
JOMBANG – Ratusan anak-anak di Kota Santri mengikuti uji talenta pemilihan Guk Yuk Cilik Jombang kemarin (26/8). Mereka pun unjuk kebolehan. Mulai dari menari, menyanyi, pantonim, mengaji, mendongeng, pidato, baca puisi hingga menjadi dalang cilik.
”Ada sekitar 600 peserta yang berpartisipasi, seleksi administrasi sudah dilaksanakan sebelumnya. Saat ini sudah masuk tahap uji talenta,” ujar Wiwik Emy Tjitrawati, Kepala Disbudpar Jombang.
Ada tiga kategori, diantaranya kategori A (PAUD), B (siswa kelas 1-3) dan C (siswa kelas 4-6). Para peserta Guk Yuk Cilik ini pun tampak begitu antusias mengikuti tahapan seleksi kedua ini.
Bakat yang ditampilkan anak-anak ini pun sangat bervariasi. Diantaranya menari tradisional. Namun ada pula yang menyanyi, qasidah, baca puisi, pidato, mendongeng, wushu, balet, mengaji dan masih banyak lagi.
Namun tidak sedikit yang menampilkan kesenian khas Jombang seperti Tari Remo, jaranan dan dalang. ”Bakat anak-anak ini luar biasa, ajang ini salah satu wadah mereka berkreasi,” tuturnya.
Dia menambahkan babak grand final nanti hanya diikuti 60 peserta terbaik dari ketiga kategori itu. “Untuk penyelenggaraan babak final masih belum kami tentukan, karena masih menunggu kepulangan bapak bupati melaksanakan ibadah haji,” tandasnya.
(jo/ric/bin/JPR)
Jombang – Jika Madura terkenal akan karapan sapinya, Jombang juga mempunyai perlombaan yang tak kalah seru, yakni karapan kambing. Sama dengan karapan sapi, joki harus beradu cepat memacu kambing mereka untuk mencapai garis finish. Begini keseruannya.
Perlombaan unik ini digelar di Dusun Gondang, Desa Carangwulung, Wonosalam. Sebelum dimulai, panitia memberikan arahan kepada para joki agar bermain sportif. Setelah itu berbagai persiapan pun dimulai.
Agar tak cedera, setiap joki wajib memakai helm, pelindung lutut dan siku. Berbekal pemukul dari bahan styrofoam, para joki berjongkok di rangka kayu yang sudah terikat pada dua ekor kambing. Dalam hitungan ke tiga, setiap joki harus memacu kambing mereka menggunakan styrofoam agar larinya makin kencang. Dalam sekali start, hanya dua peserta yang diadu kecepatannya di lintasan sepanjang 150 meter.
Teriakan para penonton menambah keseruan perlombaan ini. Ditambah lagi tingkah lucu kambing-kambing peserta yang tak jarang berlari tak sesuai arah lintasan lomba. Ada yang justru berbelok ke lintasan lawan, ada pula yang hanya diam di tengah lintasan meski sang joki terus memukul pantatnya.
Ketua Panitia Karapan Kambing Agus Widodo mengatakan, tahun ini peserta mencapai 25 joki. Mereka berasal dari sejumlah desa di Kecamatan Wonosalam. Untuk karapan kambing ini pihaknya tak membatasi jenis kambing peserta. Selain menggunakan kambing Jawa dan ettawa, ada pula peserta yang menggunakan domba.
“Karapan kambing ini kami menggunakan sistem gugur sampai ada juara pertama,” kata Agus kepada wartawan di lokasi, Minggu (27/8/2017).
Karapan kambing kali ini akan diambil tiga juara pertama. Juara I mendapatkan hadiah uang tunai Rp 1,5 juta, juara II Rp 1 juta, sedangkan juara III Rp 500 ribu. “Karapan kambing ini rutin kami gelar setiap tahun, harapan kami ini menjadi ikon wisata di Wonosalam,” ujar Agus.
Salah seorang peserta Sutran (30) mengaku mengendalikan kambing menjadi kesulitan utama dalam perlombaan ini. Meski sering dilatih, ternyata tak menjadi jaminan kambing-kambing peserta akan berpacu lurus di lintasan lomba.
“Kesulitannya hanya kambingnya tak mau jalan, atau mau lari tapi berbelok arah,” tandasnya.
KABARJOMBANG.COM – Hampir setiap waktuku, kuhabiskan dengan bercengkrama pada masyarakat. Ini kulakukan, bukan semata untuk kepentingan tugas negara. Namun, hasrat seorang pria asal kampung yang tak lagi bisa dibendung demi perubahan masyarakat yang lebih cerdas.
Ya, begitulah aku dengan seragam coklatku, setiap hari bekerja sebagai abdi negara. Di setiap pagi, kupanasakan kendaraan tugasku untuk berjelajah di Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang. Bukan hanya sebagai pengayom masyarakat. Tapi sebagai tenaga pendidik di sekolah-sekolah yang memintaku untuk mengajar Bimbingan Konseling.
Hampir separuh waktuku, kuhabiskan dengan bertemu wargaku, dimana mereka membutuhkan petunjuk tentang hukum, dan pendidikan kedisiplinan. Terkadang sebagai kepala keluarga, aku sedikit lalai membagi waktu untuk ketiga anaku dan istriku, “Aku adalah Aipda Ahmad Sjafi’i, Kanit Binmas Polsek Ngusikan Polres Jombang”.
Begitulah cerita yang diterima dari salah satu polisi yang berdinas di Polres Jombang. Sjafi’i adalah salah satu anggota polisi yang aktif berkeliling Kecamatan Ngusikan, dengan kesibukannya sebagai Kanit Binmas, yang ditempatkan di lokasi wilayah utara Sungai Brantas. Selain menjadi Bhabinkamtibmas, ia juga memiliki kesibuakan lain sebagai guru cuma-cuma di beberapa sekolah yang ada di kecamatan tersebut.
Tak hanya di satu sekolah. Bahkan ia juga menjadi tenaga didik di 4 jejang sekolah sekaligus. Seperti, aktivitasnya di MTSN Bakalan Rayung Ngusikan Kabupaten Jombang. Setiap hari, ia harus berkeliling di setiap sekolah untuk mengajarkan beberapa ilmu yang dikuasainya. Tak jarang, ilmu berlalu lintas juga ia ajarkan kepada anak Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) dan Taman Kanak-kanak (TK) atau RA yang berada di Kecamatan setempat.
Selesai mengajar, pria yang pernah berdinas sebagai anggota Brimob Polda Aceh ini, juga memberikan pelajaran ekstra kulikuler pramuka di SMPN Ngusikan. Kini, pria yang tinggal di Desa Menturus, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang ini, hampir 20 jam bisa bercengkrama dengan tokoh dan masyarakat sekitar.
Ia juga sering dipanggil warga sekitar dengan sebutan Pak Komet, panggilan akrab warga sekitar kepadanya. “Untuk hari Senin dan Kamis, menjadi pembina upacara dan bimbingan rohani di dua sekolah. Selasa sama Sabtu, masuk intrakuliker sebagai guru Bimbingan Konseling MTSN Bakalan Rayung. Untuk hari Rabu dan Jumat, mengajar di SMPN Ngusikan. Itupun masuk diatas jam 09.30 WIB, Masuk selepas istirahat,” ceritanya.
Namun tidak menutup kemungkinan, ada laporan mendadak menangani permasalahan khusus. Seperti tawuran antar pelajar sekolah. Nah, hari Sabtu pun, tidak menjadi hari libur baginya, sebab ia harus menjadi pembina ekstrakulikuler pramuka di SD dan SMP serta MAN Keboan.
Jangankan mengharapkan gaji, seperti layaknya seorang guru. Di tempat sekolah mengajar, ia hanya berharap siswa-siswi yang diajarkanya bisa menerima sepenggal ilmu yang dimilikinya. Bahkan tak jarang, ia harus merogoh gajinya demi membantu memberikan motivasi, seperti hadiah kepada siswa yang mampu berprestasi.
“Saya tidak mengharapkan gaji, sebab ini merupakan bagian kecil untuk bisa mendisiplinkan masyarakat dan juga pelajar dalam menjalani kodratnya sebagai masyarakat patuh hukum. Memang di salah satu sekolah saya diberikan uang bensin sebesar Rp 165 ribu, itupun saya masukan kas Saka Bhayangkara disana,” katanya.
Kadang, tak jarang juga ia harus menyisihkan sedikit gajinya untuk memberikan hadiah kepada siswa SD dan juga MI tempatnya mengajar. “Meski kadang pihak sekolah juga mengapresiasi jerih payah saya dengan diikutkan dalam rekreasi sekolah,” ujar polisi yang memiliki 3 orang anak ini.
Tak putus disitu saja, di lingkungan warga sekitar, ia juga banyak menjadi tempat solusi bagi warga yang mengalami permasalahan, baik hukum maupun masalah pribadi. Dalam seminggu, ia bisa 4 hingga 5 kali memberikan penyuluhan kepada warga tentang kesadaran hukum dan mengantasi konflik sosial.
“Untuk kegiatan warga banyak sekali. Bahkan, saya sering mengadakan sosialisasi, juga perkumpulan di desa terpencil di wilayah Kecamatan Ngusikan. Mulai dari sengketa warisan hingga permasalahan pribadi warga,” terangnya.
Sehingga tak heran, jika semangat tinggi sosialnya memberikan banyak penghargaan yang diberikan pimpinannya di Polres Jombang. Seperti penghargaan kenaikan jabatan menjadi Kanit Binmas, Babin kinerja terbaik, Babin Inovasi, serta Babin dengan penyandang babin teladan se-Polres Jombang.
“Terakhir saya mendapatkan penghargaan dengan Kanit kinerja terbaik dari bapak Kapolres Agung Marlianto,” paparnya.
Dalam jenjang karirnya menjadi seorang polisi, Sjafi’i masuk pendidikan kepolisian Tahun 2000. Dalam tugas pertama kalinya, ia ditugaskan di Sat Brimob Polda Papua. Pada tahun 2002, ia kembali ditugaskan di SPN Jayapura, dan pada tahun 2005 ia ditempatkan di Polres Sorong Selatan sebagai Kasubbag Kerma Satbinmas Polres.
Terakhir, ia pindah tugas di Polres Jombang pada tahun 2010 dengan ditempatkan di Polsek Ngusikan. “Ini semua saya lakukan bukan semata-mata karena materi. Tapi, karena keinginan kuat untuk merubah gaya hidup dan daya pikir masyarakat desa untuk lebih mengerti hukum dan pendidikan lebih baik,” ujar polisi kelahiran Surabaya, 15 September 1979 ini. (aan/kj)
Kebanyakan dari kita tentu mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar, tentang seni Ludruk. Kesenian yang memiliki format pertunjukan sandiwara ini berasal dari Jawa Timur. Dan pastinya kita pun langsung berasumsi bahwa seni ludruk adalah sebuah pertunjukan hiburan yang humoris belaka. Hal ini dapat dimaklumi mengingat memang demikianlah ‘image’ ludruk masa kini dalam perspektif kebanyakan masyarakat kita.
Namun jika ditelaah lebih jauh mengenai sejarah perkembangannya, ternyata seni ludruk pernah menjadi instrumen perlawanan rakyat jelata atau wong cilik terhadap kekuasaan baik semasa era feodalisme Jawa, kolonialisme Eropa maupun fasisme Jepang. Pada masa-masa itu, ludruk menjadi wadah pelampiasan kekesalan dan kemuakan rakyat terhadap penindasan kekuasaan, ketika rakyat merasa tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara frontal. Ludruk menjadi sebuah seni pertunjukan yang menentang arogansi kekuasaan kaum feodal dan kolonial secara sarkastik.
Sejarah Seni Ludruk
Bila meninjau sejarah, terdapat dua versi sejarah kemunculan ludruk. Salah satu versi menyatakan bahwa ludruk merupakan kesenian rakyat yang berasal dari daerah Jombang. Sementara versi lainnya menjelaskan bahwa ludruk pertama kali muncul di kota Surabaya. Beberapa versi juga menjelaskan asal muasal dari nama ludruk. Dikatakan bila istilah ‘ludruk’ berasal dari pertunjukan yang diadakan tukang lawak atau badut yang berkeliling dari rumah ke rumah sambil menari dengan menghentakkan kakinya ke tanah sehingga menimbulkan suara “gedruk-gedruk”. Dari sinilah nama ludruk kemudian digunakan.
Tidak diketahui secara pasti pada masa apa sesungguhnya kesenian ludruk itu muncul. Bagi pihak yang meyakini bahwa seni ludruk lahir di Jombang, menurut mereka ludruk muncul di awal abad 20. Seni ludruk berawal dari seni pertunjukan yang diisi lantunan syair dan tetabuhan sederhana. Pentas seni tersebut dilakukan secara berkeliling dari rumah ke rumah ataungamen. Para pemainnya yang seluruhnya laki-laki mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias sedemikian rupa seperti badut. Oleh sebab itu masyarakat menamai para pemain kesenian itu sebagai Wong Lorek, yang dikemudian hari berubah menjadi Lerok dan digunakan untuk menamai seni pertunjukan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, seni lerok berubah nama menjadi seni ludruk.
Sementara versi lainnya menyatakan bahwa cikal bakal seni ludruk sebenarnya telah ada sejak masa Kerajaan Kanyuruhan di Jawa Timur pada abad 8 (S.Wojowasito, 1984). Sebagai buktinya, ada peninggalan peradaban abad 8 berupa Candi Badut yang dipercaya sebagai peninggalan para seniman badut masa itu. Lalu apa kaitan badut dengan ludruk? Merujuk pada kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk dapat diartikan sebagai Grappermaker atau badutan. Jadi, pada masa itu ludruk atau badutan merupakan pertunjukan rakyat yang sifatnya humoris namun memiliki nuansa perlawanan terhadap kekuasaan dan kebudayaan adiluhung milik kalangan elit kerajaan.
Nuansa perlawanan seni ludruk pun berlanjut dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai tema cerita yang mengobarkan semangat perlawanan dan rasa kebencian rakyat terhadap penguasa kolonial dipentaskan oleh banyak grup ludruk. Kisah-kisah semacam “Sarip Tambak Oso” dan “Sakera” yang mengangkat cerita heroisme rakyat Jawa Timur dan Madura dalam melawan VOC Belanda amat populer dimasa penjajahan.
Salah satu tokoh seniman ludruk yang senantiasa mempropagandakan nilai-nilai nasionalisme dan anti kolonialisme adalah cak Durasim. Beliau mendirikan sebuah organisasi ludruk pada tahun 1933 yang bernama Ludruk Oraganizatie (LO). Organisasi Ludruk ini populer di kalangan rakyat karena keberaniannya dalam mengkritik imperialis Belanda maupun Jepang. Perjuangan cak Durasim dan kawan-kawan berujung pada penangkapan dan pemenjaraan mereka oleh penguasa fasis Jepang sebagai akibat lirik kidungan Jula Juli yang dilantunkan grup cak Durasim pada sebuah pementasan. Kidung tersebut memuat lirik yang menyinggung pemerintah Jepang yakni, “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”. Konon cak Durasim disiksa oleh Jepang hingga wafat dalam tahanan.
Pada masa kemerdekaan, ludruk menjadi alat propaganda berbagai partai politik, seiring dengan kontestasi politik yang kencang baik dimasa demokrasi liberal tahun 1950-an maupun masa demokrasi terpimpin tahun 1960-an. Namun, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lekra lah yang paling gencar mengakomodasi ludruk sebagai instrumen perjuangan ideologis. Hal ini terkait dengan landasan perjuangan PKI dan Lekra yang ingin mengangkat seni budaya rakyat sebagai alat perjuangan melawan dominasi kebudayaan imperialis yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Perjuangan PKI di lapangan kebudayaan tersebut seiring dengan politik anti nekolim yang digelorakan Presiden Soekarno ketika itu. Grup ludruk dibawah naungan PKI yang paling populer adalah Ludruk Marhaen yang pernah pentas diistana negara sebanyak 16 kali.
Menyusul kejatuhan Bung Karno dan penumpasan kekuatan politik kiri pasca tragedi 1965, seni ludruk pun mengalami masa-masa sulit. Rezim militer Orde Baru mengekang bahkan melarang pementasan ludruk selama beberapa waktu. Ludruk diidentifikasi sebagai seni komunis yang lekat dengan Lekra. Di awal dekade 70-an, ludruk kembali diizinkan untuk eksis oleh pemerintah namun dengan pengawasan dan pembinaan yang ketat oleh pihak militer. Di berbagai daerah terjadi peleburan dan pembentukan grup-grup ludruk dengan supervisi yang mutlak dari struktur komando teritorial militer. Esensi seni ludruk yang awalnya merupakan wadah perlawanan rakyat terhadap penguasa pun berangsur hilang. Ludruk beralih menjadi alat propaganda berbagai program pemerintah Orde Baru seperti Repelita maupun Keluarga Berencana (KB).
Ludruk di Masa Kini
Setelah reformasi, seni ludruk kembali independen dari kekangan aparatur ideologis kekuasaan. Namun terjangan mekanisme pasar juga berdampak pada makin lunturnya nilai-nilai kerakyatan dan heroisme dari seni ludruk. Ludruk hanya menjadi seni hiburan yang mengundang gelak tawa penonton belaka, tanpa ada tujuan yang jelas dari cerita yang dipentaskan. Faktanya, memang masih ada kisah-kisah yang bermuatan kritik sosial dilakonkan dalam seni ludruk masa kini, tetapi ‘roh’ dari seni ludruk sebagai alat perlawanan wong cilik terhadap imperialisme seringkali tidak muncul pada kebanyakan pertunjukan ludruk kini. Situasi faktual yang menunjukkan terancamnya nasib jutaan kaum Marhaen negeri ini oleh sistem imperialisme baru, menuntut kita untuk mengembalikan seni ludruk pada ‘khittahnya’ sebagai “penyambung lidah” wong cilik.
Penulis: –
Article courtesy: sejarahri.com
Photo courtesy: youtube.com
Tumbuh dan besar pada zamannya ada di daerah pedesaan membuat saya akrab dengan banyak sekali permainan tradisional. Ya jauh dari sentuhan teknologi, yang membuat kami bergerak dan fisik terlatih, yang membuat kami secara intens berinteraksi satu sama lain. Permainan tradisional ini sering sekali saya mainkan bersama teman-teman ketika sore hari atau ketika libur sekolah.
Gedreg
Gedreg adalah permainan dengan menggunakan bidang tanah atau lantai. Kami akan membuat bidang berupa segi panjang dengan menggunakan kapur atau apapun. Nah, kemudian kami menggunakan pecahan genteng yang disebut dengan kreweng. Cara mainnya adalah pecahan genteng tersebut kami letakkan di kotak awal start, kemudian dengan kaki kami mendorong kreweng tersebut ke kotak lainnya sampai kotak finish. Geseran kreweng tidak boleh lompat keluar dari kotak berikutnya. Nah, setelah berhasil sukses finish, maka kami akan diberi kesempatan untuk melemparkan kreweng ke bidang kotak tersebut dari belakang, jadi kami membelakangi bidang tersebut. Kotak yang mana kreweng yang kami lempar jatuh, maka akan menjadi milik kami kotak tersebut. Kotak ini tidak boleh dilewati oleh pemain berikutnya. Artinya geseran kreweng harus melewati kotak milik orang lain.
Obak sodor
Obak sodor juga menggunakan tanah atau lantai sebagai bidang. Kami dibagi menjadi 2 tim dengan masing-masing beranggotakan beberapa orang. Ada orang yang jaga dan ada orang yang berlari. Orang yang jaga adalah mereka yang harus menjaga agar lawan tidak bisa melewati kotaknya. Lawan yang terkena sentuhan tangan maka dia akan mati. Sedang yang bisa finish semuanya akan tiba giliran menjadi penjaga. Permainan ini akan diulangi sampai ada tim yang anggotanya “mati” semua.
Dakon
Dakon dilakukan dengan menggunakan bidang, lubang, kotak atau semacamnya serta biji atau kerikil sebagai tambahan. Masing-masing bidang akan diberi kerikil atau sejenisnya dengan jumlah yang sama. Pemain akan mulai dari kotak start pertama dan akan berpindah kotak dengan memberi/ meninggalkan satu biji di tiap kotak yang dilalui dan akan berakhir sampai biji terakhir. Ini yang namanya duak. Duak ini adalah ketika kamu mendapatkan biji terakhir entah berapapun jumlanya. Jika di kotak yang berlawanan ada biji, maka itu juga akan menjadi kepunyaamu. Permainan diulangi dan yang menang adalah yang memiliki biji terbanyak di akhir permainan.
Bekel
Bekel sebenarnya adalah permainan anak perempuan namun kadang-kadang dimainkan anak laki-laki juga. Perangkatnya adalah berupa bola karet dan beebrapa semacam biji yang terbuat dari logam. Cara mainnya adalah bola dilambungkan dan sampai memantu lantai. Ketika memantul maka kamu harus meraih biji tersebut dan langsung mengambil bola karet sebelum bola tersebut memantul kedua kali. Total biji yang ada di setiap permainan adalah sekitar 6. Nah, setelah kamu ambil satu per satu, maka kamu ulangi sekali ambil dua, tiga, dan seterusnya. Pemain yang menang adalah yang bisa mengambil semua biji tersebut sampai senam sekaligus sekali pantul.
Pasaran
Namanya juga pasaran. Ya isinya adalah berupa mainan bahan-bahan pangan atau kebutuhan sehari-hari. Bahan-bahan pangan ini tentu bukan suatu yang asli namun dibuat dari daun, batang atau lainnya dari alam. Misalnya daging, adalah dibuat dari inti batang pisang, minyak sayur dibuat dari perasan daun waru muda, mie dibuat dari daun mangkok yang dicincang-cincang, dan lain sebagainya. Nah semuanya menggunakan alat sederhana termasuk piring yang dibuat dari daun mangkok atau daun pisang. Pasaran ini seru sekali. Anak-anak kecil ini berlaku seolah-olah sudah dewasa dan sudah mahir urusan dapur ehehe.
Obak Jompret
Obak jompret artinya sembunyi dan ditemukan. Pemain akan suit dan yang kalah akan menjaga. Nah, setelah yang jaga matanya ditutup dan berhitung beberapa saat, maka pemain lain akan sembunyi. Penjaga harus menemukan satu per satu sembari menjaga ‘rumahnya’. Apabila menemukan yang bersembunyi maka dia harus buru-buru memegang ‘rumahnya’ jika yang ditemukan lebih dulu maka dia bebas dari kemungkinan menjadi penjaga berikutnya. Mereka memegang ‘rumah’ tersebut dengan bilang “jompret!”
Benteng
Benteng adalah permainan yang terdiri dari dua tim dimana setiap orang dalam tim harus melindungi bentengnya dari lawan sembari menyerang benteng lawan. Pemenang adalah mereka yang berhasil memegang benteng lawan, bisa berupa pohon, tiang, dan sebagainya. Nah, jika dalam penyerangan itu kamu tertangkap maka dia akan menjadi tawanan. Tawanan ini bisa dibebaskan oleh musuh dengan memegang tawanan yang ditempatkan di benteng musuh. Pemenang adalah yang bisa memegang benteng lawan terlebih dulu.
Dulinan Tali
Ya ini permainan lompat tali karet. Karet disambungkan satu persatu menjadi banyak dan panjang dan kemudian dipegang oleh dua orang masing-masing di sisinya. Dibentangkan panjang dan kemudian ada anak lain yang melompat dari satu sisi ke sisi lainnya. Di permainan ini sepertinya tidak ada kalah atau menang, yang ada adalah naik level. Semakin naik levelnya maka tali akan makin ditinggikan mulai dari selutut, sepinggang, sedada, sekuping dan seterusnya. Adapun lompatan ada dua yakni lompatan biasa dan lompatan menyilang. Selain itu ada juga menggaro yakni melompat di tali secara terus menerus sampai capek lompatan terakhir. Biasanya menggaro ini adalah untuk rekor paling banyak/ banyak-banyakan.
Egrang
Egrang adalah batang bambu atau kayu yang dibuat semacam pegangan dan pijakan di kaki dan digunakan untuk berjalan. Egrang ini diinjak pada bagian injakan dan kedua tangan memegang bagian atasnya. Bermain egrang membutuhkan focus dan keseimbangan.
Nekeran
Nekeran adalah permainan menggunakan kelereng. Biasanya kami membuat lingkaran yang kemudian di tengahnya kami beri kumpulan kelereng. Setiap orang memberi jumlah kelereng yang sama kemudian tiap orang memiliki giliran untuk menembakkan kelereng ke lingkaran tersebut. Kelereng yang terpencar ke luar akan menjadi milik si penembak.
Wok-wokan
Ini juga permainan menggunakan kelereng. Pertama akan dibuat lubang-lubang di tanah kemudian kelereng akan dilemparkan ke dalam lubang tersebut. Kelereng yang masuk lubang satu akan berlanjut dibidik ke lubang berikutnya. Demikian sampai selesai. Yang menang adalah yang berhasil finish terlebih dahulu.
Mahkota-Mahkotaan
Ini saya agak lupa dengan namanya. Yang jelas adalah dengan menggunakan daun lamtoro. Daun lamtoro dibuang hanya disisakan batang yang paling ujung saja. Kedua batang daun diikat kemudian diadu satu sama lain. Pemenangnya adalah yang berhasil mempertahankan ikatan tersebut karena yang kalah maka ikatan akan tercabuk ke pemenang. Disebut dengan mahkota karena pemenang bentuknya akan mirip mahkota.
Cublek-Cublek Suweng
Permainan ini dilakukan dimana satu orang duduk membungkuk sedang yang lainnya meletakkan satu telapak tangan masing-masing di bagian punggung. Satu anak akan membawa biji atau satu benda kemudian mereka menyanyi lagu cublek-cublek suweng. Benda tersebut akan diputar dari satu tangan ke tangan lain. Nah ketika lagu berhenti maka semua anak akan menggenggam tangannya. Anak yang membungkuk tadi harus menebak sekali dimana biji tersebut disembunyikan/ di anak mana. Nah jika salah maka dia harus mengulangi lagi. Jika benar, maka anak yang menyembunyikan tadi yang harus membungkuk.
Poin
Poin adalah permainan ketangkasan dengan menggunakan kreweng/ pecahan genting dan bola kasti atau bola tenis. Kreweng disusun tegak berdiri vertikal. Ada 2 tim, tim pertama adalah penjaga kreweng kedua adalah penyerang. Penyerang kreweng ini akan meluncurkan bola di atas tanah atau lantai dan ketika bolanya mengenai susunan kreweng dan kreweng akan tercerai berai. Penjaga kreweng ini yang harus menyusunnya kembali. Nah penyerang ini yang harus memukulkan bola kasti ke arah anak-anak penjaga kreweng. Siapa yang kena bola maka akan mati. Jika kreweng bisa tersusun lagi seperti semula, maka tim penjaga yang akan menang. Begitu pula sebaliknya.
Dulinan Karet
Ini adalah bentuk permainan karet yang lain. Jadi anak-anak akan memasang kayu atau bambu di tanah. Kemudian anak-anak dari jarak yang sudah ditentukan. Nah, di tiap bambu tadi sudah diberi karet yang lain dengan demikian maka anak yang bisa memasukkan karet ke dalam bambu tadi akan mendapatkan karet yang ada di dalamnya. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Layangan
Layangan atau dalam Bahasa Indonesianya adalah layang-layang. Layang-layang di daerah saya bentuknya bisa dibilang sangat konvensional atau umum. Nah yang membedakan adalah jenis senarnya. Senar yang pertama adalah senar biasa sedang senar yang kedua adalah gelasan. Gelasan ini artinya adalah senar yang sudah dilapisi oleh serpihan kaca sehingga tajam. Senar gelasan ini yang biasanya digunakan sebagai adu layangan. Layangan yang putus biasanya dikejar anak-anak dan yang dapat akan memiliki layangan tersebut.
Ulo-Uloan
Jadi anak-anak akan berkumpul dan berdiri membentuk barisan menyerupai ular dari kepala sampai ekor. Nah ada satu orang yang akan berupaya untuk memegang ekor ular tersebut. Nah si ular ini harus berupaya menghindar sebisa mungkin. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Benthek
Benthek adalah permainan dengan menggunakan potongan kayu. Biasanya kayu yang digunakan adalah kayu yang ringan. Potongan pertama lebih pendek dan kedua lebih panjang digunakan sebagai tongkat pemukul. Di tanah, pertama dibuat lubang dan kemudian potongan kayu yang pendek diletakkan sehingga membentuk sudut kira-kira 45 derajat. Dengan potongan kayu panjang ini kamu pukul potongan kayu pendek sehingga dia terlempar sejauh mungkin. Pemenang adalan yang bisa melempar paling jauh.
Ninja-Ninjaan
Ini sebenarnya semacam perang-perangan. Dengan menggunakan sarung, kami membuat topeng ala ninja, topeng yang sederhana. Kemudian kita bersembunyi dan saling menemukan atau menyerang satu sama lain.
Drakula-Drakulaan
Pertama ditentukan siapa yang akan menjadi drakula melalui suit. Yang kalah suit akan menjadi drakula. Lantas di tanah akan dibuat lingkaran besar. Nah anak anak lainnya akan berada di lingkaran ini. Si drakula di awal akan mengetuk pintu:
‘Thok thok thok thok. Permisi” kata drakula
“Siapa ini?” tanya penghuni rumah
“Aku tetangga sebelah” jawab drakula
Kemudian penghuni rumah membuka pintu dan alangkah kagetnya dia ketika yang datang adalah drakula. Seketika itu pula dia langsung menutup pintu dan drakula kemudian berlari mengitari lingkaran dan berusaha memegang salah satu penghuni rumah. Penghuni rumah yang terpegang akan menjadi drakula selanjutnya.
PAMERAN – Gelar potensi Jombang ( GPJ ) merupakan event tahunan dengan pemangku kegiatan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Jombang yang dihelat (18-22/8) mendatang di area Makam Gus Dur Tebuireng Jombang.
Pameran ini sebagai wahana menampilkan, mempromosikan dan memasarkan produk UKM agrobis serta potensi unggulan yang ada di kota santri.
Diharapkan, mampu memberi gambaran secara nyata dan menyeluruh potensi serta keanekaragaman potensi dan produk asli Jombang yang bernuansa islami. GPJ tahun ini dapat menjadi ajang promosi investasi secara faktual, sehingga perlu diupayakan pemberdayaan secara maksimal dan memililki peran yang sama dengan promosi berskala nasional.
GPJ ini salah satu upaya pemkab untuk mendorong dan meningkatkan arus investasi di daerah, serta dalam rangka tumbuhkembangkan perekonomian daerah. Terutama di sektor koperasi dan UMKM.
Karena itu perlu campur tangan keterlibatan pelaku dunia usaha, dunia pendidikan dunia kesehatan ataupun pesantren.
GPJ juga ajang tepat bagi masyarakat Jombang untuk melakukan interaksi dan jual beli langsung antara produsen dan konsumen.
”Bagi masyarakat Jombang mari kita sukseskan GPJ dengan menghadiri dan memanfaatkan event sebagai wisata bersama keluarga tercinta, agar apa yang dicanangkan pemkab, sejahtera untuk semua akan terwujud secara nyata,” tutur Abdul Qudus, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Jombang.
(jo/bin/bin/JPR)
KABARJOMBANG.COM – Kemesraan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kodim 0814/Jombang bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), tampak di pelosok Kabupaten Jombang, yakni di Dusun Banyuasin, Desa Kromong, Kecamatan Ngusikan, Kamis (10/8/2017).
Dengan membawa 2 tangki mobil yang berisi 10 ribu liter air bersih, mereka menuju dusun yang berada di perbatasan antara Kabupaten Jombang dengan Kabupaten Lamongan. Setelah hampir 2 jam menempuh perjalanan, ratusan warga yang siap menanti, memberi senyuman bahagia atas datangnya air bersih yang mereka bawa.
Tak ayal, rombongan disuguhkan dengan ember, serta timba kosong yang akan digunakan untuk menerima bantuan air bersih. “Ini merupakan bentuk sinergisitas antara wartawan dengan TNI yang kita aplikasikan pada kegiatan sosial kepada masyarakat,” ujar Muktar Bagus, Ketua IJTI Korda Majapahit, saat di lokasi.
Menurutnya, bantuan air bersih ini sengaja diberikan warga karena kondisi dusun tersebut yang hampir setiap hari tidak bisa menikmati bersihnya air di tanah kelahiran mereka. Sebab sejak beberapa tahun, mereka hanya mendapatkan jatah 12 liter per hari dari tandon air yang dimiliki dusun setempat.
Bahkan, mereka terpaksa menggunakan resapan air sungai untuk bisa digunakan sebagai kebutuhan rumah tangga, seperti mencuci dan mandi. “Lokasi ini sudah kita pantau beberapa waktu lalu dan memang mereka mengalami krisis air bersih. Nah, pada Hari Kemerdekaan RI ini, sedikit bantuan air bersih kita berikan secara gratis,” terangnya.
Sementara itu, Komandan Koramil Ngusikan, Kapten Samsul, membenarkan hal tersebut. Dari penuturannya, memang warga setempat mengalami krisis air bersih untuk kebutuhan memasak. Dari data yang dikantonginya, ada sekitar 107 Kepala Keluarga (KK) yang berada di dusun tersebut. Mereka menggantungkan kebutuhan air dari tandon air yang harus dibagi dengan warga lainya.
“Memang kondisi warga kekurangan air bersih, sehingga kita mengumatakan bantuan ini berupa suplai air bersih. Setidaknya, bisa mengurangi derita mereka saat ini. Ini kan momentum Kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga pantaslah jika untuk hari ini mereka merdeka atas bantuan air bersih yang kita salurkan bersama-sama,” pungkasnya. (aan/kj)
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Sebanyak 12 orang pastor Serikat Jesuit dari beberapa negara berkunjung ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Rabu (9/8/2017).
Kunjungan tersebut merupakan rangkaian acara pertemuan rutin pastor yang tergabung dalam Jesuits Among Muslims (JAM) yang tahun ini digelar di Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut, mereka juga menyempatkan diri berziarah ke makam Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Delegasi ini dipimpin Romo Franz Magnis-Suseno SJ tersebut disambut Sekretaris Utama Pesantren Tebuireng, KH Abdul Ghofar di Dalem Kasepuhan Tebuireng.
Dalam dialog yang berlangsung akrab dan dibalut nuansa kekeluargaan, anggota delegasi yang berasal dari Jerman, Perancis, Nigeria, Turki, India, Spanyol dan Roma itu menanyakan banyak hal tentang Islam dan pesantren.
“Salah satu pastor dari Jerman bahkan bertanya, apakah seorang nonmuslim bisa diterima belajar di pesantren,” tutur pria yang akrab dipanggil Gus Ghofar itu.
Pertanyaan lain terkait dengan pola rekrutmen santri dan keberadaan santri putri.
“Pastor dari Nigeria sempat bertanya, apakah di Pesantren Tebuireng juga ada santri perempuan dan bagaimana pola relasi keseharian mereka dengan santri putra,” imbuh Gus Ghofar.
Yang tidak kalah menarik, dalam kesempatan tersebut, Romo Ignatius Ismartono SJ, menanyakan tingginya selera humor kaum santri dan warga Nahdlatul Ulama.
“Apakah di pesantren ada kurikulum atau faktor khusus yang membuat selera humor santri sedemikian tinggi?” tanya pria kelahiran Yogyakarta itu.
Pertanyaan itu tentu saja mengundang tawa seluruh peserta dialog. Bukannya mendapat jawaban serius, pertanyaan Romo Ismartono justru memancing peserta dialog berbagi kisah humor yang banyak diceritakan oleh Gus Dur semasa hidupnya.
Romo Franz Magnis-Suseno yang semula serius menyimak alur dialog lalu menceritakan kisah lucu yang pernah didengarnya dari Gus Dur.
Kisah lucu itu terkait tiga orang sedang antri di depan pintu surga. Satu orang pendeta, satu orang kiai dan satu orang yang berpakaian compang-camping.
Saat pendeta dan kiai sedang khusyu’ dan tawaduk menunggu antrian masuk sorga, datang lelaki berpakaian compang-camping yang tiba-tiba menyibak antrian dan langsung dipersilahkan oleh malaikat untuk memasuki pintu sorga. Melihat itu, sang kiai dan pendeta bertanya kepada malaikat,
“Siapa dia? Kenapa orang seperti itu bisa seenaknya masuk sorga dan mendahului kami?” kisah Romo Magnis dalam Bahasa Inggris.
Mendapat pertanyaan itu, malaikat menjawab, “Dia itu sopir bis jurusan Jakarta. Dia berhak masuk sorga lebih dulu, karena saat dia duduk di balik kemudi, semua penumpang terjaga dan berdoa dengan khusyu’ (karena sopir ngebut, red).
Sementara kalian, saat kalian berkhotbah di mimbar, umat kalian justru mengantuk dan tertidur lelap,” tutur Romo Magniz yang langsung disambut tawa para pastor.
Sebelum meninggalkan Pesantren Tebuireng, para pastor itu sempat berkeliling di kawasan makam dan memasuki salah satu kamar santri.
Mereka juga berdialog langsung dengan salah satu pembina santri.
Tampak hadir dalam pertemuan tersebut, Romo Gregorius Sutomo SJ (seorang pastor yang berhasil menyelesaikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Wakil Rektor II Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Muhsin Kasmin dan beberapa pengurus PP Tebuireng.
Menanam dengan cara hidropohnik atau budidaya menanam tanpa menggunakan tanah, semakin banyak digemari sebagian orang.
Selain hemat tempat, menanam dengan cara hidroponik dinilai sebagai salah stau cara mendapatkan produk yang lebih sehat.
WENNY ROSALINA, Megaluh
Di banyak tempat, kini sudah banyak masyarakat yang mempraktikkan dan berhasil. Salah satu yang mencoba sistem hidroponik ini Ulin Nikmatur Rosyidah, 24, gadis cantik asal Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh. Aktifitas yang awalnya berangkat dari hobi, kini sudah merambah ke dunia bisnis.
’’Jadi sayur yang saya tanam tidak hanya dimakan sendiri atau diberikan kepada tetangga, tapi juga dijual,” katanya.
Ya, itu karena pada umumnya tanaman yang dibudidayakan dengan cara hidroponik memiliki masa tanam, yang lebih pendek dengan harga jual yang cukup mahal.
Meskipun semua tanaman bisa dibudidayakan dengan menggunakan cara hidroponik, tapi Ulin sapaan aktrabnya memilih menanam sayuran.
’’Mulai dari sayur, hingga buah-buahan semuanya sebetulnya bisa ditanam dengan cara hidroponik, tapi umumnya sayuran,’’ terangnya.
Sayuran yang ditanam Ulin adalah sawi daging atau sawi sendok, ia biasa menyebutnya pakcoy.
Sawi ini memiliki bentuk yang lebih pendek, tumbuh menyamping, memiliki batang dan daun yang lebih tebal dibandingkan dengan sawi pada umumnya, rasanya juga sedikit manis. Pakcoy jarang ditemukan di pasaran karena harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan sawi biasanya.
’’Pakcoy jarang ada di sini, warga pasti penasaran dengan sayuran ini, awalnya pasti mencoba dan sekaligus saya sisipan edukasi setiap mereka bertanya,” lanjutnya.
Ulin memang seringkali memberikan pengajaran tentang makanan sehat kepada setiap orang yang bertanya, dengan harapan warga sekitarnya lebih sadar dengan cara hidup sehat dan membudayakan menanam sayur sendiri tanpa pestisida dan pupuk kimia lainnya yang membahayakan untuk tubuh dalam jangka panjang.
Ia sudah melakoni hobinya ini sejak satu tahun yang lalu. Kepada Jawa Pos Radar Jombang, sarjana pertanian dari salah satu universitas di Malang ini menceritakan jika pernah beberapa kali gagal menanam dengan cara hidroponik, saat ia pertama kali mencobanya.
Berawal dari ketidakpuasannya mendapatkan banyak teori dan sedikit praktik saat ia kuliah dulu, ia mencoba memanfaatkan ilmunya dengan bergabung dalam komunitas hidroponik.
Awal mencoba, ia hanya menggunakan botol air mineral bekas yang didapat dari teman-temannya. Menggunakan botol ia gagal, kemudian mencari kesalahannya, lalu mencoba kembali dan berhasil.
Berhasil menggunakan botol kemudian ia mencoba menggunakan boks, usahanya menggunakan box berhasil meskipun tidak maksimal karena air yang jarang diganti dan akhirnya kotor lalu berimbas kepada sayuran yang tumbuh tidak sehat.
Belajar dari pengalaman kurang sempurnanya ia kembali mencoba dan hasilnya bagus, tanaman bisa tumbuh dengan sehat dan bagus.
’’Menggunakan boks saya berhasil lalu saya menggunakan paralon, tapi masih satu tingkat, sebetulnya bisa disusun vertikal, hanya saja modalnya cukup besar,” ungkapnya.
Tidak hanya hidroponik, ia juga gemar menanam dengan sistem tanaman organik.
Baginya menanam hidroponik dan organik sama-sama sehat karena hanya menggunakan pupuk kandang dan pupuk kompos sebagai sumber nutrisi tanaman bagi organik.
Hanya saja menanam hidroponik lebih efisien tempat dan juga bisa tumbuh lebih cepat.
Menanam dengan cara hidroponik hanya menggunakan air dan pupuk AB-mix sebagai nutrisi tanaman.
Hanya saja menanam dengan cara ini boros di listrik karena diperlukan pompa untuk mengalirkan air setiap saat. ’’Kalau mati lampu sebentar saja, tanamannya pingsan dan bisa mati kalau terlalu lama,” katanya lagi.
Untuk menanam hidroponik hanya diperlukan benih, rock wool atau sejenis busa yang digunakan sebagai pengganti tanah untuk menopang akar, pompa air, paralon yang sudah diberi lubang dan salurannya, serta cup transparan yang sudah diberikan kain flanel untuk menyerap air ke atas.
Busa yang sudah disiapkan dipotong persegi masing-masing 2 centimeter, lalu ditata ke dalam nampan, lantas diberi air hingga basah, baru ditaburkan benih.
Untuk benih pakcoy biasanya Ulin memberikan satu benih di masing-masing busa, karena pakcoy tumbuh menyamping, sedangkan untuk kangkung, atau bayam ia memberi lebih banyak benih dalam satu busa.
Benih berubah menjadi bibit dalam waktu 2 minggu, baru kemudian dipindah dalam cup, masing-masing cup berisi satu busa yang sudah ada bibitnya, lalu diletakkan dalam paralon yang sudah dilubangi.
Pupuk AB mix yang tadinya bubuk harus dicairkan dulu, satu kilogram pupuk dicairkan dengan air lima liter.
’’Itu nanti masih kental, nah ditambah air lagi sesuai dengan kebutuhan tanaman,” lanjutnya.
Nutrisi AB mix kemudian dicampurkan dengan air yang siap dialirkan dalam paralon menggunakan pompa air.
Tidak butuh waktu lama, dalam waktu satu bulan, pakcoy bisa dipanen. Ulin biasa menjual satu pakcoy dengan harga Rp 2 ribu. Menurutnya, banyak yang menyukai sayuran ini karena memang jarang ditemui di pasaran.
Belakangan Ulin dan beberapa remaja sedesanya juga membentuk komunitas yang gemar menanam sayuran organik dan juga hidroponik.
Hasil dari sayuran yang dipanennya kemudian dijual kembali. Harga jual sayuran organik tentu lebih mahal karena tanpa ada pestisida.
Jika di pasaran satu ikat kangkung bisa dibeli dengan harga Rp 500 saja, tapi sayuran Ulin yang lebih sehat dijual Rp 5 ribu per tiga ikat.
’’Tetap banyak yang suka, karena sambil beli sambil belajar, dan sdah diberitau juga kepada pembeli kalau sayuran ini betul-betul sehat,” pungkasnya
(jo/nk/bin/JPR)