• info@njombangan.com

Yearly Archive2016

Festival Patrol Nusantara, 28 Grup Unjuk Kebolehan

KABARJOMBANG.COM – Sebanyak 28 grup musik patrol dari beberapa Kecamatan dan Desa di Jombang, unjuk kebolehan dalam Festival Musik Patrol Nusantara, yang dibuka langsung oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora RI) Imam Nahrowi, Sabtu (24/12/2016) sekitar pukul 13.30 WIB.

Ditandai dengan pemukulan gong, Menpora Imam Nahrowi yang didampingi Bupati Jombang Nyono Suharli melepas ke-28 peserta yang start di depan Pendopo Kabupaten Jombang.

Begitu dilepas Menpora, alat musik dari bambu atau disebut kentongan mulai dimainkan secara bersama. Ditambah lagi, alat musik modern seperti piano, drum, dan alat musik lainnya, menjadikan perpaduan antara musik tradisional dan modern yang enak didengar dan menyemangati. Musik yang dimainkan, ada lagu daerah, ada juga yang digubah dangdut serta campursari.

Tak hanya itu, di bagian depan grup, sekitar sepuluh hingga lima belas penari yang berbaris sejajar mulai berlenggak-lenggok menyajikan tari-tarian khas Jawa, yang diirigi musik patrol. Lengkap dengan kostum busana daerah, dan juga hasil karya sendiri.

“Kostum yang kreatif, akan menambah poin penilaian dalam festival patrol ini,” kata salah satu panitia.

Ribuan warga Jombang yang sebelumnya memadati pinggir jalan dengan duduk santai, sontak berdiri dan merangsek maju. Mereka ingin menyaksikan lebih dekat aksi masing-masing grup patrol. Tak ayal, tim pengamanan dibuat sibuk dan kewalahan dengan kondisi itu. Diantara mereka, ada yang berselfie, hingga merekam dengan smartphone yang dibawanya.

“Kita kesini ingin menyaksikan musik patrol. Biasanya, seni tradisional ini hanya ada di bulan Ramadhan, atau dilombakan saat Agustusan. Dengan paduan musik modern, seni musik patrol enak didengar,” kata salah seorang penonton di lokasi. (aan/rief)

 

Penulis: Aan/ Rief
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Youtube.com

Potret Seniman Realis Jalanan di Jombang

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Di kabupaten Jombang, tak banyak kita menemukan seniman lukis dengan teknik realis. Bukan karena sepinya minat pemesan, tetapi teknik melukis seperti ini bisa dibilang cukup sulit dan dibutuhkan ketelatenan.

Apalagi di era digital ini, orang banyak menghias dinding rumahnya dengan lukisan yang dibuat dengan bantuan aplikasi digital komputer atau android. Disamping praktis, juga tak menguras kantong.

Namun, bagi Wiwid Priyanto (34), seorang pelukis realis jalanan di Kota Santri ini, masih tetap bertahan menjadi pelukis wajah. Dia masih meyakini, karya orisinalitasnya bersama pensil, kertas, kuasnya, masih banyak digandrungi peminat seni.

Seniman asal Desa Lengkong, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk ini mengatakan, karya seni realis bukanlah sebuah pasar. Seni ini merupakan seni obyek dua dimensi yang menggambarkan seperti bidang aslinya. Dia mengaku senang melakoni pekerjaan seninya. Sebab, menghasilkan sebuah karya lukis realis tidak hanya dibutuhkan kejelihan, melainkan juga ketelatenan. Disitulah, dia tertantang dan menikmatinya.

“Mengerjakan lukisan realis harus telaten, dalam mengamati setiap lekuk dan guratan yang ada pada obyek. Saya senang melakoni ini, karena ada kepuasan tersendiri, yakni menghasilkan karya untuk orang lain,” katanya, Sabtu (26/11/2016) yang saat itu dia mangkal di trotoar Jalan Dr Soetomo, barat Kebonrojo, Jombang.

Benar saja, saat KabarJombang.com melihat pria ini mulai melukis 3 wajah pesanan seseorang. Pelukis itupun memulai men-sketsa foto milik pemesan yang dipegangnya. Lalu dia pun mengambil pensil, selembar kertas kanson (kertas khusus sketsa), dan penyangga. Tak lama kemudian, sketsa wajah pun jadi.

Setelah proses sketsa wajah usai, Wid –begitu pelukis realis ini biasa disapa- melanjutkan tugasnya dengan proses arsir dan pewarnaan tipis, menggunakan serbuk konte, atau pensil warna. Sambil sesekali mengamati terus menerus setiap detail wajah yang menjadi obyek. “Untuk hitam putih, cukup dengan serbuk konte. Jika diberi warna, dengan pensil warna,” ujarnya.

Saat beraksi melukis, Wid tampak penuh konsentrasi dan telaten, tanpa merasa terganggu apa yang terjadi di sekitarnya. Dengan kondisi jalan yang bising dan lalu-lalang orang, tak ada rasa gugup sama sekali. Ia terlihat sangat menikmati dan larut bergulat dengan obyek yang dipegangnya. Goresan demi goresan melekat tanpa ragu.

Menurutnya, untuk menyelesaikan obyek, dia hanya butuh 1 hingga 2 jam. “Itu sudah finishing. Tapi juga tergantung tingkat kerumitan dan mud,” akunya.

Pelukis realis ini mengaku, awal memiliki bakat seperti ini muncul secara otodidak. Dalam artian tidak melalui jalan pendidikan di bidang seni lukis. “Namun, saya sempat mengembangkan hobi dan bakat ini di Yogyakarta selama 3 tahun, mulai 2009 hingga 2012,” aku Wid, yang sudah menggeluti seni lukis realis jalanan di Jombang sejak tahun 2013-an.

Disinggung soal penghasilan yang diperoleh dari melukis realis, dia mengaku tiap harinya tak menentu. Namun, Wid tak ingin mengeluh. Ia tetap bersyukur. Komitmen dan kecintaannya terhadap pekerjaan seninya, membuatnya selalu bangkit, meski ia penah mengalami tidak ada pesanan selembar pun dalam sehari.

“Dijalanin saja. Tak pernah ada target berapa banyak pesanan. Toh, rezeki sudah ada yang mengatur. Yang pasti, saya berusaha maksimal dulu. Untuk kepuasan pemesan, sebelum finishing, saya pasti meminta kepada pemesan terlebih dulu, apakah ada komplain atau tidak,” ujarnya.

Untuk satu hasil karya, ia membandrol Rp 100 ribu untuk hitam putih. Sementara untuk warna hanya Rp 150 ribu. “Itu minimalis. Paling mahalnya relatif, tergantung tingkat kesulitan,” tuturnya.

Dia juga mengatakan, sebelum mangkal di Jalan Dr Soetomo setiap Sabtu dan Minggu. Dia biasa mangkal di trotoar Jalan Pattimura saban hari. “Karena trotoarnya dibenahi, saya pindah kesini. Tiap Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, saya kerjakan di rumah, di Lengkong. Untuk lamanya mangkal juga tak menentu. Dapat 1 atau 2 pesanan saja, biasanya terus pulang,” kata pelukis yang sudah tak terhitung hasil karya lukis realisnya ini.

Meski melalui proses yang tampak sederhana, karya lukis realisnya terbilang tahan lama. Sekitar 20 hasil karya yang dibawa dan dipajangnya saat itu, adalah hasil karya beberapa tahun silam. “Semua karya sudah melalui tahap anti gores. Jadi awet dan tahan cuaca,” katanya sambil menunjukkan karya gambar sejumlah tokoh yang dipajangnya. (rief)

 

Penulis: Rief
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Harnas.co

Desainer asal Jombang dan Solo Boyong Busana Muslim ke Tokyo Modest Fashion Week

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Sebanyak 12 busana muslim rancangan desainer busana kenamaan Jawa Timur, Lia Afif bakal melenggang di panggung Tokyo Modest Fashion Week.

Acara yang berlangsung selama sepekan mulai Selasa (22/11/2016) ini akan dimanfaatkan Lia untuk lebih mengenalkan busana dengan bahan tradisional khas Tanah Air.

“Ini sebagai upaya untuk membuat Indonesia menjadi kiblat fashion dunia,” tegas pemilik nama Lia Kusumaningdiah ini, Jumat (18/11/2016).

Keberanian Lia mengusung busana muslim di pentas fashion dunia ini karena acara tersebut mengangkat tema Japan Halal Expo. “Jadi busana muslim tentu ada peluang untuk dilirik oleh penikmat fashion dunia,” paparnya.

Untuk acara di Jepang nanti, Lia khusus membuat rancangan dengan bahan Tenun Gedok Tuban yang dipadu dengan kain cifon silk, taffeta, dan seruti. Lia juga memasukkan unsur batu-batuan dan bahan mirip kuningan sebagai aksesoris.

Batuan ini dipasang Lia pada bagian tengah busana sedangkan untuk kuningan melengkapi potongan garis tegas yang kerap ditampilkannya. Batuan dan kuningan ini jika dilihat dari jauh memberi kesan gemerlap.

Batuan ini tak hanya menghiasi busana, Lia juga menempatkan bebatuan dan bahan kuningan ini pada hijab.

“Ini untuk membuat tampilan lebih manis,” tutur Lia yang sebelumnya sempat memamerkan kreasinya di sejumlah negara Asia Tenggara macam Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunai Darussalam.

Busana kreasi Lia yang diboyong ke Jepang nanti dinominasi warna-warna alam, seperti cokelat, abu-abu, kopi susu, dan hitam.

“Saya sesuaikan dengan tenun yang juga warna-warna tanah. Selain itu, juga menyesuaikan selera masyarakat Jepang yang suka seni berbau alam,” ungkapnya.

Selain 12 rancangan dalam bentuk busana paket ready to wear, Lia juga menghadirkan kreasi yang bertema glamour. Ada sekitar 40 busana rancangannya dalam berbagai bentuk potongan seperti gaya celana palaso yang mirip kulot, gamis dan jumpsuit yang terkesan elegan.

Wanita kelahiran Jombang, 9 November 1974 ini mengaku kesempatan memajang rancangan di panggung Tokyo Modest Fashion Week ini berkat peran Kementerian Koperasi.

Selain Lia Afif, desainer Indonesia lainnya yang turut gabung di pentas dunia itu adalah Tuti Adis dari Solo.

 

Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tourist-note.com

Pelukis Ekspresikan Karyanya di Hari Pahlawan

Ada yang Melukis Sosok Bupati Jombang Pertama

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Selain para mahasiswa yang melakukan aksi memperingati Hari Pahlawan dengan membentang bendera sepanjang 80 meter, puluhan pelukis juga tak mau kalah.

Di tempat yang sama, para pelukis yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Lukis (KOPI) Jombang, memperingati Hari Pahlawan dengan cara melukis dan menggelar pameran lukisan di lingkungan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Jombang.

Pantauan wartawan di lokasi, sejak pagi, sekitar 20 pelukis datang dengan membawa kanvas dan perlengkapan melukis lainnya. Tampak, ada yang melukis wajah Presiden RI pertama Ir Soekarno, Panglima Besar Jenderal Soedirman, KH Hasyim Asy’ari, dan beberapa pahlawan lainnya.

Namun, ada satu pelukis yang menyajikan karya seni berbeda. Ia terlihat melukis sosok Bupati Jombang pertama, yakni Raden Adipati Aria (RAA) Soeroadiningrat, berdampingan dengan sang adik, Raden Jamilun.

“Kurang lebih selama delapan tahun, agenda melukis di Taman Makam Pahlawan ini dilakukan setiap memperingati Hari Pahlawan. Lukisan nantinya dipajang atau dipamerkan di depan pagar TMP. Boleh juga kalau ada yang beli,” kata Lukman Hakim, salah satu pelukis kepada wartawan.

Ditanya mengapa memilih melukis sosok RAA Soeroadiningrat berdampingan dengan sang adik, Raden Jamilun?, Lukman dengan tegas menjawab, jika dirinya ingin memberikan tambahan wawasan kepada masyarakat, bahwa Jombang pernah memiliki Bupati fenomenal yang juga seorang ulama dan pejuang kemerdekaan.

“Saya rasa banyak yang belum tahu mengenai kisah beliau (RAA Soeroadiningrat) begitu juga adiknya Raden Jamilun. Namun, kakak adik ini memiliki cara pemikiran yang berbeda untuk mengabdi ke masyarakat. Saat itu kisaran tahun 1910-1930,” ujarnya.

Lalu mengapa lukisan RAA Soeroadiningrat telihat lebih besar, dan detail daripada sang adik Raden Jamilun?. Pelukis aliran realis itu menjelaskan, jika lukisan karyanya menceritakan cara pandangan berbeda keduanya. RAA Soeroadiningrat lebih menjalin kerjasama dengan Belanda, dimana sisi manfaatnya untuk kepentingan warga. Sedangkan Raden Jamilun terang-terangan melawan Belanda.

“Intinya mereka sama-sama bertindak untuk kepentingan masyarakat. Namun, Raden Jamilun lebih seperti Raden Said sebelum menjadi Sunan. Ia tak segan merampok pejabat Belanda yang hasilnya dibagikan ke masyarakat,” papar pelukis berambut gondorong itu.

Sedangkan pada saat pemerintahan RAA Soeroadiningrat, ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang dan penanaman pohon beringin di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Contong yang kini menjadi icon Jombang.

Model strategi RAA Soeroadiningrat, yakni mendekati Belanda sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyinya untuk semaksimal mungkin memakmurkan rakyat.

“Dia (RAA Soeroadiningrat) berprinsip mengikuti arus air, tapi jangan sampai terbawa arus. Artinya mengikuti kemauan Belanda namun tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat,” pungkasnya. (aan)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Nu.or.id

Kisah Kartolo dan Ludruk

Kartolo sudah meninggalkan dunia ludruk sejak 1985. Sejak saat itu, belum ada seniman ludruk yang bisa menyamai kharismanya.

tirto.idJalan Kupang Jaya I tampak lengang siang itu. Hanya ada beberapa orang anak muda yang sedang duduk di depan rumah. Cangkruk, istilah Surabaya-nya. Beberapa meter setelah tempat mereka cangkruk, ada dua orang perempuan paruh baya yang bercengkrama. Mereka tampak sigap ketika ditanya rumah Kartolo.

“Rumahnya Abah lurus aja. Nanti ketemu rumah pager item yang puanjang, nah itu rumahnya Abah,” kata salah satu perempuan itu.

Bagi yang belum tahu, panjang dan puanjang itu berbeda. Ini dialek khas Surabaya. Panjang ya panjang, biasa saja. Kalau puanjang, itu artinya lebih dari panjang yang biasa. Sama seperti guanteng untuk menyebutkan ketampanan yang berlebihan, atau uelek untuk menyebut keapesan tak tertanggungkan perihal muka. Penambahan huruf -U itu sama derajatnya dengan kata very dalam Bahasa Inggris.

Benar saja, rumah Kartolo memang panjang. Seperti dua rumah yang dijejer jadi satu. Pagarnya hitam. Lantai halaman depan keramik beraksen gelap.

Seorang perempuan menyilakan untuk masuk. Dalam rumah Kartolo ada satu jam Junghans buatan Jerman, yang bersandingan dengan satu buah kipas angin. Pria berumur 71 tahun ini biasa menemui tamunya di ruang tamu, di sofa berwarna cokelat. Nama Kartolo tenar sebagai seniman ludruk dan pelawak. Baru saja mendaratkan bokong di atas sofa kesayangannya,  dia sudah melontarkan lawakan.

“Silakan kuenya dimakan,” katanya menyilakan.

“Itu kue sisa lebaran.”

“Tapi lebaran lima tahun lalu.”

Nama Kartolo dan ludruk nyaris tak bisa dipisahkan. Walau sebenarnya pria yang sempat lama tinggal di Malang ini sudah “meninggalkan” dunia ludruk pada 1980-an. Kartolo beralih menjajal masuk dapur rekaman. Selama 15 tahun, Kartolo sudah merekam sekitar 95 album. Setelah Kartolo pergi, rasa-rasanya belum ada seniman ludruk yang bisa menyamai kharismanya.

James Peacock, dalam Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama (1968) mengatakan bahwa ludruk bisa ditarik akarnya ke abad 13. Saat itu sudah ada pertunjukan ludruk bondan dan ludruk lerok di era Kerajaan Majapahit. Ludruk tumbuh berkembang di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Timur.

Ludruk berkembang di jalanan, dalam artian mereka berkeliling. Mirip dengan sirkus. Istilahnya tobongan. Ludruk keliling ini berisi rombongan besar. Kadang dalam satu rombongan ada sekitar 50 hingga 60 orang. Tidak hanya pemain, tukang dekor pun diborong. Kartolo muda mulai menangguk pengalaman bermain ludruk dengan bergabung di tobongan. Saat itu 1967, Indonesia masih dalam keadaan panas setelah peristiwa Gerakan 30 September.

Tobongan banyak ditanggap. Baik di desa ataupun kota. Bedanya ada di durasi. Di desa, biasanya ludruk dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 3 pagi. Sedangkan di kota, lebih singkat, hanya 4 jam saja. Biasa dimulai pukul 8 malam, berakhir pukul 12.

Ludruk punya pola yang bisa dibilang jamak. Pada pembukaan, akan ada atraksi tari remo terlebih dulu. Setelah ngeremo selesai, akan ada babagan yang disebut sebagai Bedayan, tarian yang diiringi kidung para penyanyi. Setelahnya baru para pelawak muncul. Pelawak ini awalnya akan muncul sendirian. Dia mulai berbicara dan melucu, mirip seperti komika di zaman sekarang. Setelahnya para rekan pelawak lain akan muncul, dan akan ada tek-tok untuk meluncurkan lawakan-lawakan dalam bentuk grup. Setelah lawakan selesai, baru ada Lakon. Ini adalah inti cerita yang dibagi dalam beberapa babak. Cerita biasanya mengambil kisah rakyat, atau kehidupan sehari-hari.

“Semua pertunjukan ludruk harus ada itu semua,” kata Kartolo.

Babak Dalam Ludruk

Ludruk disukai banyak orang karena sifatnya yang membumi. Ia dianggap sebagai pemberontakan dari seni pertunjukan ala keraton dan istana, seperti wayang atau ketoprak, yang biasanya memakai tema elite dan menggunakan bahasa elite pula. Ludruk tidak demikian. Bahasanya adalah bahasa “kasar”, yang lebih egaliter dan dekat dengan kalangan akar rumput.

Karena populer itu lah, banyak anak-anak muda yang tertarik untuk bergabung dengan ludruk. Dari penelitian James Peacock selama kurun 1963 hingga 1964, dia mendata ada sekitar 594 grup ludruk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur mendata pada 1984-1985 ada sekitar 789 grup ludruk.

Pada 1985, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur pernah melakukan pendataan kelompok ludruk dan senimannya. Saat itu kelompok ludruk sudah menurun jadi sekitar 58 kelompok ludruk dengan jumlah pemain mencapai 1.500-an orang. Jumlah itu makin menyusut seiring munculnya televisi.

Kelompok Loedroek ITB, pernah melakukan pendataan periode ludruk. Dimulai dari periode lerok besud (1920-1930), dari sini ludruk keliling bisa dilacak. Para kelompok ludruk berkeliling, ditanggap untuk mengisi berbagai acara. Mulai dari pernikahan, sunatan, atau panen raya.

Pertumbuhan ludruk dari era 1930 hingga 1945 diwarnai dengan kisah-kisah yang membakar perlawanan kepada penjajah. Di periode ini, muncullah nama Cak Durasim, tokoh ludruk legendaris yang sekarang diabadikan menjadi nama gedung pertunjukan di Surabaya. Cak Durasim membuat organisasi perkumpulan kelompok ludruk, Ludruk Organizatie.

Selain menjadikan ludruk sebagai hiburan rakyat, disisipkan pula pesan-pesan perlawanan. Puncaknya adalah saat Cak Durasim mengeluarkan parikan: Pagupon omahe doro, melu Nippon malah tambah sengsoro (pagupon rumahnya dara, ikut Jepang malah tambah sengsara). Karena peristiwa itu, Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Jepang. Dia meninggal setahun setelah penangkapannya.

Periode ludruk kemerdekaan dimulai sejak 1945 hingga 1965. Saat itu, ludruk yang memang dekat dengan kalangan akar rumput, juga dekat dengan kaum Komunis Indonesia dan sayapnya, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Salah satu kelompok ludruk yang terkenal adalah Marhaen dan Tresna Enggal. Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September, banyak seniman ludruk yang ditangkap dan hilang tanpa jejak.

Setelah Orde Lama tumbang, jagat ludruk sempat kosong dalam waktu sekitar 3 tahun. Setelahnya, rezim Orde Baru memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk menjadi “bapak” kelompok ludruk. Beberapa kelompok ludruk digabungkan jadi satu dan berada dalam pengawasan kesatuan ABRI masing-masing.

Ada kelompok Anoraga yang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma I, II, dan III Brawijaya yang dibina oleh Korem 083 Baladika Jaya, Malang. Kelompok Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang. Kelompok Dwikora Denzipur 5 Lawang juga punya kelompok ludruk. Sedangkan Brimob punya kelompok Gema Tribrata dan Duta Budaya. Kartolo mengawali karir dengan bergabung di Denzipur 5.

“Dulu seniman ludruk itu ya pakai seragam juga, masuk kantoran,” kata Kartolo.

Pada 1975, barulah kelompok ludruk kembali jadi independen. Dan Kartolo mulai menekuni karir sebagai seniman ludruk keliling dengan bergabung ke kelompok seperti Gajah Mada, Tangsa Trisno, Bintang Surabaya, Persada, hingga ludruk milik Radio Republik Indonesia.

Peristiwa Pemberontakan G30 S yang membuat banyak seniman hilang tak diketahui rimbanya, membuat para seniman ludruk mengurangi, bahkan menghilangkan, muatan politis dalam setiap penampulan panggungnya. Begitu pula Kartolo. Dia memilih sama sekali tidak mau menyinggung soal politik dalam lawakannya.

Masa Depan Ludruk

Ibnu Raharjo adalah salah satu kolektor kaset lawakan Kartolo. Dia punya sekitar 50-an kaset Kartolo. Lebih dari separuh. Sisanya, kata Ibnu, agak susah dicari.

“Karena kolektor kaset kayak gini kan susah dilacak,” kata pria pendiri Toko Buku Kafka ini.

Pertemuan Ibnu dengan karya Kartolo sudah dimulai saat dia masih SD. Kaset Kartolo sering diputar di acara hajatan, biasanya siang hari. Itu adalah waktu di mana memutar lagu dangdut terlalu berisik dan memutar lagu pop tidak menarik. Setelahnya, baru Ibnu melihat pertunjukan Kartolo melalui TVRI.

Menurut Ibnu, ada beberapa hal yang menyebabkan Kartolo disukai banyak orang. Pertama, lawakannya gampang ditangkap semua orang. Ini adalah buah dari pengalaman di ludruk, yang memang memakai bahasa sehari-hari dan juga menampilkan tema yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Tema lawakan Kartolo juga dianggap bisa menyasar semua umur.

“Buktinya, aku yang masih kecil saja bisa suka,” kata pria yang tinggal di Malang ini.

Menurut Ibnu, Kartolo memang menghindari tema politik dalam lawakannya. Ini dilakukannya secara sadar. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Kartolo ikut mengampanyekan program pemerintah. Seperti Keluarga Berencana, atau soal swasembada pangan.

Saat menjadi mahasiswa di pertengahan 98, Ibnu mulai tertarik mengoleksi kaset Kartolo. Setiap ada kaset Kartolo, dia selalu beli. Tahu-tahu sudah mencapai 50 kaset. Menurutnya, kaset Kartolo lumayan mudah dicari di lapak penjual kaset bekas. Bahkan kaset yang baru pun ada, terbitan Nirwana Records.

Periode Kartolo memasuki era kaset ini cukup menarik. Sebagai seniman klasik –dalam artian dia lumayan mengabaikan perihal uang dan imbalan materi, dan lebih memilih untuk terus berkarya– Kartolo tidak peduli dengan royalti. Dari semua kasetnya, tak ada yang dibayar pakai royalti.

Kartolo tidak keberatan dengan kebijakan itu. Menurutnya, hubungannya dengan Nirmala adalah sama-sama menguntungkan. Nirmala mendapatkan untung finansial, Kartolo mendapatkan publisitas luas. Karena saat itu juga belum ada televisi.

“Tanpa kaset rilisan Nirmala itu, saya tidak akan jadi apa-apa. Kaset saya itu sampai di Texas lho mas. Iya, Texas Amerika,” kata Kartolo.

Selepas Kartolo, nyaris belum ada seniman Jawa Timur, yang bisa menyamai pengaruhnya. Dulu sempat ada Kelompok Kirun, Bagio, Kholik. Tapi bubar. Begitu pula duo Topan dan Lesus yang dulu sempat menghiasi layar televisi, juga buyar di tengah jalan.

Kartolo sendiri sampai sekarang masih aktif manggung: melawak dan ngidung di usia kepala 7. Paling tidak sebulan ada 4 atau 5 kali manggung. Dalam masa jayanya dulu, kelompok lawakan Kartolo bisa manggung hingga 20 kali dalam sebulan. Tak hanya itu, Kartolo juga masih aktif membuat syair kidungan dan parikan. Dia tak pernah menampilkan materi yang sama dalam tiap panggungnya.

Kesenian ludruk sendiri masih hidup hingga sekarang, walau tak mungkin sebesar dulu. Nama-nama baru bermunculan, walaupun memang harus diakui agak susah menyamai para pendahulunya. Di Surabaya ada kelompok ludruk Arboyo yang dipimpin oleh Cak Lupus. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak muda di bawah usia 30 tahun. Di Bandung, ada kelompok Loedroek ITB yang merupakan unit kegiatan kampus. Di Surabaya juga masih ada beberapa kali kompetisi ludruk, walau seringkali tak ada kelanjutannya setelah ada pemenang lomba.

Ludruk, sama seperti kesenian tradisional Nusantara lain, memang persis seperti yang diungkapkan Kathleen Azali dalam makalah berjudul Ludruk, Masihkah Sebagai Ritus Modernisasi, menuliskan bahwa ludruk dan banyak kesenian tradisional kita tidak punya standarisasi. Selain itu, pewarisan ilmu pengetahuan dan khazanah pertunjukan ini dilakukan secara lisan. Hal ini membuat regenerasi lumayan susah dilakukan. Apalagi jika para tetua sudah mulai tidak ada.

Pengamat seni Henri Nurcahyo mengatakan bahwa setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan agar ludruk bisa tetap bertahan. Pertama, ludruk harus berinovasi agar tidak membosankan. Pakem, mau tidak mau, harus sedikit diubah.

“Semisal pentas dibuka bukan dengan tari remo, melainkan dengan adegan perkelahian,” tulis Henri.

Kedua, ludruk bisa dikemas supaya mampu menghadirkan suasana desa dan tradisional, terutama bagi masyarakat kota yang memang rindu dengan suasa desa dan hiburan tradisional. Ketiga, tentu campur tangan pemerintah. Bisa dengan menyediakan insentif bagi para seniman ludruk, atau memberikan tempat latihan gratis bagi kelompok ludruk.

Penulis: Nuran Wibisono

Article courtesy: Tirto.id

Photo courtesy: raibongsoku.blogspot.co.id

Meski Dua Unit, Begini Aktivitas Mobil Perpustakaan Keliling

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Ditengah riuh warga mengikuti senam dan melakukan aktivitas lain di Alun-alun Jombang, Minggu (2/10/2016) pagi, terdapat sebuah minibus terparkir di depan Pendopo Bupati. Mobil tersebut tidak seperti mobil penumpang, juga bukan mobil box barang. Meski begitu, bagian belakang mobil berwarna biru itu didesain buka-tutup, agar barang yang berada didalamnya langsung ter-display dan menarik warga yang lalu-lalang.

Benar saja, tak lama setelah bagian belakang mobil dibuka, beberapa warga langsung menyerbu. Bersama anaknya, mereka mulai memilah dan memilih beberapa buku yang cocok menjadi bacaan anaknya. Kemudian memilih duduk diatas karpet di trotoar yang berdempetan dengan pagar, sisi selatan pintu masuk pendopo. Kebanyakan dari mereka, mendampingi anaknya membaca, atau membacakan buku untuk anaknya yang masih belum bisa baca.

Mobil berlabel “Perpustakaan Keliling” (Perling) ini, setia menunggu warga Jombang yang ingin membaca buku di seputaran Alun-alun, sejak pagi khusus setiap hari Minggu. “Kita disini hingga sekitar pukul 09.00 WIB,” kata Hendra Kurniawan, petugas Perling pagi itu di lokasi.

Menurutnya, buku milik Perpustakaan Mastrip Pemkab Jombang yang ter-display di mobil Perling tersebut kebanyakan buku anak-anak. Hanya sebagian kecil saja buku umum. Itupun, beberapa waktu lalu sudah mengalami pembaruan buku. “Ada sekitar 1000 judul buku di dalam mobil ini. Banyak buku baru, karena habis perombakan,” katanya.

Dijelaskannya, ketersediaan buku anak-anak di mobil Perling yang dikendarainya tersebut karena memang diperuntukkan untuk menggugah dan membangkitkan budaya baca usia anak-anak. Tidak hanya mangkal di pusat kota setiap hari Minggu, dia mengaku setiap Senin sampai Kamis mangkal di sekolah dasar yang berada di pelosok-pelosok Kota Santri.

Menurutnya, hanya ada dua unit mobil Perling yang dimiliki Perpustakaan Mastrip. Namun, hanya mobil bantuan pemerintah pusat itulah yang mampu menjangkau hingga pelosok desa. Sementara satunya hanya bisa berkeliling di sekitar kota sebab usia mobil sudah tua. “Karena kondisi mobil yang satunya tidak memungkinkan, ya hanya mangkal di sekitar kota saja. Benar, karena usia mobil sudah tua,” terangnya. (rief)

 

Penulis: Rief
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Jombang.go.id

Tentang Kartolo, Legenda Ludruk dan Seniman Jawa Timur

2 Juli 1947, Tolo lahir di Watu Agung Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, yang akhirnya lebih akrab dipanggil Kartolo. Kartolo bukan berasal dari keluar seniman Ayahnya, Aliman adalah buruh pabrik tenun Juwingan, Surabaya. Pun, ibu Kartolo, Payamah hanya sebagai ibu rumah tangga yang berdagang warung kelontong. Pria yang sangat bangga disebut mirip Saddam Hussein ini, tak pernah bercita-cita sebagai seniman. Ia dulu sangat memimpikan jadi pegawai negeri, yang dianggapnya punya masa depan. Ya, karena pegawai negeri dapat pensiun dan tunjangan.

Tahun 1952, Tolo masuk Sekolah Rakyat (SR)

Tahun 1958, lulus SR 6, Tolo tidak melanjutkan se­kolah yang lebih tinggi, orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Masa kecilnya di Prigen punya tetangga yang membuat gamelan. Namanya Pak Tjipto. Gamelan buatan Pak Tjipto dipakai untuk kerawitan atau panjak. Di situlah Kartolo belajar gambang dan tayuban. Usia 14 tahun, Tolo ikut grup ludruk Margo Santoso, grup ludruk di desanya. Lalu bergabung dengan grup Ludruk Garuda yang bermarkas di Pandaan. Pada zamannya ludruk Garuda ini lumayan punya pamor. Selanjutnya Tolo pindah lagi, bergabung dengan grup Panca Tunggal, grup binaan Batalyon Zeni Tempur V Lawang.

Tahun 1961-1962, Tolo hijrah ke Malang. Dia memilih menjadi seniman lepas (tidak terikat pada Grup Ludruk), Tolo ikut pentas berbagi grup ludruk yang ada di Kota Apel tersebut.

Tahun 1965, Ketika meletus peristiwa G 30 S PKI Kartolo pulang ke Pandaan. disebabkan seluruh kegiatan kesenian terhenti, kondisi yang sangat menyiksa. Karena para seniman tak bisa berekspresi dan tak mendapatkan penghasilan.

Tahun 1967, situasi negara mulai tenang. Lantas Tolo melanjutkan kiprahnya dengan bergabung di grup Dwikora Sepur Lima, Lawang. Grup ini kemudian bubar. Kartolo lalu pindah ke ludruk Gajah Mada binaan Marinir Surabaya. Dari grup Gajah Mada itu, nama Kartolo mulai dikenal. Ia kemudian bergabung ke ludruk Bintang Surabaya. Keluar lagi dan bergabung dengan ludruk Tansah Trisno.

Tahun 1971, bergabung dengan ludruk RRI Surabaya, Kartolo gandeng dengan tokoh-tokoh ludruk RRI Surabaya yang cukup tenar, antara lain Muali, Kancil, Markuat. Lakon-lakon yang dijadikan andalan. di ludruk RRI Surabaya inilah, Kartolo kepincut Kastini yang sama- sama main di ludruk RRI. Sering Tolo dan Tini dipasangkan dalam lakon-lakon ludruk. Dan akhirnya benar-benar jadi suami istri sampai sekarang uwiting tresno jalaran soko nggelibet. Artinya, Awalnya cinta disebabkan karena sering berdekatan.

Tahun 1974, Kartolo keluar dari RRI. Dia sempat bergabung dengan Ludruk Persada Malang pimpinan Cak Subur di Kabupaten Malang. Kartolo belajar keras lagi. Pengalamannya banyak ditempa di sana.

Tahun 1980, setelah malang melintang sebagai seniman ludruk, akhirnya Tolo mendapat tawaran rekaman di bawah bendera Nirwana Record. Bersama Nelwan S. Wongsokadi dengan karawitan Sawunggaling Surabaya. Sedangkan Kartolo membawakan Jula-Juli Guyonan. Formasinya, Kastini (istri Kartolo), Munawar, Sapari, Sumilah, dan Cak Yakin. Pertama yang di-launching Peking Wasiat dan Welut Ndas Ireng. Dua kaset itu meledak di pasaran, sampai 10 ribu kaset. Edisi selanjutnya Kartolo merilis Tumpeng Maut. Dalam edisi ini bergabunglah Basman dan Sokran. Kedua pelawak inilah, menambah warna tersendiri Basman yang dikenal ceplos-ceplos, suka terpeleset-peleset bicara sembari diiringi tawa lebar. Sokran yang kerap memosisikan diri sebagai orang yang selalu dirundung kesialan dan memelas.

Tahun 1980-1995, Kartolo telah merilis 90 kaset dan VCD 4 buah, antara lain Soto Gagak, Besut 81, Kemanten Puret, Kuro Kandas, Macan Ompong, Dukun Ulo Entong, Ratu Cacing Anil, Juragan Roti Sepatu, dan masih banyak lagi. Album terakhir Rujak Kikil (1995). Rekaman Kartolo juga banyak dijual di Suriname. Membuat kidunganbagi Kartolo sangat mudah, justru melawaklah suatu hal yang diangagap sulit, sebab bayolan terkait dengan cita rasa penikmatnya. Cerita lawakan Kartolo tak pernah tertuang dalam naskah, hanya sekedar berdialog sebelum naik pentas dengan para pemainnya, ada yang pengumpan, ada yang menabok. Namun dalam melawaknya ternyata mempunyai prinsip batas tegas, Ia tidak akan mengangkat tema-tema politik atau yang menghujat.

Tahun 1990, Kartolo pernah tampil di Universitas Airlangga dalam acara open air di depan pelataran Fakultas Hukum. Ketika itu, Kartolo melakonkan diri sebagai mahasiswa yang sok tahu. Ketika Sokran bertanya, sudah ikut mata kuliah apa, dengan enteng Kartolo menjawab: Kewirangan Spontan para mahasiswa pun terkekeh-kekeh mendengar pelesetan kuliah Kewiraan itu.

Kartolo dimata BUDAYAWAN Sindhunata (2004)
Sindhynata heran, saat mempelajari kidungan Kartolo, berbagai strata sosial masyarakat menyukai lawakannya. Sindhunata menulis tentang Kartolo. Bukunya, Ilmu Nggletek Prabu Minohek, dicetak September 2004 akhirnya di-launching. Isinya tentang apresiasi kidungan dan lawakan Kartolo.

Shindunata kagum sebab karya Kartolo semua kidungannya isinya selalu berbeda. Kartolo mempunyai segudang pengalaman. Dengan demikian, akar atau ranah lawakannya bukanlah kecukupan dan keceriaan atau kegembiraan. Melainkan kekurangan dan kepahitan atau kesedihan.

Kekurangan, kepahitan, dan kesedihan jika masuk dalam ranah humor, akan menghasilkan efek komedi tragis. Komedi ini hanyalah ekspresi seni dari hidup rakyat yang susah dan berkekurangan sehari-harinya. Hal inilah membuat Kartolo laris manis di kalangan mereka.

Jangan berharap luar biasa dari kehidup Kartolo. Ngglethek, hidupnya memang begitu saja, orang yang bisa merekam pelbagai kisah kehidupan dalam lawakan yang begitu mengesankan, ternyata ngglethek, cuma sederhana dan selugu itu. Hanya dengan pandai menertawakan diri dan hidup ini sesungguhnya ngglethek.

Di sinilah jasa Kartolo dan kawan-kawannya buat kehidupan. Lawakan-lawakannya selalu mengingatkan orang untuk sadar akan aspek ngglethek dari kehidupan ini. Jalan hidup Kartolo begitu sederhana. Sangat ngglethek (pasrah)? begitu komentar Sjndhu

Emha Ainun Nadjib juga kagum terhadap kesahajaan Kartolo. Emha sempat menawari Kartolo bergabung dengan kelompoknya Kyai Kanjeng, namun Kartolo beralasan lebih mengutamakan grup lawakannya. Ia merasa sudah ada keterikatan batin dengan teman-temannya. Kartolo pernah diundang mengisi kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), didaulat menjadi pembicara dalam seminar budaya, bersama Harry Mukti dan Emha Ainun Nadjib. Meski Kartolo pelaku seni dan budaya namun bukanlah orangnya jika sebagai pembicara seminar, yang hanya berpendidikan Sekolah Rakyat.

Bersama istrinya Kastini tinggal di Kupang Jaya 1/12-14 Surabaya, Kartolo dikarunai tiga orang anak. Anak pertama Agus Slamet sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Sedang yang kedua Gristianingsih dan anak ketiga Dewi Triyanti sudah bisa hidup mandiri Darah seni Kartolo agaknya menurun kepada putri bungsunya, Dewi Triyanti yang pandai ngremo, pernah tampil di Istana Negara. Bagi Kartolo, peran seniman kalau bisa jadi tontonan sekaligus sebagai tuntunan. Meski namanya telah populer, Kartolo bersama istrinya, Kastini tak pernah pilih-pilih job. Bahkan di acara tujuh belasan (peringatan HUT Kemerdekaan RI) di kampungnya Kartolo dan Ning Tini masih rutin mengisi tanpa mau dibayar. Bahkan, kalau tampil tujuh belasan mengajak masyarakat setempat untuk main bareng. Dedikasi Kartolo sebagai seniman merupakan totalitas. Hampir seluruh hidupnya habis dari panggung ke panggung. Perjalanan waktu telah membuat makin matang dalam berkarya.

Kartolo bisa dibilang sebagai peletak dasar-dasar ludruk modern, dan sekaligus pembaharu bagi genre kesenian Jawatimuran ini. Parikan-parikan yang diciptakannya merupakan improvisasi di atas panggung yang tercipta saat itu dan tanpa teks. Parikan-parikannya tidak hanya berisi ungkapan-ungkapan jenaka belaka, namun juga berisi kritik-kritik sosial dan potret-potret kehidupan metropolitan.

 

Penulis: –

Article courtesy: Jawatimuran.net

Photo courtesy: Kompasiana.com

Jadi Tukang Cuci Motor Dadakan, Remaja Kristen Kumpulkan Dana untuk Bagikan Takjil

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Demi memberikan takjil saat buka puasa bagi umat Muslim. Belasan remaja Kristen dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jombang, rela teteskan keringat dengan mencuci motor jemaat GKI dengan bayaran seadanya. Hal ini terlihat di halaman parkir depan GKI Jombang yang berada di Jalan Wahid Hasyim, Rabu (15/6/2016).

Dengan peralatan seadanya, belasan remaja ini terlihat sibuk membersihkan beberapa kendaraan roda dua milik jemaat gereja di Jombang. Meski berjibaku dengan air, serta busa sabun di dalam tubuhnya. Namun, mereka tetap asyik bekerja sebagai tukang cuci motor dadakan untuk saling berbagi di bulan ramadhan. Uniknya, hal itu mereka lakukan demi membagikan takjil menjelang buka puasa bagi umat Muslim di Jombang.

Dengan tanpa menarif pemilik motor yang menjadi pelanggannya. Mereka tetap memberikan pelayanan sepenuhnya, demi bisa mengumpulkan dana untuk diberikan beberapa bahan makanan yang akan digunakan membuat takjil yang identik menjadi makanan pembuka bagi umat muslim yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini.

“Hasil jerih payah mencuci motor itu, akan kita gunakan untuk membeli bahan-bahan memasak takjil,” ujar Filena Zeva Adinda Kasih (16) salah satu remaja gereja seusai membasuh motor pelanggannya.

Tak hanya itu, dirinya bersama belasan temannya rela bekerja selama 4 jam demi bisa mengumpulkan dana untuk bisa membuat takjil menjelang buka puasa saat petang datang. “Kita cuci motor jemaat itu ukul 05.00 hingga 08.00 pagi, itupun kami tak mematok tarifnya,” ungkapnya.

Menurut salah satu siswa kelas XII SMAN 3 Jombang itu, hanya dengan sukarela dirinya menerima berapa pun ongkos yang diberikan pemiliki motor kepadanya, “Berapapun jemaat ngasih, tetap kita terima,” pungkasnya.

Meski begitu, dirinya bersama remaja kristen lainnya bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 200 ribu dalam beberapa jam tersebut. “Pasalnya setiap orang bisa memberikan ongkos secara suka rela dan kami tidak mentarif itu,” tegasnya.

Usai dana terkumpul, mereka kemudian memasak di rumah salah satu temannya yang dimulai sejak pukul 13.00 sampai jam 16.00 WIB. Meski dana terkadang kurang, namun mereka tak kebingungan. Sebab bila kekurangan bahan yang dibutuhkan ibu tempat mereka menyajikan takjil, siap memberikan tambahan untuk kebutuhan memasak.

Puas dengan hasil jerih payahnya seharian, mereka kemudian membagikan takjil buka puasa di berbagai tempat umum yang ada di Jombang. Seperti di Alun-alun serta perempatan jalan dan juga di dekat masjid Agung Jombang.

“Ini kita lakukan sebagai bentuk toleransi antar umat beragama. Meski di bulan ini saudara kami umat muslim berpuasa. Namun, kami tetap bisa berbagi melalui takjil buka puasa meskipun secara sederhana,” celetuk perempuan berkulit putih, sembari tersenyum bentuk kebahagianya. (ari)

 

Penulis: Ari
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Vebma.com

Ramadhan, Pengrajin Kaligrafi Bambu Alami Peningkatan Pemesanan

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Bulan Ramadhan ternyata memberi keberkahan tersendiri bagi sebagian orang. Seperti yang dialami Mustamil (42) warga Desa Grogol, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Dia yang menggeluti karya seni kaligrafi 3 dimensi mengalami ini peningkatan pemesanan di bulan Ramadhan.

“Ada peningkatan pemesanan di bulan puasa tahun ini,” katanya saat ditemui di kediamannya, Senin (13/6/2016).

Dia mengaku, peningkatan pemesan di bulan ramadhan mencapai 50 persen dibanding bulan-bulan seperti biasanya. Hal ini disebabkan banyak para penggemar kaligrafi tiga dimensi yang mulai melirik karya seni dari bahan bambu in. Pasalnya, dibanding dengan kaligrafi lainnya, kaligrafi yang dibuatnya tersebut harganya cukup terjangkau dibanding jenis kaligrafi lainnya.

“Bahannya kita ambil dari bambu yang sudah kering dan itu sangat memudahkan bahan baku produksi pembuatan kaligrafi ini,” katanya sembari memasang satu persatu potongan bambu yang akan dibuat kaligrafi Arab.

Tak hanya itu, dari segi harga juga membuat karya seni kaligrafi ini banyak penggemarnya. Sebab, harga yang ditawarkan cukup bervariatif, dari yang termurah hingga yang paling mahal.

“Harga tergantung dari segi kesulitan pembuatan modelnya. Jadi biasaya pemesan bisa memilih bentuk dan juga jenis karyanya yang diinginkan,” papar pria berrambut grondong ini.

Jika jenis kerumitan yang biasa, paling murah dia mematok harga Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Itupun bervariasi jenis karyanya. “Tulisan Arab atau gambar kaligrafi lainnya,” terannya.

Namun, jika tingkat kesulitannya sangatlah banyak, harga bisa dibandrol hingga jutaan rupiah. Meski begitu, hingga saat ini dia masih banyak menolak pemesanan yang diinginkan konsumenya. Pasalnya, tenaga yang dimilikinya masih minim. Tak hanya itu, alat yang digunakan juga cukup minim.

“Selain itu, alat yang kita gunakan masih manual, jadi tidak bisa ditarget kapan selesainya,” katanya. (ari)

 

Penulis: Ari
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Tribunnews.com

Resmikan Masjid Mewah, Moeldoko Cerita Zaman Susah

Jombang (beritajatim.com) – Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko pernah mengalami zaman susah. Yakni, saat masa-masa sekolah.

Betapa tidak, untuk membayar ongkos angkutan sekolah, Moeldoko harus kucing-kucingan dengan kondektur bus. Dia tak mampu membayar, padahal saat itu onkos angkutan dari Papar, Kediri menuju Jombang hanya Rp 25,.

Belum lagi saat ibu kos melayangkan tagihan bulanan. Moeldoko harus pusing tujuh keliling. Keuangannya kembang kempis. Demikian diceritakan mantan Panglima TNI ini saat meresmikan ‘Islamic Centre Dr H Moeldoko’ di Jl Raya Kayen, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang, Rabu (1/6/2016).

Moeldoko menjelaskan, lokasi Islamic Centre yang di dalamnya tersapat masjid mewah itu sengaja dipilih di kawasan Bandar Kedungmulyo. Pasalnya, lokasi tersebut jaraknya dekat Kecamatan, Purwoasri, Kabupaten Kediri dan juga dekat dengan Kota Jombang. Masing-masing jaraknya hanya 10 kilometer.

Kecamatan Purwoasri, Kediri dan Jombang memang memiliki sejarah tersendiri bagi mantan Panglima TNI. Betapa tidak, Moeldoko dilahirkan di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri. Sedangkan Jombang adalah tempat Moeldoko mengahabiskan masa mudanya. Dia bersekolah di SMPP Jombang (sekarang SMA Negeri 2 Jombang).

“Keluarga saya itu pas-pasan. Makanya saat SMA saya ikut kakak di Jombang. Bahkan untuk membayar ongkos bus Rp 25 saja, saya harus kejar-kejaran sama kondektur. Sampai sekarang saya masih ingat zaman susah itu,” ujar Moeldoko di hadapan ratusan hadirin.

Moeldoko mengungkapkan, atas dasar itu pula dirinya ingin memberikan hal terbaik untuk masyarakat Jombang dan Kediri. Yakni dengan mendirikan komplek Islamic Centre. Dalam komplek tersebut terdapat masjid mewah berarsitek Turki Istambul dengan dua menara tinggi menjulang.

Masjid yang mampu menampung sekitar 1500 jamaah itu berukuran 30X30 meter persegi. Sedangkan luas lahan mancapai 6.685 meter persegi. Bukan hanya itu. Di komplek tersebut juga terdapat sekolah TK dan TPQ berukuran 8X24 meter persegi, serta panti asuhan. Terakhir terdapat tiga unit toko atau pusat oleh-oleh.

Moeldoko menegaskan, seluruh aset tersebut pengelolaannya diserahkan ke Pemkab Jombang. “Kecuali untuk panti asuhan, tetap saya tangani sendiri. Di panti asuhan tersebut terdapat 14 anak yatim. Mereka akan saya sekolahkan hingga tingkat tinggi,” ujarnya.

Berapa anggaran untuk membangun komplek Islamic Centre itu? “Tidak etis kalau saya sebut. Karena anggaran tersebut akan saya pertanggungjawabkan kepada Allah,” ungkap Moeldoko tanpa mau menyebut nominal anggaran dan dari mana sunbernya.

Peresmian masjid itu ditandai dengan pengguntingan pita. Selain Moeldoko, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Ketua DPDR Jawa Timur A Halim Iskandar atau Pak Halim, juga ikut serta. Selanjutnya, mereka meninjau sejumlah ruangan di masjid tersebut.

“Mewakili masyarakat Jombang, saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Moeldoko, karena telah membangun komplek Islamic Centre di Kecamatan Bandar Kedungmulyo. Selanjutnya, pengelolaan masjid ini akan ditangani pemkab,” ujar Bupati Nyono. [suf/ted]

 

Penulis: Yusuf Wibisono
Article courtesy: Jatimtimes.com
Photo courtesy: Kemenag.go.id