CB, Mojokerto – Kabar membanggakan datang dari dunia seni pelajar Kota Mojokerto. Ludruk Pelajar Kota Mojokerto, Sabtu (20/5/2017) mampu meraih Juara 1 penyaji terbaik tingkat nasional mewakili Kota Mojokerto dan Provinsi Jawa Timur. Gelaran seni bergengsi ini diselenggarakan di Panggung Candi Bentar, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Dibina langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Mojokerto, grup ludruk Kota Mojokerto yang dominan berasal dari pelajar SMPN 1, SMPN 3 dan SMA Taman Siswa Kota Mojokerto ini mewakili Jawa Timur bersaing dengan 7 peserta terbaik se-Indonesia.
Pada gelaran Parade Teater Seni Tradisi ke-6 di Jakarta ini ludruk pelajar dikoordinatori oleh Ganesh Pressiatantra Khresnawan Kasi Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan dan pembina oleh Novi Rahardjo Kepala Dinas Pendidikan Kota Mojokerto.
“Kami meraih empat kategori penghargaan dari lima kategori yang ada. Ini semua berkat kegigihan dari adik-adik pelajar dan kerja sama yang baik dari semua pihak,” tutur Novi Rahardjo. Keempat penghargaan tersebut antara lain pemeran putra terbaik, penulis skenario terbaik, sutradara terbaik dan yang paling bergengsi adalah penghargaan penyaji terbaik.
Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur Taman Mini Indonesia Indah kepada masing-masing pemenang. Dengan diraihnya Kota Mojokerto sebagai penyaji terbaik juara pertama, artinya Kota Mojokerto akan mewakili Indonesia pada lomba pekan seni tradisi Internasional di Brunei dalam waktu dekat.
Ludruk yang berjudul “Bantengan Geger” dibawakan secara apik dan merebut perhatian penonton selama lebih dari 30 menit. Grup ludruk yang terdiri dari 35 orang ini juga membuat juri yang terdiri dari aktor, budayawan dan akademisi berdecak kagum. Pasalnya, dari pemain karawitan, kidungan hingga pamain ludruk didominasi pelajar dan bermain secara profesional serta sangat menghibur.
Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus mengaku bersyukur dengan raihan prestasi tersebut. “Ini adalah prestasi yang membanggakan. Karena seni pelajar kita bisa berbicara di tingkat Nasional bahkan akan mewakili Indonesia di tingkat Internasional,” tuturnya bangga.
Menurut Wali Kota, prestasi tingkat nasional ini juga merupakan kado indah di hari jadi Kota Mojokerto ke-99. “Inilah perwujudan semangat hari jadi Kota Mojokerto yang mempunyai tema; ayo berkreasi, berinovasi dan berprestasi untuk Mojokerto service city. Pelajar kita telah membuktikan semangat ini dengan baik,” jelasnya. (Duta Josant)
Article: Duta Josant
Article courtesy: cahayabaru.id
Photo courtesy: cahayabaru.id
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Pelawak kondang asal Surabaya, Kartolo Cs turut memeriahkan acara J-Mags (Jazz Mangrove Surabaya) yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Namun tak tampil seperti biasa, Kartolo tampil bernyanyi dengan diiringi musik jazz yang dibawakan oleh Fussion Jazz Community.
Mengenakan batik kemeja biru bermotif, Kartolo dan band jazz tersebut sukses menghibur penonton.
Meski tak lagi jaya seperti beberapa waktu silam, penampilan Kartolo berhasil membuat penonton rata-rata anak muda tersebut tertawa terbahak-bahak.
Berulang kali, Kartolo membuat tertawa penonton karena mic nya yang berulangkali mati.
“Mungkin ini karena saya belum mandi,” ujarnya yang langsung disambut tawa penonton, Sabtu (20/5/17).
Kartolo menyanyikan satu lagu berjudul Jula Juli.
Meski diiringi alat-alat musik jazz seperti terompet, gitar, dan drum, alat musik tradisional seperti saron dan gendang masih turut ikut mengiringi.
Cak Kartolo mengatakan, ia sudah empat kali berkolaborasi dengan musik jazz.
“Ini sudah yang keempat, sering juga tampil di kampus-kampus kok,” ujarnya pada TribunJatim.com usai manggung.
Melihat antusiasme anak muda Kartolo merasa senang.
“Ya senang karena ternyata masih menghibur, kan saya keturunan Justin Beiber,” tuturnya lalu tertawa.
Tak hanya penampilan Kartolo Cs, acara ini juga dimeriahkan oleh beberapa penampilan lain seperti Surabaya All Star, Kasta, Komunitas Jazz Fussion, Komunitas Tari – Teater dan penyanyi hits papan atas Tulus.
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
TRIBUNJOGJA.COM – Perupa Moelyono akan menggelar pameran tunggal bertajuk Amok Tanah Jawa.
Pameran akan digelar mulai 20 Mei sampai dengan Juli 2017, di Langgeng Art Galeri, Jalan Suryodiningratan 37 Yogyakarta.
Acara pembukaan, Sabtu (20/5/2017) pukul 19.00 WIB, oleh Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid.
Pembukaan bakal dimeriahkan oleh grup Ludruk “Budhi Wijaya” dari Desa Gempolkerep, Jombang, Jatim, yang mementaskan lakon Geger Pabrik Gula.
Menurut rilis yang diperoleh TribunSolo.com, Kamis (11/5/2017), pameran itu akan menampilkan serangkaian karya lukis dan instalasi maupun performans.
Adapun Moelyono (60), perupa kelahiran Tulungagung, Jatim, pada perkembangan seni rupa di Indonesia tahun 1980-an selalu dikaitkan dengan gerakan seni aksi dan aktivitasnya yang berbeda pada zamannya.
Dia selalu melibatkan isu-isu sosial dalam kehidupan masyarakat marjinal, antar alain persoalan petani, buruh dan aspek pendidikan
Sampai kini Moelyono tinggal di daerah kelahirannya.
Moelyono memilih terlibat langsung dengan masyarakat di sekitarnya.
Pengalaman artistik, berpameran tunggal maupun mengembangkan diri, membentang selama puluhan tahun, setidaknya empat dekade terakhir, di dalam maupun luar negeri.
Terakhir ia menjadi konseptor gerakan seni rupa untuk difabel.
Ia adalah fasilitator Kelompok Perspektif Yogyakarta yang anggotanya adalah anak-anak difabel, dengan kegiatan utama bersenirupa.
Sejak beberapa tahun belakangan, Moelyono mulai tertarik kepada bentuk-bentuk kesenian tradisional di Jawa yang peminatnya semakin sedikit dan mengancam keberlangsungan kehidupan kesenian para pelakunya.
Adapun padap ameran ini Moelyono menampilkan serangkaian lukisan, performans atau pertunjukan kesenia tradisional ludruk dan instalasi serta arsip-arsip.
Empat lukisan mengadaptasi adegan lukisan maestro seperti lukisan Raden Saleh “Penangkapan Diponegoro” , lukisan-lukisan karya maestro seni lukis modern S.Sudjojono, Hendra Gunawa, “Pengantin Revolusi”.
Penggambaran dari ludruk sesuai dengan tujuan dari sujyek yang hendak ia ungkapkan tentang ketidak-adilan sosial terhadap masyarakat di pedesaan yang seringkali harus kalah dalam menghadapi kemajuan. (*/junianto setyadi)
Penulis: Junianto Setyadi
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Ludruk merupakan kesenian drama tradisional khas Surabaya yang biasanya diiringi oleh lawakan, lantunan musik gamelan, tarian dan nyanyian Jawa Timur. Grup ludruk Surabaya “Irama Budaya” berupaya melakukab regenerasi untuk melestarikan kesenian daerah ini dengan membentuk “Ludruk Irama Budaya Junior”.
Irama Budaya Junior beranggotakan beberapa aktor baru. Di antaranya anak-anak usia TK/SD, remaja dan dewasa dari berbagai kalangan profesi dan latar belakang.
Keseriusan Grup Irama Budaya membimbing para juniornya terbukti melalui penampilan perdana mereka yang sukses digelar pada Sabtu (6/5/2017) lalu. Penampilan bertajuk “Mentang-Mentang dari New York” pun berhasil memukau penonton lewat aksi panggung dimainkan sekitar 15 pemain junior dan beberapa senior.
“Sebetulnya naskah ini adalah karya penulis luar negeri bernama Marcelino untuk teater. Kemudian saya adaptasi untuk dipentaskan sebagai ludruk,” ucap Meimura, sang sutradara pementasan.
Berperan sebagai pemain utama Ludruk “Mentang-Mentang dari New York” adalah Wahyu sebagai Siti. Diceritakan, Siti yang baru saja pulang dari New York untuk belajar, telah berubah drastis. Dia tidak mengenali teman-teman terdekatnya bahkan kekasihnya. Siti yang telah kehilangan kepribadiannya, membuat kedua orang tuanya shock. Namun suatu kejadian membuat dia menyesali perbuatannya dan kembali menjadi Siti yang dulu.
Antusiasme masyarakat dan kalangan media menonton acara tersebut menjadi bukti Kota Surabaya masih mampu melestarikan kebudayaan tradisionalnya. Selain itu, pertunjukkan ini bertepatan untuk memeriahkan HUT Kota Surabaya ke-724.
Beberapa penampilan lain juga disuguhkan sebagai penghibur tambahan untuk para penonton. Diawali dengan Bedayan sebagai sambutan kepada para penonton, tarian oleh penari remo dan karawitan dari Sanggar Baradha Unesa.
Penulis: –
Article courtesy: eljohnnews.com
Photo courtesy: Tempo.co
Bisnis.com, JAKARTA — Setia mengabdikan diri sebagai seniman teater tradisional bukanlah hal mudah. Di era modern seperti saat ini semakin sulit menemukan audiens yang benar-benar tertarik dan bisa mengapresiasi pertunjukan seni peran tradisional.
Permasalahan regenerasi menjadi momok banyak sekali sanggar seni teater tradisional di berbagai penjuru daerah. Hal itu dirasakan pula oleh Ludruk Irama Budaya, yang bermarkas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
Seiring pesatnya perkembangan zaman, kesenian ludruk—yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur—mulai ditinggalkan. Bangku-bangku penonton tidak lagi penuh dijejali masyarakat yang antusias melihat pertunjukan ludruk.
Lantas, bagaimana upaya Ludruk Irama Budaya untuk bisa tetap eksis di tengah gelombang modernisasi? Berikut penuturan pimpinan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan:
Sejak kapan berdiri? Bagaimana sejarah atau awal mulanya?
Ludruk Irama Budaya beridiri pada 1987. Pendirinya bernama Sunaryo atau yang di dunia ludruk lebih dikenal dengan nama Sakiyah. Saya adalah generasi kedua yang memimpin Irama Budaya.
Saat ini ada berapa anggotanya? Paling banyak dari usia berapa?
Anggota kami bedakan menjadi dua, yaitu; senior dan junior. Saat ini anggota senior berjumlah 40 orang, dan juniornya 25 orang. Anggota senior adalah para seniman ludruk asli yang sudah lama bergabung dengan Irama Budaya.
Sementara itu, anggota junior adalah rekrutan baru yang tergabung di dalam kelas pelatihan kami. Memang, selama 4 bulan terakhir kami membuka kelas pelatihan secara gratis. Usia pesertanya tidak dibatasi, mulai dari SD, SMP, hingga dewasa.
Materi apa saja yang diajarkan?
Kami mengajarkan materi ludruk secara lengkap. Sebab, kesenian ludruk mengandung bermacam aspek, mulai dari gamelan, tari remo, bedayan,lawakan jula juli, cerita akting, artistik, hingga penataan cahaya.
Tidak ada persyaratan khusus bila hendak bergabung dengan kami. Nantinya, para anak didik akan diarahkan ke bidang-bidang yang spesifik sesuai dengan keinginan, bakat, atau ketertarikan mereka.
Banyak sanggar seni teater tradisional di Indonesia yang mengalami krisis regenerasi. Apa strategi yang dilakukan untuk menjaring minat generasi muda?
Strategi kami mulai dengan melakukan introspeksi dan pembenahan ke dalam. Sekarang ini kami digandeng oleh salah satu donatur yang memang peduli tentang dunia ludruk. Itu [mendapatkan donatur] adalah hal yang sudah lama kami idam-idamkan.
Dengan adanya donatur tersebut, kami akan melakukan pembaruan menyeluruh dari segi manajemen. Dulunya, kebanyakan sanggar ludruk dikelola dengan sistem manajemen ala juragan. Dalam arti, kepemimpinan hanya ditumpukan ke satu orang saja.
Ke depannya, kami akan membuat sistem manajemen menjadi sebuah organisasi. Kami akan mendaftarkan organisasi melalui notaris, dan mengantongi izin resmi dari Dinas Pariwisata [Jawa Timur].
Selain itu, kami akan melakukan renovasi gedung pertunjukan. Sebab, fasilitas yang ada sekarang kurang layak dan propertinya kurang mumpuni. Merenovasi sarana dan prasarana pertunjukan adalah salah satu cara untuk menggaet penonton.
Untuk menarik minat generasi muda, kami membentuk tim promosi khusus. Ke depannya, kami akan membagi skema pementasan ludruk di sanggar kami menjadi dua kelompok, yaitu; ludruk senior dengan lakon-lakon cerita klasik dan ludruk junior yang alur ceritanya lebih kekinian.
Biasanya pentas di mana? Bagaimana mendapatkan job pentas?
Sebagai latar belakang, di Surabaya terdapat 35 kelompok ludruk yang dibagi ke dalam dua golongan, yaitu; ludruk tobongan yang memiliki gedung pertunjukan sendiri dan jadwal pentas rutin, dan ludruk tanggapan yang baru pentas kalau ada panggilan atau permintaan.
Nah, kami termasuk yang ludruk tobongan. Jadi, ada atau tidak ada permintaan tampil, kami tetap melakukan pentas setiap Sabtu; sebulan empat kali. Markas tetap kami ada di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jalan Kusuma Bangsa Surabaya.
Karena kami ini adalah ludruk tobongan, maka kami lebih fokus melakukan pementasan di THR. Jarang sekali kami menanggapi atau mendapatkan permintaan untuk pentas di luar gedung. Tahun ini saja permintaan pentas dari luar hanya sekitar 5 kali.
Bagaimana dengan animo penoton belakangan ini?
Terus terang jumlah penonton ludruk akhir-akhir ini semakin berkurang. Itulah mengapa kami mau mengadakan perubahan total dari dalam. Kami bertanya pada penonton, apa yang kurang dari pertunjukan ludruk sekarang ini.
Ternyata banyak penonton yang kecewa karena sekarang ini pemain-pemain ludruk sudah tidak seperti dulu. Dulu, misalnya, pemeran laki-lakinya muda dan tampan, sedangkan sekarang sudah tua semua. Itu yang nantinya akan kami coba cari solusinya.
Sekarang ini, rata-rata penonton di setiap pertunjukan tanpa sponsor paling-paling hanya 50 orang. Kalau ada sponsor, penontonnya bisa lebih dari itu. Padahal, sepuluh tahun lalu jumlah penontonnya bisa lebih dari 100 orang. Penontonn 100 orang saja itu sebenarnya sudah sepi.
Berapa tarif sewa ludruk Irama Budaya saat ini?
Sekarang tarifnya Rp15 juta untuk pementasan ludruk standar. Kalau ingin pentasnya lebih besar atau ada bintang tamunya, tarifnya bisa lebih tinggi lagi.
Dengan semakin sempitnya pasar ludruk di Jawa Timur, bagaimana persaingan antarsanggar ludruk yang masih tersisa?
Masing-masing sanggar, baik tobongan maupun tanggapan, memiliki lahannya sendiri-sendiri. Justru, persaingan yang lebih ketat adalah antarsanggar ludurk tanggapan. Semakin banyak komunitas yang mendirikan ludruk tanggapan.
Namun, mereka tidak berani nombong [berubah menjadi ludruk tobongan] karena khawatir akan risiko kerugian yang besar. Bagaimana jika tidak ada penontonnya, padahal harus memenuhi jadwal pentas rutin.
Apa sebenarnya masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu untuk menghidupkan sanggar pentas tradisional seperti ludruk ini?
Regenerasi. Pemain ludruk senior yang tersisa sudah tua-tua. Sangat sulit bagi kami untuk mencari pemain muda. Dengan adanya kelas pelatihan yang baru dibuka ini, mudah-mudahan nantinya akan ada pemain-pemain baru yang bisa dijaring untuk pentas bersama senior.
Karena masalah regenerasi ini pula, jumlah pemain ludruk di Jawa Timur semakin menurun. Padahal, jumlah grup ludruknya banyak. Akibatnya, saat musim permintaan tanggapan [pementasan], banyak teman-teman ludruk yang ‘membajak’ pemain dari grup-grup lain.
Biasanya musim tanggapan ludruk adalah pertengahan tahun. Kalau tahun ini, mulai April sampai dengan sebelum Ramadan. Kalau sudah kebanjiran tawaran manggung begitu, grup-grup ludruk tanggapan sering membajak pemain dari grup lain.
Regenerasi seniman ludruk memang sangat kurang. Makanya, kami gencar membuka kelas dan laboratorium ludruk untuk menarik peminat generasi muda.
Strategi apa yang dipakai untuk menggaet anggota baru?
Dengan melakukan promosi ke sekolah-sekolah. Target kami, setelah pementasan pada 6 Mei nanti, kami akan melakukan promosi ke lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya. Pertunjukan 8 Mei akan menjadi pentas perdana untuk memperkenalkan tim junior kami.
Saat ini kami hanya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwantika [STKW] Surabaya, Universitas Negeri Surabaya [Unesa], dan SMAN 8 Surabaya.
Seperti apa bentuk dukungan yang diharapkan dari pemerintah?
Selama ini kami sudah difasilitasi dengan gedung secara gratis di THR, yang merupakan aset Dinas Pariwisata. Namun, biaya pemeliharaan dan produksi semua ditanggung oleh kami.
Ke depan, kami para seniman ludruk di Jawa Timur mengharapkan bantuan promosi dari pemerintah. Setidaknya, bisa dipasang banner untuk publikasi, sebab promosi yang ada sekarang sangat kurang sekali.
Penulis: Saena
Article courtesy: Bisnis.com
Photo courtesy: Indonesiakaya.com
Minggu malam (26/02) lahan parkir dan taman di depan gedung Pringgodani, THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya lebih ramai daripada biasanya. Suasana gelap dan suram sedikit terusir dengan hadirnya beberapa orang yang terlihat lalu lalang atau sekedar duduk-duduk menunggu dimulainya pertunjukan berjudul ‘Sampek Engtay’ garapan grup ludruk Luntas. Luntas sendiri merupakan akronim dari Ludruk Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. ‘Sampek Engtay’ merupakan produksi ke IX selama usia Luntas yang baru saja menginjak satu tahun. Produktivitas mereka dalam menghasilkan seni pertunjukkan memang tak dapat disangkal.
‘Sampek Engtay’ gaya Suroboyo
Sekitar pukul 20.00 pertunjukkan yang ditunggu-tunggu digelar. Tari Remo menjadi suguhan pembuka. Selanjutnya, lawakan dari Cak Robert dan Cak Ipul mengawali lakon ‘Sampek Engtay’ malam itu. Urut-urutan tampilan yang demikian nampaknya memang lazim untuk sebuah pertunjukan Ludruk. Lakon ‘Sampek Engtay’ dibuka dengan konflik Engtay, seorang perempuan muda yang ingin sekolah. Kala itu di Tiongkok hanya laki-laki yang diperbolehkan bersekolah. Engtay bersikeras mau menyamar menjadi laki-laki agar bisa bersekolah. Orang tuanya tak dapat mengelak, akhirnya mereka memberikan izin pada Engtay untuk pergi asalkan didampingi oleh pembantu perempuannya yang juga harus menyamar menjadi laki-laki.
Jangan membayangkan para pemain akan berbahasa ke-Tiongkok-tiongkok-an dalam melafalkan dialognya. Luntas tak melakukannya sama sekali, kecuali satu dua tokoh yang sesekali memberikan sengau untuk memberi efek bahasa Tiongkok yang hasilnya justru akan membuat penonton geli. Luntas mengadaptasi dialog sepenuhnya dalam bahasa Indonesia dan Jawa gaya Suroboyoan. Tidak hanya dialog yang mereka sesuaikan dengan konteks Suroboyo, tapi juga alur cerita dan musik. Alur cerita ‘Sampek Engtay’ digarap sebagaimana sebuah pertunjukan ludruk yang menyisipkan dagelan-dagelan di tengah alur cerita yang semestinya. Juga musik yang menjadi latar cerita digarap dengan cara memadukan antara karawitan dan rekaman lagu-lagu pop kekinian.
‘Sampek Engtay’ ala Luntas: Dongeng Lawas yang Menarik Perhatian Anak Muda
Lakon ‘Sampek Engtay’ memang bukan lakon baru dalam dunia seni pertunjukkan di Indonesia. Begitu banyak grup yang menggarapnya, sebut saja salah satu kelompok bernama Teater Koma yang di tahun 2015 telah menampilkan lakon ‘Sampek Engtay’ sebanyak 101 kali.[1] Tentu tak mudah memainkan lakon yang sudah banyak dimainkan oleh grup lain. Banyak orang pun sebenarnya sudah mengetahui jalan cerita ‘Sampek Engtay’. Engtay yang menyamar menjadi laki-laki lama kelamaan jatuh cinta pada kawan seperguruannya bernama Sampek. Sampek pun tak sengaja pada suatu saat mengetahui bahwa Engtay adalah perempuan. Mereka berdua jatuh cinta. Namun malangnya, lamaran dari Sampek ditolak mentah-mentah oleh orang tua Engtay. Engtay kemudian dijodohkan dengan putra dari tokoh terkemuka dan Sampek mati dalam kesedihannya. Engtay kemudian berpura-pura mau dinikahkan tapi di tengah arak-arakan pernikahan ia justru sengaja terjun ke makam Sampek. Keduanya bersatu dan menjelma menjadi kupu-kupu.
Sudah seringnya dongeng ‘Sampek Engtay’ ini diperdengarkan atau dipentaskan tidak membuat sejumlah orang enggan datang ke gedung pertunjukkan malam itu. Mereka memenuhi bangku-bangku tua Gedung Pringgodani. Ini merupakan fenomena yang mengherankan sebab dapat dikatakan 90% dari bangku penonton terisi dan sebagian besar dari penonton adalah anak muda. Pertunjukan seni tradisi di era modern tak lagi banyak digemari. Gedung-gedung di THR pun sudah sangat lama tak menjadi idaman masyarakat. Namun, Luntas membawa nafas baru ke dalam seni tradisi dan gedung pertunjukkan di THR. Mereka menjadi jembatan antara dunia anak muda di luar THR dengan dunia seni tradisi. Bentuk-bentuk sajian Luntas ternyata mampu mengundang kembali anak muda untuk menapakkan kakinya ke THR yang mulai ditinggalkan. Orang-orang muda dari berbagai latar belakang dan profesi seperti mahasiswa/siswa, pekerja swasta, pendidik, ibu muda rumah tangga, dll terlibat, baik untuk menonton maupun menjadi aktor/aktris dalam pertunjukkan ini. Lebih hebatnya lagi, semua pemain tidak menarik keuntungan finansial atas aksi-aksinya. Mereka berkarya berdasarkan ke-sukarela-an. Uang tiket yang dihargai Rp 15.000,00/orang hanya digunakan untuk mengganti uang produksi, tak lebih dari itu.
Perlunya Berbagai Pihak Bergandeng-Tangan
Usaha Luntas untuk menghidupkan dan memperbarui seni tradisi sembari mengenalkannya pada kaum muda memang pantas diapresiasi. Memang tidak sedikit juga catatan baik dari segi teknis maupun isi pertunjukkan yang perlu diperbaiki, seperti: mengisi banyolan-banyolan agar tidak sekedar menghibur tetapi juga membawa penonton pada kepekaan terhadap kondisi sosial politik (sebagai catatan: ludruk pada masa kolonial digunakan untuk menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan rakyat); ketrampilan keaktoran yang perlu terus ditingkatkan; kesesuaian artistik dengan tema; dan pengaturan suara serta musik agar dialog tetap terdengar.
Luntas tidak sendiri dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan ini. Banyak pihak seperti sekolah kesenian, tokoh-tokoh gaek dalam bidang seni tradisi, Pemkot, orang-orang muda dan masyarakat pada umumnya dapat bergandeng-tangan untuk sama-sama menghidupi budaya khas Suroboyo ini.
Penulis: –
Article courtesy: idenera.com
Photo courtesy: idenera.com
TEMPO.CO, Jakarta – Berkembangnya budaya pop kian menggeser kepopuleran budaya tradisional. Tak heran, kebanyakan generasi muda Indonesia, khususnya anak-anak yang tinggal di kota besar, tidak mengenal budaya tradisional, seperti ludruk. Meski demikian, psikolog anak, Seto Mulyadi, mengatakan kesenian ludruk bisa diperkenalkan dengan mudah kepada anak-anak jika bahasa pentasnya diganti.
Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, saat ini, banyak kegiatan berbau seni drama di sekolah-sekolah. “Anak-anak juga suka main sandiwara atau teater. Kenapa tidak kita perkenalkan ludruk, drama tradisional asli Jawa Timur?” kata Seto saat ditemui di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kebayoran, Jakarta Selatan, Minggu, 12 Maret 2017.
“Salah satu upaya mengenalkannya bisa dengan menampilkan seni ludruk menggunakan bahasa Indonesia,” kata pria kelahiran Klaten, 28 Agustus 1951 ini. Sejauh ini, ludruk, yang merupakan kesenian asli Jawa Timur, memang murni menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jawa Timuran. Tak heran, orang-orang yang dapat menikmati pentas tersebut adalah yang mengerti bahasa Jawa.
Ditemui di tempat yang sama, Koordinator Paguyuban Konco Dhewe Bram Kushardjanto mengatakan mengganti bahasa Jawa Timuran ke bahasa Indonesia dalam pentas ludruk bisa ditoleransi. “Bagaimanapun juga, banyak orang yang memang tidak mengerti bahasa Jawa. Saya sendiri orang Jawa Timur asli hanya fasih mendengar, kalau urusan ngomong, saya pasif,” ujar Bram.
Namun Bram mengatakan tentu seniman tradisional juga ingin mendekatkan penonton dengan kebudayaan mereka. “Bahasa itu masing-masing punya simfoni. Memiliki irama dan memiliki keindahan sastra. Kalau misalnya saya nonton seni Sunda, ya, saya akan sangat apresiatif karena mereka masih menggunakan tone Sunda. Aku nonton enggak ketawa, enggak apa-apa, itu memang ciri khas mereka,” kata Bram.
Meski masih ditoleransi, Bram mengungkapkan, jika semuanya diganti menjadi bahasa Indonesia murni, tak ada unsur budaya Jawa Timur yang diperkenalkan. “Kalau semua di-bahasa-Indonesia-kan, ya, enggak bagus juga. Jadi harus seimbang, lah. Toh, kita nonton Don Giovanni dan Mozart pakai bahasa Italia, tapi kita tetap suka,” kata Bram.
Penulis: Dinii Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO , Jakarta – Bagi penggemar seni drama tradisional Ludruk, nama Cak Kartolo mungkin tak asing lagi. Namanya kian memuncak ketika ia dan kawan-kawannya mendirikan sebuah grup lawak bernama Grup Ludruk Kartolo CS sejak 1960-an.
Baca: Baca: Cak Kartolo Meriahkan Pentas Ludruk Dalang Gersang
Namun sudah lebih dari 3 dekade, pria kelahiran Pasuruan, 2 Juli 1945 ini berhenti dari panggung yang telah membesarkan namanya tersebut. Lalu apa yang dilakukan Cak Kartolo saat ini?
“Sudah sejak tahun 80-an saya sudah tidak ngeludruk, hanya lawak. Tapi kadang diundang oleh anak-anak untuk gabungan ludruk, wayang kulit, ketoprak dan orkes,” katanya saat ditemui di Auditorium Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Ahad, 12/03.
Terakhir, Cak kartolo diajak main ludruk dalam lakon Dalang Gersang bersama Paguyuban Konco Dhewe di Auditorium Pendopo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Ahad, itu.
Ia mengaku dalam sebulan, ia bisa mendatangi 4 kali undangan. “Tapi kadang juga kosong. Memang setelah teman-teman meninggal, undangan yang didapat jauh berkurang,” ujar pria berusia 71 tahun ini. “Paling banyak, kalau mantenan sebulan bisa sampai 7 kali saja,” lanjutnya.
Selain di Jawa Timur, Cak Kartolo juga mengaku pernah beberapa kali diundang ke beberapa daerah. “Sejak berhenti saya juga pernah ke Gorontalo, Balikpapan, Batam dan Lombok. Tapi itu lawak saja, bukan ludruk,” katanya.
Sementara itu, jika tak ada undangan, Cak Kartolo mengaku lebih senang tinggal di rumah dan mengurus cucu. “Kegiatan sehari-hari sekarang paling antar jemput cucu sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Penulis: Dini Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Layar panggung berwarna merah dinaikkan. Dari baliknya, berdiri sosok penari waria mementaskan tari remo, tari pembuka lakon ludruk. Kakinya ke lantai hingga membikin gelang kaki bergemerincing, menari luwes di tengah tabuhan musik gamelan pengiring. Sekitar 20 menit tari remo dimainkan, sang penari kembali ke ruang rias bergabung dengan belasan waria lainnya yang sedang bersolek.
“Sing ngremo iki mesti telat, mangkane rodok molor (yang menari remo ini selalu telat, makanya agak terlambat),” kata penjaga tiket masuk pementasan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan, lalu terkekeh sembari meladeni wawancara Tempo, Sabtu malam, 11 Maret 2017.
Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Sedikit demi sedikit, penonton berdatangan. Jumlahnya tak banyak, namun 75 persen kursi hampir semuanya terisi. Tak menunggu lama, gantian 12 lelaki berbusana kebaya berlenggak-lenggok menampilkan tarian bedayan. Sekitar 30 menit, perempuan-perempuan ludruk yang semuanya laki-laki itu menyisipkan lagu campur sari di akhir tarian.
Usai tarian bedayan, pementasan Ludruk Irama Budaya berlanjut dengan parikan yang disisipi lawakan, baru kemudian masuk ke inti cerita. Malam itu, lakon berjudul Sarip Tambak Oso.
Deden sebenarnya bukan penjaga tiket biasa. Ia memimpin kelompok ludruk tersebut sepeninggal ayah angkatnya pada tahun 2012. Kelompok Ludruk Irama Budaya dibesarkan oleh mendiang seniman waria bernama Sakiyah Sunaryo.
Ludruk Irama Budaya berdiri pertama kali pada 10 November 1987. Awalnya bernama Waria Jaya, namun dua tahun kemudian diganti. “Kami ganti nama lagi menjadi Ikabra Jaya. Tahun 1990-an kami baru menggunakan nama Ludruk Irama Budaya,” kata Deden.
Pemuda berusia 36 tahun ini menjelaskan, Irama Budaya adalah ludruk tobong. Tobong artinya ialah selalu pentas menetap di sebuah gedung. Namun, gedung Taman Hiburan Remaja (THR) yang kini ditempati, bukanlah yang pertama. Sebelum tahun 2010, mereka nobong di Jalan Pulo Wonokromo. “Kami nobong tidak pernah keluar dari Surabaya,” kata Deden.
Berpentas di Pulo Wonokromo itulah masa kejayaan Ludruk Irama Budaya, antara tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an. Penonton membeludak terutama jika pentas digelar Sabtu malam. “Dari kapasitas 250-an kursi, yang datang bisa lebih dari 300. Penontonnya banyak yang berdiri,” kata Deden mengenang.
Mereka pun pentas setiap hari. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian ludruk kian ditinggalkan masyarakat. Penonton semakin berkurang, kalah populer seiring beragamnya jenis hiburan seperti program-program televisi maupun internet. Meski pentas digelar pada malam Ahad, kursinya banyak yang kosong. Kelompok Ludruk Irama Budaya tak mampu lagi membayar biaya sewa. “Terakhir sewa gedung di sana (Pulo Wonokromo) harganya Rp 8 juta per tahun, belum termasuk bayar listrik Rp 400 ribu,” kata Deden.
Tahun 2010, Deden memutuskan berpindah ke kawasan THR Surabaya berkat fasilitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mereka diberi tempat di sebuah gedung yang mangkrak di THR tanpa terbebani biaya sewa maupun listrik. “Kami hanya diminta untuk merawat gedungnya saja,” kata Deden.
Mereka pun melanjutkan pentas rutin walau hanya seminggu sekali, bukan setiap hari seperti dulu. Jumlah penonton juga tak seramai di Pulo Wonokromo yang lokasinya strategis di tengah kota. “Sekarang manggung setiap Sabtu malam, ya penontonnya paling banter 50 orang.”
Dengan penonton yang tak banyak dan tiket masuk yang dibanderol Rp 10 ribu, praktis para anggota kelompok ludruk tak bisa mengandalkan penghidupan pada kesenian ini saja. Sekali pentas, Deden membawa sekitar 40 orang mulai pemain karawitan, pelawak, sinden, sampai penari. “Ya tentu ini cuma sampingan. Di luar, aku kerja salon dan desain kebaya,” kata salah satu sinden merangkap pemain, Kasiyanto, 47 tahun. Waria asal Kediri itu sudah ikut Ludruk Irama Budaya sejak tahun 1999, saat ia berusia 17 tahun.
Yang lain, kata Deden, bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Ada yang menjadi kuli bangunan, membuka usaha salon, termasuk menerima job sebagai pesinden campursari, jika ada tetangga yang menggelar hajatan.
Namun, Deden dan kawan-kawannya tak patah arang. Bak lakon-lakon legenda Jawa yang tak pernah mati dalam kesenian ludruk, mereka optimistis ludruk bakal tetap eksis di tengah himpitan pesatnya hiburan di era serba instan sekarang.
Sembari berupaya meregenerasi para pemainnya, Ludruk Irama Budaya pelan tapi pasti mengembangkan jalan cerita lakonnya. Ia dan tim berani menyisipkan lawakan yang disesuaikan dengan isu-isu kekinian, misalnya politik dan media sosial. “Yang penting tidak menghilangkan pakem ludruk; tetap ada gamelan, jula-juli, remo, dan bedayan. Pakem itu tidak boleh dihilangkan,” kata Deden tegas.
Malam semakin larut. Sarip ‘Tambak Oso” memekik keras, tak terima ibunya disakiti oleh penagih pajak suruhan Tuan Tanah yang sangat pro Belanda. Lantaran si pesuruh seorang tua yang gagap, penonton tetap tertawa terpingkal-pingkal. “Saya sudah lama nggak ke sini. Kangen nonton ludruk,” kata Sri Rahayu, 45 tahun, warga Krembangan. Ia datang bersama suami dan putrinya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, mau menonton ludruk sampai habis. *
Penulis: Artika Rachmi Farmita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun lalu, karena kalah bersaing dengan hiburan lain melalui televisi. Faktor lain, adanya sebagian kalangan agamis yang berpandangan ludruk itu tontonan maksiat, karena itu bermain ludruk haram. Hal itu diungkapkan pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto, kepada Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Menurut Edi, ada kalangan pemuka agama yang melarang masyarakat untuk tidak bermain ludruk, karena haram dan mengandung unsur maksiat. Akhirnya, semakin lama penggemar ludruk tidak berani untuk menanggap ludruk, bahkan mereka yang awalnya bergabung untuk nguri–uri budaya tradisional itu tidak mau ikut berlatih, karena takut dianggap berdosa.
“Jangan lihat ludruk, itu maksiat, itu dosa. Banyak sekali yang ngomong gitu. Apa alasannya, saya juga enggak tahu. Bahkan di pengajian juga disampaikan,” kata Edi.
Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyebaran isu tersebut, Kelompok Ludruk Karya Budaya juga sempat berkonsultasi dan meminta nasihat seorang kiai. Selain itu, dalam setiap pementasan, mereka mengatakan ludruk bukan kesenian yang haram seperti yang diutarakan beberapa kalangan agamis. “Ini kan hanya nguri-uri, melestarikan budaya tradisi. Kami juga kerja sama dengan seorang kiai, dan dia juga tidak menyalahkan ludruk dan wayang,” kata Edi.
Edi mengatakan seni ludruk sudah selayaknya dijaga, karena termasuk kesenian nasional. Ia juga turun langsung ke sekolah-sekolah dengan bekerja sama dengan Direktorat Bagian Budaya di Sekolah Menengah Atas di Mojokerto untuk dapat mengajarkan kesenian ludruk di sekolah-sekolah mereka. “Saya bahkan ngajar ekstrakurikuler di beberapa sekolah. Jadi ada seniman masuk sekolah. Kami dibayar oleh direktorat,” tutur Edi.
Rencananya, pada 9 April nanti, Edi akan menghadiri pentas kesenian ludruk di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Adapun dalam pentas tersebut mereka melibatkan generasi muda, dengan pemain senior hanya empat orang. Adapun pentas dapat disaksikan secara gratis oleh pengunjung. Dengan cara ini, Edi meyakini kesenian ludruk dapat terus dikenal dari generasi ke generasi, meski peminat dan jumlah grup pemain ludruk kian berkurang tergilas zaman.
“Di Jombang ada 40 pemain ludruk. Yang laris itu lima kelompok ludruk. Biasanya mereka bersaing. Siapa yang bagus nanti akan banyak yang nanggap. Makanya kita bersaing untuk bisa menyajikan yang lebih bagus,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co