Tari Remo merupakan tarian tradisional Jawa Timur. Tarian ini menggambarkan keberanian seorang pangeran di medan perang. Pada kesenian Ludruk, tari Remo biasa ditampilkan sebagai pengantar pertunjukkan atau sebagai tarian penyambutan tamu besar.
Menurut sejarah, tari ini diciptakan para seniman jalanan yang ingin menggambarkan seorang pangeran yang pemberani. Dengan mengamen, tarian ini diperkanalkan oleh para seniman jalanan. Seiring berjalannya waktu, Tari Remo semakin dikenal dalam pertunjukkan Ludruk, dan sering terlihat pada acara penyambutan tamu penting.
Secara umum, tari ini dibawakan oleh kaum pria, karena ingin memperlihatkan sosok pangeran. Akan tetapi, sekarang ini tari Remo juga dibawakan oleh kaum wanita. Maka, muncul juga Tari Remo Putri.
Gerakan kaki yang dinamis, akan sering terlihat pada gerakan tari ini. Terdengar juga suara lonceng kecil yang berbunyi ketika para penari melakukan gerakan kaki itu, lantaran mereka mengenakan gelang lonceng pada kaki mereka. Selain itu, para penari juga melakukan gerakan selendang dan kepala.
Tak hanya itu, para penari juga harus bisa menyamakan iringan musik dengan gerakan kaki yang pas. Jika tidak, suara lonceng tidak akan pas dengan suara iringan musik tersebut. Tari ini diiringi dengan musik gamelan.
Berbicara soal kostum, para penari menggunakan lengan panjang dan ikat kepala warna merah. Celana yang digunakan sepanjang lutut, dan ada kain batik pesisiran yang di ikat pada pinggang. Tidak lupa ada atribut berupa keris yang diselipkan di belakang pinggang penari.
Hingga hari ini, Tari Remo masih dijaga keberadaanya. Nilai seni dan sejarah pada tari ini tetap terlestarikan oleh masyarakat Jawa Timur. Bahkan, pada acara festival, tari ini juga kerap ditampilkan.
Penulis: Ikhsan Digdo
Article courtesy: Merahputih.com
Photo courtesy: Antara.com
MALANGTIMES – “Seni tidak abadi. Ia bisa hancur kapan saja. Tapi ia akan tetap ada karena kita menjaganya. Dan kita menjaganya karena ia memang pantas untuk dijaga”. Begitulah ungkapan seorang Bupati Malang Dr Rendra Kresna atas kecintaannya terhadap kesenian tradisional yang terus hidup di Kabupaten Malang.
Kecintaannya berbasis sejarah atas jejak-jejak kesenian tradisional, baik di zaman para wali, masa perjuangan kemerdekaan, sampai pada masa kini. Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional yang dia jaga keberadaannya di dalam himpitan budaya luar yang begitu masif membombardir kecintaan generasi muda dalam berkesenian.
“Saat panggung-panggung kesenian tradisional seperti ludruk ditinggalkan penontonnya dan pemerintah hanya berpangku tangan, maka jangan salahkan negara lain yang akan mengambil dan memiliki khazanah kekayaan Nusantara ini,” kata Rendra Kresna yang mencontohkan berbagai bentuk kesenian dan budaya Indonesia sudah diklaim milik beberapa negara lain, Senin (06/06) kepada MALANGTIMES.
Bagi Rendra yang tidak antipati terhadap bentuk kebudayaan dan kesenian luar (barat), kondisi ini sangatlah memprihatinkan. Saat generasi muda sudah tidak mengenal ludruk, misalnya, maka lambat laun kesenian yang memiliki sejarah panjang dan khas Jawa Timuran ini akan hilang. “Saya memahami setiap generasi tumbuh dengan selera yang berbeda-beda. Tapi seni tradisional ini saya yakin akan selalu berada dalam jiwa seluruh generasi yang berbeda selera itu,” ujarnya.
Untuk merestorasi kecintaan terhadap kesenian tradisional seperti ludruk inilah, Pemerintah Kabupaten Malang melalui Rendra Kresna hadir. Berbagai acara pemerintahan diisi hiburannya dengan kesenian ludruk untuk masyarakat. Berbagai komunitas ludruk diajak kembali dan dirangkul untuk menghidupi kembali habitatnya.
Hasilnya, beberapa komunitas ludruk kembali tampil dan hidup kembali. Misalnya Ludruk Semarak yang dipimpin oleh komedian tradisional Muhamad Topan. Ada juga Ludruk Karangpandan, Ludruk Madep Mantep Bangelan, Ludruk Adi Laras dan lainnya.
Kecintaan Rendra terhadap ludruk bukan sekadar karena dalam kesenian tradisional tersebut ditemukan nilai-nilai kemanusian semata, tetapi juga dalam upaya merawat sejarah dari ludruk tersebut. Dari penuturannya, sejarah ludruk di Malang terlahir dari embrio perlawanan di masa perjuangan. Ini bertalian erat dengan masa penjajahan Jepang, ketika ludruk dijadikan medium kritik. “Saat itu muncul parikan terkenal Cak Durasim, yaitu ‘Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo sengsoro,’” ujarnya.
Ludruk sebagai medium kritik dan perlawanan terlihat sampai kini dari tokoh lakon, cerita dan perlengkapan yang dimainkan selalu mengacu pada kehidupan sehari-hari era perjuangan. Walaupun di sana-sini sudah mulai adanya modifikasi dalam upaya menyesuaikannya dengan kondisi jaman.
Rendra melanjutkan, sekitar tahun 1930 di Malang berdiri Ludruk Ojo Dumeh didirikan oleh Abdul Madjid. Pada tahun-tahun selanjutnya bermunculan berbagai kelompok ludruk. Antara lain Ludruk Djoko Muljo pimpinan Nadjiran di Embong Brantas (1936), Margo Utomo pimpinan Asnan atau Parto Gembos (sekitar 1936-1940), Sido Dadi Slamet pimpinan Temas tahun 1940-an, kemudian ludruk gerakan gerilya misalnya Ludruk SAGRI (Sandiwara Angkatan Gerilya Republik Indonesia, 1947-1948) pimpinan Said Djajadi.
“Itu di masa perjuangan kemerdekaan. Saat memasuki tahun 1950-an, lahir ludruk Bladjaran atau ludruk-ludruk baru,” ungkap Rendra. Dia menyebutkan pada tahun itu ada perkumpulan Ludruk Bond Malang Selatan pimpinan Kaprawi tahun 1952.
Tahun 1950-1960 berdiri beberapa kelompok ludruk yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi sosial politik. Antara lain Ludruk Juli Warna pimpinan Markasan, Ludruk Taruna pimpinan dr. Safril dan Gatot, Ludruk Bintang Massa (LKN) pimpinan Samsuri, dan Ludruk Melati (Lekra) pimpinan Darmo tahun 1960.
Ludruk sebagai medium ekspresi juga pernah mengalami pasang surut dengan imbas politik pada masa itu. “Tahun 1965 dengan adanya peristiwa G 30 S PKI, beberapa ludruk yang berafiliasi kepada Lekra porak- poranda,” terang Rendra yang melanjutkan pasca-tahun tersebut ada kebijakan penggabungan ludruk di Malang. Tahun 1970-an kelompok ludruk berada di bawah binaan ABRI sampai kini. Di antaranya Ludruk Putra Bhakti menjadi Ludruk Anoraga yang dibina oleh Yonif 513 Brigif 2 Dam VIII Brawijaya. Ludruk Anoraga kembali dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II Inmindam VIII Brawijaya; Ludruk Sinar Budaya dibina oleh Brimob Kompi A Yon 412, Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang dan Ludruk Perkasa Alam dibina AURI Malang.
“Lepas dari berbagai peristiwa politik, ludruk tetap adalah khazanah kesenian kita yang patut dilestarikan dan dihidupkan kembali,” ucap Rendra yang juga mencontohkan kelompok Ludruk Armada yang berada di Desa Rembun, Kecamatan Dampit yang pernah menjadi ludruk percontohan di Kabupaten Malang.
Penulis: Nana
Article courtesy: Malangtimes.com
Photo courtesy: Malangtimes.com
Generasi anyar ludruk Surabaya ini tak henti-hentinya tampil dengan naskah-naskah yang segar. Termasuk mementaskan sejarah Ujung Galuh yang dalam salah satu versi menjadi cikal bakal Surabaya. Nama kelompok itu adalah Ludrukan Nom-noman Tjap Suroboio (Luntas).
Kesibukan terasa di belakang panggung Gedung Pringgodani, Taman Hiburan Rakyat, Sabtu (27/5). Belasan orang tampak berlalu-lalang kian kemari. Mereka memoleskan riasan wajah, mengepaskan kostum di badan, hingga mengecek kesiapan sebelum naik ke pentas.
Persiapan itu rampung sekitar pukul 21.00. Telat setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Tapi, penonton no problem. Tetap setia menunggu hingga pertunjukan dimulai.
Sebagaimana pakem ludruk, adegan bedhayan membuka pementasan lakon Oedjoeng Galoeh. Itu adalah semacam adegan selamat datang. Yang membawakan tujuh lelaki. Tapi, banci. Memakai baju putri. Sesuai tradisi.
Nah, malam itu, ada tujuh lelaki yang melakonkan bedhayan tersebut. Mereka berkebaya. Melihat bentuk para banci itu, tawa penonton kembali terpingkal-pingkal. Perut semakin terkocok saat para lelaki tersebut menari. Entah tarian, entah gerakan orang ’’kumat’’. Sebab, mereka bergoyang sesuka hati. Tidak ada aturan gerakan yang pasti. Makin kocak.
Ledakan tawa itu seolah menjadi bom saat jarit (kain) yang mereka kenakan tiba-tiba melorot begitu saja di atas panggung. Lagu gamelan yang awalnya mengiringi tiba-tiba bersalin rupa menjadi lagu upbeat. Para penari berjingkrak-jingkrak kian heboh. Bak cheerleader lengkap dengan pompomnya.
Itu memang keriangan khas Ludrukan Nom-noman Tjap Soeroboio (Luntas).⨠Ada pakem yang dijaga. Tapi, dimodifikasi sesuai segmentasi zaman dan penonton.
Nah, malam itu, mereka memainkan Oedjoeng Galoeh. Dalam salah satu versi, kisah tersebut menggambarkan asal-usul Surabaya yang tumbuh sekitar tujuh abad silam. Inti cerita malam itu adalah kedatangan pasukan Tartar dari Mongolia yang ingin menguasai tanah Jawa. Kisah sejarah yang cukup serius, sejatinya. Tapi, Luntas tetap membawakannya dengan gaya kocak.
”Yang penting, inti ceritanya bisa tersampaikan. Tapi, kan yang namanya ludruk itu ya tetap harus menghibur,” tutur Robert Bayoned, sutradara. Robert mengaku tidak mengalami kesulitan saat membikin naskah. Sebab, lelaki yang bermain ludruk sejak 1993 tersebut memang suka sejarah sejak dahulu. Berbagai buku sejarah dilahapnya untuk menentukan versi cerita yang akan diadaptasi menjadi bahasa panggung.
Lakon Oedjoeng Galoeh digarap selama tiga pekan. Mereka memilih versi sejarah Ujung Galuh berdasar penelitian Pemkot Surabaya. ’’Karena kita di Surabaya,’’ ucap Robert.
Nah, naskah ludruk itu tidak berwujud buku tebal bak naskah film. Wujudnya adalah lembaran-lembaran kertas untuk menata alur. Untuk mengawal cerita.
’’Inti ludruk adalah improvisasi. Jadi, pemain hanya mendapat penjelasan dari sutradara, lalu dikembangkan masing-masing,’’ kata lelaki yang pernah membikin grup lawak Bayoned tersebut. Nah, naskah malam itu adalah penjaga benang merah yang harus disampaikan kepada penonton.
Sebagai seniman ludruk generasi anyar, Luntas memang rutin pentas. Tapi, penampilan malam itu didedikasikan sebagai kado ulang tahun Surabaya yang jatuh pada 31 Mei.
Meski membawakan kisah zaman kerajaan, tidak semua setting panggung dan kostum jadul. Sejumlah kesan modern tetap ditampilkan di atas panggung. Sebagai penanda bahwa Luntas memang berbeda. Mulai backdrop, kostum yang semi-cosplay, hingga sejumlah karakter yang diberi sentuhan modernisasi.
Tengok saja kemunculan tukang parkir kapal yang setia menunggu di pelabuhan. Atau tukang asongan yang tiba-tiba muncul saat para pemain beradegan serius. Kemunculan mereka tentu langsung bikin gerrr…
Saat kedatangan pasukan Tartar yang bengis di pelabuhan, si tukang parkir tetap menagih ongkos parkir kapal yang berlabuh. ’’Mbok pikir gratis? Gak ngrasakno rasane ditagih dishub, dikongkon mbayar karcis (Kamu pikir gratis? Kamu nggak merasakan ditagih dishub untuk bayar karcis, Red). Malah plonga-plongo,’’ sembur sang tukang parkir sambil mendorong kepala panglima pasukan Tartar.
Tentu, perut penonton terus dikocok. Apalagi, omelan sang tukang parkir dibalas omelan sang panglima yang memakai bahasa dari antah berantah.
Boleh dibilang, pertunjukan malam itu sukses. Baik dari sisi apresiasi penonton, penampilan, maupun eksistensi Luntas. Tapi, para pemain tidak mau langsung puas. Terlebih, mereka merasa adegan di atas panggung kurang maksimal. ’’Baru benar-benar latihan empat hari,’’ kata Saiful Irwanto, pembina Luntas. Sebelumnya, Luntas berfokus pada pertunjukan lain. Bahkan, setelah latihan intensif pun, para pemain tidak sepenuhnya komplet.
Saiful Irwanto alias Ipoel berperan sebagai penerjemah panglima Tartar. Dia juga menjadi leader di atas panggung. Jika ada pemain yang akan keluar jalur, dia meluruskan. Dengan kode dan dialog tertentu. ’’Kayak tadi si panglima. Improvisasi lawakannya kan banyak banget. Jadi, seharusnya ceritanya bisa sampai, tapi ketutup oleh tawa penonton duluan,’’ kata Ipoel.
Meski begitu, tetap ada rasa lega dalam batin para pemain. Inti kisah tetap tersampaikan dengan baik. ”Meski waktu latihan sempit, karena mereka sudah punya jam terbang tinggi, hasilnya tidak terlalu mengecewakan,” tutur Ipoel.
Hal serupa diakui pemain lainnya, Yudha Purnawan. ”Kesulitan dialog,’’ kata Yudha soal perannya sebagai raja Majapahit. Tak heran, dia hanya punya sedikit waktu untuk berlatih. Adi Sutakrib yang berperan sebagai panglima Tartar juga merasakan itu. ’’Gampang-gampang susah. Apalagi ini ngomongnya pakai bahasa tumbuhan,” katanya, lantas tertawa.â¨
Malam itu, tingkah kocak Adi kerap membikin penonton terpingkal-pingkal. Dia memang sering mendapat peran untuk adegan-adegan konyol. Itu jugalah yang berhasil menutupi beberapa kesalahan kecil yang dibuatnya di atas panggung. ”Itu ekspresi dari hati. Kalau disuruh mengulang, pasti nggak bisa,” ucap ayah dua anak tersebut.â¨
Kisah itu dipungkasi persekutuan pasukan Tartar dengan Majapahit untuk menghancurkan Kerajaan Daha. Dalam sejarah, itu adalah momen perseteruan Raden Wijaya dari Majapahit melawan Jayakatwang dari Daha (Kediri). Perang pun akhirnya pecah dengan kemenangan berada di tangan Majapahit dan Tartar. Pertunjukan berakhir dengan pesta kemenangan besar-besaran di pelabuhan. Saat pasukan Tartar terlena, Majapahit menyerang hingga banyak yang tewas, termasuk sang panglima yang tetap bertingkah kocak meski sudah terbaring mati.â¨
Rupanya, meski mau bersekutu, raja Majapahit hanya ingin memanfaatkan Tartar untuk membalaskan dendamnya ke Kerajaan Daha. Dengan kemenangan itu, Arya Lembu Sora pun mengumumkan bahwa nama pelabuhan tersebut adalah Churabhaya. Chura berarti berani dan bhaya bermakna bahaya. Surabaya. (*/c6/dos)
Penulis: Suryo Eko Prasetyo
Article courtesy: Jawapos.com
Photo courtesy: Jawapos.com
Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian mendirikan komunitas bernama Mlumah.
Merdeka.com, Malang – Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian ini mendirikan sebuah komunitas lawak yang dinamakan Malang Lucu Mahasiswa (Mlumah). Berdiri sejak Oktober 2014 lalu, Mlumah berusaha menghadirkan konsep lawak lawas dengan wajah baru untuk menghibur masyarakat di tanah air, khususnya di Malang.
Rian Fauzi, salah satu penggagas berdirinya Mlumah berbagi cerita, terkait perjalanan Mlumah selama tiga tahun belakangan ini. Grup lawak yang digawangi Rian, Efri dan Ipul ini bahkan sempat mampir dalam sebuah ajang pencarian bakat pelawak di salah satu stasiun televisi nasional. Pengalaman ini, kata Rian, menjadi salah satu pelajaran penting bagi dirinya dan kawan-kawan Mlumah untuk membangkitkan gairah grup lawak, khususnya Ludruk di Malang.
Mlumah, bermula dari kumpul-kumpul bersama sekawanan orang yang sempat bertemu di sebuah manajemen artis di Malang. Setelah ‘lulus’ dari manajemen tersebut, mereka tetap menjalin komunikasi yang baik. Memiliki hobi yang serupa di dunia lawak, akhirnya mereka mencetuskan ide untuk mendirikan sebuah komunitas lawak di Malang.
“Akhirnya, saat kumpul-kumpul itu, kita kepikiran bikin grup-grupan. Pas kita mau launching, kita kepikiran buat ludruk. Terus kita tercetus buat Mlumah itu. awalnya namanya itu Malang Ludruk Mahasiswa,” cerita Rian, saat ditemui merdeka.com dalam acara Satu Jam Bersama Mlumah di Coffee Kayoe Malang.
Nama Ludruk sendiri diambil dari konsep utama jenis lawak yang dibawakan. Hanya saja, kata Rian, kekurangan sumber daya manusia membuat grup lawak yang beranggotakan 17 orang ini, tak mampu menghadirkan konsep Ludruk secara utuh. Sehingga, nama Ludruk dalam Mlumah diubah menjadi Lucu dan hingga kini dikenal dengan Malang Lucu Mahasiswa.
“Ketika kita kepingin menghidupkan Ludruk ini, kita kesulitan pada musik gamelannya. Karena kurang SDM-nya. Akhirnya Ludruknya kita hilangin dulu waktu itu. Jadi kita ubah namanya jadi Malang Lucu Mahasiswa,” terangnya.
Ingin menghidupkan kembali kesenian Ludruk yang mulai memudar di Malang, Rian bersama Mlumah mencoba menggali ilmu seputar kesenian tradisional asal Jawa Timur itu. Di Malang sendiri, Rian mengaku masih kesulitan menggandeng mentor untuk memperdalam seni lawak tersebut. Justru, ia mendapatkannya dari kota lain, seperi Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
“Kita (Mlumah) berguru kemana-mana. Kita ke Surabaya, kita berguru sama orang Surabaya. Kita ke Yogya, terus kita ke Jakarta. Kita mencari mentor, belajar,” tuturnya.
Menyadari pentingnya regenerasi anggota, Rian mengaku seringkali berburu talenta di beberapa kelompok kesenian Mahasiswa, khususnya di Malang. Kendati demikian, Rian menyadari bahwa dirinya harus memperkuat akar Mlumah untuk mendatangkan anggota baru.
Terkait hal itu, Mlumah mempertahankan eksistensinya dengan terus berkarya di dunia lawak. Acara demi acara mereka datangi untuk melakukan pentas, untuk melatih kemampuan seni lawak sekaligus mempertahankan eksistensi Mlumah, sebagai wajah anyar pentas Ludruk di Malang.
“Intinya, kita ingin menjaga performa. Jadi kita taktiknya dulu pertama itu, satu minggu minimal harus main satu kali, dibayar atau tidak dibayar. Kita terus nyari job (pentas), dan akhirnya keturutan. Kita tetep manggung satu minggu satu kali,” pungkasnya.
Penulis: –
Article courtesy: Merdeka.com
Photo courtesy: Merdeka.com
CB, Mojokerto – Kabar membanggakan datang dari dunia seni pelajar Kota Mojokerto. Ludruk Pelajar Kota Mojokerto, Sabtu (20/5/2017) mampu meraih Juara 1 penyaji terbaik tingkat nasional mewakili Kota Mojokerto dan Provinsi Jawa Timur. Gelaran seni bergengsi ini diselenggarakan di Panggung Candi Bentar, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Dibina langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Mojokerto, grup ludruk Kota Mojokerto yang dominan berasal dari pelajar SMPN 1, SMPN 3 dan SMA Taman Siswa Kota Mojokerto ini mewakili Jawa Timur bersaing dengan 7 peserta terbaik se-Indonesia.
Pada gelaran Parade Teater Seni Tradisi ke-6 di Jakarta ini ludruk pelajar dikoordinatori oleh Ganesh Pressiatantra Khresnawan Kasi Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan dan pembina oleh Novi Rahardjo Kepala Dinas Pendidikan Kota Mojokerto.
“Kami meraih empat kategori penghargaan dari lima kategori yang ada. Ini semua berkat kegigihan dari adik-adik pelajar dan kerja sama yang baik dari semua pihak,” tutur Novi Rahardjo. Keempat penghargaan tersebut antara lain pemeran putra terbaik, penulis skenario terbaik, sutradara terbaik dan yang paling bergengsi adalah penghargaan penyaji terbaik.
Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur Taman Mini Indonesia Indah kepada masing-masing pemenang. Dengan diraihnya Kota Mojokerto sebagai penyaji terbaik juara pertama, artinya Kota Mojokerto akan mewakili Indonesia pada lomba pekan seni tradisi Internasional di Brunei dalam waktu dekat.
Ludruk yang berjudul “Bantengan Geger” dibawakan secara apik dan merebut perhatian penonton selama lebih dari 30 menit. Grup ludruk yang terdiri dari 35 orang ini juga membuat juri yang terdiri dari aktor, budayawan dan akademisi berdecak kagum. Pasalnya, dari pemain karawitan, kidungan hingga pamain ludruk didominasi pelajar dan bermain secara profesional serta sangat menghibur.
Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus mengaku bersyukur dengan raihan prestasi tersebut. “Ini adalah prestasi yang membanggakan. Karena seni pelajar kita bisa berbicara di tingkat Nasional bahkan akan mewakili Indonesia di tingkat Internasional,” tuturnya bangga.
Menurut Wali Kota, prestasi tingkat nasional ini juga merupakan kado indah di hari jadi Kota Mojokerto ke-99. “Inilah perwujudan semangat hari jadi Kota Mojokerto yang mempunyai tema; ayo berkreasi, berinovasi dan berprestasi untuk Mojokerto service city. Pelajar kita telah membuktikan semangat ini dengan baik,” jelasnya. (Duta Josant)
Article: Duta Josant
Article courtesy: cahayabaru.id
Photo courtesy: cahayabaru.id
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Pelawak kondang asal Surabaya, Kartolo Cs turut memeriahkan acara J-Mags (Jazz Mangrove Surabaya) yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Namun tak tampil seperti biasa, Kartolo tampil bernyanyi dengan diiringi musik jazz yang dibawakan oleh Fussion Jazz Community.
Mengenakan batik kemeja biru bermotif, Kartolo dan band jazz tersebut sukses menghibur penonton.
Meski tak lagi jaya seperti beberapa waktu silam, penampilan Kartolo berhasil membuat penonton rata-rata anak muda tersebut tertawa terbahak-bahak.
Berulang kali, Kartolo membuat tertawa penonton karena mic nya yang berulangkali mati.
“Mungkin ini karena saya belum mandi,” ujarnya yang langsung disambut tawa penonton, Sabtu (20/5/17).
Kartolo menyanyikan satu lagu berjudul Jula Juli.
Meski diiringi alat-alat musik jazz seperti terompet, gitar, dan drum, alat musik tradisional seperti saron dan gendang masih turut ikut mengiringi.
Cak Kartolo mengatakan, ia sudah empat kali berkolaborasi dengan musik jazz.
“Ini sudah yang keempat, sering juga tampil di kampus-kampus kok,” ujarnya pada TribunJatim.com usai manggung.
Melihat antusiasme anak muda Kartolo merasa senang.
“Ya senang karena ternyata masih menghibur, kan saya keturunan Justin Beiber,” tuturnya lalu tertawa.
Tak hanya penampilan Kartolo Cs, acara ini juga dimeriahkan oleh beberapa penampilan lain seperti Surabaya All Star, Kasta, Komunitas Jazz Fussion, Komunitas Tari – Teater dan penyanyi hits papan atas Tulus.
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
TRIBUNJOGJA.COM – Perupa Moelyono akan menggelar pameran tunggal bertajuk Amok Tanah Jawa.
Pameran akan digelar mulai 20 Mei sampai dengan Juli 2017, di Langgeng Art Galeri, Jalan Suryodiningratan 37 Yogyakarta.
Acara pembukaan, Sabtu (20/5/2017) pukul 19.00 WIB, oleh Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid.
Pembukaan bakal dimeriahkan oleh grup Ludruk “Budhi Wijaya” dari Desa Gempolkerep, Jombang, Jatim, yang mementaskan lakon Geger Pabrik Gula.
Menurut rilis yang diperoleh TribunSolo.com, Kamis (11/5/2017), pameran itu akan menampilkan serangkaian karya lukis dan instalasi maupun performans.
Adapun Moelyono (60), perupa kelahiran Tulungagung, Jatim, pada perkembangan seni rupa di Indonesia tahun 1980-an selalu dikaitkan dengan gerakan seni aksi dan aktivitasnya yang berbeda pada zamannya.
Dia selalu melibatkan isu-isu sosial dalam kehidupan masyarakat marjinal, antar alain persoalan petani, buruh dan aspek pendidikan
Sampai kini Moelyono tinggal di daerah kelahirannya.
Moelyono memilih terlibat langsung dengan masyarakat di sekitarnya.
Pengalaman artistik, berpameran tunggal maupun mengembangkan diri, membentang selama puluhan tahun, setidaknya empat dekade terakhir, di dalam maupun luar negeri.
Terakhir ia menjadi konseptor gerakan seni rupa untuk difabel.
Ia adalah fasilitator Kelompok Perspektif Yogyakarta yang anggotanya adalah anak-anak difabel, dengan kegiatan utama bersenirupa.
Sejak beberapa tahun belakangan, Moelyono mulai tertarik kepada bentuk-bentuk kesenian tradisional di Jawa yang peminatnya semakin sedikit dan mengancam keberlangsungan kehidupan kesenian para pelakunya.
Adapun padap ameran ini Moelyono menampilkan serangkaian lukisan, performans atau pertunjukan kesenia tradisional ludruk dan instalasi serta arsip-arsip.
Empat lukisan mengadaptasi adegan lukisan maestro seperti lukisan Raden Saleh “Penangkapan Diponegoro” , lukisan-lukisan karya maestro seni lukis modern S.Sudjojono, Hendra Gunawa, “Pengantin Revolusi”.
Penggambaran dari ludruk sesuai dengan tujuan dari sujyek yang hendak ia ungkapkan tentang ketidak-adilan sosial terhadap masyarakat di pedesaan yang seringkali harus kalah dalam menghadapi kemajuan. (*/junianto setyadi)
Penulis: Junianto Setyadi
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Ludruk merupakan kesenian drama tradisional khas Surabaya yang biasanya diiringi oleh lawakan, lantunan musik gamelan, tarian dan nyanyian Jawa Timur. Grup ludruk Surabaya “Irama Budaya” berupaya melakukab regenerasi untuk melestarikan kesenian daerah ini dengan membentuk “Ludruk Irama Budaya Junior”.
Irama Budaya Junior beranggotakan beberapa aktor baru. Di antaranya anak-anak usia TK/SD, remaja dan dewasa dari berbagai kalangan profesi dan latar belakang.
Keseriusan Grup Irama Budaya membimbing para juniornya terbukti melalui penampilan perdana mereka yang sukses digelar pada Sabtu (6/5/2017) lalu. Penampilan bertajuk “Mentang-Mentang dari New York” pun berhasil memukau penonton lewat aksi panggung dimainkan sekitar 15 pemain junior dan beberapa senior.
“Sebetulnya naskah ini adalah karya penulis luar negeri bernama Marcelino untuk teater. Kemudian saya adaptasi untuk dipentaskan sebagai ludruk,” ucap Meimura, sang sutradara pementasan.
Berperan sebagai pemain utama Ludruk “Mentang-Mentang dari New York” adalah Wahyu sebagai Siti. Diceritakan, Siti yang baru saja pulang dari New York untuk belajar, telah berubah drastis. Dia tidak mengenali teman-teman terdekatnya bahkan kekasihnya. Siti yang telah kehilangan kepribadiannya, membuat kedua orang tuanya shock. Namun suatu kejadian membuat dia menyesali perbuatannya dan kembali menjadi Siti yang dulu.
Antusiasme masyarakat dan kalangan media menonton acara tersebut menjadi bukti Kota Surabaya masih mampu melestarikan kebudayaan tradisionalnya. Selain itu, pertunjukkan ini bertepatan untuk memeriahkan HUT Kota Surabaya ke-724.
Beberapa penampilan lain juga disuguhkan sebagai penghibur tambahan untuk para penonton. Diawali dengan Bedayan sebagai sambutan kepada para penonton, tarian oleh penari remo dan karawitan dari Sanggar Baradha Unesa.
Penulis: –
Article courtesy: eljohnnews.com
Photo courtesy: Tempo.co
Bisnis.com, JAKARTA — Setia mengabdikan diri sebagai seniman teater tradisional bukanlah hal mudah. Di era modern seperti saat ini semakin sulit menemukan audiens yang benar-benar tertarik dan bisa mengapresiasi pertunjukan seni peran tradisional.
Permasalahan regenerasi menjadi momok banyak sekali sanggar seni teater tradisional di berbagai penjuru daerah. Hal itu dirasakan pula oleh Ludruk Irama Budaya, yang bermarkas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
Seiring pesatnya perkembangan zaman, kesenian ludruk—yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur—mulai ditinggalkan. Bangku-bangku penonton tidak lagi penuh dijejali masyarakat yang antusias melihat pertunjukan ludruk.
Lantas, bagaimana upaya Ludruk Irama Budaya untuk bisa tetap eksis di tengah gelombang modernisasi? Berikut penuturan pimpinan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan:
Sejak kapan berdiri? Bagaimana sejarah atau awal mulanya?
Ludruk Irama Budaya beridiri pada 1987. Pendirinya bernama Sunaryo atau yang di dunia ludruk lebih dikenal dengan nama Sakiyah. Saya adalah generasi kedua yang memimpin Irama Budaya.
Saat ini ada berapa anggotanya? Paling banyak dari usia berapa?
Anggota kami bedakan menjadi dua, yaitu; senior dan junior. Saat ini anggota senior berjumlah 40 orang, dan juniornya 25 orang. Anggota senior adalah para seniman ludruk asli yang sudah lama bergabung dengan Irama Budaya.
Sementara itu, anggota junior adalah rekrutan baru yang tergabung di dalam kelas pelatihan kami. Memang, selama 4 bulan terakhir kami membuka kelas pelatihan secara gratis. Usia pesertanya tidak dibatasi, mulai dari SD, SMP, hingga dewasa.
Materi apa saja yang diajarkan?
Kami mengajarkan materi ludruk secara lengkap. Sebab, kesenian ludruk mengandung bermacam aspek, mulai dari gamelan, tari remo, bedayan,lawakan jula juli, cerita akting, artistik, hingga penataan cahaya.
Tidak ada persyaratan khusus bila hendak bergabung dengan kami. Nantinya, para anak didik akan diarahkan ke bidang-bidang yang spesifik sesuai dengan keinginan, bakat, atau ketertarikan mereka.
Banyak sanggar seni teater tradisional di Indonesia yang mengalami krisis regenerasi. Apa strategi yang dilakukan untuk menjaring minat generasi muda?
Strategi kami mulai dengan melakukan introspeksi dan pembenahan ke dalam. Sekarang ini kami digandeng oleh salah satu donatur yang memang peduli tentang dunia ludruk. Itu [mendapatkan donatur] adalah hal yang sudah lama kami idam-idamkan.
Dengan adanya donatur tersebut, kami akan melakukan pembaruan menyeluruh dari segi manajemen. Dulunya, kebanyakan sanggar ludruk dikelola dengan sistem manajemen ala juragan. Dalam arti, kepemimpinan hanya ditumpukan ke satu orang saja.
Ke depannya, kami akan membuat sistem manajemen menjadi sebuah organisasi. Kami akan mendaftarkan organisasi melalui notaris, dan mengantongi izin resmi dari Dinas Pariwisata [Jawa Timur].
Selain itu, kami akan melakukan renovasi gedung pertunjukan. Sebab, fasilitas yang ada sekarang kurang layak dan propertinya kurang mumpuni. Merenovasi sarana dan prasarana pertunjukan adalah salah satu cara untuk menggaet penonton.
Untuk menarik minat generasi muda, kami membentuk tim promosi khusus. Ke depannya, kami akan membagi skema pementasan ludruk di sanggar kami menjadi dua kelompok, yaitu; ludruk senior dengan lakon-lakon cerita klasik dan ludruk junior yang alur ceritanya lebih kekinian.
Biasanya pentas di mana? Bagaimana mendapatkan job pentas?
Sebagai latar belakang, di Surabaya terdapat 35 kelompok ludruk yang dibagi ke dalam dua golongan, yaitu; ludruk tobongan yang memiliki gedung pertunjukan sendiri dan jadwal pentas rutin, dan ludruk tanggapan yang baru pentas kalau ada panggilan atau permintaan.
Nah, kami termasuk yang ludruk tobongan. Jadi, ada atau tidak ada permintaan tampil, kami tetap melakukan pentas setiap Sabtu; sebulan empat kali. Markas tetap kami ada di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jalan Kusuma Bangsa Surabaya.
Karena kami ini adalah ludruk tobongan, maka kami lebih fokus melakukan pementasan di THR. Jarang sekali kami menanggapi atau mendapatkan permintaan untuk pentas di luar gedung. Tahun ini saja permintaan pentas dari luar hanya sekitar 5 kali.
Bagaimana dengan animo penoton belakangan ini?
Terus terang jumlah penonton ludruk akhir-akhir ini semakin berkurang. Itulah mengapa kami mau mengadakan perubahan total dari dalam. Kami bertanya pada penonton, apa yang kurang dari pertunjukan ludruk sekarang ini.
Ternyata banyak penonton yang kecewa karena sekarang ini pemain-pemain ludruk sudah tidak seperti dulu. Dulu, misalnya, pemeran laki-lakinya muda dan tampan, sedangkan sekarang sudah tua semua. Itu yang nantinya akan kami coba cari solusinya.
Sekarang ini, rata-rata penonton di setiap pertunjukan tanpa sponsor paling-paling hanya 50 orang. Kalau ada sponsor, penontonnya bisa lebih dari itu. Padahal, sepuluh tahun lalu jumlah penontonnya bisa lebih dari 100 orang. Penontonn 100 orang saja itu sebenarnya sudah sepi.
Berapa tarif sewa ludruk Irama Budaya saat ini?
Sekarang tarifnya Rp15 juta untuk pementasan ludruk standar. Kalau ingin pentasnya lebih besar atau ada bintang tamunya, tarifnya bisa lebih tinggi lagi.
Dengan semakin sempitnya pasar ludruk di Jawa Timur, bagaimana persaingan antarsanggar ludruk yang masih tersisa?
Masing-masing sanggar, baik tobongan maupun tanggapan, memiliki lahannya sendiri-sendiri. Justru, persaingan yang lebih ketat adalah antarsanggar ludurk tanggapan. Semakin banyak komunitas yang mendirikan ludruk tanggapan.
Namun, mereka tidak berani nombong [berubah menjadi ludruk tobongan] karena khawatir akan risiko kerugian yang besar. Bagaimana jika tidak ada penontonnya, padahal harus memenuhi jadwal pentas rutin.
Apa sebenarnya masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu untuk menghidupkan sanggar pentas tradisional seperti ludruk ini?
Regenerasi. Pemain ludruk senior yang tersisa sudah tua-tua. Sangat sulit bagi kami untuk mencari pemain muda. Dengan adanya kelas pelatihan yang baru dibuka ini, mudah-mudahan nantinya akan ada pemain-pemain baru yang bisa dijaring untuk pentas bersama senior.
Karena masalah regenerasi ini pula, jumlah pemain ludruk di Jawa Timur semakin menurun. Padahal, jumlah grup ludruknya banyak. Akibatnya, saat musim permintaan tanggapan [pementasan], banyak teman-teman ludruk yang ‘membajak’ pemain dari grup-grup lain.
Biasanya musim tanggapan ludruk adalah pertengahan tahun. Kalau tahun ini, mulai April sampai dengan sebelum Ramadan. Kalau sudah kebanjiran tawaran manggung begitu, grup-grup ludruk tanggapan sering membajak pemain dari grup lain.
Regenerasi seniman ludruk memang sangat kurang. Makanya, kami gencar membuka kelas dan laboratorium ludruk untuk menarik peminat generasi muda.
Strategi apa yang dipakai untuk menggaet anggota baru?
Dengan melakukan promosi ke sekolah-sekolah. Target kami, setelah pementasan pada 6 Mei nanti, kami akan melakukan promosi ke lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya. Pertunjukan 8 Mei akan menjadi pentas perdana untuk memperkenalkan tim junior kami.
Saat ini kami hanya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwantika [STKW] Surabaya, Universitas Negeri Surabaya [Unesa], dan SMAN 8 Surabaya.
Seperti apa bentuk dukungan yang diharapkan dari pemerintah?
Selama ini kami sudah difasilitasi dengan gedung secara gratis di THR, yang merupakan aset Dinas Pariwisata. Namun, biaya pemeliharaan dan produksi semua ditanggung oleh kami.
Ke depan, kami para seniman ludruk di Jawa Timur mengharapkan bantuan promosi dari pemerintah. Setidaknya, bisa dipasang banner untuk publikasi, sebab promosi yang ada sekarang sangat kurang sekali.
Penulis: Saena
Article courtesy: Bisnis.com
Photo courtesy: Indonesiakaya.com
Minggu malam (26/02) lahan parkir dan taman di depan gedung Pringgodani, THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya lebih ramai daripada biasanya. Suasana gelap dan suram sedikit terusir dengan hadirnya beberapa orang yang terlihat lalu lalang atau sekedar duduk-duduk menunggu dimulainya pertunjukan berjudul ‘Sampek Engtay’ garapan grup ludruk Luntas. Luntas sendiri merupakan akronim dari Ludruk Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. ‘Sampek Engtay’ merupakan produksi ke IX selama usia Luntas yang baru saja menginjak satu tahun. Produktivitas mereka dalam menghasilkan seni pertunjukkan memang tak dapat disangkal.
‘Sampek Engtay’ gaya Suroboyo
Sekitar pukul 20.00 pertunjukkan yang ditunggu-tunggu digelar. Tari Remo menjadi suguhan pembuka. Selanjutnya, lawakan dari Cak Robert dan Cak Ipul mengawali lakon ‘Sampek Engtay’ malam itu. Urut-urutan tampilan yang demikian nampaknya memang lazim untuk sebuah pertunjukan Ludruk. Lakon ‘Sampek Engtay’ dibuka dengan konflik Engtay, seorang perempuan muda yang ingin sekolah. Kala itu di Tiongkok hanya laki-laki yang diperbolehkan bersekolah. Engtay bersikeras mau menyamar menjadi laki-laki agar bisa bersekolah. Orang tuanya tak dapat mengelak, akhirnya mereka memberikan izin pada Engtay untuk pergi asalkan didampingi oleh pembantu perempuannya yang juga harus menyamar menjadi laki-laki.
Jangan membayangkan para pemain akan berbahasa ke-Tiongkok-tiongkok-an dalam melafalkan dialognya. Luntas tak melakukannya sama sekali, kecuali satu dua tokoh yang sesekali memberikan sengau untuk memberi efek bahasa Tiongkok yang hasilnya justru akan membuat penonton geli. Luntas mengadaptasi dialog sepenuhnya dalam bahasa Indonesia dan Jawa gaya Suroboyoan. Tidak hanya dialog yang mereka sesuaikan dengan konteks Suroboyo, tapi juga alur cerita dan musik. Alur cerita ‘Sampek Engtay’ digarap sebagaimana sebuah pertunjukan ludruk yang menyisipkan dagelan-dagelan di tengah alur cerita yang semestinya. Juga musik yang menjadi latar cerita digarap dengan cara memadukan antara karawitan dan rekaman lagu-lagu pop kekinian.
‘Sampek Engtay’ ala Luntas: Dongeng Lawas yang Menarik Perhatian Anak Muda
Lakon ‘Sampek Engtay’ memang bukan lakon baru dalam dunia seni pertunjukkan di Indonesia. Begitu banyak grup yang menggarapnya, sebut saja salah satu kelompok bernama Teater Koma yang di tahun 2015 telah menampilkan lakon ‘Sampek Engtay’ sebanyak 101 kali.[1] Tentu tak mudah memainkan lakon yang sudah banyak dimainkan oleh grup lain. Banyak orang pun sebenarnya sudah mengetahui jalan cerita ‘Sampek Engtay’. Engtay yang menyamar menjadi laki-laki lama kelamaan jatuh cinta pada kawan seperguruannya bernama Sampek. Sampek pun tak sengaja pada suatu saat mengetahui bahwa Engtay adalah perempuan. Mereka berdua jatuh cinta. Namun malangnya, lamaran dari Sampek ditolak mentah-mentah oleh orang tua Engtay. Engtay kemudian dijodohkan dengan putra dari tokoh terkemuka dan Sampek mati dalam kesedihannya. Engtay kemudian berpura-pura mau dinikahkan tapi di tengah arak-arakan pernikahan ia justru sengaja terjun ke makam Sampek. Keduanya bersatu dan menjelma menjadi kupu-kupu.
Sudah seringnya dongeng ‘Sampek Engtay’ ini diperdengarkan atau dipentaskan tidak membuat sejumlah orang enggan datang ke gedung pertunjukkan malam itu. Mereka memenuhi bangku-bangku tua Gedung Pringgodani. Ini merupakan fenomena yang mengherankan sebab dapat dikatakan 90% dari bangku penonton terisi dan sebagian besar dari penonton adalah anak muda. Pertunjukan seni tradisi di era modern tak lagi banyak digemari. Gedung-gedung di THR pun sudah sangat lama tak menjadi idaman masyarakat. Namun, Luntas membawa nafas baru ke dalam seni tradisi dan gedung pertunjukkan di THR. Mereka menjadi jembatan antara dunia anak muda di luar THR dengan dunia seni tradisi. Bentuk-bentuk sajian Luntas ternyata mampu mengundang kembali anak muda untuk menapakkan kakinya ke THR yang mulai ditinggalkan. Orang-orang muda dari berbagai latar belakang dan profesi seperti mahasiswa/siswa, pekerja swasta, pendidik, ibu muda rumah tangga, dll terlibat, baik untuk menonton maupun menjadi aktor/aktris dalam pertunjukkan ini. Lebih hebatnya lagi, semua pemain tidak menarik keuntungan finansial atas aksi-aksinya. Mereka berkarya berdasarkan ke-sukarela-an. Uang tiket yang dihargai Rp 15.000,00/orang hanya digunakan untuk mengganti uang produksi, tak lebih dari itu.
Perlunya Berbagai Pihak Bergandeng-Tangan
Usaha Luntas untuk menghidupkan dan memperbarui seni tradisi sembari mengenalkannya pada kaum muda memang pantas diapresiasi. Memang tidak sedikit juga catatan baik dari segi teknis maupun isi pertunjukkan yang perlu diperbaiki, seperti: mengisi banyolan-banyolan agar tidak sekedar menghibur tetapi juga membawa penonton pada kepekaan terhadap kondisi sosial politik (sebagai catatan: ludruk pada masa kolonial digunakan untuk menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan rakyat); ketrampilan keaktoran yang perlu terus ditingkatkan; kesesuaian artistik dengan tema; dan pengaturan suara serta musik agar dialog tetap terdengar.
Luntas tidak sendiri dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan ini. Banyak pihak seperti sekolah kesenian, tokoh-tokoh gaek dalam bidang seni tradisi, Pemkot, orang-orang muda dan masyarakat pada umumnya dapat bergandeng-tangan untuk sama-sama menghidupi budaya khas Suroboyo ini.
Penulis: –
Article courtesy: idenera.com
Photo courtesy: idenera.com