Penulis: Lince Eppang
Article courtesy: Antaranews.com
Photo courtesy: Detik.com
Jombang – Menjadi perajin merang masih jadi pilihan bagi beberapa warga Dusun Gabus, Desa Gabusbanaran, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Sejak puluhan tahun silam, mereka masih setia membuat merang untuk dijual ke beberapa kota sekitar Jombang.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, tumpukan benda berwarna cokelat terlihat menumpuk di beberapa titik di Dusun Gabus. Ditata dengan diikat tali plastik, dari kejauhan benda berbentuk panjang itu nampak seperti sedotan yang diletakkan terbalik. Bagian atas berbentuk tabung kecil memanjang, sementara bagian bawah berbentuk serabut kasar.
Di depan tumpukan itu, seorang pria terlihat sibuk menata. Ia membersihkan bagian atas, juga menata bagian bawah untuk ditali dan dikelompokkan dalam ukuran lebih besar. Tak ada pekerja, ia terlihat mengerjakan sendirian. “Ini namanya merang, yang didepan itu masih dijemur, kalau yang saya pegang ini untuk ditata,” terang Sabar,45, pemilik usaha merang yang ditemui koran ini kemarin.
Ia menyebut produk buatannya memang tak punya nama khusus. Orang-orang biasa menyebutnya dengan merang. Benda ini, sebenarnya adalah batang-batang padi yang telah diambil butiran padi dan dikeringkan. Namun, tak semua batang padi bisa digunakan untuk pembuatan merang. Hanya padi yang dipanen dengan alat tradisional saja yang bisa digunakan untuk merang.
Padi yang bisa digunakan itu harus padi yang dipotong sampai pangkal. “Ya, hanya padi panen model lama. Biasanya perontok pakai pancal, kalau potong setengah dan pakai perontok mesin, sudah tidak bisa dipakai karena terlalu pendek,” lanjutnya. Karenanya, ia tak lagi bisa mencari batang padi untuk bahan merang ini di sekitar Jombang.
Sabar, harus rela berburu batang padi hingga Mojokerto, Malang, bahkan Bojonegoro. “Biasanya adanya di daerah yang masih agak kuno, atau wilayah pegunungan, mesin kan susah disana, jadi panennya masih pakai alat lama,” ungkap pria yang sudah 20 tahun menggeluti usaha merang ini.
Prosesnya, lanjut dia, biasanya dimulai dari batang padi yang telah didapat, harus terlebih dulu dijemur. Penjemuran ini, bisa berlangsung satu hingga dua hari, sampai batang padi benar-benar kering dan mengeras. Tujuan penjemuran ini agar batang padi lebih kokoh dan mudah ditata.
“Biasanya dari warna yang masih agak hijau sampai cokelat, bisa satu hari, bisa dua hari tergantung panasnya matahari,” tambah Sabar. Setelah benar-benar kering, proses selanjutnya penghalusan. Bagian bekas bulir padi, akan disortir dan dibersihkan kembali. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel pada batang padi. “Ya cuma pakai tanagn saja, tidak ada alat khusus, semanya manual,” tambahnya.
Seluruh proses ini bisa berlangsung hingga lima hari penuh. Setiap minggu, ia mengaku bisa produksi hingga puluhan bahkan ratusan gelondong besar merang. Seluruh produk merang tersebut dikirim ke berbagai kota di Jawa Timur. “Yang banyak biasanya Kediri, Tulungagung, Blitar sama Malang. Jombang sendiri malah tidak laku,” ucapnya sembari tertawa lepas.
Merang buatannya ini biasa digunakan warga di beberapa kota untuk pelengkap sesajen atau cok bakal. Selain itu beberapa olahan makanan hingga sabun dan shampo. “Tapi biasanya kalau saya mengirim paling banyak ke penjual alat ritual, penjual bunga, sama pembuat makanan,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Limbah paralon yang bagi sebagian orang adalah sampah, ternyata bisa diubah menjadi kerajinan tangan bernilai jual tinggi. Seperti yang dilakukan Nur Fauzi, warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang yang membuat lampu hias unik dari paralon bekas.
Paralon satu persatu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Setelah itu, Fauzi mengambil gambar sketsa yang sudah diprin. Kemudian sketsa ditempelkan ke pipa paralon dengan menggunakan lem. Setelah tertempel rapat, ia langsung mengambil gerenda kecil untuk mengukir paralon berukuran 4 inci tersebut.
Setelah pipa diukur sesuai dengan sketsa, dirinya menggunakan alat pemanas agar menimbulkan efek tiga dimensi. Kemudian, Fauzi menyiapkan bahan baku untuk pengecatan agar lampu terlihat menarik. Bahan cat sendiri ia menggunakan cat pilox.
Setelah cat kering, dia langsung menyiapkan fitingan, kabel serta lampu LED. Untuk menarik pembeli, lampu yang digunakan bisa berubah warna hanya dengan menggunakan remote.
Di ruang berukuran kurang lebih 3 x4 meter yang berada di sebelah rumahnya, pria kelahiran 11 Desember 1982 ini terbiasa mengerjakan lampu dari paralon bekas. ”Dulu terinspirasi setelah melihat banyak pipa bekas bangunan yang dibuang, karena eman, kemudian iseng membuat hiasan dari lampu,” ungkapnya.
Untuk membuat lampu itu, lanjut dia, paling sulit yang dirasakan pada waktu pengukiran. Apabila salah ukir sedikit, pipa tidak bisa digunakan lagi alias cacat. Tak heran, kalau proses ukir membutuhkan waktu cukup lama dibandingkan dengan proses lain. ”Dalam sehari saya bisa membuat 6-10 pipa tergantung kerumitan,” kata dia.
Meski begitu, ia masih mengeluhkan pemasaran yang tidak bisa cepat lantaran jarak rumahnya dengan pusat kota cukup jauh. Sehingga sarana media sosial yang dipilih untuk pemasaran produk buatannya terkadang mengalami hambatan. Tidak hanya melalui media online, dia juga menitipkan barang kreasinya di tempat wisata Pacet Mojokerto. ”Memang untuk pemasaran masih agak sulit, karena memang rumah saya jauh dari perkotaan,” tegasnya.
Saat ini, lanjut dia, pemesan yang banyak justru berasal dari Kalimantan. Khusus permintaan Jombang sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. ”Kadang ya saya disuruh buat lampu untuk masjid, ini saya ada pesanan lampu masjid di Jogoroto,” terang Fauzi.
Saat ditanya harga jualnya, dia senditi tidak mematok harga mahal. Berkisar antara Rp 60 ribu hingga Rp 250 ribu per lampu. Harga yang berbeda itu menyesuaikan ukuran dan tingkat kerumitan ukir. Dia juga tak menampik bila yang paling laku memang yang dijual dengan harga murah. ”Ukirannya biasa, kalau harga tergantung pemesan ingin seperti apa,” pungkas dia. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Penemuan potongan arca kepala brahma dan kucur candi di areal Punden Pandegong menguak fakta baru terkait lokasi penemuan arca yaitu di makam keramat Pandegong, yang diyakini sebagai lokasi makam yang dipercaya sebagai pesarean Mbah Nambi Suro dan Mbah Ijo. Dua leluhur ini merupakan orang yang pertama kali membangun kampung dengan membabat Desa Kwasen yang dulunya merupakan hutan belantara
Tempat punden tak jauh dari jalan utama desa, dan mudah terlihat dari jalan dimana warga berlalu-lalang. Ada jalan setapak kecil untuk mencapai lokasi dengan menyusuri lahan dari bibir jalan raya desa.
Ketika Jombang City Guide berkunjung banyak orang sedang berada di areal makam. Sepertinya sudah banyak wartawan dari media lokal yang telah mengunjungi makam keramat ini.
Sekitar pukul tujuh pagi, areal makam ini sudah ramai oleh orang-orang seperti biasanya, entah sekedar nongkrong atau berziarah. Beberapa pria tua dan muda, bahkan anak-anak berada di lokasi punden. Sayangnya, anak-anak seusia SD di masa liburan sekolah jeda semester itu diantaranya sedang bergantian merokok
Menurut KBBI, punden adalah tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa. Memang, areal makam Pandegong adalah lokasi makam dua pendiri desa kwasen yang disemayamkan bersebelahan di areal punden ini. Namun hanya terdapat satu nisan di punden ini. Ini disebabkan kesalahan pembangunan nisan dan keterbatasan dana. Sehingga hanya makam Mbah Nambi Suro yang diberi nisan dan dinaungi terpal biru. Sedangkan Makam Mbah Ijo di sampingnya, sudah rata dengan tanah.
Makam keramat Pandegong, berdiri di atas sebuah lahan yang berada di ketinggian yang melebihi sawah di sekelilingnya. Menurut Cak Jayadi, di pinggiran areal makam ini dulunya ada sebuah liang yang bisa dimasuki orang seperti terowongan. Karena tidak berani merusak pondasi makam dan tidak berani melanjutkan penggalian dan khawatir merusak tempat keramat, liang tersebut ditutup.
Saat Jombang City Guide memasuki area punden, terlihat banyak tumpukan bata berserakan di sekitar makam, yang dikumpulkan di bawah pohon. Puing-puing batu bata tersebut berukuran besar, lebih besar dari batu bata produksi zaman modern. Ini merupakan bukti bahwa batu bata ini berasal dari zaman kuno yang memiliki nilai sejarah. Batu bata tersebut banyak yang sudah terpecah, dan berwarna hijau karena ditumbuhi jamur karena saking tak terperhatikannya.
Di sisi timur makam yang masih dalam satu area, terdapat batu bata yang tersusun rapi dan sedikit menyembul di permukaan tanah. Seperti tumpukan bata lainnya, ukurannya jauh lebih besar dari bata pada umumnya. Meski tidak terlihat bentuk bangunannya karena terkubur dalam tanah, namun tatanan batu bata kuno itu seperti sebuah pondasi bangunan.
Saat Jombang City Guide mengamati tatanan bata itu, Cak Jayadi mengambil salah satu bata tersebut. Semua bata yang tertata rapi itu berukuran jumbo, lebih besar dari bata produksi zaman modern. Menariknya saat bata diambil, masih ada bata lain yang tertata rapi di bawahnya. Begitu seterusnya.
Tatanan bata ini sepertinya adalah sebuah bangunan yang ditumpuk menggunakan metode gesek, yang merupakan metode bangunan zaman dulu dimana belum ada semen. Hebatnya, hanya dengan metode gesek teknologi lampau ini tanpa semen bangunan sudah bisa berdiri dengan tatanan yang terpasang rapi.
Dari pengamatan tersebut, disinyalir bangunan di samping Punden Pandegong dulunya adalah pondasi sebuah candi atau bangunan dari kerajaan kuno. Dalam kultur masyarakat Hindu kuno, di sebuah desa setidaknya terdapat sebuah bangunan suci. Situasinya mirip dengan di zaman sekarang dimana umat islam di Indonesia memiliki masjid dan mushollah untuk ibadah.
Bangunan yang terdapat dalam area punden dianggap suci oleh masyarakat setempat, berfungsi sebagai pemujaan atau penghormatan terhadap leluhur terkait. Biasanya, di dalam bangunan suci tersebut ada sebuah arca dewa yang merupakan arca perwujudan. Karena fungsinya sebagai tempat persembahyangan, masyarakat kemudian menganggapnya sebagai tempat keramat yang biasanya punya nuansa mistis.
Banyak pohon yang tumbuh di atas areal makam, dan ukurannya tidak kecil. Karena tinggi dan besarnya, pepohonan itu mengayomi bagian bawahnya sehingga punden terasa sejuk dan rindang. Pohon-pohon itu salah satunya roboh yang kemudian berujung penemuan potongan arca kepala brahmana dan kucur candi oleh Cak Hari, sapaan akrab Pak Jayadi
Bagian tubuh arca masih belum ditemukan begitu pula dengan bagian lain dari kucur candi. Entah hilang atau masih terkubur di dalam tanah. Belum diketahui pasti bagaimana kedua benda itu bisa terkubur di dalam tanah. Bisa jadi memang bagian yang lain dari dua bongkahan benda kuno itu masih terkubur di dalam tanah, atau bisa jadi merupakan benda pusaka yang sengaja disimpan leluhur Desa Kwasen di punden, mengingat tempat tersebut adalah makam pendiri desa yang dikeramatkan.
Selain itu terdapat yoni dari batu andesit berbentuk segi empat di di samping makam. Dulunya juga terdapat lingga perlambang Dewa Siwa di samping tumpukan bata kuno diantara pohon. Lingga biasanya diletakkan di cekungan yoni, dimana lingga biasanya juga berbentuk arca perwujudan yang dipuja di dalam bangunan. Sayangnya,lingga di punden Pandegong sudah hilang dicuri orang.
Yoni adalah sebuah obyek cekung atau berlubang yang umumnya di Indonesia berbentuk persegi dengan empat sudutnya. Di beberapa daerah di Indonesia, yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung dari batu. Namun ada kalanya yoni di nusantara menyimpang dari pakem lingga yoni, berbentuk tidak lazim, unik, maupun dilengkapi dengan ukiran yang detail seperti Yoni Gambar di Japanan, Mojowarno, tak jauh dari Kwasen. Keunikan tersebut terjadi karena faktor yang berbeda-beda sesuai letak geografis dan situasi maupun politik yang melatarbelakangi pembuatannya.
Yoni ini sebagai tempat menampung air suci berenergi dewa untuk minum maupun membasuh wajah para peziarah untuk mendapatkan keberkahan. Sampai sekarang, beberapa peziarah datang ke tempat ini untuk memanjatkan doa. Tampak di sekitar yoni masih ada sesajen berupa bunga-bungaan yang ditebarkan. Pemujaan juga dilakukan sengan cara membawa sesembahan utama berupa kepala hewan. Sedangkan sayur-sayuran, buah-buahan, bunga-bungaan dan wewangian tergolong sebagai pelengkap.
Meskipun masyarakat zaman sekarang tidak lagi memperayai animisme dan dinamisme, anggapan bahwa punden sebagai pemberi berkah dan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kelimpahan rezeki pada masyarakat masih tetap ada. Terbukti, peziarah Punden Pandegong ini datang dari berbagai kota, tak hanya dari Jombang saja. Beberapa dari Ngajuk, Blitar, dan Mojokerto yang biasanya datang di siang hari hingga sore.
Yoni berpasangan dengan lingga. Lingga mempresentasikan dewa siwa secara simbolik sedangkan yoni melambangkan Dewi parwati, istri siwa. Yoni adalah perlambang ibu, kesuburan dan bumi pertiwi yang diwujudkan dalam sebuah pemukiman. Fungsi yoni selain sebagai petirtaan air suci juga sebagai pengukuhan tahta seseorang yang Berjaya di suatu tempat, dan memperingati suatu peristiwa penting misalnya sebuah kemenangan dalam perang.
Lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan candi. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa bangunan. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat seperti yang diletakkan di bilik bangunan candi adalah bukti bahwa dulunya lokasi Punden Pandegong adalah peribadatan berupa pemujaan sekaligus menandakan daerah tersebut termasuk wilayah yang subur.
Dengan ditemukannya arca brahma ini makam keramat ini bisa ‘dibaca’ sebagai tempat suci untuk pemujaan kaum brahmana. Arca Dewa Brahma adalah simbol pemujaan, mengingat Dewa Brahma adalah salah satu dewa dalam agama Hindu, yang dianut masyarakat kuno di zaman kerajaan terdahulu, termasuk Kerajaan Majapahit.
Belum jelas kerajaan mana yang memiliki dan membangun situs ini, namun diperkirakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang memang biasanya membangun beberapa bangunan dengan pondasi bata. Karena tidak ditemukan angka tahun dalam situs, belum diketahui pasti kapan era candi ini , apakah di masa awal atau akhir kerajaan. Maka perlunya peninjauan lebih lanjut dan eskavasi untuk benar-benar memastikan fungsi candi.
Meski diyakini kompleks ini dulunya adalah tempat suci di era kerajaan Majapahit, menurut arkeolog Jombang dari tim Laskar Mdang telah berani memastikan bahwa candi ini dulunya adalah pura pemujaan yang ada di pemukiman kaum brahmana yang berada di luar areal istana. Tampak dari yoni yang berbentuk segi empat tanpa ukiran dan adanya arca brahmana sehingga situs ini diyakini tidak dibangun atas perintah istana. Selain itu tim Laskar Mdang menyimpulkan, wilayah Kwasen dulunya memang bukan bagian dari Madyopuro atau Kota Raja yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama.
Punden yang dijaga oleh Pak Jayadi dipercaya sebagai makam Mbah Nambi dan Mbah ijo ini memang dianggap keramat oleh warga sekitar hingga kini. Belum diketahui apa hubungan Mbah Nambi Suro dengan Patih Nambi yang merupakan salah satu patih di era Kerajaan Majapahit pendahulu Patih Gajah Mada yang paling tersohor itu, apakah orang yang sama atau memiliki kesamaan nama saja.
Wajarlah bila Cak Jayadi, Sang Penemu potongan arca kepala Brahma dan kucur candi sekaligus juru kunci makam memberikan syarat penyerahan benda temuannya untuk Balai Purbakala Trowulan dan pemerintah untuk memugar makam keramat dan membangun kuncup di atas punden kuno beserta fasilitas areal makam supaya lebih layak.
Ditengarai masih banyak yang terkubur dalam situs Pandegong mengingat ada banyak bata kuno yang berserakan di samping makam dan tempat ini tersusun dari pondasi bata berukuran jumbo yang tertata rapi, mirip seperti Situs Sugihwaras dan Situs Karobelah yang ditemukan di tahun yang sama.
Kondisi candi memang sudah rusak dan tidak memungkinkan dilakukan pemugaran. Meski kondisi candi sudah rusak dan tak diketahui bentuk aslinya, tetap diperlukan adanya koordinasi dari pemerintah kabupaten supaya bisa menyelamatkan sisa candi. Setidaknya reruntuhan yang ada bisa diamankan supaya tidak semakin rusak.
Masih ditunggu upaya dan izin eskavasi dari pihak berwenang terutama dari Disbudpar Jombang sehingga harapan bisa menemukan badan brahma dan candinya sekaligus bisa terwujud. Besar harapan warga Jombang tempat ini bisa dijadikan destinasi ziarah maupun spot wisata baru yang akan menambah deretan peninggalan kerajaan kuno yang ada di Jombang.
Keseriusan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan benda cagar budaya ini sangat dinantikan karena merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai UU nomor 11 Tahun 2010. Selain itu juga sangat penting untuk generasi mendatang, terutama anak muda di Jombang yang harus berbangga karena dulunya di Kota Santrilah berdiri ibukota salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di nusantara.
Selain itu, guru-guru sejarah di Jombang dan seluruh nusantara hendaknya memotivasi para siswanya untuk menghargai peninggalan sejarah bangsanya, supaya bila ditemukan lagi situs bersejarah yang menjadi cikal bakal perjalanan bangsa ini, benda kuno tersebut bisa diselamatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga niat menjual benda cagar budaya seperti yang hampir dilakukan Pak Jayadi dan Rizal tidak lagi terjadi karena sudah adanya kesadaran tinggi atas nilai-nilai sejarah bangsa ini. Selanjutnya, kita sebagai generasi muda yang bertanggung jawab menjaga peninggalan kuno ini supaya tetap lestari.
Peninggalan sejarah itu sepertinya terkubur rapi di bawah tanah, mengingat adanya bencana alam dan letusan gunung meletus yang mengakibatkan terkuburnya banyak situs kuno di Jombang. Memang, wilayah ibukota kerajaan majapahit dan beberapa kerajaan pendahulunya berada di daerah Jombang. Tinggal menunggu waktu saja penemuan-penemuan ini menyeruak ataupun tak sengaja ditemukan.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Situs purbakala dengan delapan umpak sederhana ini berada di Dusun Sukorejo, Desa Grobogan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Situs Grobogan, dinamakan demikian karena situs peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit ini berada di Desa Grobogan.
Grobogan, adalah nama salah satu desa yang ada di Mojowarno. Nama Grobogan sendiri, memiliki kesamaan dengan nama sebuah kota berbentuk kabupaten di Jawa Tengah. Grobogan di Jawa Tengah juga memiliki banyak peninggalan sejarah maupun prasejarah. Peninggalan sejarah di sana berasal dari Kerajaan Mataram Kamulan yang merupakan cikal bakal Mataram Kuno di Jombang, Jawa Timur. Mataram Kuno yang disebut juga Kerajaan Mdang ini juga menjadi cikal bakal hampir semua kerajaan besar di Jawa Timur, termasuk Majapahit Wilwatikta.
Lokasi Situs Grobogan di Jombang, tak jauh dari lokasi Yoni Gambar dan masih satu desa dengan Wana Wisata Sumberboto. Memang, situs ini berada tak jauh dari Jalan Raya Sumberboto. Jadi tak ada salahnya kita menambah destinasi wisata ketika mengunjungi hutan kayu ulir di Sumberboto kemudian dilanjutkan mampir ke Situs Grobogan, sekalian wisata kebun kelengkeng.
Bila dari arah Jombang, kita bisa mencapainya dengan menuju arah pertigaan terminal Mojoagung yang terdapat Watertoren Mojoagung itu. Dari pertigaan itu, belok kanan hingga melewati jembatan Mojolegi. Perempatan pasca jembatan belok kiri masuk Gang Kawinongan. Dari Kawinongan, kita bisa bertanya pada penduduk setempat, karena penunjuk jalan untuk menuju situs ini sepertinya sudah lapuk atau roboh termakan usia.
Lebih mudahnya lagi, kita bisa menuju lokasi dengan mencari kediaman Pak Kiai Ainun Najib karena Situs Grobogan berada di pelataran Masjid Al-Waladun Najib Al-Muhajirin yang kini dijadikan kebun kelengkeng.
Jalan menuju lokasi Situs Grobogan bisa dilalui dengan mobil. Sayangnya akses jalan berlubang nan becek mungkin belum tersentuh pembangunan seperti layaknya jalan-jalan beton yang sedang giat dibangun pemerintah Kabupaten Jombang.
Kita akan menemukan papan nama Situs Grobogan di depan pagar yang menyatu dengan pagar masjid lengkap dengan papan larangan perlindungan situs cagar budaya. Gerbangnya dibuat khusus untuk pengunjung Situs Grobogan, meski ketika memasukinya tetap bisa tembus ke pelataran masjid yang dipenuhi pohon kelengkeng.
Di balik rimbunnya pohon kelengkeng yang sering didatangi codot ini, kita bisa menemukan umpak-umpak ini berdiri di tempatnya. Situs Grobogan terdiri dari delapan umpak batu berbahan batu andesit. Umpak sendiri adalah batu yang dijadikan alas tiang batu sendi. Seperti sebuah pilar, biasanya di bagian bawahnya terdapat pondasi penyangga tiang, dan itulah fungsi umpak ini.
Terdapat cekungan berbentuk persegi di bagian atas umpak-umpak kuno ini, yang diduga sebagai lubang untuk meletakkan tiang pancang. Tiang pancangnya sendiri diperkirakan tidak terbuat dari batu andesit tapi terbuat dari sesuatu yang sudah lapuk seperti kayu sehingga kondisinya sudah tidak diketahui lagi bentuknya karena mungkin sudah hilang atau hancur termakan usia.
Karena Situs Grobogan tidak memiliki cungkup di atasnya seperti Situs Yoni Gambar yang sudah runtuh, situs berbahan batu andesit ini sering kehujanan sehingga lubang persegi di tiap umpak terisi air bekas hujan. Air bekas hujan ini kemudian menjadi sarang jentik-jentik nyamuk. Meski demikian, umpak-umpak bersejarah ini tidak terlalu berjamur dan dalam kondisi yang baik.
Umpak-umpak ini memiliki yang ukuran yang berbeda-beda, namun ukurannya memang cukup besar bila dijadikan pondasi tiang penyangga. Umpak terkecil, memiliki ukuran kira-kira setinggi lutut wanita dewasa seperti Jombang City Guide. Tinggi perkiraannya sekitar 75cm. Jadi bisa dibayangkan, bila pondasi tiangnya saja berukuran begitu besar betapa tinggi tiangnya dan megahnya bangunannya.
Meski ukurannya berbeda-beda, secara garis besar umpak-umpak ini memiliki tipikal bentuk yang sama. Bagian atasnya berbentuk segi delapan, mirip dengan logo Wilwatikta yang juga punya shape segi delapan. Sedangkan di bagian bawahnya membentuk persegi. Di tiap bagian sisi sampingnya, permukaannya diukir dengan pahatan sederhana yang sekilas mirip logo trefoil daun milik Adidas Original.
Umpak-umpak ini berada di lahan pribadi milik KH. Ainun Najib. Meski namanya sama, KH. Ainun Najib ini bukanlah Emha Ainun Najib yang kita kenal dengan Cak Nun dari Sang Budayawan Asli Jombang dari daerah Sumobito.
Dulunya umpak-umpak ini terbengkalai di tempatnya di sawah. Benda purbakala ini tersebar di beberapa tempat yang masuk dalam lingkup lahan yang dimiliki oleh leluhur Pak Ainun Najib secara turun temurun. Keluarga Pak Ainun Najib pun sudah merawatnya secara turun-temurun, hingga Balai Pelestarian Purbakala Trowulan datang melakukan pengamatan.
Kemudian ditetapkanlah situs yang berada di lahan keluarga ini, sebagai Situs Grobogan dan dipasang tanda peringatan maupun papan nama. Umpak-umpak tersebar kemudian ini digabungkan dalam satu lokasi. Ketika ada pembangunan, lalu situs berumpak ini lokasinya dipindahkan dan dijadikan satu di pelataran masjid yang didirikan Sang Kiai.
Tujuh umpak disandingkan berjajar. Tiga deret umpak dan deretan lainnya berupa empat umpak tampak berdampingan. Tersisa satu tempat umpak, namun terlihat satu umpak berdiri terpisah dari rekan-rekannya.
Awalnya Jombang CIty Guide mengira satu umpak ini khusus in situ yang letaknya masih asli dari tempat awalnya. Atau bisa jadi karena susah dipindahkan sehingga dibiarkan terpisah. Namun ternyata pendapat Jombang City Guide salah. Satu umpak penyendiri ini, rupanya punya cerita tersendiri. Dari kisah yang dituturkan Pak Ainun Najib, ternyata umpak penyendiri ini memiliki selubung mistis dalam kisahnya.
Ketika dipindahkan, Pak Ainun Najib mengerahkan sekelompok pria dewasa untuk mengangkatnya. Pemindahan umpak-umpak jumbo ini dilakukan dengan lancar seperti pemindahan batu pada umumnya, dengan formasi peletakan delapan deretan umpak berjajar, empat-empat berdampingan.
Esok paginya, satu umpak ‘penyendiri’ ini berada di tempat yang berbeda dengan rekan-rekannya. Entah siapa yang memindahkan.
Di lain kesempatan, Pak Ainun Najib bersama para kru kembali memindahkan satu umpak penyendiri itu bersanding bersama kawan-kawannya.
Kembali, satu umpak penyendiri itu didapati sudah berpindah tempat keesokan harinya. Umpak penyendiri itu kembali di tempat yang sama yang berbeda dari rekan-rekannya. Entah siapa yang memindahkan. Siapa cobak??!!!
Bayangkan, umpak sebesar itu, berpindah tempat dalam satu malam. Entah siapa yang memindahkannya, pastinya tenaganya begitu besar sehingga tidak menimbulkan kegaduhan saat memindahkannya. Dan cling! Esok paginya sudah berada di tempat yang berbeda dengan kawan-kawannya.
Kejadian berulang hingga dua kali, sehingga Pak Ainun Najib yang cukup gemas dengan satu ‘umpak bandel’ ini akhirnya membiarkannya ‘sendiri’ dalam pijakannya.
Di Balik kisah mistis yang menyelimuti Si Umpak Penyendiri ini, masih ada misteri yang belum terpecahkan mengenai Situs Grobogan. Beberapa peneliti, maupun ilmuwan Belanda sudah beberapa kali mengunjungi lokasi ini untuk melakukan pengamatan dengan melihat catatan-catatan kuno peninggalan era Wilwatikta.
Bila memang umpak-umpak ini adalah penyangga tiang dari semacam bangunan. Meski pilarnya sendiri sudah hilang dan bagian atasnya pun sudah tidak bisa diketahui bentuknya lagi, dengan melihat ukurannya yang begitu besar kita pun bisa memastikan dulunya di sini ada bangunan yang cukup besar. Dugaan tempat ini dulunya merupakan lokasi pendopo, atau keraton maupun istana Kerajaan Majapahit pun menyeruak.
Senada dengan penuturan Pak Kiai Ainun Najib yang menyatakan ketika dilakukan pembangunan pelataran, masjid dan kediaman keluarga, memang ditemukan banyak benda purbakala seperti pondasi batu bata kuno yang berukuran jumbo. Selain itu ditemukan beberapa artefak dari batu andesit, termasuk bekas gapura-gapura.
Masuk akal, mengingat Situs Grobogan berada tak jauh dari Mojoagung yang diyakini sebagai ibukota kerajaan berjuluk Wilwatikta ini. Selain itu Laskar Mdang juga menuturkan bahwa tempat ini juga tak jauh dari Candi Ruk Rebah dan Candi Japanan yang tertera di Kitab Negarakertagama.
Sayangnya Balai Pelestarian Cagar Budaya seakan bergeming dan kurang jeli dengan fakta ini sehingga tampak acuh tak acuh terhadap penemuan Pak Ainun Najib. Tidak mendapat respon, Pak Ainun Najib pun melanjutkan pembangunan kediamannya.
Padahal bila ditelisik lebih lanjut, bisa jadi dugaan para Pak Ainun Najib benar dan dapat menjadi penemuan besar bagi para arkeolog pemburu misteri Kerajaan Majapahit.
Kini lokasi ini sudah menjadi tempat ibadah yang terbuka untuk umum. Selain itu dibagun pula rumah yatim di samping masjid dan rutin diselenggarakan pembagian sedekah di hari ketujuh setiap bulan untuk para janda dan anak yatim. Bagi siapapun yang juga ingin bersedekah dan memberikan bantuan untuk para penerima zakat, dipersilakan bergabung.
Mengunjungi Situs Grobogan, kita bisa mendapatkan tiga jenis wisata sekaligus. Wisata sejarah pastinya, wisata kebun kelengkeng, bahkan wisata tempat mistis. Hehehehe…. Jadi bagi yang tak ingin jauh-jauh ke Plandaan untuk melihat wisata Kebun Kelengkeng Suwarno, kebun kelengkeng Grobogan milik Pak Ainun Najib bisa dijadikan alternatif jujugan. Selain itu kita bisa menumpang sholat di masjidnya, tempatnya nyaman, bersih dan teduh.
Kisah mistis Situs Grobogan masih menyisakan misteri pemindahannya maupun misteri bangunan apa yang dulu berdiri di sini. Misteri ini belum terpecahkan. Apa menunggu Belanda datang untuk mengklaimnya?????
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Pariwisata Jombang bagian utara sedikit kurang diekspos. Padahal, wilayah bagian utara Ringin Conthong itu dulunya diduga merupakan bagian dari ibukota Kerajaan Mdang yang didirikan Mpu Sndok dan wilayah yang akrab dengan Prabu Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan. Salah satu peninggalan Sang Prabu bahkan masih ada dan menjadi ikon wisata Kecamatan Kudu ; Sendang Made.
Lokasi Wisata Sendang Made dapat dicapai dengan rute melintasi Jembatan Ploso, belok kanan dan lurus saja hingga kita menemukan papan penunjuk jalan menuju Desa Made dan Wisata Sendang Made.
Banyak penunjuk jalan ke lokasi, dan kita akan menyusuri jalan lapis beton yang bisa dilalui mobil sehingga tak perlu lagi berjalan kaki untuk mencapai tempat petilasan. Sebelum sampai di lokasi, kita akan melewati Makam Desa Made dan Makam Mbah Nodi.
Untuk memasuki lokasi wisata, pengunjung tidak dipungut biaya. Sebagai gantinya, kita hanya diwajibkan membayar biaya parkir kendaraan. Untuk mobil ditarif seharga selembar lima ribu rupiah dan bisa memarkir kendaraan di tengah lokasi wisata. Sedangkan untuk motor, bisa diparkir di halaman rumah juru kunci yang masih berada di dalam kompleks petilasan Sendang Made.
Memasuki lokasi wisata, kita akan disuguhkan pemandangan pepohonan tua yang akarnya begitu kokoh dan besar. Pepohonan ‘kuno’ itu tinggi menjulang, sehingga ranting dan dedaunannya menghalagi cahaya mentari menembus bagian bawahnya. Saat Jombang City Guide berkunjung cuaca benar-benar terik, namun terasa teduh dan sejuk karena naungan pepohonan di lokasi wisata.
Sendang Made berada di wilayah Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, sekitar 20 km dari titik nol Kota Santri. Lokasinya terletak di lereng Pegunungan Kendeng, dan berdampingan dengan Makam Desa Made. Kini Sendang Made menjadi ikon destinasi andalan Kecamatan Kudu sebagai wisata budaya dan sejarah petilasan Raja Airlangga.
Dinamakan sendang, karena ada banyak kolam di kompleks petilasan Raja Airlangga ini. Ada satu kolam utama berukuran sekitar 8 x 11 meter yang dinamakan Sendang Gede.
Ada kolam-kolam lain yang berukuran lebih kecil di sekitar Sendang Made. Setiap kolam bahkan punya nama sendiri-sendiri, yaitu :
Ada ikan yang hidup di dalam kolam-kolam yang tak pernah kering itu. Ikan-ikan itu tak boleh diambil dan diganggu serta punya mitos lengkap dengan cerita magisnya. Konon, ikan-ikan itu melambangkan perkembangan dan kondisi zaman. Katanya, bila terlihat hanya sedikit ikan dalam kolam tandanya zaman sulit. Sedangkan bila ikan terlihat banyak dan gemuk, maka pertanda murah sandang pangan.
Saat Jombang City Guide mampir, kondisi air tampak keruh, dan bahkan ada satu kolam yang tidak ada airnya. Hanya ada satu kolam yang berisi ikan koi. ikan di kolam terlihat banyak dan besar, namun tidak terlihat di kolam lain. Waaah.. kalau demikian pertanda apa ya???
Kolam-kolam tersebut dikuras secara berkala oleh para pengurus petilasan, dengan bergotong-royong bersama warga desa. Pengurasan kolam dilakukan secara manual, namun karena dilakukan secara bergotong-royong aksi bersih sendang ini berlangsung cukup singkat.
Akhir-akhir ini, peserta pengurasan kolam makin sedikit yang hadir. Bisa jadi karena perkembangan zaman, sehingga mulai menipisnya warga yang mempercayai berbagai mitos yang ada di Sendang Made. Selain itu, faktor teknologi juga menjadikan aktivitas kuras kolam menjadi lebih mudah karena didatangkannya mesin penguras kolam sehingga tak perlu lagi kehadiran banyak warga untuk melakukannya. Sungguh ini merupakan bukti bahwa tenaga mesin sudah mulai mengurangi peran tenaga manusia.
Sendang Made adalah situs petilasan bersejarah peninggalan Prabu Airlangga. Sendang Made berasal dari kata sendang yang artinya kolam dan Made yang merupakan nama desa dimana kolam-kolam yang tak pernah kering itu berada. Sendang Made dulu dikenal sebagai Dempo Madukoro, yang mungkin kemudian disingkat menjadi ‘dema’ dan dibalik menjadi Made yang lalu menjadi nama desa. Mungkin lho.
Namun dasar yang lebih kuat didapat dari kultur budaya Bali dimana Prabu Airlangga berasal. Sang Prabu yang berasal dari Bali dan nama Made identik dengan panggilan di Pulau Dewata. Made sendiri berarti kebesaran dan bisa juga diartikan pertengahan. Tak heran nama Made selalu menjadi sebutan anak kedua di Bali.
Tidak ada bukti apapun yang membuktikan bahwa Sendang Made adalah peninggalan Raja Airlangga. Namun Cerita turun-temurun sudah menjadi bukti paling kuat yang merujuk pada sejarah tempat ini. Ada kemungkinan Sang Prabu menggunakan nama ‘Made’ sebagai nama samarannya ketika dalam pelarian, yang kemudian menjadi asal-usul nama desa.
Awal ceritanya, Sang Raja yang merupakan seorang pangeran dari Bali ini sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dewi Sekarwati yang merupakan anak dari paman matrilinealnya. Ketika pesta pernikahan sedang digelar, tiba-tiba ada serangan dari tentara Raja Wura-Wuri dari Tulungagung. Sang Pangeran Bali dan pengantinnya lari ke pedalaman Made di Jombang ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan pengikutnya termasuk para dayang.
Pedalaman Made yang dipilih untuk lokasi persembunyian adalah lokasi Wisata Sendang Made sekarang. Dulunya, Desa Made adalah hutan belantara, sehingga lokasi ini dirasa cukup aman dari kejaran tentara Tulungagung yang memburunya. Lokasi itu kemudian menjadi rumah persembunyian Sang Raja.
Sang Prabu ditemani ‘asistennya’ Mpu Narotama dan para dayang hidup selama tiga tahun di Sendang Made. Selama masa pelarian ini Raja Airlangga menyamar menjadi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembuat kerajinan, pengrajin emas, dan sesekali berprofesi sebagai grup kesenian keliling.
Selain sebagai destinasi wisata sejarah petilasan Raja Airlangga, Sendang Made juga menjadi destinasi wisata budaya karena adanya ritual adat kungkum yang rutin dilakukan di Sendang Made. Kungkum yang dalam bahasa Jawa artinya berendam atau mandi di kolam, dulunya dilakukan oleh Raja Airlangga.
Sang Prabu dulunya sering melakukan nyepi di kolam ini. Aktivitas nyepi ini semacam meditasi yang dilakukan dengan mandi berendam dalam sendang. Kolam-kolam ini semacam ‘bath tube’ yang berfungsi sebagai tempat Sang Raja membersihkan diri, tapi dalam versi alami dan tradisionalnya. Bisa jadi, setelah mandi beliau tampak bersih dan segar setelah tandak ngamen keliling, sehingga penampilannya makin menarik dan makin laris sebagai pengamen.
Karena makin laris dalam aktivitasnya dalam tandak ngamen, masyarakat pun meyakini dengan melakukan ritual ini akan laris tanggapan seperti yang dialami Raja Airlangga saat menyamar menjadi pengamen. Selain itu keinginan Sang Prabu juga terpenuhi. Dari kisah ini akhirnya muncul tradisi kungkum yang digelar setiap tahun pada bulan Suro.
Ritual kungkum alias berendam ini kemudian menjadikan Sendang Made sebagai lokasi jujugan para sinden, atau siapapun yang ingin mendapatkan ‘kejayaan’ dalam karirnya. Dipercaya, siapa yang melakukan ritual kungkum di dalam kolam Sendang made akan mendapat apa yang diinginkan dan mitos-mitos itu seakan menjadi kenyataan. Menurut Mbah Supono Sang Juru Kunci, berendam dalam kolam hanya sebagai media. Meminta hajat tetap pada Allah Sang Pencipta, dan yang paling penting adalah keyakinan.
Orang-orang yang kungkum di Sendang Made umumnya memiliki harapan tersediri. Biasanya, orang yang ingin peningkatan dalam karirnya segera terwujud, atau dalang makin terampil dalam menggerakkan lakonnya. Para sinden juga kemari berharap suara sinden tersebut bisa semerdu istri Sang Prabu, yang diduga kuat berperan menjadi ‘vokalis’ Sang Raja saat menyamar menjadi pengamen keliling.
Ritual ini dilakukan sendiri oleh yang memiliki hajat dengan berendam (maaf) telanjang dalam salah satu kolam yang diinginkan, dengan didampingi oleh Sang Juru Kunci yang memandu dari di tepi kolam. Seluruh tubuh dicelupkan ke dalam air hingga tiga kali sambil berdoa meminta kepada Yang MahaKuasa. Banyak kepala desa maupun artis yang konon sudah melakukan ritual ini. Termasuk Inul Daratista yang kini sudah menjadi pedangdut papan atas tanah air.
Ritual ‘privat’ ini dilakukan tak hanya di siang hari, tapi juga tengah malam. Tak heran inilah mengapa Sendang Made buka 24 jam, mengingat banyaknya pengunjung yang ingin melakukan ritual dalam waktu tertentu sesuai amalan yang dipercaya mampu mengabulkan keinginan. Contohnya di malam kamis legi, lokasi ini pasti ramai oleh para peziarah yang mencari wangsit maupun berkunjung ke petilasan.
Sedangkan ritual ‘pelantikan’ sinden biasanya dihelat setahun sekali di Bulan Suro, dan dilakukan bersamaan. Seorang perempuan yang akan menjadi sinden, atau Sang Dalang dalam pementasan wayang harus dimandikan terlebih dahulu di Sendang Made, karena mengikuti aktivitas yang menjadi cikal bakal ritual yang dilakukan Raja Airlangga selama tergabung dalam grup kesenian keliling. Ritual mandi di Sendang Made adalah sebuah perlambang untuk terjun ke dunai seni tradisional dari berbagai macam profesi seni.
Kumkum sinden ini juga dilakukan untuk pembersihan jiwa semua pelaku seni agar selalu menghasilkan karya yang semakin baik. Selain itu juga sebagai bentuk penobatan profesionalisme, tujuan agar tidak terjadi kesenjangan diantara sesama seniman.
Biasanya ada puluhan sinden dan dalang yang hadir untuk ‘diwisuda’, yang bertujuan supaya suaranya makin merdu dan orderan manggung tak pernah surut. Ritual penglaris ini juga dipercaya membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda serta auranya terpancar. Beberapa orang meyakini, sinden yang pernah mandi di Sendang Made selalu tampak anggun dan mempesona.
Prosesi unik dimulai dengan mengguyur air sendang ke tubuh para peserta ritual. Dengan kebaya merah dan jarik, para sinden ini berjajar untuk melakukan ritual kungkum. Saat air sendang diguyurkan oleh tokoh masyarakat setempat, para calon sinden dan dalang dianjurkan berdoa meminta apa yang diinginkan kepada Yang MahaKuasa. Lalu dituangkan air yang sudah diberi doa ke dalam guci yang boleh dibawa pulang oleh para peserta pelantikan.
Setelah selesai dilantik sebagai sinden, para peserta penobatan dikalungkan selendang hijau yang menandakan mereka sudah sah sebagai sinden. Selendang hijau yang dikalungkan tampak kontras dengan kebaya merah yang mereka kenakan. Kebaya merah adalah jati diri mereka dan pengalungan selendang hijau sebuah perlambang para sinden ini resmi masuk dalam dunia seni tradisional. Merah dipadukan dengan hijau, sesuai dengan warna perlambang kota Jombang.
Destinasi wisata ini masih benar-benar alami dan kuno, sehingga masih banyak diperlukan penataan. Kolam yang ada di Kompleks Sendang Made masih terjaga dengan aman. Bangunan-bangunan tersebut juga dilarang untuk dirombak karena ada kepercayaan khusus yang masih dipegang teguh pengelola dan juru kunci. Entah apa tujuan dari pantangan ini, setidaknya dengan adanya larangan ini nilai historis dari Sendang Made masih terjaga.
Meski sudah ada ‘papan nama lokasi’ yang tanpa papan sebetulnya dan upaya pengelola untuk menghiasnya dengan sebuah spot selfie, bangunan kuno juga masih dipertahankan berikut bangunan yang diduga juga menjadi tempat peristirahatan Raja Brawijaya saat singgah, dan beberapa rumah kecil yang diyakini oleh sebagian orang sebagai makam.
Memang, di dalam kompleks Sendang Made dipercaya terdapat makam Dewi Pandansari yang merupakan keturunan Raja Brawijaya, meski Mbah No Sang Juru Kunci belum yakin benar atau tidaknya adanya makam itu. Namun kepercayaan yang sudah beredar luas ini menjadikan makan ini sebagai tempat pemujaan sekelompok orang. Di hari-hari tertentu, mereka membawa sesajen termasuk bunga dan kemenyan untuk diletakkan dalam makam.
Pak Supono atau Mbah No, merupakan juru kunci Sendang Made yang sudah bertugas sejak tahun 1980. Kediaman Mbah No berada di dalam kompleks Sendang Made, di dekat parkir motor. Pak Supono sudah berperan sebagai juru kunci Sendang Made ketika menginjak usia 20 tahun. Sejak menjadi juru kunci, entah mengapa Pak Supono kerap dipanggil dengan sebutan Mbah yang berarti Kakek, padahal usianya masih muda ketika itu.
Mbah No merupakan urutan ke-delapan para juru kunci Sendang Made. Juru kunci sebenarnya adalah peran yang diwariskan turun temurun, sedangkan Mbah No sebenarnya bukan keturunan juru kunci terdahulu. Beliau mewarisi peran Juru Kunci itu karena menikah dengan putri dari juru kunci sebelumnya.
Meski Mbah No bukan keturunan langsung dari para juru kunci sebelumnya, namun istimewanya Mbah No lah yang menemukan banyak pemikiran tentang Sendang Made. Pemikiran tersebut didapat dari tirakat yang dilakukan Mbah No dan menghasilkan sekelibat penampakan yang diyakini sebagai kehadiran Sang Raja dalam salah satu sendang.
Terdapat dua patung kecil yang berada di samping salah satu pohon di dekat kolam, di balik papan peringatan dari BPCP Trowulan ,tak jauh dari ‘papan nama lokasi’ Sendang Made. Dua patung ini berbentuk manusia dan dibalut selimut dan sesajen di sekitarnya. Kepercayaan animisme dan dinamisme kejawen sepertinya masih dipegang oleh sejumlah orang yang datang, dan patung-patung tersebut bisa jadi salah satu medianya.
Banyak artefak yang merupakan peninggalan raja airlangga di Sendang Made, seperti prasasti yang menandakan jika tempat ini sudah eksis sejak abad XI. Di beberapa kolam masih tampak batu bata kuno yang terbalut jamur berserakan di pinggir sendang. Jika memang demikian, berarti lokasi ini sudah berumur lebih dari seribu tahun.
Beberapa penelitian akademis sudah pernah dilakukan di Sendang Made, termasuk dari seorang mahasiswa dari universitas yang namanya berasal dari nama Sang Prabu yang dulu pernah mendiami lokasi Sendang Made ini. Btw Jombang City guide juga alumni lho… 😎
Adanya sarana pendukung seperti musholla dan toilet serta dua warung yang bisa digunakan oleh para pengunjung. Aneka jajanan dan mainan anak-anak yang dijajakan oleh pedagang di lokasi memastikan para pengunjung yang membawa putra-putrinya tak risau akan kebutuhan hiburan buah hatinya dan membuat tempat ini makin ramai.
Sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah, Sendang Made dilengkapi pendopo yang berfungsi untuk perhelatan acara pelantikan sinden maupun acara adat lainnya. Terkadang dihelat pula acara desa seperti perkemahan pramuka, workshop, seminar, bahkan lomba mewarnai anak TK Desa Made di sini.
Di samping pendopo, pengelola meletakkan dua replika papan nama jalan yang berisi nama jalan lucu yaitu Jalan In Dulu dan Jalan Bareng Yuk. Replika jalan ini merupakan salah satu pemanis dan bentuk kreativitas pengurus sebagai upaya meningkatkan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Sendang Made. ‘Penghias’ ini ditambahkan dalam lokasi untuk mengikuti arus perkembangan tren pariwisata yang didominasi generasi milenial yang selalu haus akan spot selfie yang instagramable.
Kini Sendang Made sebagai wisata sejarah, juga dilengkapi dengan sebuah spot selfie berupa Hiu. Hiu yang dipajang sebenarnya bukan hiu melainkan jenis Paus Pembunuh atau Paus Orca sebelumnya merupakan properti karnaval dari kerangka dan terpal yang kemudian diletakkan di Sendang Made sebagai tambahan penghias lokasi wisata.
Meski ada pantangan dilarang membuang sampah sembarangan di kompleks Sendang Made, tampaknya pengunjung zaman now agak abai terhadap larangan ini. Lokasi Sendang yang dulunya digadang-gadang sebagai tempat wisata yang bersih sepertinya sudah tidak relevan lagi. Tampak beberapa sampah berserakan di areal wisata, termasuk di dalam salah satu kolam yang tak berisi air yang malah dijadikan tempat membuang sampah oleh para pengunjung.
Wisata Sendang Made ini tergolong low budget tourism. Selain tempat masuknya gratis, pengunjung juga bisa berwisata sejarah dengan menikmati suasana tempat petilasan Sang Raja dan berwisata budaya dengan memahami nilai adat yang mengiringi keberadaan Sendang Made. Cocoklah untuk wisata tipis-tipis tapi multimanfaat. Ya rekreasi, ya belajar sejarah, ya mengenal budaya setempat.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Yoni Gambar berada di tengah hamparan sawah yang berada di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Yoni Gambar, disebut demikian karena lokasinya yang berkaitan dengan Mbah Gambar, yang dianggap sebagai sesepuh desa setempat. Berbeda dengan rekannya yaitu Yoni Badas yang diduga sudah diboyong ke Museum Nasional Indonesia, lokasinya Yoni Gambar masih In Situ, yang artinya masih berada di tempat aslinya.
Untuk mencapai situs Yoni Gambar ini, cukup mudah. Lebih mudah dari menemukan lokasi Situs Grobogan karena Yoni Gambar letaknya tak jauh dari Jalan Raya Mojolegi. Dari arah Jombang kota, kita menuju ke timur ke arah terminal Mojoagung yang ada adik kecil menara air ringin conthong itu. Dari terminal Mojoagung, belok kanan ke selatan, lurus saja hingga sampai Desa Japanan. Untuk berhati-hati supaya tidak kebablasan, kita bisa bertanya pada penduduk setempat. Nanti kita akan ditunjukkan belokan gang yang mana yang akan menuju langsung ke Yoni Gambar.
Akses jalannya sudah beraspal dan bisa dilalui mobil. Meski jalannya kecil, namun relatif sepi dan hanya dilewati oleh kendaraan roda dua dan anak-anak yang bermain layangan maupun sepedaan. Dari kejauhan, kita bisa melihat Yoni Gambar teronggok di tengah sawah. Berhubung yoni ini berada di tengah sawah, kita bisa memarkir kendaraan di depan pematang sawah yang menjadi jalan masuk Yoni Gambar.
Bagi yang tidak terbiasa mbrasak-mbrasak sawah, mungkin harus tabah menghadapi kenyataan karena kadang kaki tergores rumput atau ranting-ranting tajam yang dilewati ketika menuju lokasi. Jadi, celana jeans rasanya bisa menjadi pelindung kaki dari serangga sawah dan rumput-rumput yang bisa membuat betis gatal.
Yoni Gambar sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya di era orde baru. Lokasinya sudah diberi pagar dan dikelilingi oleh taman yang tampak terawat. Meski pagarnya sudah karatan di sana-sini, tampak lokasi ini cukup asri dan terawat, sehingga sangat recommended dijadikan destinasi wisata sejarah di Jombang selain Candi Rimbi, Situs Grobogan, Prasasti Tengaran dan Candi Mireng.
Dulunya di atas Yoni Gambar terdapat cungkup yang melindungi Yoni dari sengatan sinar mentari dan derasnya air hujan. Namun karena hempasan angin puting beliung yang sempat melanda daerah ini, cungkup tersebut kemudian roboh dan belum diperbaiki hingga kini. Pemerintah sudah berjanji akan membangun kembali cungkupnya, namun pembangunannya dalam dua atau tiga bulan ke depan masih sebatas janji yang belum direalisasikan.
Kondisi Yoni Gambar masih lebih baik dibandingkan peninggalan purbakala lainnya di Jombang. Selain dilengkapi taman sederhana yang cukup asri, Yoni Gambar sudah diberi pagar pembatas maupun papan nama yang lumayan berkarat. Lokasi Yoni Gambar pun sudah dilindungi oleh Balai Purbakala Trowulan, sehingga payung hukum perlindungannya sudah jelas.
Berbeda dengan nasib banyak peninggalan sejarah di Jombang seperti Situs Sugihwaras, Situs Pandegong, Situs Sukorejo, dan Situs Karobelah. Bahkan Situs Karobelah yang sudah jelas merupakan bagian dari Kota Raja, masih menunggu kepastian yang belum terlihat ujung penantiannya.
Secara umum, kondisi Yoni Gambar tampak masih sangat baik, terlihat hampir semua bagiannya tidak ada yang hilang selain lingga yang tidak diketahui di mana keberadaannya. Padahal, yoni selalu berpasangan dengan lingga yang biasanya diletakkan di cekungan yoni.. Lingga mempresentasikan Dewa Siwa sedangkan yoni melambangkan Dewi Parwati, istri Siwa.
Yoni adalah perlambang ibu, kesuburan dan bumi pertiwi yang diwujudkan dalam sebuah pemukiman. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat seperti yang diletakkan di bilik bangunan candi adalah bukti bahwa dulunya lokasi terkait adalah peribadatan berupa pemujaan sekaligus menandakan daerah tersebut termasuk wilayah yang subur.
Tak heran, pemilihan lokasi peletakan Yoni Gambar berada di tengah sawah yang masih sangat produktif. Umumnya, lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan candi. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa bangunan atau bersamaan dengan kompleks candi.
Yoni adalah sebuah obyek cekung atau berlubang yang berfungsi sebagai tempat menampung air suci berenergi dewa untuk minum maupun membasuh wajah para peziarah maupun pengunjung yang dipercaya membawa keberkahan. Air suci dibawa sendiri oleh pengunjung, yang berasal dari mata air bertuah dari titik-titik yang dipercaya sebagai air suci.
Kemudian air suci dituang ke dalam cekungan lalu mengalir melaui cerat dan mengucur lewat lubang cerat. Konsep ini mirip dengan rutinitas wudhu sebelum sholat, yang mungkin juga dilakukan umat hindu penduduk Majapahit sebelum melakukan peribadatan.
Fungsi yoni selain sebagai petirtaan air suci bisa juga sebagai pengukuhan tahta seseorang yang berjaya di suatu tempat. Kadang yoni juga berfungsi sebagai penanda peringatan suatu peristiwa penting misalnya sebuah kemenangan dalam perang.
Biasanya Yoni berbentuk bundar, namun umumnya yoni Indonesia berbentuk persegi dengan empat sudutnya. Di beberapa daerah di Indonesia, yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung dari batu. Ada kalanya yoni di nusantara menyimpang dari pakem lingga yoni, berbentuk tidak lazim, unik, maupun dilengkapi dengan ukiran yang detail seperti Yoni Gambar di Japanan, Mojowarno. Keunikan bentuk yoni bisa juga karena faktor yang berbeda-beda sesuai letak geografis dan situasi politik maupun fungsi yang melatarbelakangi pembuatannya.
Dulunya, terdapat bata merah berukuran jumbo khas bata kuno peradaban Majapahit yang berserakan di kanan dan kiri Yoni Gambar. Ukuran bata ini mirip dengan situs Sumberboto yang berada tak jauh dari lokasi Yoni Gambar. Kemungkinan, bata-bata merah jumbo tersebut adalah sisa pondasi kompleks situs.
Namun, karena ketidaksadaran akan perawatan benda cagar budaya, banyak penduduk mengambilnya untuk tambahan bahan pembangunan rumah atau dapurnya. Bisa jadi karena dijarah warga kompleksnya pun rusak dan kemudian strukturnya hilang. Meski tidak berada dalam kompleks situs atau pondasinya sudah hilang seperti dua yoni naga raja lainnya di Mojokerto, Yoni Gambar tetap termasuk yoni yang istimewa.
Keistimewaan Yoni Gambar terletak pada ukurannya yang merupakan yoni terbesar yang ditemukan di kawasan Majapahit. Dengan ukuran garis tengah badan sebesar 204 cm dan tinggi 133 cm, menjadikan yoni berbahan batu andesit ini makin spesial. Yoni Gambar memang begitu besar, hampir setinggi perempuan dewasa spesies nJombangan seperti Jombang City Guide.
Bentuknya tidak polos dan tak sekedar persegi sederhana seperti yoni-yoni segi empat yang berada di Badas, Pandegong dan Sukorejo. Yoni-yoni polos nan sederhana itu biasanya bukan bagian dari proyek kerajaan, tapi termasuk yoni setingkat pedesaan yang dimiliki oleh penduduk jelata.
Yoni Gambar memiliki bentuk kerumitan tingkat tinggi. Dari atas, Yoni Gambar ini berbentuk segi delapan dengan ukiran rumit di setiap sisinya. Segi delapan juga merupakan lambang Wilwatikta, yang juga masuk dalam logo kerajaan. Beberapa lambang ornamen bunga kecil berbentuk wajik berjajar rapi mengelilingi sabuknya.
Lubang bekas lingga di cekungan yoni tampak sedikit tergenang air, karena cungkup yang ambruk tak lagi menaungi yoni yang indah ini. Meski demikian, bagian cerat yang digunakan untuk tempat keluarnya air, masih utuh, tidak seperti yoni persegi yang tercecer di Mojoagung yang sudah kehilangan ceratnya.
Lubang ceratnya berhiaskan pahatan yang mengingatkan kita pada pola yang ada di reruntuhan Candi Rimbi, yang kemudian menginspirasi pembuatan motif batik khas nJombangan produksi Rumah Batik Sekar Jati.
Kepala naga yang menghiasi Yoni Gambar yang berada di bawah ceratnya bertahtakan mahkota, seakan perlambang keagungan Sang Raja dan sentuhan istana dalam pembuatannya. Naga raja adalah binatang mitologi jelmaan Dewa Wasuki dalam Kitab Mahabharata. Filosofinya, tubuh naga itu membelit Gunung Mandhara. Kedua ujungnya ditarik dewa dan raksasa, sehingga gunung itu berputar mengebor air kehidupan.
Yoni berhias Kepala Naga Raja adalah bukti paling akurat yang memungkinkan yoni ini dibuat atas perintah istana. Bentuknya yang besar, bersegi delapan dengan berhias ukiran dan kepala naga raja menandakan Yoni Gambar memiliki fungsi yang tidak sekedar sebagai peitirtaan air suci. Kesimpulannya, perintah raja dalam pembuatan yoni ini pasti memiliki tujuan khusus dan fungsi tersendiri.
Selain dekat dengan Situs Grobogan, menurut Laskar Mdang, lokasi Yoni Gambar pun tak jauh dari Candi Japanan dan Candi Ruk Rebah yang tinggal reruntuhannya saja. Dilihat kepala naga raja yang menghadap lurus ke Timur menggambarkan posisi hadap Yoni Gambar yang menghadap ke Timur. Disinyalir, arah ini menggambarkan nun jauh di sana yaitu arah Situs Sumberboto yang disebut Jentong oleh penduduk setempat.
Yoni Gambar adalah satu dari empat yoni cantik berhiaskan kepala naga raja yang ditemukan di Jombang dan Mojokerto. Empat Yoni itu adalah Yoni Klintorejo, Yoni Lebak Jabung, Yoni Gambar dan Yoni Naga Raja yang kini ada di Museum Nasional Indonesia yang diduga berasal dari Badas, Sumobito. Dua yoni pertama, berada di wilayah Kabupaten Mojokerto, sedangkan sisanya ditemukan di Jombang.
Nurhadi Rangkuti dalam penelitiannya melakukan survey berdasarkan sebaran penemuan benda purbakala peninggalan Majapahit. Keberadaan empat Yoni Kepala Naga Raja melambangkan empat penjuru mata angin yang kemudian menguatkan dugaan bahwa pembuatannya yang difungsikan sebagai tapal batas kota. Meski tidak tercantum dalam Kitab Negarakertagama namun diyakini Yoni Gambar diyakini sebagai tapal batas barat daya Kota Raja.
Keyakinan mengenai fungsi yoni-yoni cantik ini karena adanya jarak antar yoni yang hampir presisi. Jarak antara Yoni Klintorejo dengan Situs Yoni Lebak Jabung di bagian selatannya adalah 11 km. Sedangkan Jarak dari Situs Yoni Lebak Jabung ke Yoni Gambar di bagian baratnya adalah 9 km. Masing-masing jarak antar situs memiliki kemiringan 5 derajat. Berdasarkan jarak itu pula, letak tapak batas sisi barat laut diperkirakan terdapat di Kecamatan Sumobito tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas.
Titik terakhir yang menghubungkan Yoni Klintorejo dan Yoni Gambar di Badas-Sumobito ini sayangnya titik ini masih menjadi misteri. Bila ditarik garis lurus yang menghubungkan keempat yoni cantik ini, akan didapat bentuk segi empat yang disinyalir sebagai batas Kota Raja Majapahit yang disebut Madyopuro. Kota Raja Majapahit pun bisa diperkirakan dari jarak-jarak ini dan diestimasi berukuran sebesar 11 x 9 km, tanpa dibatasi tembok keliling.
Meski tidak tercantum di kitab manapun, perdebatan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota raja Majapahit ini masih belum usai. Bantahan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota Majapahit muncul ketika ditemukannya yoni yang juga berhiaskan kepala naga raja di Kediri.
Pak Rohmat, penduduk setempat yang kebetulan melintas ketika Jombang City Guide mengamati Yoni Gambar, beliau menyatakan bahwa menurut cerita penduduk setempat, situs Yoni Gambar ini adalah situs peninggalan Jaka Suruh. Jaka Suruh adalah salah satu tokoh yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi yang tak lain adalah Raden Wijaya, Raja pertama Majapahit.
Dari dua dasar diatas, Jombang City guide berpendapat, bisa jadi yoni naga raja di Kediri adalah tapal batas kota raja Kerajaan Kediri. Karena Raden Wijaya merupakan mantan ksatria Kerajaan Singhasari kemudian mencoba meng-copy adat dan budaya kerajaan pendahulunya. Ketika mendirikan Wilwatikta, Sang Prabu yang memimpin Majapahit kemungkinan memerintahkan pembuatan Yoni Naga Raja seperti di Kediri untuk dibuat di Madyopuro sebagai tapal batas Kota Raja dari kerajaan yang didirikannya.
Yoni Gambar juga disebut Yoni Sedah, sebuah nama yang disematkan karena yoni ini berada di Dusun Sedah. Asal usul nama Sedah ini juga masih menyimpan misteri. Nama ini mengingatkan kita pada Mpu Sedah, yang merupakan ayah angkat dari Arya Wiraraja, penasihat militer Raden Wijaya, Sang Pendiri Wilwatikta.
Bisa jadi Sang Mpu yang menulis Kitab Bharatayudha pernah mendiami wilayah ini atau berasal dari daerah ini, sebelum akhirnya ‘berkarir’ sebagai penasihat Raja Jayabaya dari Kerajaan Panjalu di Kediri. Kerajaan Kediri, adalah kerajaan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Singhasari yang kemudian berlanjut menjadi Kerajaan Majapahit. Sayangnya tidak ada catatan sama sekali mengenai asal-usul Sang Pujangga selain kisah percintaannya dengan permaisuri Sang Prabu Jayabaya.
Ada banyak spekulasi mengenai asal-usul dusun ini, namun terdapat kemungkinan lokasi ini dinamai Dusun Sedah karena kedekatan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja sehingga dusun ini dijadikan bentuk penghormatan atas jasa Sang Mpu.
Banyak peninggalan purbakala di Jombang yang terbengkalai karena Jombang hanya memiliki sedikit porsi di Trowulan. Padahal jika ditilik lebih lanjut, istana Kerajaan Majapahit letaknya ada di Jombang dan mayoritas benda-benda di Museum Trowulan berasal dari Jombang. Nanti ketika Museum Mpu Sindok sudah terwujud, mungkin akan diadakan pengembalian benda purbakala yang dari Jombang untuk pulang ke kota asalnya.
Ayo-ayo, sudah pernah kunjungi langsung Si Yoni Gambar yang cantiknya bukan main ini?? Wisata gratis yang murah dan edukatif. Napak tilas sejarah asal-usul Jombang juga lhow….
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Prasasti Tengaran berada di Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Karena terletak di Desa Tengaran, prasasti ini disebut Prasasti Tengaran. Selain itu, prasasti ini disebut juga Prasasti Geweg, karena dulunya, Geweg merupakan nama kuno Desa Tengaran.
Untuk mencapainya, dari Terminal Kepuhsari Jombang menuju ke utara. Lurus saja hingga menemui pertigaan, belok kiri. Setelah belok kiri, kemudian lanjut hingga ada pertigaan lagi belok kanan. Lurus saja sampai bosen hingga dua desa dilalui sampai jalannya hampir habis dan terlihat lintasan jalan tol Jombang-Mojokerto. Masuk gang terakhir di kanan sebelum jembatan lintas tol, lurus hingga ada pertigaan belok kiri. Lurus, hingga jalan mengecil menuju Makam Desa Tengaran.
Keberadaan Prasasti Tengaran masih in situ, artinya tetap di lokasi aslinya yang berada di tengah sawah dan dibatasi tembok pelindung yang dilengkapi pepohonan. Dulunya, lokasi ini adalah hutan belantara. Karena perkembangan zaman, akhirnya berubah menjadi sawah.
Untuk memasuki kompleks Prasasti Tengaran, kita harus menyusuri pematang sawah. Selama menyusuri pematang sawah yang diterpa cahaya mentari senja, tampak dari kejauhan lukisan alam Gunung Penanggungan, dan puncak Anjasmoro yang mempesona.
Karena akses jalan yang kecil, tidak ada lahan parkir di sekitar lokasi. Jombang City Guide memarkir kendaraan sebisanya, diantara lalu lalang pengendara motor yang menuju makam. Bagi yang mengendarai roda empat, mungkin harus waspada saat memarkir kendaraannya karena warga yang berlalu lalang dan resiko sisipan sangat mungkin terjadi.
Kompleks Prasasti Tengaran tak jauh dari makam desa, dan cukup dekat dengan Bangunan Rumah Kecil Makam Mbah Suro Sang Sesepuh Desa. Selain itu, lokasi prasasti ini juga tak jauh dari jembatan penghubung jalan desa yang dilintasi jalan tol di bawahnya. Saat berada di lokasi, kita bisa melihat kendaraan berlalu lalang melintas di jalan tol Mojokerto-Jombang.
Prasasti ini dibuat sebagai bentuk terima kasih Sang Raja pada warga setempat karena masyarakatnya sudah berjasa dalam proses pencarian putrinya yang hilang. Sehingga atas rasa syukur itu, Desa Tengaran yang dulunya bernama Desa Geweg dinobatkan sebagai desa sima yang memiliki keistimewaan bebas dari pajak.
Prasasti Tengaran terbuat dari batu andesit dan sudah berusia lebih dari 1000 tahun. Prasasti yang dijadikan tetenger desa ini, merupakan peninggalan Kerajaan Mdang periode Jawa Timur era Raja Mpu Sindok.
Ceritanya, Sang Raja beserta permaisuri dan anaknya melintas ke desa ini untuk menuju Gunung Pucangan. Beberapa kisah menyatakan Putri Sang Raja menghilang. Ada kisah lain yang menyatakan Sang Putri konon sedang bertapa di Gunung Pucangan, sehingga Mpu Sindok ingin berkunjung menengok anaknya. Kuat dugaan, putri yang dimaksud adalah Sri Isana Tunggawijaya, yang kemudian menggantikan ayahandanya.
Gunung Pucangan sendiri berlokasi jauh di seberang Sungai Brantas. Sungai Brantas ini begitu lebar dan alirannya begitu deras. Karena Sang Prabu kesulitan menyeberang, kemudian Mpu Sindok meminta pertolongan pada masyarakat setempat. Warga desa pun bahu membahu membuat perahu untuk Sang Raja beserta keluarganya sehingga bisa menyeberang sungai dan sampai di utara Kali Brantas.
Raja Mpu Sindok pun sangat berterimakasih kepada warga Desa Geweg atas pertolongan yang mereka berikan. Sebagai wujud terima kasih, Mpu Sindok pun memberi hadiah berupa tetenger tugu batu bertulis yang berisi penetapan Desa Geweg sebagai Desa Sima. Desa Sima adalah desa yang diistimewakan karena dibebaskan dari pajak.
Penetapan Desa Geweg sebagai daerah istimewa sima dilakukan tanggal 6 Paropeteng Bulan Srawana tahun 857 Saka, yang bila dikonversi ke dalam kalender masehi diperkirakan jatuh pada tanggal 14 Agustus 935 M.
Sang Raja memberi nama tugu tersebut dengan nama ‘Tengoro’ yang merupakan singkatan dari kata Tengah dan Oro-Oro. Tengoro artinya jauh dari pusat kerajaan atau jauh dari keramaian. Memang penamaan ini benar adanya karena letak Desa Geweg cukup jauh dari pusat ibukota Kerajaan Mdang yang diperkirakan berada di Tembelang dan Watugaluh, Diwek.
Tugu batu bertulis tersebut oleh warga kemudian disebut Gorit yang merupakan kependekan dari tugu digarit-garit. Tugu digarit-garit sendiri, berarti tugu yang terdapat guratan-guratan tertulis di permukaannya.
Tugu batu berukuran tinggi 124 cm dan lebar 78 cm bertuliskan aksara jawa kuno di kedua sisinya. Sisi pertama tertulis dalam 7 baris dan sisi kedua tertulis 16 baris yang dalam Bahasa Jawa Kuno menyatakan bahwa selama Mpu Sindok masih berkuasa, maka Desa Geweg bebas dari upeti. Selain itu juga dituliskan bahwa Mpu Sindok memimpin kerajaan dibantu permaisurinya, Dyah Kbi yang turut serta bersama Sang Raja menyeberangi sungai Brantas.
Karena berupa tugu batu, sehingga sering dijadikan masyarakat sebagai tengeran atau penanda sesuatu. Prasasti Tengaran kadang juga dijadikan acuan penanda lokasi, sekaligus semacam gapura. Menurut cerita penduduk setempat, dulu sebelum bertempur pasukan juga sering berkumpul dahulu di sini. Jadi semacam titik kumpul untuk bersiap-siap.
Ketika itu masyarakat tidak banyak yang bisa membaca tulisan, maka mereka hanya menyebutnya sebagai Tugu Tengeran atau Tugu Penanda. Tugu Tengeran menjadi tetenger kebanggaan warga Desa Geweg kala itu, karena merupakan hadiah dari Raja.
Desa Geweg pun terkenal karena jasanya pada Sang Raja, sehingga akhirnya ikon desa berupa Tugu Tengeran ini lebih terkenal dari nama desanya. Akhirnya untuk lebih mudah dikenali, Desa Geweg pun lebih sering dan dikenal sebagai dengan Desa Tengeran. Karena logat atau pengaruh Bahasa Indonesia, akhirnya nama desa ini kemudian menjadi Desa Tengaran. Desa Tengaran terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Tengaran dan Dusun Surobayan. Hingga kini, Desa Geweg merupakan bagian dari Desa Tengaran.
Pak Hadi selaku Juru Pelihara Situs Tengaran sekaligus juru kunci seluruh benda purbakala di Jombang adalah orang yang biasanya menjaga lokasi ini. Pak Hadi mengetahui banyak hal mengenai tempat dan lokasi ini, sehingga Jombang City Guide yang sedang berkunjung merasa senang sekali ketika berjuma dengan beliau.
Article courtesy: Jombang City Guide
Photo courtesy: Jombang City Guide
Kebanyakan dari kita tentu mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar, tentang seni Ludruk. Kesenian yang memiliki format pertunjukan sandiwara ini berasal dari Jawa Timur. Dan pastinya kita pun langsung berasumsi bahwa seni ludruk adalah sebuah pertunjukan hiburan yang humoris belaka. Hal ini dapat dimaklumi mengingat memang demikianlah ‘image’ ludruk masa kini dalam perspektif kebanyakan masyarakat kita.
Namun jika ditelaah lebih jauh mengenai sejarah perkembangannya, ternyata seni ludruk pernah menjadi instrumen perlawanan rakyat jelata atau wong cilik terhadap kekuasaan baik semasa era feodalisme Jawa, kolonialisme Eropa maupun fasisme Jepang. Pada masa-masa itu, ludruk menjadi wadah pelampiasan kekesalan dan kemuakan rakyat terhadap penindasan kekuasaan, ketika rakyat merasa tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara frontal. Ludruk menjadi sebuah seni pertunjukan yang menentang arogansi kekuasaan kaum feodal dan kolonial secara sarkastik.
Sejarah Seni Ludruk
Bila meninjau sejarah, terdapat dua versi sejarah kemunculan ludruk. Salah satu versi menyatakan bahwa ludruk merupakan kesenian rakyat yang berasal dari daerah Jombang. Sementara versi lainnya menjelaskan bahwa ludruk pertama kali muncul di kota Surabaya. Beberapa versi juga menjelaskan asal muasal dari nama ludruk. Dikatakan bila istilah ‘ludruk’ berasal dari pertunjukan yang diadakan tukang lawak atau badut yang berkeliling dari rumah ke rumah sambil menari dengan menghentakkan kakinya ke tanah sehingga menimbulkan suara “gedruk-gedruk”. Dari sinilah nama ludruk kemudian digunakan.
Tidak diketahui secara pasti pada masa apa sesungguhnya kesenian ludruk itu muncul. Bagi pihak yang meyakini bahwa seni ludruk lahir di Jombang, menurut mereka ludruk muncul di awal abad 20. Seni ludruk berawal dari seni pertunjukan yang diisi lantunan syair dan tetabuhan sederhana. Pentas seni tersebut dilakukan secara berkeliling dari rumah ke rumah ataungamen. Para pemainnya yang seluruhnya laki-laki mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias sedemikian rupa seperti badut. Oleh sebab itu masyarakat menamai para pemain kesenian itu sebagai Wong Lorek, yang dikemudian hari berubah menjadi Lerok dan digunakan untuk menamai seni pertunjukan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, seni lerok berubah nama menjadi seni ludruk.
Sementara versi lainnya menyatakan bahwa cikal bakal seni ludruk sebenarnya telah ada sejak masa Kerajaan Kanyuruhan di Jawa Timur pada abad 8 (S.Wojowasito, 1984). Sebagai buktinya, ada peninggalan peradaban abad 8 berupa Candi Badut yang dipercaya sebagai peninggalan para seniman badut masa itu. Lalu apa kaitan badut dengan ludruk? Merujuk pada kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk dapat diartikan sebagai Grappermaker atau badutan. Jadi, pada masa itu ludruk atau badutan merupakan pertunjukan rakyat yang sifatnya humoris namun memiliki nuansa perlawanan terhadap kekuasaan dan kebudayaan adiluhung milik kalangan elit kerajaan.
Nuansa perlawanan seni ludruk pun berlanjut dimasa penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai tema cerita yang mengobarkan semangat perlawanan dan rasa kebencian rakyat terhadap penguasa kolonial dipentaskan oleh banyak grup ludruk. Kisah-kisah semacam “Sarip Tambak Oso” dan “Sakera” yang mengangkat cerita heroisme rakyat Jawa Timur dan Madura dalam melawan VOC Belanda amat populer dimasa penjajahan.
Salah satu tokoh seniman ludruk yang senantiasa mempropagandakan nilai-nilai nasionalisme dan anti kolonialisme adalah cak Durasim. Beliau mendirikan sebuah organisasi ludruk pada tahun 1933 yang bernama Ludruk Oraganizatie (LO). Organisasi Ludruk ini populer di kalangan rakyat karena keberaniannya dalam mengkritik imperialis Belanda maupun Jepang. Perjuangan cak Durasim dan kawan-kawan berujung pada penangkapan dan pemenjaraan mereka oleh penguasa fasis Jepang sebagai akibat lirik kidungan Jula Juli yang dilantunkan grup cak Durasim pada sebuah pementasan. Kidung tersebut memuat lirik yang menyinggung pemerintah Jepang yakni, “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”. Konon cak Durasim disiksa oleh Jepang hingga wafat dalam tahanan.
Pada masa kemerdekaan, ludruk menjadi alat propaganda berbagai partai politik, seiring dengan kontestasi politik yang kencang baik dimasa demokrasi liberal tahun 1950-an maupun masa demokrasi terpimpin tahun 1960-an. Namun, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Lekra lah yang paling gencar mengakomodasi ludruk sebagai instrumen perjuangan ideologis. Hal ini terkait dengan landasan perjuangan PKI dan Lekra yang ingin mengangkat seni budaya rakyat sebagai alat perjuangan melawan dominasi kebudayaan imperialis yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Perjuangan PKI di lapangan kebudayaan tersebut seiring dengan politik anti nekolim yang digelorakan Presiden Soekarno ketika itu. Grup ludruk dibawah naungan PKI yang paling populer adalah Ludruk Marhaen yang pernah pentas diistana negara sebanyak 16 kali.
Menyusul kejatuhan Bung Karno dan penumpasan kekuatan politik kiri pasca tragedi 1965, seni ludruk pun mengalami masa-masa sulit. Rezim militer Orde Baru mengekang bahkan melarang pementasan ludruk selama beberapa waktu. Ludruk diidentifikasi sebagai seni komunis yang lekat dengan Lekra. Di awal dekade 70-an, ludruk kembali diizinkan untuk eksis oleh pemerintah namun dengan pengawasan dan pembinaan yang ketat oleh pihak militer. Di berbagai daerah terjadi peleburan dan pembentukan grup-grup ludruk dengan supervisi yang mutlak dari struktur komando teritorial militer. Esensi seni ludruk yang awalnya merupakan wadah perlawanan rakyat terhadap penguasa pun berangsur hilang. Ludruk beralih menjadi alat propaganda berbagai program pemerintah Orde Baru seperti Repelita maupun Keluarga Berencana (KB).
Ludruk di Masa Kini
Setelah reformasi, seni ludruk kembali independen dari kekangan aparatur ideologis kekuasaan. Namun terjangan mekanisme pasar juga berdampak pada makin lunturnya nilai-nilai kerakyatan dan heroisme dari seni ludruk. Ludruk hanya menjadi seni hiburan yang mengundang gelak tawa penonton belaka, tanpa ada tujuan yang jelas dari cerita yang dipentaskan. Faktanya, memang masih ada kisah-kisah yang bermuatan kritik sosial dilakonkan dalam seni ludruk masa kini, tetapi ‘roh’ dari seni ludruk sebagai alat perlawanan wong cilik terhadap imperialisme seringkali tidak muncul pada kebanyakan pertunjukan ludruk kini. Situasi faktual yang menunjukkan terancamnya nasib jutaan kaum Marhaen negeri ini oleh sistem imperialisme baru, menuntut kita untuk mengembalikan seni ludruk pada ‘khittahnya’ sebagai “penyambung lidah” wong cilik.
Penulis: –
Article courtesy: sejarahri.com
Photo courtesy: youtube.com
Tumbuh dan besar pada zamannya ada di daerah pedesaan membuat saya akrab dengan banyak sekali permainan tradisional. Ya jauh dari sentuhan teknologi, yang membuat kami bergerak dan fisik terlatih, yang membuat kami secara intens berinteraksi satu sama lain. Permainan tradisional ini sering sekali saya mainkan bersama teman-teman ketika sore hari atau ketika libur sekolah.
Gedreg
Gedreg adalah permainan dengan menggunakan bidang tanah atau lantai. Kami akan membuat bidang berupa segi panjang dengan menggunakan kapur atau apapun. Nah, kemudian kami menggunakan pecahan genteng yang disebut dengan kreweng. Cara mainnya adalah pecahan genteng tersebut kami letakkan di kotak awal start, kemudian dengan kaki kami mendorong kreweng tersebut ke kotak lainnya sampai kotak finish. Geseran kreweng tidak boleh lompat keluar dari kotak berikutnya. Nah, setelah berhasil sukses finish, maka kami akan diberi kesempatan untuk melemparkan kreweng ke bidang kotak tersebut dari belakang, jadi kami membelakangi bidang tersebut. Kotak yang mana kreweng yang kami lempar jatuh, maka akan menjadi milik kami kotak tersebut. Kotak ini tidak boleh dilewati oleh pemain berikutnya. Artinya geseran kreweng harus melewati kotak milik orang lain.
Obak sodor
Obak sodor juga menggunakan tanah atau lantai sebagai bidang. Kami dibagi menjadi 2 tim dengan masing-masing beranggotakan beberapa orang. Ada orang yang jaga dan ada orang yang berlari. Orang yang jaga adalah mereka yang harus menjaga agar lawan tidak bisa melewati kotaknya. Lawan yang terkena sentuhan tangan maka dia akan mati. Sedang yang bisa finish semuanya akan tiba giliran menjadi penjaga. Permainan ini akan diulangi sampai ada tim yang anggotanya “mati” semua.
Dakon
Dakon dilakukan dengan menggunakan bidang, lubang, kotak atau semacamnya serta biji atau kerikil sebagai tambahan. Masing-masing bidang akan diberi kerikil atau sejenisnya dengan jumlah yang sama. Pemain akan mulai dari kotak start pertama dan akan berpindah kotak dengan memberi/ meninggalkan satu biji di tiap kotak yang dilalui dan akan berakhir sampai biji terakhir. Ini yang namanya duak. Duak ini adalah ketika kamu mendapatkan biji terakhir entah berapapun jumlanya. Jika di kotak yang berlawanan ada biji, maka itu juga akan menjadi kepunyaamu. Permainan diulangi dan yang menang adalah yang memiliki biji terbanyak di akhir permainan.
Bekel
Bekel sebenarnya adalah permainan anak perempuan namun kadang-kadang dimainkan anak laki-laki juga. Perangkatnya adalah berupa bola karet dan beebrapa semacam biji yang terbuat dari logam. Cara mainnya adalah bola dilambungkan dan sampai memantu lantai. Ketika memantul maka kamu harus meraih biji tersebut dan langsung mengambil bola karet sebelum bola tersebut memantul kedua kali. Total biji yang ada di setiap permainan adalah sekitar 6. Nah, setelah kamu ambil satu per satu, maka kamu ulangi sekali ambil dua, tiga, dan seterusnya. Pemain yang menang adalah yang bisa mengambil semua biji tersebut sampai senam sekaligus sekali pantul.
Pasaran
Namanya juga pasaran. Ya isinya adalah berupa mainan bahan-bahan pangan atau kebutuhan sehari-hari. Bahan-bahan pangan ini tentu bukan suatu yang asli namun dibuat dari daun, batang atau lainnya dari alam. Misalnya daging, adalah dibuat dari inti batang pisang, minyak sayur dibuat dari perasan daun waru muda, mie dibuat dari daun mangkok yang dicincang-cincang, dan lain sebagainya. Nah semuanya menggunakan alat sederhana termasuk piring yang dibuat dari daun mangkok atau daun pisang. Pasaran ini seru sekali. Anak-anak kecil ini berlaku seolah-olah sudah dewasa dan sudah mahir urusan dapur ehehe.
Obak Jompret
Obak jompret artinya sembunyi dan ditemukan. Pemain akan suit dan yang kalah akan menjaga. Nah, setelah yang jaga matanya ditutup dan berhitung beberapa saat, maka pemain lain akan sembunyi. Penjaga harus menemukan satu per satu sembari menjaga ‘rumahnya’. Apabila menemukan yang bersembunyi maka dia harus buru-buru memegang ‘rumahnya’ jika yang ditemukan lebih dulu maka dia bebas dari kemungkinan menjadi penjaga berikutnya. Mereka memegang ‘rumah’ tersebut dengan bilang “jompret!”
Benteng
Benteng adalah permainan yang terdiri dari dua tim dimana setiap orang dalam tim harus melindungi bentengnya dari lawan sembari menyerang benteng lawan. Pemenang adalah mereka yang berhasil memegang benteng lawan, bisa berupa pohon, tiang, dan sebagainya. Nah, jika dalam penyerangan itu kamu tertangkap maka dia akan menjadi tawanan. Tawanan ini bisa dibebaskan oleh musuh dengan memegang tawanan yang ditempatkan di benteng musuh. Pemenang adalah yang bisa memegang benteng lawan terlebih dulu.
Dulinan Tali
Ya ini permainan lompat tali karet. Karet disambungkan satu persatu menjadi banyak dan panjang dan kemudian dipegang oleh dua orang masing-masing di sisinya. Dibentangkan panjang dan kemudian ada anak lain yang melompat dari satu sisi ke sisi lainnya. Di permainan ini sepertinya tidak ada kalah atau menang, yang ada adalah naik level. Semakin naik levelnya maka tali akan makin ditinggikan mulai dari selutut, sepinggang, sedada, sekuping dan seterusnya. Adapun lompatan ada dua yakni lompatan biasa dan lompatan menyilang. Selain itu ada juga menggaro yakni melompat di tali secara terus menerus sampai capek lompatan terakhir. Biasanya menggaro ini adalah untuk rekor paling banyak/ banyak-banyakan.
Egrang
Egrang adalah batang bambu atau kayu yang dibuat semacam pegangan dan pijakan di kaki dan digunakan untuk berjalan. Egrang ini diinjak pada bagian injakan dan kedua tangan memegang bagian atasnya. Bermain egrang membutuhkan focus dan keseimbangan.
Nekeran
Nekeran adalah permainan menggunakan kelereng. Biasanya kami membuat lingkaran yang kemudian di tengahnya kami beri kumpulan kelereng. Setiap orang memberi jumlah kelereng yang sama kemudian tiap orang memiliki giliran untuk menembakkan kelereng ke lingkaran tersebut. Kelereng yang terpencar ke luar akan menjadi milik si penembak.
Wok-wokan
Ini juga permainan menggunakan kelereng. Pertama akan dibuat lubang-lubang di tanah kemudian kelereng akan dilemparkan ke dalam lubang tersebut. Kelereng yang masuk lubang satu akan berlanjut dibidik ke lubang berikutnya. Demikian sampai selesai. Yang menang adalah yang berhasil finish terlebih dahulu.
Mahkota-Mahkotaan
Ini saya agak lupa dengan namanya. Yang jelas adalah dengan menggunakan daun lamtoro. Daun lamtoro dibuang hanya disisakan batang yang paling ujung saja. Kedua batang daun diikat kemudian diadu satu sama lain. Pemenangnya adalah yang berhasil mempertahankan ikatan tersebut karena yang kalah maka ikatan akan tercabuk ke pemenang. Disebut dengan mahkota karena pemenang bentuknya akan mirip mahkota.
Cublek-Cublek Suweng
Permainan ini dilakukan dimana satu orang duduk membungkuk sedang yang lainnya meletakkan satu telapak tangan masing-masing di bagian punggung. Satu anak akan membawa biji atau satu benda kemudian mereka menyanyi lagu cublek-cublek suweng. Benda tersebut akan diputar dari satu tangan ke tangan lain. Nah ketika lagu berhenti maka semua anak akan menggenggam tangannya. Anak yang membungkuk tadi harus menebak sekali dimana biji tersebut disembunyikan/ di anak mana. Nah jika salah maka dia harus mengulangi lagi. Jika benar, maka anak yang menyembunyikan tadi yang harus membungkuk.
Poin
Poin adalah permainan ketangkasan dengan menggunakan kreweng/ pecahan genting dan bola kasti atau bola tenis. Kreweng disusun tegak berdiri vertikal. Ada 2 tim, tim pertama adalah penjaga kreweng kedua adalah penyerang. Penyerang kreweng ini akan meluncurkan bola di atas tanah atau lantai dan ketika bolanya mengenai susunan kreweng dan kreweng akan tercerai berai. Penjaga kreweng ini yang harus menyusunnya kembali. Nah penyerang ini yang harus memukulkan bola kasti ke arah anak-anak penjaga kreweng. Siapa yang kena bola maka akan mati. Jika kreweng bisa tersusun lagi seperti semula, maka tim penjaga yang akan menang. Begitu pula sebaliknya.
Dulinan Karet
Ini adalah bentuk permainan karet yang lain. Jadi anak-anak akan memasang kayu atau bambu di tanah. Kemudian anak-anak dari jarak yang sudah ditentukan. Nah, di tiap bambu tadi sudah diberi karet yang lain dengan demikian maka anak yang bisa memasukkan karet ke dalam bambu tadi akan mendapatkan karet yang ada di dalamnya. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Layangan
Layangan atau dalam Bahasa Indonesianya adalah layang-layang. Layang-layang di daerah saya bentuknya bisa dibilang sangat konvensional atau umum. Nah yang membedakan adalah jenis senarnya. Senar yang pertama adalah senar biasa sedang senar yang kedua adalah gelasan. Gelasan ini artinya adalah senar yang sudah dilapisi oleh serpihan kaca sehingga tajam. Senar gelasan ini yang biasanya digunakan sebagai adu layangan. Layangan yang putus biasanya dikejar anak-anak dan yang dapat akan memiliki layangan tersebut.
Ulo-Uloan
Jadi anak-anak akan berkumpul dan berdiri membentuk barisan menyerupai ular dari kepala sampai ekor. Nah ada satu orang yang akan berupaya untuk memegang ekor ular tersebut. Nah si ular ini harus berupaya menghindar sebisa mungkin. Saya agak lupa bagaimana teknisnya permainan ini.
Benthek
Benthek adalah permainan dengan menggunakan potongan kayu. Biasanya kayu yang digunakan adalah kayu yang ringan. Potongan pertama lebih pendek dan kedua lebih panjang digunakan sebagai tongkat pemukul. Di tanah, pertama dibuat lubang dan kemudian potongan kayu yang pendek diletakkan sehingga membentuk sudut kira-kira 45 derajat. Dengan potongan kayu panjang ini kamu pukul potongan kayu pendek sehingga dia terlempar sejauh mungkin. Pemenang adalan yang bisa melempar paling jauh.
Ninja-Ninjaan
Ini sebenarnya semacam perang-perangan. Dengan menggunakan sarung, kami membuat topeng ala ninja, topeng yang sederhana. Kemudian kita bersembunyi dan saling menemukan atau menyerang satu sama lain.
Drakula-Drakulaan
Pertama ditentukan siapa yang akan menjadi drakula melalui suit. Yang kalah suit akan menjadi drakula. Lantas di tanah akan dibuat lingkaran besar. Nah anak anak lainnya akan berada di lingkaran ini. Si drakula di awal akan mengetuk pintu:
‘Thok thok thok thok. Permisi” kata drakula
“Siapa ini?” tanya penghuni rumah
“Aku tetangga sebelah” jawab drakula
Kemudian penghuni rumah membuka pintu dan alangkah kagetnya dia ketika yang datang adalah drakula. Seketika itu pula dia langsung menutup pintu dan drakula kemudian berlari mengitari lingkaran dan berusaha memegang salah satu penghuni rumah. Penghuni rumah yang terpegang akan menjadi drakula selanjutnya.
Sifatnya yang membumi membuat ludruk disukai banyak orang. Sayang, kesenian tradisional yang sempat populer pada 1960-an hingga 1980-an itu kini telah mati suri.
Saking populernya ludruk pada era tersebut membuat sejumlah orang tertarik melakukan penelitian mengenai ludruk. Salah satunya ialah antropolog James Peacock yang melakukan riset pada 1963 hingga 1964.
Berdasarkan hasil risetnya, ludruk telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Saat itu, masyarakat mengenal yang namanya ludruk lyrok dan ludruk bondan. Pada abad ke-20, muncul pula ludruk Besut yang menampilkan pemain dagelan bernama Besut serta seorang waria yang menari. Di tahun 1920, dua pemain ludruk bisa memainkan tiga peran dalam sebuah cerita. Kemudian ada pula ludruk Besep yang melibatkan empat pemain.
Kelahiran ludruk di Jawa Timur dianggap sebagai perlawanan terhadap seni pertunjukan ala keraton seperti wayang dan ketoprak lahir serta berkembang di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika seni pertunjukan ala keraton bertema elite dan menggunakan bahasa halus, ludruk justru mengangkat kisah sehari-hari dan menggunakan bahasa yang lebih kasar. Hal ini seirama dengan karakter Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur. Surabaya merupakan pusat perdagangan, industri dan politik yang masyarakatnya kurang menekankan pada titel dan adat istiadat.
Derasnya perputaran arus ekonomi dan politik di Surabaya berdampak pula pada pola kebudayaan di Surabaya yang cenderung terbuka, heterogen, egaliter, bahkan tak jarang “kasar”. Ludruk dianalogikan sebagai sebuah “ritus modernisasi” yang membantu gerak peralihan dari hal-hal berbau tradisional ke modern.
Ludruk biasanya dipentaskan mulai pukul 10 malam hingga pagi sehingga para pemain dituntut memiliki stamina tinggi. Tak heran bila ludruk biasanya hanya dipentaskan kaum pria atau waria. Pementasan ludruk biasanya dimulai dengan atraksi tari Remo, lalu Bedayan yang merupakan joget ringan. Setelah itu dilanjutkan dengan dagelan yang menyuguhkan sebuah kidung. Kemudian barulah masuk ke lakon yang merupakan inti pementasan.
Seni pertunjukan Jawa Timur ini mencapai popularitasnya pada 1963-1964, terlihat dari banyak grup ludruk yang mencapai 594. Sayang, sejak 1980-an popularitasnya terus menurun. Bahkan, Kartolo, seniman ludruk terkenal pun mulai meninggalkan dunia ludruk pada 1985. Hingga kini, belum ada seniman lain yang mampu menyamai kemampuannya.
Saat ini ludruk juga telah mati suri akibat ditinggalkan para penggemarnya. Seniman-seniman ludruk di Surabaya pun satu persatu meninggalkan dunia ludruk. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, Widodo Suryantoro, mengatakan seniman ludruk yang masih eksis kebanyakan berasal dari luar Surabaya.
“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil. Tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” ungkap Widodo.
Padahal Pemerintah Kota Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pelestarian ludruk, termasuk di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR). Namun, pertunjukan ludruk di THR selalu sepi penonton. Untuk membangkitkan kembali popularitas ludruk, masyarakat pun kini dimintai pendapatnya.
Anda punya saran untuk membangunkan ludruk dari mati suri? (*)