Jombang – Kesenian Sandur Manduro di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, yang sudah berusia ratusan tahun, tetap bertahan hingga kini. Pemain dan penerusnya pun masih menjaga kelestarian cerita dan topengnya.
Sebuah rumah di Dusun Guwo, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh menjadi saksi. Hanya di rumah milik Warito ini, topeng-topeng Sandur Manduro dan alat pementasannya disimpan.
Keranjang kotak besar kusam, juga jadi saksi karena sebagai tempat menyimpan delapan topeng berwajah manusia. Topeng Klono, Topeng Bapang, dua Topeng Panji dan dua Topeng Ayon-ayon diletakkan lengkap dengan beberapa aksesori sayap dan gelang.
Selain itu, ada sebuah karung, meski bukan karung yang berusia ratusan tahun, namun isi di dalamnya juga topeng kuno. Topeng Jepaplok, Manuk, Celeng dan Topeng Sapen yang mewakili hewan macan, burung, babi dan sapi disimpan di karung ini. “Kalau alat musiknya juga ada di dalam, disimpan juga,” ucap Warito kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Menurut Warito, topeng-topeng ini kondisinya masih terawat hingga kini. Meski mulai terdapat beberapa kerusakan, ia mengaku tetap menggunakan topeng ini untuk pentas setiap kali ada tanggapan. “Semuanya masih asli, khususnya pada topengnya ini, ini sejak buyut masih dipakai. Jadi dulu dari buyut, ke mbah, ke bapak saya kemudian ke saya ini, saya turunan ke empat yang melanjutkan,” lanjutnya.
Maklum, kesenian yang kini dipimpinnya ini adalah satu dari dua kesenian Sandur Manduro yang hingga kini bertahan. Sayang, satu kelompok memilih berhenti beroperasi dan menjual seluruh topeng lamanya.
“Ya kan dulu sempat sepi sekali, mati suri lah istilahnya, jadi awalnya ada dua, kemudian yang satu dijual, tapi karena saya dapat pesan untuk tidak boleh menjual, ya saya pertahankan sampai sekarang,” lanjutnya. Hal inilah yang membuat keseniannya ini masih orisinil hingga kini.
Selain topeng, yang hingga kini masih dipertahankan adalah jalan cerita dalam Sandur Manduro. Warito menyebut, kendati bisa dilakukan variasi pada beberapa titik pementasan, secara umum pementasan Sandur Manduro pimpinannya tak berubah sejak dulu.
Pertunjukan biasanya diawali dengan Tari Klono, dilanjut dengan Tari Bapang, Tari Gunungsari, Tari Panji dan Ayon-ayon. Ditutup dengan lawak pada bagian sapen. “Nah di bagian sapen ini yang ada improvisasinya biasanya, lainnya tetap karena kan pakem, dan pamakai topeng tidak berdialog,” tambah mantan Sekdes Manduro ini.
Hanya yang berubah, pada sisi pemakaian bahasa. Karena yang mengundangnya tak melulu dari Desa Manduro yang biasa memakai Bahasa Madura, Warito menyebut bahasa dalam pertunjukan pun seringkali disesuaikan dengan wilayah pengundang.
“Jadi kalau yang mengundang dominan Jawa ya pakai Bahasa Jawa. Kalau pengundangnya orang Manduro ya pakai Bahasa Madura. Tapi tetap tidak merubah jalan cerita, karena ini sudah pakem dan diwariskan,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, warga Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang merupakan keturunan orang Madura, yang sejak ratusan tahun lalu hijrah ke Jombang. Setelah berhasil mbabat alas di Kecamatan Kabuh, mereka menamakan desanya Desa Manduro. Saat ini sebagian warganya masih menggunakan Bahasa Madura. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Salah satu produk industri rumahan yang dimiliki Kabupaten Jombang adalah IKM tahu bulat. Zaenal Abidin, 63, warga Dusun/Desa/Kecamatan Ploso sudah 20 tahun lebih menggeluti usaha rumahan ini. Hingga kini masih eksis.
Tak sulit menemukan rumah produksi tahu bulat milik Zainal. Lantaran rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter dengan bibir tanggul sungai Brantas.
Zaenal memanfaatkan sisa lahan kosong di belakang rumahnya untuk tempat memproduksi tahu bulatnya.
Kepada Jawa Pos Radar Jombang, dia pun menceritakan awal mula dia memproduksi tahu bulat yang sudah dirintisnya sejak 1990. “Jadi ini kan sebenarnya sisa dari irisan tahu goreng. Ternyata kok peminatnya banyak, jadi kita teruskan sampai sekarang,” terang Zaenal.
Menurut zaenal, proses pembuatan tahu bulat terbilang cukup mudah. Mula-mula potongan tahu yang tak simetris dikumpulkan dalam sebuah karung. Setelah terkumpul, potongan-potongan tahu itu kemudian diperas untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat pada potongan tahu.
Untuk proses ini, Zaenal memanfaatkan sejumlah bongkahan batu. “Ini untuk memeras air dalam tahu. Sebab, kalau untuk tahu bulat kan airnya harus sedikit, biar mudah dibentuk,” lanjutnya.
Proses ini memakan waktu sekitar dua jam. Sebab, dia harus memastikan kandungan air dalam potongan tahu benar-benar keluar.
Proses selanjutnya, yakni menghaluskan potongan dengan cara digiling. Hal ini dilakukan agar teksturnya menjadi lebih empuk. “Setelah proses penggilingan selesai, baru kemudian diberi bumbu, biar rasanya tidak hambar. Sebab, tahu bulat ini kan makanan camilan,” sambung Zaenal.
Untuk bumbu ini, Zaenal bener-bener menaruh perhatian. Sebab, jika racikan bumbunya maksimal, maka akan menghasilkan tahu bulat yang istimewa. Sejumlah bahan bumbu di antaranya, garam, hingga beberapa bumbu lainnya yang dia rahasiakan. ”Bumbu ini menentukan rasa. Jadi harus dari bahan pilihan,” bebernya.
Selanjutnya, keseluruhan bumbu tersebut dicampur pada adonan tahu dan diaduk hingga seluruhnya merata. Baru setelah itu, proses selanjutnya dibentuk menjadi bulatan-bulatan.
Prosesnya pun masih serba manual. Hanya mengandalkan tangan kosong, sedikit demi sedikit adonan tahu diputar-putar pada bagian permukaan piring hingga membentuk bulatan-bulatan. Besar kecilnya tergantung selera. “Biasanya kita buat dua macam ukuran. Ada ukuran besar dan kecil, setelahnya tinggal proses penggorengan,” lontarnya.
Dibantu istri, anak dan satu karyawannya, setiap harinya rumah prosuksi Zaenal bisa menghasilkan tiga keranjang besar tahu bulat. Untuk pemasaran produknya, Zaenal sudah punya sejumlah langganan tetap di sejumlah pasar.
Harga tahu bulat Zaenal cukup terjangkau. Untuk satu plastik berisi 10 butir tahu bulat, biasa dijual Rp 2.500 untuk tahu berukuran kecil. Dan untuk tahu bulat ukuran besar dipatok harga Rp 5.000. ”Jual ke pasar, kadang juga ada orang yang pesan untuk hajatan juga,” singkatnya.
Jumlah IKM Tahu Bulat Ploso Terus Menyusut
PADA 1990 an, wilayah Dusun/Desa/Kecamatan Ploso bisa dikatakan menjadi sentra Industri Kecil Menengah (IKM) tahu bulat. Sedikitnya lebih dari sepuluh warga yang menggeluti IKM tahu bulat.
Seiring berjalannya waktu, jumlahnya kian menyusut. Saat ini diperkirakan tinggal separo. ”Kalau dulu banyak warga sini yang buat tahu bulat, mungkin kalau sebelas orang ada. Sekarang terus berkurang, mungkin tinggal 5 – 6 saja yang masih bertahan,” bebernya.
Dia pun tak mengetahui persis penyebab menyusutnya jumlah pengusaha tahu bulat. Bisa jadi disebabkan kondisi pasar yang kurang bersahabat. “Kalau disebut berkurang ya berkurang. Produksi memang masih ada, cuma kalau dibanding sepuluh tahun yang lalu sudah beda jauh,” ucap Zaenal.
Menurutnya, pada era 1990an, jumlah pengusaha tahu bulat di wilayah kecamatan lain masih minim. Saat ini, banyak warga di kecamatan lain juga mengembangkan usaha produksi tahu bulat. ”Jadi pasarnya semakin sempit, sebab di wilayah lain sudah banyak yang juga buat tahu bulat mungkin,” bebernya.
Bahkan konsumen tahu bulat Zaenal sampai dipasarkan ke luar kota. ”Dulu kirim sampai ke Surabaya juga, sekarang hanya di wilayah sekitar Ploso saja,” bebernya. Meski begitu, dia tetap bersemangat melanjutkan usaha yang sudah menjadi mata pencaharian sehar-hari keluarganya tersebut. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Sebuah rumah di ujung timur Dusun/Desa Plandi, Kecamatan/Kabupaten Jombang terlihat berbeda dari rumah lain. Di depan rumah, terlihat kulit kayu kering menumpuk. Mendekati rumah, tercium aroma dedaunan sangat khas.
Terlihat dua pekerja sibuk di samping rumah. Satu orang terlihat mengaduk cairan hitam di dalam drum besar. Satu orang lainnya, menjaga nyala api pada tungku di bawahnya. Beberapa menit kemudian, orang di atas drum mulai mengambil air hitam itu dan menaruhnya di kaleng kotak.
Sementara, pekerja sebelumnya yang menjaga tungku, ikut mengaduk air dalam kaleng. Sejurus kemudian ia ikut menata kaleng berisi air hitam tersebut. “Ini sedang membuat janggelan, karena kita tidak pakai mesin, semuanya harus dikerjakan manual, masih tradisional,” ucap Abdul Rokhim, pemilik usaha janggelan.
Lebih dari 20 tahun, industri rumahan di Plandi Jombang eksis membuat janggelan atau cincau hitam sampai sekarang. Padahal, produksinya masih gunakan cara manual tanpa mesin.
Proses pembuatan janggelan disebutnya cukup rumit. Dimulai dari daun janggelan yang harus disiapkan terlebih dahulu. Kondisi daun harus sangat kering sebelum diproses. “Biasanya daun ini kita datangkan dari Ponorogo, Ngawi dan beberapa kota lain, di Jombang sendiri tidak ada,” lanjutnya.
Daun yang sudah kering kemudian direbus selama beberapa kali. Rebusan pertama untuk mengambil sari daun janggelan. Sedangkan rebusan kedua dilakukan untuk mencampur sari janggelan dengan tepung kanji agar teksturnya bisa kenyal. Dan rebusan terakhir, dilakukan untuk mematangkan janggelan sampai benar-benar sempurna.
“Prosesnya bisa sampai empat jam, setelah siap, baru dituang di wadah kotak itu, untuk dicetak jadi kotak. Baru bisa dijual keesokan harinya,” tambahnya. Produk rumahan miliknya hanya dikerjakan seorang diri dengan dibantu anaknya M Syarifuddin, beserta dua pekerja.
Meski begitu, Rokhim menyebut setiap hari bisa produksi hingga 20 kaleng janggelan. Bahkan, jumlah ini bisa lebih banyak ketika pesanan membeludak. “Kalau hari biasa 20 kaleng, kalau bulan Ramadan biasanya permintaan naik, jadi produksinya bisa dua kali lipat,” tambahnya.
Setiap hari, ia dan beberapa anggota keluarganya juga memasarkan sendiri produk janggelan ke beberapa pasar tradisional. “Kalau harga biasanya Rp 40 ribu satu kaleng, ya dijual sendiri, ditunggui sendiri di pasar,” pungkas dia. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
J
OMBANG – Di Dusun Kedungbanteng, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang dulu terkenal sebagai sentra pembuat kipas bambu. Namun kini jumlah perajinnya semakin habis. Hanya satu perajin yang masih bertahan.
“Dulu satu desa semua bikin kipas bambu, tapi sekarang tidak ada, hanya tinggal saya yang menganyam, lumayan untuk ngisi waktu kosong,” ungkap Ngasiyah, 63, salah seorang warga Dusun Kedungbanteng.
Berdasarkan penuturan warga, satu-satunya yang masih bertahan hanya Ngasiyah yang rumahnya berada di gang kecil. Di teras rumahnya, penuh dengan tumpukan bambu yang siap dianyam. Saat ditemui koran ini ia juga sedang berada di kebun untuk membelah bambu.
“Daripada nganggur tidak ngapa-ngapain, begini saja sambil momong cucu, yang lain sudah tidak ada yang meneruskan,” tuturnya. Ngasiyah dengan telaten membelah bambu yang sudah dipotong. Dibelah tipis-tipis hingga menjadi banyak. Bambu basah setelah dibeli langsung dibelah. Karena kalau kering, proses pembelahan bambu akan sulit.
“Kalau bambunya terlanjur kering harus direndam dulu lama, kalau kering ngeratnya sulit,” ungkap ibu empat anak ini. Setelah itu, potongan bambu dijemur hingga kering. Proses penjemuran berlangsung kurang lebih satu hari. Setelah kering, bambu-bambu tersebut kemudian diberi warna. Ada merah, hijau, dan kuning. “Dulu waktu masih banyak, saya bikin banyak warna ada biru oranye, tapi sekarang nyari warna biru susah, warna oranye juga kelamaan, yang gampang-gampang saja,” tambahnya.
Pemberian warna dilakukan dengan cara direbus. Tidak lama, cukup lima menit, bambu kemudian dijemur lagi hingga kering. Setelah kering, bambu itu dibelah lagi kurang lebih setengah sampai satu sentimeter. Baru kemudian dianyam dengan memadukan tiga warna tersebut.
Untuk menganyam satu kipas, Ngasiyah hanya butuh waktu kurang lebih lima menit. Tangannya cukup cekatan. Ia menganyam dengan cepat dan membentuk pola yang bagus dengan perpaduan warna. Dalam sehari, dijalani dengan santai ia bisa menghasilkan 100 anyaman. “Tapi kalau lagi malas ya tidak sampai 100,” tambahnya lagi.
Setelah terkumpul 100, hasil anyaman kipas itu kemudian dijual ke pengepul untuk dirapikan sebagai proses terakhir. Untuk diberi kain di sisi samping dan gagang. “Sebetulnya bisa kasih sendiri, tapi lama dan modalnya juga besar,” imbuhnya. Per 100 anyaman kipas mentah biasanya dibeli dengan harga Rp 40 ribu.
Beberapa kali ia juga mendapat tawaran untuk membuat keranjang, atau kerajinan dari bambu lain. Tapi ia menolak dengan halus. Meski harga keranjang lebih mahal, namun ia tetap setia dengan kipas bambu yang bisa dikerjakan dengan santai. “Enak kipas saja, tidak terlalu ribet,” urai dia.
Selain menjual kipas, ia juga sering didatangi siswa untuk membeli bambu yang sudah diwarna. Bambu tersebut biasanya dipakai untuk praktik kerajinan di sekolah-sekolah. “Ada yang beli bambu saja ya saya jual, kemarin ada yang beli sampai Rp 100 ribu. Tapi kadang anak sekolah datang pingin lihat prosesnya saja,” jelasnya.
Ia tak ingat, sejak usia berapa belajar menganyam bambu. Namun yang pasti sejak ia kecil sudah diajarkan menganyam oleh orangtuanya. Kini, bahkan tak ada lagi yang berminat melestarikan kipas bambu di desanya. Termasuk anak muda tak tertarik belajar menganyam.
“Kalau empat tahun terakhir jumlah yang bikin anyaman semakin berkurang, lama-lama habis, sekarang sama sekali tidak ada. Yang tua saja tidak mau dan yang muda malah tidak mau belajar sama sekali,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Sebagian orang menganggap cacing sangat menjijikkan. Namun bagi Sulaiman, warga Dusun Surak, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, hewan ini sangat berharga karena bisa mendatangkan rupiah.
Di halaman rumah sederhana milik Sulaiman, diletakkan puluhan kotak berukuran sekitar 1×2 meter yang sudah diisi tanah. Di dalam kotak itu berisi ratusan bahkan ribuan cacing. Bapak satu anak ini harus berani membuang jauh-jauh rasa jijik terhadap cacing.
”Yang saya ternak ini cacing jenis fosfor, karena sangat mudah hidup,” ungkapnya sembari memilah cacing yang akan dijual. Pertama, dia mulai beternak cacing 2011 silam. Saat itu dirinya mencari cacing untuk dijual ke tempat-tempat pemancingan dan penjualan burung.
”Dulu itu saya hanya mencari di sawah atau serapan limbah rumah tangga,” bebernya. Dalam satu hari, dia hanya bisa memperoleh 5-10 kilogram cacing. Lambat laun, permintaan cacingnya meningkat sehingga dia kewalahan kalau harus mencari di sawah atau sampah rumah tangga.
”Kemudian saya berpikir ternak cacing sendiri,” ceritanya. Sebagaimana pelaku usaha yang lain, kali pertama beternak cacing juga tidak langsung berjalan mulus. Media tanah yang digunakan sering tidak cocok dengan cacing yang diternaknya. Sehingga cacingnya tidak bertambah banyak, justru bibit cacing semakin menyusut.
”Akhirnya saya cari tanah dengan campuran kotoran hewan ternak, biasanya di Papar Kediri. Tanah tersebut cocok dengan cacing,” terang dia. Saking cocoknya, bibit cacing sebanyak satu kilogram yang disebar di dalam kotak-kotak tersebut, bisa berkembang hingga 10 kilogram. Yang menguntungkan, perkembangan cacing yang cepat itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.
Dia menyebut, ternak cacing sangat mudah dan tidak ada perawatan khusus. Bahkan, makanan cacing sangat mudah dicari dengan harga yang murah. Yaitu ampas tahu. ”Kalau musim hujan ini malah gampang sekali, tidak perlu perawatan khusus,” katanya.
Akan tetapi, pada musim kemarau, cacing peliharaannya setiap pagi dan sore harus disiram dengan air. Selain itu, Sulaiman harus bolak-balik cacing agar tidak kepanasan. ”Kalau kepanasan cacing jadi menyusut, tapi kalau musim penghujan seperti ini harga cacing biasanya turun,” ungkapnya.
Harga jual cacing sendiri, diakuinya memang cukup mengiurkan. Pria yang kerap disapa Cak Leman ini menjual dengan harga Rp 100 ribu per kilogram cacing. ”Kalau musim hujan harganya turun Rp 10 ribu, karena memang cacing sangat mudah berkembang,” imbuh dia.
Penjualan cacing pun tidak perlu dirisaukan karena dirinya sudah memiliki pelanggan yang siap mengambil. Selain dijual di tempat penjualan burung dan tempat pemancingan, Sulaiman juga mempunyai pelanggan khusus dari luar kota. ”Biasanya yang banyak dari Gresik dan Surabaya,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Jombang – Pagi itu, tampak dua pekerja sedang sibuk memilah biji salak kering. Usai disortir mana biji berkualitas baik dan mana yang tidak. Selanjutnya biji salak itu dimasukan pada mesin penggiling kopi. Satu persatu biji dihaluskan hingga menjadi serbuk.
Dua pekerja itu tengah sibuk membuat bubuk kopi berbahan biji salak. Kopi salak ini diklaim satu-satunya dan yang pertama di Jombang. Biji salak itu disuplai petani di wilayah Kecamatan Tembelang. Awalnya biji kopi dianggap sebagai sampah. Namun ditangan Kuswartono, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, biji kopi bisa diolah sebagai kopi.
Ide membuat biji salak menjadi kopi muncul karena banyak salak di desanya namun sepi pembeli. Rasa prihatin itulah yang memaksa Kuswartono untuk berpikir kreatif, agar salak asli Sentul tetap diminati. ”Akhirnya saya coba-coba membuat berbagai olahan dari salak, yang pertama muncul adalah kopi dari biji salak,” ujar dia. Setelah melakukan beberapa eksperimen, akhirnya dia berhasil membuat kopi dengan takaran yang pas.
Agar tak dianggap asal-asalan, ia pun melakukan uji nutrisini, mengurus ijin edar hingga sertifikasi halal. ”Setelah berhasil melakukan uji nutrisi dan mendapatkan ijin edar, akhirnya saya mulai memproduksi dalam jumlah banyak,” jelasnya. Saat wartawan koran ini diminta menyeruput secangkir kopi salak, rasanya tak jauh berbeda dengan kopi pada umumnya. Namun ada rasa sedikit asam dan aroma khas harum buah salak.
Dengan memanfaatkan tanaman salak di pekarangan rumahnya dan menampung biji salak dari petani setempat, ia kini memproduksi hingga satu ton oalahan kopi setiap bulan. ”Lambat laun akhirnya petani setempat mulai bergairah kembali. Karena salak otomatis juga laku,” terang dia.
Kopi berbahan biji salak tersebut dipercaya dapat memberikan efek pada kesehatan. Mulai dari menambah stamina, rematik hingga darah tinggi. ”Sesuai dengan referensi yang saya baca memang seperti itu. Apalagi, di olahan saya tidak ada campuran bahan pengawet. Jadi aman,” tegasnya.
Selama ini, pemasaran kopi berbahan biji salak tidak hanya di sekitar pasar lokal. Namun mulai tembus pasar regional. ”Alhamdulilah omsetnya juga lumayan banyak,” pungkas Kuswartono. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Jombang – Sebuah rumah di samping jalan raya Desa Wuluh, nampak sangat beda. Di depan rumah sederhana itu, terlihat puluhan keranjang warna-warni. Di sisi lain, terdapat sejumlah tali yang masih terlihat kusut.
Di sela-sela keranjang, terlihat seorang pria sedang asyik menyulam tali. Tali warna-warni itu ia selip, lipat dan tumpuk lagi dengan tali lain. Hanya pisau potong, serta palu, dan sebuah kursi kecil yang menemani bekerja. “Ini sedang menganyam tali, ya dibuat kerajinan begini,” ucap Dedik, pemilik usaha sambil menunjukkan anyaman plastik.
Ide kreatif memanfaatkan limbah pabrik banyak dilakukan warga Jombang. Salah satunya Dedik Miftakhul Jainuri, 47, warga Dusun/Desa Wuluh, Kecamatan Kesamben yang menyulap limbah tali plastik jadi anyaman bernilai jual.
Sejak 2001, ia mengaku sudah terbiasa dengan kegiatan menganyam tali plastik. Bahan untuk keranjang, disebutnya juga berasal dari limbah industri tekstil. Plastik yang dianyam itu adalah limbah tali dari beberapa industri kapas hingga kertas di Mojokerto. “Bahan mengambil karena limbah, satu kilo dijual Rp 5.500, nanti sampai sini baru dibersihkan dan diolah,” sambungnya.
Cara membuatnya terkesan mudah. Meski disebut Dedik tetap harus teliti dan ulet. Pembuatan kerajinan ini diawali dengan pembentukan pola dan menentukan bentuk kerajinan. Kemudian tali yang sudah disiapkan, perlahan dianyam hingga membentuk pola yang diinginkan. “Selain dianyam, juga harus dipadatkan, makanya ada palu, biar celahnya tidak terlalu besar dan rapi,” rinci dia.
Dikerjakan sendiri, setiap hari ia mengaku bisa membuat satu hingga dua bentuk kerajinan berbahan plastik tersebut. “Ya tergantung, kalau keranjang kecil bisa sampai dua, cuma kalau besar seperti rengkek biasanya cuma satu, karena kan dikerjakan sendiri,” lontar Dedik.
Berbagai bentuk kerajinan anyaman bisa dibuatnya, mulai tempat sampah, anyaman bilik rumah, rengkek, hingga keranjang belanja. Untuk penjualan, ia pun mengaku tak mematok harga mahal. “Paling murah Rp 40 ribu untuk keranjang kecil, kalau rengkek bisa Rp 170 ribu sampai Rp 250 ribu, tergantung bentuk dan ukurannya,” tambahnya.
Sementara untuk pemasaran, Dedik mengaku harus menunggu pesanan. Barang-barang yang dibuat biasanya akan dipesan terlebih dahulu dan diambil setelah jadi dengan jumlah tertentu. “Kalau penjualannya sudah ke beberapa kota di luar Jombang, seperti Surabaya, Sidoarjo, bahkan Bali juga pernah,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kabupaten Jombang kental akan sejarah penyebaran agama Islam. Tak terkecuali ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Salah satu bukti sejarah tarekat ini pernah eksis di wilayah utara Brantas yakni, keberadaan bangunan musala tua di Dusun/Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso.
Dilihat sekilas, bangunan musala yang dipercaya sudah berdiri sejak abad 20 an ini seperti bangunan rumah. Tidak ada kubah yang terpasang di atas musala. Atapnya membentuk pola limas.
Tidak ada papan nama musala terpajang seperti pada umumnya bangunan musala. Musala ini pun tak memiliki nama khusus. Warga sekitar menyebutnya musala panggung.
Kondisi ruangan musala yang digunakan sebagai tempat salat. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Bangunan musala tua ini memiliki dua lantai. Dinding bangunan pun masih setengah kayu. Bangunan lantai dasar dari tembok tembok tebal, sementara bangunan lantai dua masih dari bahan kayu.
Kesan bangunan tua pun sangat kentara sekali. Terlihat bangunan tembok sangat tebal dan warna catnya sudah mulai memudar. Sementara tembok kayu di ruang atas terlihat mulai lapuk, mengingat usianya sudah ratusan tahun.
Bangunan ini memiliki empat pintu serta satu jendela. Kesemuanya terbuat dari bahan kayu. Atap bangunan terbuat dari bahan genting kuno. Sementara bagian serambi musala, atapnya sudah menggunakan seng yang kondisinya sudah karatan.
Ruang utama musala terlihat masih sangat sederhana. Bagian lantai dari bahan keramik tua. Ruangannya pun cukup sempit. ”Bangunan musala ini memang sudah tua. Dibangunnya awal abad ke 20an mungkin. Sejak dulu masih asli, tidak ada yang dirubah kecuali pintu depan dan sumur. Juga kran wudu ini yang sudah diperbarui 2011 lalu,” terang Ainur Rofiq, pengurus musala ini.
Untuk menemukan musala ini tidaklah sulit. Sebab, lokasi bangunan sangat strategis lantasan berada di pinggir jalan provinsi atau sekitar seratus meter sisi timur jembatan Ploso utara sungai.
Jaraknya dengan sungai Brantas hanya terpisahkan jalan. Tak jauh dari lokasi berdiri kantor UPT Pengairan Ploso.
Dari cerita yang sampai ke Rofiq, musala panggung ini didirikan oleh salah satu tuan tanah di wilayah Dusun/Desa Rejoagung. ”Jadi yang mendirikan pemilik tanah ini. Keluarga almarhum Haji Bakri,” bebernya.
Namun demikian, pengelolaannya dipercayakan kepada KH Yunus. Seorang pemuka agama yang juga pengamal tarekat Naqsabandiyah. “Jadi kakek saya (KH Yunus,Red) itu adalah salah satu murid KH Ali Muntaha Kedung Macan. Dan musala ini, jadi pintu masuk menyebarnya tarekat Naqsabandiyah di kawasan utara Brantas,” tambahnya.
Adapun dua ruangan yang berada di musala memiliki fungsi berbeda. Ruang lantai bawah, berguna sebagai ruang peribadatan, seperti salat dan lainnya. ”Di bawah ada tempat imam. Itu juga masih asli bangunannya,” bebernya.
Sementara, bangunan kayu di lantai dua digunakan untuk aktivitas tarekat yang lebih khusus. “Jadi seperti mujahadah, terus khususiyah itu di atas semuanya. Karena kan butuh ketenangan. Dulu salat id (Idul Fitri, Red) juga pakai musala ini, terlebih tarekat Naqsyabandiyah kan memang seringkali hari rayanya tidak bareng sama pemerintah,” tambah Rofiq.
Hanya Digunakan Saat Ramadan
MESKI sempat jadi pusat kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah di wilayah utara Brantas. Seiring berkurangnya pengikutnya, sejak 1970 musala panggung mulai ditinggalkan. Kegiatan musala baru hidup saat Ramadan.
“Iya, jadi setelah ada masjid di desa, penganut tarekatnya juga sudah mulai berkurang. Akhirnya lama-lama tidak terpakai lagi musalanya. Sekarang kegiatan tarekat pindah di musala samping klinik itu,” kembali ucap Ainur Rofiq sambil menunjuk salah satu klinik sekitar seratus meter dari musala.
Selain itu, mempertimbangkan kondisi bangunan yang sudah tua. Sekitar 2011, ruangan atas sama sekali ditutup dan tak digunakan lagi. “Iya, karena sudah lapuk, dan dikhawatirkan bisa membahayakan. Tangganya diambil, dan pintu akses ke ruang atas dari tengah juga ditutup,” imbuhnya.
Adapun kegiatan pengamal tarekat Naqsyabandiyah berpindah ke musala baru di samping klinik. ”Kurang lebih seratus meter dari sini. Masih di wilayah Rejoagung,” bebernya.
Meski begitu, pada bulan tertentu, kegiatan musala panggung hidup. Kegiatan rutin salat lima waktu termasuk salat terawih juga dipusatkan di musala. “Kalau Ramadan digunakan. Tapi ya tetap tidak seperti dulu. Kalau dulu sehari satu juz tarawihnya, sekarang ya normal saja,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Sebuah kampung kecil di Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang punya tradisi unik sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Yakni, warganya sebagai perajin rumahan sejumlah alat dapur. Setiap minggunya ribuan kaluh berbahan anyaman bambu bisa dihasilkan penduduk kampung ini.
Bagi ibu-ibu, kaluh biasa digunakan untuk wadah sayuran, sekaligus untuk tempat mencuci. Juga bisa digunakan untuk menaruh bahan-bahan dapur lainnya.
Masuk kampung ini, akan disuguhi pemandangan unik. Banyak rumah di dusun ini memajang lembaran-lembaran kecil dan potongan bambu di depan rumahnya. Beberapa yang lain, juga memajang hasil kerajinan di depan rumah.
Tumpukan kaluh yang sudah selesai dibuat dan siap untuk dijual. (ACHMAD RW/ JAWA POS RADAR JOMBANG)
Ya, di Dusun Tulungrejo, ada ratusan warga yang tiap harinya berjibaku dengan bambu. Mereka membuat alat-alat rumah tangga tradisional seperti kaluh, tedok,besek, hingga erek. Alat-alat perlengkapan rumah tradisional ini berbentuk bulat nyaris seperti tampah.
Bedanya, kaluh, tedok dan erek punya bentuk dasar yang melengkung, ketiganya juga dibedakan dengan kerenggangan anyaman bambu penyusunnya. ’’Kalau kaluh kan lebih rapat, kalau erek itu lebih renggang,” lanjutnya.
Pembuatan benda ini, disebutnya juga cukup mudah, meski membutuhkan ketelitian dan keterampilan. Alat yang diperlukan pun sederhana, hanya gergaji dan parang untuk memotong bambu, dan jarum besar untuk menganyam tali untuk merapatkan pinggiran anyaman.
Dimulai dari mendapatkan bambu besar sebagai bahan utama. Bambu ini, biasanya diperolehnya dengan cara membeli. Bambu utuh, kemudian dipotong dan ditipiskan menyesuaikan ukuran yang diperlukan. Setelah siap, bambu lantas dijemur. ’’Penjemuran biasanya dua sampai tiga hari, tujuannya untuk mengeringkan bambu, juga biar tidak mudah berjamur,” lontarnya.
Setelah kering, barulah bambu-bambu ini dianyam dan dibentuk menjadi lembaran persegi. Setelah itu, proses selanjutnya adalah membentuk dengan menambahkan penguat di masing-masing pinggiran anyaman.
Dibantu istrinya, Suryani, 55, Sumiar menyebut bisa membuat kaluh siap jual hingga 10 hingga 11 buah setiap harinya. Biasanya, kerajinan buatannya ini akan diambil sejumlah pengepul setiap satu minggu sekali. “Seminggu itu rata-rata 100 yang dibuat, dijualnya Rp 5.000 per buahnya. Kalau pemasaran biasanya hampir di seluruh Jawa Timur ya,” pungkasnya.
Seluruh perajin anyaman bambu di Dusun Tulungrejo, adalah warga asli yang mendapat ketrampilan ini sejak kecil. Keterampilan menganyam dan membuat alat rumah tangga ini diwariskan turun-temurun.
“Kalau ditanya sejak kapan, ya sudah sejak ratusan tahun lalu mungkin ya, karena sejak nenek saya banyak warga yang sudah membuat kerajinan begini, dan dari dulu bentuknya ya tiga ini saja,” terang Sumiar.
Sumiar juga menyebut, hampir seluruh warga di desa ini mahir menganyam bambu sejak kecil. Ia sendiri, bahkan mengaku sudah membuat kerajinan ini sejak berusia 10 tahun. “Ya, sudah 50 tahunan membuatnya, karena sejak kecil pasti diajari,” tambahnya.
Tak heran hingga kini jumlah pengrajin terus bertahan, meski jumlah pesanan yang datang juga terus menyusut. ’’Masih cukup banyak jumlah perjin. Karena yang tua, yang muda semuanya sekarang membuat kerajinan semacam ini,’’ pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Dipungkiri atau tidak, wayang kulit semakin ditinggalkan masyarakat. Pertunjukan kesenian tradisional ini hanya muncul di waktu-waktu tertentu. Meski begitu, masih ada tangan trampil yang konsisten melestarikan warisan nenek moyang ini.
Salah satu perajin yang masih bertahan adalah Teguh Basuki. Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung di rumahnya, ia nampak sibuk mewarnai wayang yang hendak diselesaikan. Wayang kulit berbentuk gunung itu berukuran lebih 60 centimeter. Sebagian sudah dalam keadaan berwarna. Teguh, panggilan akrabnya, sesekali turut memelototi wayang buatannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hasil akhir yang tidak ingin mengecewakan pelanggan.
”Tidak ada yang sulit membuat wayang, dulu memang ada kesulitan saat memahat. Hanya saja memang harus bersabar dan telaten,” ujarnya sembari meneruskan pengecatan. Langkah pertama yang dilakukan adalah membersihkan kulit dan menghilangkan bulu-bulunya.
Bahkan itu juga membutuhkan waktu cukup lama agar bahan kulit yang diproses, siap dijadikan wayang. ”Butuh waktu selama dua hari agar kulit siap dijadikan wayang,” bebernya. Kulit yang dipilih Teguh untuk dijadikan wayang juga tidak kulit sembarangan. Berbeda dengan produk lain, kulit kerbau maupun kambing itu segera dicuci dan disimpan kembali untuk anak-cucunya.
”Paling bagus memang kulit dari kerbau, pahatannya juga sangat mudah,” paparnya. Untuk mengerjakan satu wayang kulit, dia membutuhkan waktu paling sedikit lima hari untuk menyelesaikan. Karena dirinya juga menginginkan hasil yang sempurna. Apalagi membuat wayang juga harus teliti tebal dan tipis.
Setelah wayang selesai dipahat, wayang-wayang tersebut dicat agar seperti hidup. ”Mengecatnya juga seperti itu harus membutuhkan ketelitian agar lebih menarik lagi,” bebernya. Meski begitu, pria berusia 57 tahun ini sempat mengalami jatuh bangun dan malang melintang di dunia kerajinan selama hampir berpuluh tahun. Bahkan usahanya melanjutkan warisan orang tua.”Belajar saya dulu pakai kertas, setelah SMP saya sudah disuruh mengerjakan pesanan orang,” sahut Asmi, orangtua mahasiswa.
Bahkan, karena cintanya terhadap seni budaya, dia ingin terus membuat wayang kulit, agar tidak tergerus dengan zaman. Kendati demikian, dirinya tetap bersyukur masih banyak orang yang memasang. Bahkan Teguh sendiri memasarkan wayang buatannya melalui media sosial.
Lantaran sudah dikenal banyak orang itulah hasil kreasi positifnya juga pernah dikirim hingga ke Taiwan. ”Dulu ada orang pekerja dari Taiwan membeli banyak untuk dibawa ke Taiwan,” katanya.
Ia menyebut, butuh waktu yang lama dan cukup rumit selama proses pengerjaan wayang. Tak heran satu wayang buatan Teguh dibanderol Rp 1 juta, tergantung ukuran dan kerumitan. Biasanya jenis wayang yang paling mahal yakni Buto dan Gunung karena memang ukurannya lebih besar dibanding wayang-wayang lain. ”Ukurannya memang harus besar jadi paling mahal,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang