• info@njombangan.com

Category ArchiveSeni Budaya Pariwisata

Ludruk di Ujung Tanduk

VIVA.co.id – Pria itu tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Wajahnya terlihat kuyu dengan sejumlah kerutan di dahinya. Tatapannya kosong, menerawang jauh.

Asap rokok terus mengepul dari mulutnya, dengan bibir yang menghitam. Sesekali, ia menarik napas panjang, seolah hendak menelan sejuta rasa yang menekan. Badannya yang tinggi dan langsing hanya dibungkus celana pendek dan kaus oblong yang sudah pudar warnanya.

Malam itu, Deden Irawan (35) memang terlihat gundah. Aktor sekaligus pengelola grup ludruk Irama Budaya ini mengeluhkan nasib seni ludruk yang kondisinya nyaris menemui ajal.

“Semakin hari, minat penonton semakin sedikit. Meski digratiskan, penonton tidak sebanyak dulu,” ujarnya kepada VIVA.co.id yang menyambanginya di Kampung Seni Taman Hiburan Rakyat (THR), Jalan Kusuma Bangsa, Surabaya, Jawa Timur, Rabu, 1 Juli 2015.

Deden mengatakan, ia sudah 17 tahun menggeluti ludruk. Ia merupakan anak angkat dari Sunaryo atau yang lebih dikenal Mak Sakiyah, pendiri grup ludruk Irama Budaya. Grup ludruk yang sudah berdiri sejak 1975 ini sudah kenyang manggung di mana-mana.

Grup ini sudah keliling Surabaya dan Jawa Timur untuk manggung, baik di gedung maupun di lapangan terbuka. “Irama Budaya berkeliling di Surabaya. Saat itu masih ramai. Kami pentas atau main setiap hari,” ujarnya mengenang.

Irama Budaya tak hanya pentas di gedung atau lapangan terbuka. Mereka juga sering melayani pentas di rumah warga yang sedang hajatan. Irama Budaya kemudian menetap di Wonokromo dan manggung setiap hari. “Sebelumnya, sempat tiga kali pindah tempat, dan terakhir kembali menetap di Wonokromo,” ujar ayah satu anak ini.

Oleh pemerintah daerah, Irama Budaya kemudian dipindah ke Kampung Seni THR. Di sini, mereka hanya pentas sepekan sekali. Namun, setelah ayah angkatnya meninggal tiga tahun silam, Deden mengaku jarang ikut manggung. Dia lebih banyak mengurus tiket dan keperluan kru Irama Budaya.

Di Ujung Tanduk
Lain dulu lain sekarang. Saat ini, menjalani hidup sebagai seorang seniman ludruk sangat sulit. Minat masyarakat terhadap kesenian asli Jawa Timur ini terus menurun. Kondisi ini membuat seniman dan kru ludruk sulit mendapat penghasilan, jika hanya mengandalkan dari pementasan.

“Ya tidak cukup Mas, karcis hanya Rp5.000. Jumlah kursi 50 pun tidak penuh, sering saya tekor. Baik untuk kru atau keperluan lainnya, termasuk dekorasi,” ujar Deden.

Meski demikian, Deden memilih tetap bertahan. Meski bukan orang Jawa, pria kelahiran Bogor ini mengaku tak bisa meninggalkan ludruk. Ia mencintai seni peran yang sudah ia lakoni sejak kecil ini. Guna menutupi kebutuhan anak dan istrinya, Deden kerja serabutan.

“Saya kerja serabutan, jadi kuli bangunan,” ujarnya sambil tersenyum kecut.

Tak hanya Deden. Sekitar 15 kru ludruk lainnya juga melakukan hal serupa. Untuk bertahan hidup, mereka harus kerja serabutan. “Tapi, mereka senang. Meski tidak ada uangnya. Lha, wong bayaran main ludruk hanya Rp15.000 atau Rp20.000, tetap semangat. Mangan nggak mangan pokoke ngumpul (makan tidak makan, pokoknya kumpul),” ujar Deden berseloroh.

Hal itu diamini Sugeng Rogo. Pemain ludruk ini mengatakan, ia harus kerja sampingan agar bisa menyambung hidup. Berbeda dengan Deden yang menjadi kuli bangunan, Rogo memilih membuka tempat penyewaan pakaian khas Jawa, lengkap dengan aksesorinya.

“Saya buka penyewaan pakaian untuk resepsi atau lainnya,” katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Selain itu, bersama dengan sejumlah temannya, ia membuat beragam suvenir seperti kalung dan blangkon. Barang-barang itu, ia titipkan ke pedagang di luar THR.

Sutradara Ketoprak dan Wayang Orang, Widayatno, mengatakan, selain minat masyarakat yang terus menurun, regenerasi juga tidak berjalan. Menurut dia, pertunjukan yang digratiskan juga membuat penonton merasa sungkan. Dia kemudian memberi contoh, pernah ada sekeluarga dengan mengendarai mobil masuk ke Kampung Seni THR.

“Orang tersebut heran, pertunjukan sebagus ini kok gratis, dia mengaku sungkan untuk masuk, meski akhirnya juga menonton. Nah, ini yang harus kami pikirkan ulang,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Budayawan Henky Kusuma (53) mengakui, kondisi ludruk di Surabaya memang sangat memprihatinkan. Menurut dia, pemainnya habis, sementara regenerasi tidak jalan. “Sampai tahun 1990 ludruk masih di puncak kejayaan, tapi sekarang sudah jatuh. Kalau boleh saya katakan, sekarang ludruk di Surabaya selesai, tamat,” katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Dia bercerita, dulu tahun 80-an ada Ludruk Sari Warni. Ke mana pun main, penonton selalu berjubel. Selain itu, sekarang tidak ada gedung ludruk. Padahal, menurut dia, dulu sangat banyak gedung ludruk.

“Di Surabaya dulu, pada tahun 80 sampai tahun 90-an, gedung ludruk sangat banyak, menjamur. Di setiap wilayah kecamatan ada. Sekarang tidak ada. Sekarang, habis,” dia menambahkan.

Minim Inovasi
Henky mengatakan, minat masyarakat terhadap ludruk merosot, karena para seniman ludruk minim inovasi. Selain itu, tak ada regenerasi. “Pemain yang ada, semakin lama semakin tua. Kalau tidak dibarengi regenerasi, habis sudah Ludruk di Surabaya.”

Kondisi itu diperparah dengan hadirnya teknologi multimedia dan televisi. Stasiun televisi makin menjamur dengan berbagai pertunjukan yang terus berkembang. Sementara itu, ludruk jalan di tempat bahkan mandek.

Menurut dia, siapa pun pemain atau sutradaranya, jika tidak ada terobosan lakon yang kontekstual, ludruk akan semakin ditinggalkan. “Masih mempertahankan lakon-lakon lama, tidak diikuti sesuai perkembangan zaman. Penonton semakin jauh, karena tidak menarik.”

Keluhan serupa disampaikan Hanif Nashrullah (38). Penggemar ludruk ini mengaku sudah jarang menonton ludruk. Lakon dan pesan pementasan yang disampaikan hanya itu-itu saja, yakni seputar legenda rakyat yang sudah banyak diketahui masyarakat.

Lakon yang dibawakan selalu sama dengan adegan-adegan sebelumnya. Cerita legenda pernah masyarakat lihat, tidak ada kreasi sesuai perkembangan dan kemajuan zaman.

Selain itu, ludruk semakin merosot, karena sudah tidak ada yang mau mengurus kesenian ini. Menurut dia, dulu ludruk dipakai sebagai sarana atau alat propaganda. Jadi, isinya pesanan. Misalnya di zaman Presiden Soekarno dipakai sebagai sarana atau alat perjuangan melawan kolonial.

Di zaman Soeharto dipakai sebagai sarana menyampaikan pesan atau propaganda yang dikehendaki penguasa. “Jadi, di zaman Orde Lama dan Orde Baru, ludruk dipakai sebagai sarana tertentu untuk menyampaikan pesan. Sekarang, karena tidak ada pesanan, peran ludruk ditinggalkan, tidak ada yang mengurusi. Jadinya seperti sekarang ini nasibnya,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 3 Juli 2015.

Ia menambahkan, ludruk dulu dipakai untuk menunjukkan status sosial seseorang. Mereka menanggap ludruk untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Juga untuk menebar pengaruh dan menunjukkan status sosial.

Warga dikumpulkan dengan cara diberi hiburan ludruk. Namun, sekarang kebiasaan seperti ini sudah tak ada lagi.

Pemerintah Setengah Hati
Deden mengakui, pemerintah sudah banyak membantu terkait keberadaan ludruk di Surabaya. Menurut dia, pemerintah sudah menyediakan gedung pertunjukan.

Selain itu, mereka bisa mendiami kompleks THR tanpa dipungut biaya, baik untuk listrik maupun air. Selain itu, tiap kali pertunjukan, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp5 juta.

Namun, ada yang dirasa kurang oleh Deden, yakni soal promosi dan pembinaan. Deden menuding, salah satu yang membuat masyarakat enggan datang dan menonton ludruk karena lokasi THR tak kelihatan, tertutup bangunan Hitex Mall. Selain itu, tidak ada baliho di dekat pintu masuk THR yang menunjukkan lokasi pementasan ludruk dan beragam kesenian daerah tersebut.

“Harapan saya, selain bentuk bantuan seperti ini (gedung dan sarana lainnya), juga perlu semacam promosi agar masyarakat tergugah lagi menyaksikan ludruk, atau dengan terobosan apa lah. Agar Ludruk tidak punah atau tidak mati.”

Widayatno mengeluhkan hal serupa. Kampung Seni THR yang tak terlihat, membuat masyarakat enggan masuk areal tersebut. Tidak ada promosi lainnya yang dilakukan internal Kampung Seni atau Pemkot Surabaya.

Henky berharap, pemerintah lebih serius menangani ludruk. Kesenian ini sudah menjadi ikon Surabaya. “Pemkot Surabaya selama ini masih setengah hati. Kalau pemerintah menganggap kesenian ludruk sebagai ikon Surabaya, harus ada pembinaan serius,” ujarnya. Selain itu, untuk menyelamatkan ludruk di Surabaya, Hengky mengusulkan ada “Bapak Angkat”.

Harapan serupa disampaikan Hanif Nashrullah. Menurut dia, bantuan subsidi Rp5 juta kepada kelompok ludruk memang sangat membantu. Namun, itu saja tidak cukup.

Menurut dia, harus ada bantuan yang lebih konkret dalam bentuk pembinaan untuk meningkatkan kreativitas dan regenerasi. “Itu yang belum saya lihat, jadi bantuan itu masih setengah hati.”

Sayangnya, Pemerintah Kota Surabaya belum merespons permohonan wawancara VIVA.co.id. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati tak merespons pesan singkat yang dikirimkan. Upaya menghubungi lewat sambungan telepon juga tak membuahkan hasil.

Hari beranjak malam. Deden masih bertahan di pelataran THR dengan sisa kopi dan rokok di tangan. Pandangannya masih jauh menerawang. Canda dan tawa sejumlah orang yang menggerombol di gedung THR ini tak mampu mengusik lamunannya.

“Sebagai seniman, saya berharap ludruk tidak punah. Masyarakat harus tetap tahu dan mencintai. Ini warisan budaya yang tidak boleh terlepas dari budaya kita,” ujarnya. (art)

 

Penulis: –

Article courtesy: Viva.co.id

Photo courtesy: Viva.co.id

Legenda Komedi Surabaya Wafat, Ludruk Terancam Lenyap

VIVA.co.id – Dunia seni daerah di Surabaya berduka. Salah satu tokoh ludruk (kesenian drama tradisional Jawa Timur) Surabaya, Sidik Wibisono, meninggal dunia.

Rabu, 27 Mei 2015, sekitar pukul 13.00 WIB, Sidik mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Jalan Ploso Gang IX Nomor 20 A Surabaya. Perintis seniman ludruk dan kidungan khas Surabaya itu wafat di usai 73 setelah sempat opname di rumah sakit dr Soewandhi selama enam hari.

“Bapak sakit jantung koroner, sempat ngamar (opname) di rumah sakit selama enam hari pada April kemarin,” ujar putra pertamanya, Eko Suryanto Wibisono, di rumah duka, Rabu, 27 Mei 2015.

Eko mengaku, kenangan khas yang melekat tentang sosok ayahnya adalah ketika setiap ada reuni keluarga selalu diajari ngidung (syair mengandung pesan yang dinyanyikan). “Setiap ada reuni keluarga, kita anak-anaknya diajari ngidung,” kisahnya.

Di mata anak-anaknya, sosok Sidik merupakan pahlawan. Sidik rela berjuang sebagai seniman panggung untuk menghidupi lima anaknya sampai bergelar sarjana. “Bapak adalah pahlawan bagi kami. Beliau selalu menekankan pentingnya pendidikan kepada kami,” katanya.

Sidik merupakan tokoh sekaligus perintis seni budaya ludruk atau lawakan/komedi khas Jawa Timur. Hal itu diungkapkan teman-teman seniman seprofesi. Seniman Kartolo, mengaku banyak terinspirasi semangat tanpa menyerah sosok Sidik yang membawa budaya ludruk hingga terkenal di pentas nasional

“Dalam melawak, Cak Sidik sering dapuk buri (main belakangan). Beliau sering mewarnai lawakan kami saat kami kehabisan bahan,” kata seniman yang memiliki grup Kartolo Cs bersama Sapari dan Basman itu.

Kartolo mengatakan, awal mula karier Sidik di dunia seniman ludruk adalah ketia dia merintis grup ludruk Tri Sakti Surabaya pada 1969. Grup ludruk Tri Sakti Surabaya kala itu boleh dibilang grup ludruk paling terkenal di Kota Surabaya. Hampir setiap hari manggung di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Sidik juga pernah berniat berhenti untuk main ludruk, ketika anak pertamanya masuk bangku sekolah SMP di tahun 1986. Dia berpikir ingin berhenti untuk berkonsentrasi mengurus anak.

“Hampir setiap malam, Cak Sidik naik-turun panggung untuk menghibur penonton,” ujar Kartolo.

Masa keemasan Sidik di dunia ludruk adalah saat ditawari rekaman album jula-juli guyonan khas Surabaya. Waktu itu, tahun 1986, ada sekitar 25 album beredar di tengah penggemar kidungan di Jawa Timur. “Sekitar tahun 1986 namanya moncer sebagai seniman ludruk. Saya pernah main bareng di panggung, tapi tidak pernah rekaman bareng,” katanya.

Kini, dunia ludruk patut berduka. Meninggalnya Sidik seolah juga menjadi pertanda matinya budaya ludruk di Surabaya. Sebab, menurut Kartolo, upaya Pemerintah Kota maupun Provinsi untuk menghidupkan budaya khas daerah ini kurang maksimal. Bahkan, pemerintah sudah mengampanyekan budaya ludruk mulai di tingkatan pelajar, tapi ludruk tetap tak berkembang, bahkan nyaris lenyap dan dilupakan.

“Pemerintah banyak menggelar lomba ludruk tingkat pelajar, tapi ludruk tetap sulit berkembang,” katanya.

Sidik Wibisono (pemimpin kelompok ludruk Sidik Cs) meninggalkan lima anak dari perkawinan dengan istrinya Surya Dewi. Anak-anaknya, yakni Eko Suryanto Wibisono, Dwi Agus Sugiono, Mery Triana Dewi, Vivi Rosiana dan Yeni Erwati Dewi, sudah tuntas semua menjadi sarjana dan berkeluarga.

 

Penulis: –

Article courtesy: viva.co.id

Photo courtesy: Jppn.com

Tetap Cinta Ludruk meski Terima Honor Rp 10 Ribu Sekali Pentas

Kampung Seni THR nyaris terlupakan. Nasib mereka yang konsisten mempertahankan kesenian dan kebudayaan Surabaya kian terpinggir. Bagaimana kabar seniman ludruk, srimulat, wayang orang, dan ketoprak?

KEPUASAN terpancar dari wajah Suryadi, 39. Empat puluhan penonton berusia senja tertawa lepas ketika melihat adegan yang dimainkannya. Uang Rp 10 ribu yang diterimanya atas pementasan selama tiga jam itu tidak sedikit pun memupus kecintaannya pada kesenian ludruk.

Waria yang akrab disapa Mak Sur itu merupakan satu di antara 40 seniman yang masih bertahan di Ludruk Irama Budaya. Tiap Sabtu malam, mereka rutin memainkan seni tradisional khas Surabaya tersebut. Walaupun terkadang jumlah penonton sangat sedikit, mereka tetap menghibur para pencinta setia. Kebanyakan yang hadir berusia senja.

Harga tiket masuk yang hanya Rp 5 ribu mungkin terlalu murah untuk sebuah pergelaran asli Surabaya. Hiburan-hiburan modern dengan harga tiket yang mahal lebih ’’bergengsi’’ bagi masyarakat jika dibandingkan dengan perjuangan mereka mempertahankan seni tradisional kota ini tersebut.

Tetapi, Mak Sur tetap merasa bahagia. Gerusan modernitas yang perlahan melenyapkan seniman, tampaknya, tidak sedikit pun menggoyahkan konsistensinya dalam memainkan ludruk. ’’Rezeki selalu ada untuk seniman seperti saya. Buktinya, kalau dilogika, mana cukup untuk hidup dengan sepuluh ribu perak setiap minggu?’’ tuturnya kepada Jawa Pos saat ditemui di salah satu gedung pertunjukan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.

Mak Sur bercerita, dirinya bergabung dengan Ludruk Irama Budaya sejak 2003. Pada masa jaya, pementasan ludruk yang didirikan Sunaryo tersebut selalu dipenuhi penonton. Sejak pindah dari kawasan Wonokromo ke THR pada 2010, perlahan penonton setia mereka mulai hilang.

’’Mungkin kalah oleh Hi-tech itu. Kami berlokasi di belakang. Aksesnya gelap dan seram. Seakan tidak terurus. Orang jadi takut datang. Saya yakin masih banyak pencinta Ludruk Irama Budaya yang ingin melihat kami setiap minggu,’’ tegasnya.

’’Bu Risma (wali kota Surabaya, Red) mungkin takut datang ke sini. Buktinya, gak pernah sekali pun beliau datang ke sini nonton ludruk kami,’’ imbuhnya, lantas tersenyum.

Hal senada diungkapkan pemimpin Ludruk Irama Budaya Deden Irawan. Saat ini, Ludruk Irama Budaya selalu rugi setiap minggu. Penonton yang kurang dari 50 orang kadang membuat dirinya harus merogoh kantong sendiri untuk membiayai honor pemain. ’’Gak mentolo, tiap minggu cuman dapet sepuluh ribu tiap orang. Kalau tidak benar-benar cinta ludruk, siapa yang mau hidup seperti itu?’’ ungkapnya.

Deden merupakan generasi kedua dalam kepemimpinan Ludruk Irama Budaya. Bahkan, dia rela keluar dari pekerjaannya sebagai stafsalah satu perusahaan swasta untuk mengurusi ludruk yang didirikan ayah angkatnya tersebut. ’’Ini semua amanah. Kalau seumpama saya nyerah, Surabaya akan kehilangan satu warisan budaya yang sangat berharga,’’ tegasnya.

Berada di titik terendah dalam perjalanan Irama Budaya seperti sekarang membuat Deden dengan berat akan menjual Ludruk Irama Budaya. ’’Saya terpaksa. Mungkin alat-alat musiknya saja yang saya jual. Untuk nama Irama Budaya, saya masih berat melepaskan. Ini warisan dan amanah, harus dipertahankan walau berat,’’ ujar pria yang saat ini bekerja serabutan sebagai tukang bangunan tersebut.

Kondisi yang lebih baik dialami Sugeng Rogo. Pendiri Sanggar Seni Putra Taman Hirra di Kampung Seni THR itu terus bertahan dengan berbagai cara. Salah satunya, mengajarkan seni tradisional kepada anak-anak.

Saat ditemui Jawa Pos Minggu (17/5) di depan pintu masuk utama Gedung Pringgodani, Rogo tampak merapikan tumpukan berbagai kostum dan aksesori. Ada pula beberapa kardus yang juga berisi kostum. ’’Maaf ya, berantakan. Ada yang mau nyewa kostum-kostum ini,’’ jelasnya.

Dia lalu mengambil sebuah kaleng cat. Tidak lama kemudian, dia mulai mengecat sebuah mahkota. Sesekali dia meneliti pekerjaannya sebelum kembali menyapukan cat kuning ke badan mahkota. ’’Ini punya Raden Nakula,’’ jelasnya.

Berbeda dengan seniman lain, kehidupan Rogo dkk bisa dikatakan cukup mapan. ’’Banyak yang bisa nyekolahkan anaknya sampai jadi sarjana,’’ ungkap Rogo.

Jika tidak ada jadwal pentas, mereka mengerjakan hal lain yang tidak jauh-jauh dari dunia seni. Misalnya, menyewakan kostum sampai menjadi MC dalam acara pernikahan.

Bila dirunut ke belakang, Rogo bisa dikatakan tidak sengaja terjun ke dunia seni. ’’Saya jujur aja, dulu Pak Rogo itu preman. Dulu itu saya paling benci dengan ludruk, ketoprak, dan wayang orang,’’ ujarnya.

Temannya, Yadek, meminta dirinya jadi petugas keamanan THR. Karena pemain kurang, Rogo ditawari ikut tampil. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, lakon pertama Rogo adalah adegan laga tanpa percakapan.

’’Lama-kelamaan, saya kok merasa ada rasa tanggung jawab bahwa kesenian tradisional itu jangan sampai punah,’’ tegasnya.

Dia mengaku tidak pernah berharap menekuni kesenian tradisional selama 35 tahun, bahkan sampai menjadi sutradara pertunjukan seperti sekarang.

Kecintaan pada kesenian tradisional jugalah yang membuatnya mendirikan Sanggar Seni Putra Taman Hirra pada 2012. Di sanggar tersebut, anak-anak diajari cara bermain ludruk, ketoprak, dan seni tradisional lain. Segmentasinya memang dibatasi untuk anak-anak berusia 18 tahun ke bawah. Tujuannya hanya satu: dia menginginkan regenerasi.

Hingga saat ini, ada 92 anak yang bergabung dalam sanggar seni binaan Rogo. Mayoritas berusia lima hingga belasan tahun. Kepada murid-muridnya, Rogo mengajarkan kesenian tradisional asli sesuai dengan pakemnya. Jika ceritanya mengenai sejarah Majapahit, pertunjukan akan benar-benar menceritakan Majapahit kala itu.

Terkait dengan kegiatannya tersebut, Rogo membuat pertunjukan sebulan dua kali yang melibatkan anak-anak. Dia tergolong mandiri karena menjual tiket sendiri tanpa bantuan UPTD THR.

’’Kami berterima kasih kepada dinas pariwisata karena sudah difasilitasi gedung dan asrama untuk tinggal. Bahkan, kami diizinkan membuat pertunjukan sendiri,’’ ucap pria yang sanggar seninya menjadi pemenang favorit dalam Festival Ludruk 2015 itu.

Meski terseok, Rogo menegaskan akan terus berkarya dan meregenerasi kesenian tradisional lewat sanggar seninya. Harapannya hanya satu: budaya bangsa seperti ludruk, srimulat, wayang orang, ketoprak, dan wayang kulit itu tidak sampai hilang tergerus waktu. Sabtu pekan depan (30/5), Rogo menggelar pertunjukan ketoprak anak bertajuk Pemberontakan Rakuti (Sumpah Amukti Palapa) di Gedung Pringgodani. (*/c5/nda)

 

Penulis: Farid S Maulana-Ayu Fitri

Article courtesy: Jawapos.com

Photo courtesy: Indonesiakaya.com

Senja di Panggung Parikeno

Kemiskinan bukan takdir yang datang begitu saja tanpa bisa diajak bicara. Para seniman seni tradisional ludruk mencoba untuk terus menantang kemiskinan itu di atas panggung pertunjukan. Dari jalanan, mereka berteriak menertawakan nasib dan perilaku tak wajar dari nalar manusia.

Piring biyen tipis-tipis, piring saiki saka porselen. Maling biyen nggawa linggis, maling saiki nggawa pulpen (piring dahulu tipis-tipis, piring sekarang dari porselen. Pencuri dahulu pakai linggis, pencuri sekarang pakai pena).

Kidungan Jula-Juli Guyon Parikenodagelan Ludruk Irama Budaya masih menghiasi langit. Menceritakan kondisi negeri ini yang semakin banyak koruptor dalam guyonan rakyat, menempel erat dan membekas di hati rakyat kecil. Kidungan itu tertulis di selasela dinding. Menerobos ruang waktu yang terus menjadikan ludruk sebagai seni tradisional yang belum usang.

Mengenal Surabaya yang keras dan heroik harus mengenal ludruk yang terus dinamis dalam perjalanan waktu yang panjang dan melelahkan. Siang belum juga berlalu. Tiga pria masih mondar-mandir di depan kamar. Dua lainnya duduk termenung di atas kursi plastik tepat di depan serambi gedung pertunjukan.

Dalam kegelisahan itu, otak mereka harus memikirkan angka-angka uang yang harus didapat sebelum malam Minggu saat pertunjukan ludruk. Hanya pohon-pohon pole yang tumbuh subur di depan penampungan seniman ludruk yang memberikan ketenangan siang itu. Dalam hitungan hari, mereka harus bisa mengumpulkan uang minimal Rp400.000 untuk membeli bedak, alat rias, perkakas, dan beberapa kain.

Anggota ludruk Irama Budaya belum semuanya kumpul. Total ada 50 seniman ludruk yang tetap setia di jalur kebudayaan tradisional. Mereka masih berkutat mencari nafkah di luar jalur ludruk. Ada yang menjual koran, berdagang asongan di stasiun, juru parkir di Pasar Wonokromo, sampai tukang batu di pinggiran Surabaya. Menjelang senja, mendung sudah menyelimuti langit Surabaya.

Deden Irawan yang tadinya tenang mulai gelisah. Matanya terus memberikan tatapan kosong pada orang yang melintas di depan gedung pertunjukan ludruk di Taman Remaja Surabaya. Sejak pagi, dia belum merasakan sesuap nasi lewat di lambungnya. Demikian juga dengan istri dan anaknya yang memilih tiduran di kamar.

Kehidupan baginya seperti peruntungan. Nasib baik terkadang datang dengan tak terduga. Tapi yang pasti, setiap bulan penghasilannya dari ludruk hanya Rp40.000. Tiap tampil, dia mendapat feeRp10.000. “Kalau tak punya uang itu sudah biasa, tapi kesedihan kami akan terus terjadi kalau pertunjukan gagal dilakukan,” ujar Deden yang juga Ketua Ludruk Irama Budaya.

Setiap hari, Deden bersama istrinya menjalani hidup apa adanya. Periuk nasi yang ada di bagian ujung kamar dengan cat warna hitam itu belum juga ada isinya. Ruangan 3×4 meter itu menjadi singgahan baru bagi seniman ludruk Irama Budaya setelah bertahun-tahun bermukim di kawasan Pulo Wonokromo yang legendaris.

Perjalanan mereka pun sudah 27 tahun berada di jalan dan panggung kesenian sejak 10 November 1987. Di kamar yang sempit itu, Deden banyak berpikir tentang pola kehidupan dan gerak perubahan zaman. Hanya ada kasur yang menempel di lantai serta radio butut yang jadi teman setia dalam menghabiskan hari.

Kehidupan yang dijalani seperti lakon ludruk yang tiap malam Minggu selalu dilakukan. Nasib rakyat yang getir, sengsara, dan selalu kalah. Tiap selesai pertunjukan, para seniman ludruk memang menerima bayaran Rp10.000. Uang itu didapat dari karcis penonton yang ditarif Rp5.000 per orang. Gaji yang diterima seminggu sekali itu tentu tak cukup untuk membeli beras 1 kg.

Itu pun kadang harus tekor karena biaya pertunjukan lebih besar daripada penonton yang datang. Kalau lagi ramai, penonton yang datang bisa mencapai 200 orang. Tapi kalau lagi sepi bisa ditonton hanya lima orang saja. “Berapa pun orang yang datang, kami harus tetap tampil. Karena itu, banyak tekornya daripada untung,” katanya.

Murahnya tiket itu tentu tak membantu perekonomian para seniman ludruk, mereka masih tetap hidup apa adanya. Kerja serabutan pun dilakukan untuk menutupi celah kekurangan hidup. “Kalau mau kaya yajadi koruptor saja. Cepat kaya, cepat juga masuk penjaranya,” ucap pria yang sehari-hari mengadu nasib sebagai kuli bangunan itu.

Setiap pertunjukan ludruk, tak pernah membuat orang bosan. Mereka selalu menyajikan cerita rakyat dan masa kekinian yang dibungkus dalam setiap adegan. Kesenian rakyat selalu mempunyai cara untuk ”menusuk” lakon sosial politik dengan guyon Parikeno, candaan satiris yang membuat orang tertawa di tengah kepahitan panggung kehidupan yang nyata.

Ludruk juga bisa menjadi ruang untuk meluapkan kemarahan, kesedihan, dan tentu kegembiraan. Tak ada yang ditutupi dalam memberikan kritik maupun kisah keburukan. Ludruk tetap orisinal, pertunjukan jalanan yang terus melontarkan teladan, kisah perjuangan, keseimbangan hidup, dan kejujuran. Ia melanjutkan, perjalanan ludruk begitu panjang.

Saat fajar terjadi ketika penonton ludruk yang merupakan kesenian asli Jawa Timur sejak 1960–- 1980 sangat digandrungi masyarakat dan berbagai kalangan, termasuk orang kantor yang necis. Namun sejak tahun 90-an sampai sekarang kondisinya berubah, sudah masuk masa senja yang redup.

Penonton banyak datang dari menengah ke bawah seperti buruh pabrik, asongan, tambal ban, tukang parkir, kuli bangunan, tukang becak, pedagang kaki lima, dan tukang sol sepatu. Dalam lakon panggung, cerita perjuangan seperti Branjang Kawat, Si Pitung, Sawunggaling, Sarip Tambakoso, dan Sakerah masih menjadi idola. Kegigihan perjuangan rakyat Indonesia saat melawan penjajah dengan semangat perjuangan memberikan teladan bagi banyak orang.

Egaliter dan Milik Rakyat Jelata

Kupat aja digawe bubur, nek gak bubur rasane sepa. Dadi pejabat kudu sing jujur, nek gak jujur dadi intipe neraka(ketupat jangan dibuat menjadi bubur, kalau dibuat bubur rasanya hambar. Menjadi pejabat harus jujur, kalau tak jujur jadi keraknya neraka). Ludruk tak pernah menjadi penjilat.

Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan korupsi. Melalui panggung rakyat, ludruk ingin menyampaikan kegelisahan dan kebosanan rakyat pada penguasa yang korup. Karena itu, ludruk memiliki penonton fanatik. Mereka selalu hadir dan setia menunggu sampai larut malam untuk mengikuti rangkaian pertunjukan.

Duduk tertawa dan sesekali memberikan sahutan pada tokoh yang digemari. Mereka bergembira dan lupa terhadap nasib buruk hari ini yang dialami. Purwito, tukang becak asli Jombang duduk di kursi paling depan saat ludruk Irama Budaya mulai tampil. Ia tak pernah absen untuk datang ke pertunjukan ludruk yang digelar seminggu sekali.

Kocek Rp5.000 dikeluarkan dari kantong celananya. Meskipun hari ini pendapatannya tak banyak, ia masih rela mengeluarkan uang untuk menenangkan hatinya setelah seharian mengayuh becak di kawasan Kapas Krampung. “Sepi, nggakada yang diangkut (penumpang). Nanti setelah nontonludruk juga lupa kalau hari ini nggakdapat uang,” katanya sambil tersenyum.

Kerinduan pada ludruk memang tak bisa dipisahkan. Baginya, bagian yang paling disukai adalah pertunjukan yang tetap merakyat dan tak berlagak elit seperti orang kebanyakan saat ini. Karena itu, Purwito hanya bisa terdiam dan larut dalam buaian ketika kidungan yang menampilkan karakter egalitarian dan blak-blakan arek Suroboyo tak pernah mengajarkan kebiasaan mbendhol mburi(bersiasat menyembunyikan isi hati).

Lain halnya dengan Tarji. Tukang tambal ban yang biasanya beroperasi di Gubeng itu merasa ludruk sebagai keluarga. Banyak contoh dan cerita tentang kehidupan yang bisa didapat. Contoh tentang kesabaran, keberanian, kepemimpinan, sampai sifat amanah ada pada berbagai adegan dan dialog ludruk. “Nontontelevisi berbeda dengan ludruk. Nilainya tak terbatas dan banyak makna yang bisa dipetik,” katanya.

Kemajuan teknologi perlahan mulai menggeser peranan ludruk. Sebelumnya, banyak kisah sosial yang diangkat dari panggung ludruk untuk masyarakat. Sehingga butuh gerakan sosial yang menyeluruh untuk mengembalikan kejayaan ludruk di pentas nasional.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Jarianto mengatakan, saat ini perlu gerakan sosial untuk mengembangkan kesenian tradisional, termasuk ludruk. Karena itu, harus ada kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. “Minimal tiap tahun harus ada festival ludruk yang bisa menampung semua kreativitas masyarakat. Generasi muda juga perlu untuk ikut berkembang dan mengenal lebih dalam,” katanya.

Selain itu, lakon ludruk juga harus bisa dikenal anak-anak. Karena itu ada perubahan tafsir baru lakon Sarip Tambak Oso atau Sakerah. Banyaknya program pementasan diharapkan bisa mendongkrak ludruk untuk bisa digemari oleh anak muda.

 

Penulis: Aan Haryono

Article courtesy: Sindonews.com

Photo courtesy: Sindonews.com

Seniman Ludruk Masih Hidup

Pasuruan – Seni ludruk sempat memiliki masa kejayaan. Pertunjukan seni budaya rakyat asli Jawa Timur ini pada era 1965-an mendapatkan perhatian dan menyedot penonton cukup tinggi dari masyarakat. Sayang, seiring berkembangnya jaman, seni ludruk lambat laun mulai ditinggalkan.

Maraknya tontotonan seperti Sinetron, film bioskop dan kemudahan teknologi lainnya untuk bisa menyaksikan berbagai macam hiburan secara cepat dan mudah membuat kesenian seperti ludruk dilupakan dan tak mudah didapatkan oleh remaja sebagai generasi masa datang.

Beruntung, meski tak sejaya seperti masa silam, Kesenian tradisional ini masih tetap ada dan masih bisa kita nikmati di era saat ini. Tak tahu nasibnya nanti.

Di Pasuruan, tingkat animo masyarakat untuk menjadikan seni ludruk sebagai hiburan rakyat masih bisa diandalkan. Warga masih acapkali mendatangkan kelompok seniman ludruk untuk tampil dalam acara hajatan pernikahan, agustusan maupun perayaan dan slametan desa.

Keberadaan ludruk, khususnya di Kabupaten Pasuruan, masih tetap eksis. Bahkan, diakuinya terdapat sejumlah grup ludruk yang mengalami perkembangan, antara lainnya Ludruk Mahkota Budaya serta Ludruk Perdana asal Pasuruan.

“Kalau di Pasuruan, seni ludruk masih eksis,” kata Ki Bagong Sabdo Sinukerto, penggagas Paguyuban Seniman Ludruk Pasuruan (PSLP) awal pekan lalu.

Perkembangan itu bukan terjadi secara alami. Sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi seni ludruk di Pasuruan sempat mengalami keterpurukan. Banyak seniman ludruk yang terkesan dianggurkan atau tidak mendapat perhatian maksimal dari pihak terkait.

 

Penulis: –

Article courtesy: wartabromo.com

Photo courtesy: idenera.com

Kesenian Ludruk Malangan

Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur khususnya Surabaya, Jombang dan Malang. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.

Dialog dan monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa. Bahasa yang digunakan di ludruk yaitu bahasa yang lugas sehingga menjadikan kesenian ini disukai oleh masyarakat berbagai kalangan, mulai dari tukang becak, sopir angkutan umum, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Penggunaan bahasa intelek dalam kesenian ludruk hanya sedikit sekali, itupun hanya sebagai pelengkap kegiatan melawak.

Ludruk sebagai drama tradisional memiliki ciri khas, antara lain:

  1. Pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah.
  2. Memiliki pakem (konvensi).
  3. Terdapat pemeran wanita yang diperankan oleh laki-laki.
  4. Memiliki lagu khas, berupa kidungan jula-juli.
  5. Iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog.
  6. Pertunjukan dibuka dengan Tari Ngremo.
  7. Terdapat adegan Bedayan.
  8. Terdapat sajian/adegan lawak/dagelan.
  9. Terdapat selingan parodi.
  10. Lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan merupakan ekspresi kehidupan sehari-hari
  11. Terdapat kidungan, baik kidungan Tari Ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan
  12. Tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari.
  13. Bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa Jawa atau Madura.
  14. Kidungan terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari.
  15. Tampilan dikemas secara sederhana, dan sangat akrab dengan penonton.

Struktur pementasan kesenian ludruk adalah sebagai berikut:

  1. Pembukaan, diisi dengan atraksi Tari Ngremo.
  2. Atraksi bedayan, berupa tampilan beberapa parodi dengan berjoget ringan sambil melantunkan kidungan jula-juli,
  3. Adegan lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu kidungan disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi humor yang lucu.
  4. Penyajian lakon atau cerita. Bagian ini merupakan inti dari pementasan. Biasanya dibagi beberapa babak dan setiap babak dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan dengan menyajikan satu tembang jula-juli.

Sejarah ludruk di Malang terlahir dari embrio perlawanan di masa perjuangan, oleh karena itu tokoh lakon, cerita dan perlengkapan yang dimainkan selalu mengacu pada kehidupan sehari-hari era perjuangan. Sekitar tahun 1930 di Malang berdiri ludruk Ojo Dumeh didirikan oleh Abdul Madjid. Pada tahun-tahun selanjutnya bermunculan berbagai kelompok ludruk, antara lain Ludruk Djoko Muljo pimpinan Nadjiran di Embong Brantas (1936), Margo Utomo pimpinan Asnan atau Parto Gembos (sekitar 1936-1940), Sido Dadi Slamet pimpinan Temas tahun 1940-an, kemudian ludruk gerakan gerilya misalnya Ludruk SAGRI (Sandiwara Angkatan Gerilya Republik Indonesia, 1947-1948) pimpinan Said Djajadi. Sedangkan kelompok yang berorientasi hiburan antara lain Ludruk Aliran Baru tahun 1949.

Tahun 1950-an ludruk menjadi hiburan utama di Malang. Pada masa ini berdiri kelompok ludruk-ludruk baru yang sering disebut dengan Ludruk Bladjaran. Perkumpulan Ludruk Bond Malang Selatan pimpinan Kaprawi berdiri tahun 1952, salah satu anggotanya adalah Ludruk Bintang Malang Selatan. Tahun 1950-1960 berdiri beberapa kelompok ludruk yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi sosial politik antara lain Ludruk Juli Warna pimpinan Markasan, Ludruk Taruna pimpinan dr. Safril dan Gatot, Ludruk Bintang Massa (LKN) pimpinan Samsuri, Ludruk Melati (Lekra) pimpinan Darmo tahun 1960.

Pasca tahun 1965 beberapa ludruk yang ada di Malang digabungkan, di antaranya Ludruk Putra Bhakti menjadi Ludruk Anoraga yang dibina oleh Yonif 513 Brigif 2 Dam VIII Brawijaya. Pada tahun 1970-an kelompok ludruk berada di bawah binaan ABRI. Ludruk Anoraga dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II Inmindam VIII Brawijaya, Ludruk Sinar Budaya dibina oleh Brimob Kompi A Yon 412, Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang, Ludruk Perkasa Alam dibina AURI Malang.

Sekarang di Kota Malang hanya tersisa beberapa kumpulan ludruk dengan pemain yang tersebar dari berbagai wilayah di Malang Selatan dan Batu. Upaya untuk melestarikan Ludruk Malang banyak terkendala oleh pemain yang sekarang beralih profesi, tempat pementasan yang minim dan perhatian banyak pihak yang melihat ludruk sebagai kesenian berkonotasi negatif. Padahal nilai-nilai budaya yang tersirat dalam pementasan ludruk sangat relevan dengan jiwa sekarang yang selalu membutuhkan gerak sosial yang dinamis.

Pada tahun 1984, di Malang terdapat organisasi ludruk Paguyuban Organisasi Ludruk Malang (POLMA). Suyono, salah seorang seniman ludruk Malang, adalah salah satu pengurusnya. Pada masa itu, kesenian ludruk masih berkembang. Di Malang sendiri, terdapat sebuah organisasi ludruk yang disebut dengan PALMA atau Paguyuban Ludruk Arek Malang. Namun, paguyuban ludruk Malang yang ada saat ini seakan mati suri.

Sementara di Kabupaten Malang terdapat beberapa paguyuban seni ludruk yang masih bertahan di antaranya yang cukup terkenal yaitu Armada yang berada di Desa Rembun, Kecamatan Dampit. Bahkan ludruk Armada merupakan ludruk percontohan di Kabupaten Malang. Meski banyak tergeser dengan gempuran seni modern, ludruk pimpinan Eros Djarot Mustadjab tetap bertahan untuk menghidupkan kesenian luhur itu. Hampir satu dekade, Armada sempat mengalami masa-masa sulit. Saat ini mulai bangkit kembali.

Berikut daftar paguyuban seni ludruk di Malang:

  1. Subur Budaya Ketua: Kartono di Desa Sawahan, Kec. Turen
  2. Taruna Budaya Bhayangkara Ketua: Lapiono di Desa Ketindan, Kec. Lawang
  3. Taruna Budaya Ketua: Amin Sahara di Purwantoro, Kota Malang
  4. Sari Budaya Ketua: Sukirno di Desa Ngebruk, Kec. Poncokusumo
  5. POLMA Ketua: Kasman Padepokan Sastra Tantular Wendit Gg. PDAM 55 A Kec. Pakis
  6. Orkanda Ketua: Drs. Sunari di Desa Segaran, Kec. Gedangan
  7. Duta Remaja Ketua: Suwardi di Desa Banjarejo, Kec. Pagelaran
  8. Armada Ketua: Eros Djarot Mustadjab di Desa Rembun, Kec. Dampit
  9. PALMA Ketua: Totok Suprapto

 

Penulis: NgalamediaLABS

Article courtesy: ngalam.id

Photo courtesy: oklek-panjilaras.blogspot.co.id

 

Jatim Usung Kesenian Besutan ke Festival Pertura Tingkat Nasional

Provinsi Jawa Timur bakal mengusung kesenian asli Jawa Timur berupa “Besutan ” dalam ajang festival Pertunjukan Rakyat (Pertura) tingkat nasional yang bakal digelar di Padang Sumatera Barat, 24-25 Mei 2014. Besutan sendiri merupakan kesenian asli masyarakat Kabupaten Jombang yang konon lebih tua dari kesenian ludruk khas Jawa Timur.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur Harjogi melalui Kabid Jaringan Komunikasi Dra Isrowi Farida MSi mengatakan, kesenian besutan dalam istilah bahasa jawa berupa “sanepan”. Sengaja mengusung kesenian ini agar tidak punah dan keberadaannya diketahui masyarakat nasional.

“Mengusung cerita terkait riil kehiduapan masyarakat sehari hari, dan ada pesan luhur untuk masyarakat,” kata Isrowi Farida,” Rabu (7/5).

Dikatakan Isrowi, saat ini persiapan terus dilakukan, salah satunya dengan melakukan penyempurnaan alur cerita dan visi-misi cerita yang disuguhkan. “Nanti sebelum final, tanggal 22 Mei kita adakan pemusatan latian di Kantor Kominfo Jatim,” tambah Isrowi.

Seperti diketahui, Kelompok Pertura Jawa Timur lolos dalam seleksi sembilan besar Pertura se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI.

Sembilan peserta itulah yang nantinya akan dinilai secara langsung dalam pentas di atas panggung GOR Agus Salim Kota Padang untuk dipilih juaranya. Sembilan provinsi yang terpilih berdasarkan rekaman video itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Papua.

Grup Pertura Jawa Timur akan menampilkan seni pertunjukan rakyat besutan yang disutradarai Bambang SP. Grup ini didukung oleh pemain dan pemusik terdiri dari S. Djianto (Lamongan), Yuli (Kediri), Ratih Kumala Dewi (Bangkalan), Cahyono (Kominfo jatim), Rizky (Bojonegoro), Ganefowati (Kediri), Ketut Santoso (Surabaya) dan Totok S (Bangkalan). (fad)

 

Penulis: –

Article courtesy: Jatimprov.go.id

Photo courtesy: Kabarjoss.com

Kartolo: Jangan Sampai Belajar Ludruk ke Luar Negeri

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kartolo menyebutkan ludruk makin ditinggalkan. Seni teater tradisional dari Jawa Timur ini sudah tidak lagi menarik bagi generasi mudanya. Hal itu disampaikannya ketika diwawancara usai Kartolo tampil dalam pementasan ‘Matinya Sang Maestro’ di Jakarta pada Sabtu (12/4).

Disebutkan pemain ludruk kenamaan ini, perlu kerjasama antara Pemerintah dengan kelompok kesenian ludruk untuk menghidupkan kembali kesenian ini di Jawa Timur. Gedung-gedung pertunjukan yang ada juga perlu disubsidi. Perlu ada lomba pementasan ludruk untuk anak muda, dan ada pelajaran ludruk di sekolah atau dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

Laki-laki kelahiran 1945 di Pasuruan ini mengaku belajar seni ludruk secara otodidak.  Dia belajar teater dari bergabung dan mengiringi pertunjukan wayang kulit, ludruk, tayuban, sampai kemudian ngremo di atas panggung. Bahkan pernah melakukan pertunjukan keliling kota di Jawa Timur sampai dengan 15 hari berturut-turut.

Dari 1967 sampai 1980 dia di ludruk. Setelah itu seringnya dalam pertunjukan lawak. Walau kadang-kadang ikut main ludruk juga.

Walaupun hanya tamatan kelas enam Sekolah Rakyat (SR) tetapi dia mampu menghidupkan ludruk dan bergantung kepadanya. Rekaman lawakannya sangat populer hingga 1995. Bahkan, jumlah rekamannya mencapai 95 buah.

Dia tidak melarang generasi muda belajar seni modern. “Tetapi seni daerah juga harus dilestarikan, tidak saja ludruk. Sayang-sayang, kalau sampai ke luar negeri buat belajar ludruk.”

Ludruk sempat mencapai keemasannya dengan gedung pertunjukan teater yang penuh. Tetapi keadaan ini berlangsung sampai dengan munculnya televisi. Sejak makin banyaknya televise, keadaan itu berbalik. Orang enggan pergi gedung pertunjukan menonton ludruk karena banyak hal menarik sudah disediakan di televisi.

 

Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja

Article courtesy: Satuharapan.com

Photo courtesy: Satuharapan.com

Seni Rakyat di Ambang Sekarat, Semua Gedung Ludruk di Surabaya Tutup

SURYA Online,SURABAYA – Mati segan hidup tak mau. Peribahasa kuno itu pas untuk menggambarkan nasib terkini sejumlah kesenian rakyat dan kesenian tradisional. Kesenian-kesenian yang mendapat predikat warisan budaya bangsa ini semakin miskin pewaris.

Sebut saja di antaranya, ludruk beserta tari remo, dan karawitan. Lalu ketoprak, gandrung, dan tayub (tandak).

Surya mengambil sebagian kesenian ini sebagai contoh. Kebetulan deretan kesenian rakyat ini pernah menjadi ikon atau setidaknya akrab dengan Jatim.

Dulu, di tahun 1980-an, kesenian-kesenian ini menjadi menu utama panggung hiburan. Tapi putaran zaman menggerus pamor mereka. Di zaman digital sekarang, mereka belum mati. Tetapi panggung atraksi mereka sudah sulit dicari. Para seniman sendiri mengaku ngos-ngosan, mempertahankan warisan yang disebut-sebut sarat dengan nilai-nilai luhur itu.

Ludruk pernah menjadi ikon di Jatim atau setidaknya di Surabaya. Di masa jayanya dulu, seni lakon (drama khas Jawa Timuran ini) tak pernah berhenti melahirkan pesohor. Kini tinggal tiga yang tersisa di Surabaya, Sidiq Wibisono, Kartolo dan Sapari.

Itupun mereka sudah lama tidak menggeluti 100 persen dunia ludruk. Mereka memilih lawakan sebagai jalan mengais rezeki. Tidak ada lagi tobongan atau pentas keliling kota.

Kartolo menceritakan, dari sekitar 20-an grup ludruk yang pernah ada, kini tinggal tiga di Surabaya. Irama Budaya, Arboyo dan RRI. Itupun sudah tidak lengkap. Mereka saling pinjam personel untuk melengkapi penampilan.

Pria 67 tahun itu menyebut, membentuk grup ludruk tidak mudah. Butuh personel hingga puluhan orang. Sebab harus memiliki grup karawitan, penari remo pria dan wanita. Penari remo dalm ludruk mesti juga pintar berjula-juli atau ngidung.

“Yang bisa jula-juli inilah yang sulit sekali dicari,” kata Kartolo.

Belum personel grup musiknya yang juga tidak sedikit. Ada lakon-lakon dalam ludruk. Ada lakon antagonis, ada juga yang protagonis. Dan terakhir, ada banyolan yang dibawakan pelawak. Ludrukan Suroboyo harus menggunakan bahasa khas Suroboyoan. “Kalau ada piye-piyenya, atau ngapak-ngapak (Banyumasan), wah rusak,” kata Kartolo, sembari tertawa ketika diwawancarai Surya di kediamannya di Jalan Kupang Jaya I, Senin (20/1/2014).
(idl/ab/uni)

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Aris (Eto) Setiawan

Kesenian Ludruk di Bumi Majapahit Nyaris Hilang

“Dulu, banyak kelompok ludruk di Bumi Majapahit (Mojokerto, Jawa Timur), jumlahnya belasan, tapi sekarang di wilayah Kota Mojokerto hanya tinggal tiga kelompok,” ucap ketua kelompok ludruk Baru Budi, Isbandi Wibowo.

Ya, kesenian ludruk Mojokerto kini nyaris hilang, karena terpinggirkan dalam dunia hiburan modern di televisi, sehingga tinggal tiga kelompok yang tersisa, yakni Baru Budi di Empunala, Putra Madya di Bancang dan Sekar Budaya di Balong Cangkring.

“Hilangnya ludruk juga disebabkan karena perhatian pemerintah yang sangat kurang dalam upaya melestarikan kesenian asli Surabaya itu,” tutur pria paruh baya yang akrab disapa Cak Bowo itu, 7 Maret.

Melengkapi penjelasan Cak Bowo, ketua kelompok ludruk Putra Madya, Ibnu Sulkan mengatakan nasib ludruk Mojokerto sangat memprihatinkan.

“Ada dua kendala yang harus dihadapi oleh seniman ludruk,” ujar pensiunan Satpol PP itu sambil menunjukkan foto-foto pentasnya.

Kendala internal yaitu tuntutan ekonomi yang tidak bisa dipenuhi dari penghasilan ludruk, sehingga banyak seniman ludruk terpaksa berhenti dan memilih pekerjaan lain.

Sementara kendala eksternal yaitu bahasa ludruk yang tidak dimengerti anak muda, sehingga tidak ada generasi yang berminat meneruskan.

Apalagi, penampilan pemain ludruk yang dianggap kuno dan tidak menarik dan rendahnya SDM seniman yang tidak membuatnya mampu mengelola organisasi dengan baik.

“Kendala eksternal yang juga fatal adalah tidak adanya perhatian pemerintah. Selama pemerintahan dipegang oleh orang yang tidak memiliki ’basic’ seni, maka akan sangat sulit mengembangkan kesenian di suatu daerah,” ungkapnya.

Untuk jumlah pementasan, kedua seniman ludruk tersebut kompak mengatakan rata-rata mendapat satu kali panggilan pentas per bulan dengan patokan harga antara Rp9 juta hingga Rp15 juta, tergantung dari jaraknya.

“Honor itu dibagi dengan semua anggota menurut peran masing-masing. Dengan penghasilan sekecil itu, kami harus mencari usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidup,” timpalnya.

Usaha lain itu antara lain kelompok ludruk mereka bekerja sama dengan rumah produksi di Surabaya untuk memasarkan ludruk mereka dalam bentuk CD. “Untuk dua keping CD berdurasi 60 menit, kami mendapat bayaran Rp15 juta,” papar Cak Bowo.

Lain halnya dengan Sulkan. Ia mencari tambahan penghasilan dengan menjadi “Master of Ceremony” (MC) di pesta-pesta pernikahan adat Jawa dengan honor Rp1 juta per acara.

Cak Bowo maupun Sulkan mengaku tidak ingin berhenti menekuni profesi sebagai seniman ludruk, karena rasa cinta dan bangga terhadap budaya Jawa Timur itu.

Cak Durasim
Meskipun tak sebanyak dulu, agaknya masih ada beberapa orang di Mojokerto yang bertahan melestarikan ludruk sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Timur.

Rasa cinta dan bangga membuat para pelaku seni ludruk ini memilih untuk tetap setia menjalani profesinya.

“Sedih rasanya melihat tak ada generasi muda yang tertarik untuk meneruskan perjuangan kami dalam mempertahankan ludruk di Mojokerto dan saya yakin para seniman ludruk di kota lain pun merasakan hal yang sama,” ujar seniman ludruk dari Bancang, Mojokerto, Ibnu Sulkan.

Hal senada juga diungkapkan oleh seniman ludruk lainnya, Isbandi Wibowo. Baginya sangat sulit menumbuhkan minat generasi muda untuk melestarikan kesenian ini, karena perkembangan budaya telah menggeser selera masyarakat dari budaya tradisional ke budaya modern yang didukung dengan segala kemudahan iptek.

“Awalnya, ludruk berasal dari kesenian lerok di Jombang yaitu ’tandak lanang macak wedok lerak-lerok’ yang artinya penari laki-laki berdandan menor mirip perempuan. Lerok dibawakan oleh para pengamen yang berkeliling desa,” kupas Cak Bowo.

Sekitar tahun 1920, nama lerok diganti menjadi besutan, berasal dari kata “besut” yang dalam Bahasa Jawa berarti “bebet sing duwe maksud” atau pakaian yang memiliki arti. Besutan merupakan lawak mini yang terdiri dari 3-4 orang.

Para pelaku seni besutan memakai baju merah dengan selendang putih yang dililitkan di bagian perut atau topi beludru merah dengan kemben putih sebagai simbol munculnya bendera merah putih. Hal ini dilakukan karena tidak berani terang-terangan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang, seorang seniman asli Surabaya, Cak Durasim, memperkenalkan lawak yang mirip dengan besutan ke Surabaya, tepatnya di daerah Genteng Kali. Kesenian itu disebut dengan nama ludruk.

Cak Durasim terkenal dengan “parikan” atau pantunnya yang berani, yaitu “bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro” yang berarti Bekupon adalah rumah burung dara, bangsaku ikut (dijajah) Jepang semakin sengsara.

Pantun inilah yang kemudian dilaporkan oleh seorang penduduk pribumi yang menjadi mata-mata Jepang, sehingga Cak Durasim ditangkap dan dipenjara oleh Jepang di Genteng Kali hingga menemui ajalnya.

Filosofi Kehidupan
Sepeninggal Cak Durasim, generasi penerus ludruk terus bermunculan, bukan hanya di Surabaya tetapi juga di Jombang dan salah satu yang terkenal adalah ludruk Baru Budi Jombang. Ketika itu ludruk menjadi pelipur lara bagi penduduk pribumi yang sedang dijajah.

Pada tahun 1965, terjadi pergolakan partai-partai di Indonesia yang disebut dengan Gestapu. Hal ini menyebabkan ludruk kalang kabut dan banyak yang tidak bisa bertahan karena kondisi ekonomi negara yang tidak stabil.

Namun ada juga beberapa kelompok ludruk yang bernaung di bawah bendera partai, salah satunya Baru Budi yang kemudian berganti nama menjadi Marhen Muda, lalu berganti nama lagi menjadi Nusantara karena ada larangan memakai nama partai.

Awal tahun 1970, Cak Bowo memunculkan nama ludruk Baru Budi di Surabaya dan menjadi satu-satunya kelompok ludruk yang bergerak di industri periklanan.

Kala itu, Baru Budi menangani acara panggung dan produksi kaset-kaset lawak mini untuk radio dan kaset untuk iklan, terutama jamu dan obat.

Setelah meledak di Surabaya pada tahun 1977, awal tahun 1980, Cak Bowo membawa ludruk Baru Budi masuk ke Mojokerto dan mendapat penerimaan yang sangat baik dari masyarakat.

Langkah itu mendorong munculnya belasan kelompok ludruk lain di Mojokerto yang mengikuti kesuksesan Baru Budi.

Ludruk Mojokerto mengalami kejayaan sampai tahun 1995, lalu perlahan-lahan surut, karena munculnya televisi-televisi swasta yang menawarkan hiburan modern.

Keadaan tersebut semakin parah pada tahun 1997 karena terjadinya krisis moneter di Indonesia.

“Sepinya permintaan manggung dan tuntutan ekonomi yang besar membuat seniman ludruk memilih untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,” paparnya.

Akhirnya, satu per satu kelompok ludruk Mojokerto “gulung tikar” dari belasan kini hanya tinggal tiga kelompok saja yang tersisa.

“Padahal, ada banyak filosofi tentang kehidupan yang terselip dalam cerita-cerita ludruk, seperti sindiran korupsi, pendidikan, masalah kenegaraan, sejarah, dongeng rakyat tentang kebaikan dan keburukan,” tukasnya.

Bahkan, anak muda juga bisa mengetahui perbedaan kisah cinta zaman dulu dan sekarang. “Jadi, anak muda bisa belajar dari sana,” ulasnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah setempat segera mengambil langkah untuk menyelamatkan ludruk agar tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman.

“Misalnya, pemerintah bisa memasukkan ludruk ke dalam ekstra kurikuler di sekolah atau mata pelajaran lokal di Mojokerto, Surabaya, dan Jombang. Juga, pemerintah perlu mengadakan pementasan ludruk secara rutin untuk umum, misalnya pada HUT daerah,” pungkasnya.

 

Penulis: Musyawir

Article courtesy: Kompas.com

Photo courtesy: Indonesiakaya.com