Jombang – Feri Khoirul Arif, 28, warga Dusun/Desa/Kecamatan Jombang mampu menyulap triplek bekas menjadi barang bernilai jual. Seperti menjadi miniatur kendaraan. Saat Jawa Pos Radar Jombang mengunjungi rumahnya di gang kecil di belakang bekas stasiun Jombang Kota, Feri tengah sibuk dengan kayu-kayu di tangannya.
Berbentuk balok memanjang, kayu-kayu ini terlihat telah berbentuk menyerupai kereta api, lengkap dengan sinyal dan rel di bagian bawah keretanya. “Ini memang sedang menyelesaikan miniatur, untuk jenis kereta api modern,” terangnya.
Ya, selama tiga tahun terakhir, ia memang sibuk dengan kegiatan pembuatan miniatur kendaraan. Mulai dari truk trailer, truk kontainer, mobil dinas kepolisian, kereta hingga kendaraan tempur diproduksinya setiap hari. “Prinsipnya semua kendaraan bisa, cuma setahun terakhir ini yang lebih banyak pemesannya memang yang kereta api ini,” lanjutnya.
Berbagai bentuk kereta api pernah dibuatnya, mulai bentuk kereta kuno yang masih berbahan bakar kayu bakar, kereta uap hingga kereta modern dengan jalur listrik pernah dibuatnya. “Yang paling rumit itu kereta kuno, karena detailnya banyak, kalau modern biasanya lebih cepat, simpel bentuknya,” tambahnya.
Bahan utama dari miniaturnya ini adalah triplek. Feri menyebut triplek yang digunakan adalah triplek bekas. Ia biasa mendapatkan triplek ini dari beberapa proyek pembangunan rumah hingga proyek lain. “Ya kebanyakan triplek tidak terpakai, kecuali kalau sudah benar-benar tidak ada, saya mencari ke toko,” imbuh bapak satu anak ini.
Dipasarkan ke beberapa kota di Jawa Timur hingga Jawa Barat, produk buatannya ini dipatok dengan harga yang sepadan. Sebuah miniatur biasanya dihargai mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 1 juta tergantung bentuk dan ukuran miniatur. “Penjualan selama ini paling banyak di Bandung, Madiun, Jawa tengah beberapa, kalau di Jombang malah belum pernah ada yang pesan ini,” pungkas Feri.
Kendati dibuat dengan material sederhana, minatur buatan Feri bisa memiliki nilai jual tinggi. Hal ini tak lepas dari detail replika dan asesoris yang ia buat. “Ya, sampai detail terkecil harus lengkap, misal untuk kereta, jendela terkecil harus muncul di situ, asesoris sinyal juga harus dibuat semirip mungkin dengan aslinya,” ucapnya.
Detail ini disebutnya dimulai dari pembacaan gambar, pemesan miniatur, biasanya akan mengirimkan gambar kendaraan yang ingin dibuat. Feri, lantas mencari detail tiap sudut kendaraan itu untuk memastikan seluruh bodi kendaraan bisa terlihat.
“Setelah itu baru diukur skalanya, jadi biar berimbang dengan aslinya, karena miniatur dan mainan kan jadi beda karena presisi skalanya. Setelah itu ketemu baru digambar pola di triplek dan dipotong sampai disusun,” imbuh Feri.
Proses pewarnaan juga jadi hal yang menentukan kualitas miniatur ini. Pemilihan cat yang sesuai dan sama, dan pengerjaan yang halus membuat miniatur buatannya nyaris tampak tak terbuat dari kayu. “Jadi seperti barakuda kemarin itu kelihatannya besi kalau dilihat, padahal dari kayu, begitu juga miniatur kereta ini,” imbuhnya.
Karena pekerjaan yang detil ini pula, pembuatan miniatur kendaraan ini tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Untuk satu kendaraan, Feri menyebut butuh waktu hingga sepekan sampai benar-benar jadi dan bisa dikirim. “Karena tidak ada pekerja, saya kerjakan sendiri, sama seluruh pekerjaannya juga manual,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Meski lebaran masih jauh, tapi pernak perniknya disiapkan sejak sekarang. Salah satunya angpao dari kain flanel. “Pengalaman tahun lalu sangat kuwalahan, permintaan sangat banyak, sedangkan tenaganya kurang, karena angpao flanel banyak disukai anak-anak jadi banyak yang cari,” ungkap Ike, warga Plandi Jombang kemarin.
Ia menyiapkan angpao sejak sekarang, pasalnya tahun lalu ia sempat kewalahan dengan pesanan pelanggan. Apalagi pelanggan yang meminta bentuk sesuai keinginannya. Itu tidak bisa dikerjakan dalam waktu mendadak. “Ini antisipasi kalau ada yang custom, karena biasanya kalau dari saya bentuk dan jumlah yang didapat perlusin ya sudah paten. Tapi bisa pesan, kalau tidak mendadak,” tambahnya.
Membuat angpao dari kain flanel memang terlihat mudah, namun butuh keuletan untuk mengerjakannya. Pasalnya, masing-masing angpao harus dikerjakan manual satu per satu, tidak bisa langsung dalam jumlah banyak.
Angpao flanel sekarang menjadi barang yang banyak diburu saat musim lebaran. Awal angpao flanel mulai ramai, bentuknya masih sederhana, dengan bentuk gulungan flanel yang kemudian dihiasi dengan warna lain, sehingga membentuk sebuah jajanan astor kecil.
Tapi kini bentuk angpao flanel sudah semakin beragam. Mulai dari dompet kecil, hingga gelang tangan dengan berbagai karakter. “Justru sekarang yang tidak laku itu yang bentuk lama, sekarang yang banyak dicari bentuk gelang dan dompet, tahun lalu saya masih bikin bentuk astor, malah susah lakunya,” kata ibu satu anak ini.
Banyak karakter yang dijadikan motif angpao, mulai boneka hingga bunga-bunga. Dimulai dari memotong warna dasar angpao. Kemudian dua sisi dijahit menjadi satu. Jahit juga manual menggunakan jarum dan benang, tidak dengan jahit mesin. Ike menjahitnya dengan pola jahit tusuk feston. Untuk membentuk jahitan yang rapi dan kuat.
Setelah itu, ike juga harus memotong karakter yang diinginkan. Sebelumnya ia sudah membuat contoh dari kertas, yang kemudian digambar di atas kain flanel kemudian baru dipotong manual.
Setelah semua dipotong, bagian dari karakter tersebut ditempel satu per satu pada bentuk dasar dengan menggunakan lem tembak. “Kadang menambahkan sedikit motif dengan jahitan, misalnya membuat kumis kucing, atau garis-garis wortel,” tambahnya.
Untuk bentuk gelang, ia harus menambahkan perekat dan mengisi karakter dengan dakron. “Kalau ini lama, karakternya tidak ditempel tapi dijahit, kemudian ditambah dakron lalu dijahit lagi, ini sedikit lama karena prosesnya panjang,” imbuhnya.
Selain membuat angpao, ia juga membuat kreasi bentuk lain, yaitu gantungan kunci, bando, hingga tempat pensil dari kaleng bekas rokok dan alat peraga edukasi. Semua menggunakan kain flanel.
Ia menjual kreasinya dengan berbagai harga. Harga jualnya relatif murah, mulai belasan ribu untuk angpao flanel, hingga puluhan ribu untuk alat peraga edukasinya. “Peraga edukasi Rp 55 ribu sampai Rp 65 ribu, tergantung bentuknya,” jelasnya.
Ike lebih banyak menjual produknya secara online. Melalui marketplace juga media sosial. Selain Jawa Timur saja, pelanggan setia angpao flanel buatannya juga ada yang dari wilayah Aceh dan juga Kalimantan. “Jawa Barat juga banyak,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang –
– Beragam miniatur dari bahan bekas dihasilkan dari tangan kreatif Fatkhurrohan, 23, warga Dusun/Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto. Dari pria ini puluhan miniatur vespa hingga truk dibuat dengan bahan kaleng minuman yang tak terpakai.
Miniatur yang sudah jadi diletakkan berjajar di atas sebuah rak yang terpasang di tembok ruangan depan rumahnya. Ada puluhan miniatur di sini, dan seluruhnya berbahan kaleng. “Kalau bentuknya sementara masih dua saja, vespa sama truk kontainer,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (29/12).
Membuat miniatur kendaraan, disebutnya bukan hal yang sulit bagi dirinya. Diawali dari mencari kaleng bekas dari pengepu, rongsokan, Fatkhur, biasa mencari kaleng ini pada tetangganya yang punya bisnis pengepul rosok.
Proses pembuatan miniatur kendaraan yang memanfaatkan kaleng bekas minuman. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
“Ya beli, biasanya satu kilogram itu Rp. 12 ribu, itu sudah dapat banyak, tapi mencarinya ini harus yang satu jenis, juga harus masih utuh, tidak boleh yang penyok, apalagi kalau buat truk, kan warnanya harus sama,” lanjutnya.
Setelah itu, kaleng-kaleng ini akan dipotong bagian atas dan bawahnya hingga membentuk lembaran. Kaleng yang sudah lembaran ini kemudian dibentuk sesuai pola yang sudah disiapkan, setelah itu disatukan dengan lem. “Kalau vespa itu biasanya butuh tujuh kaleng, kalau truk lebih sedikit bahannya,” rincinya.
Setelah selesai dan membentuk kerangka mobil, bagian-bagian yang sudah dibuat baru dirakit dan dipoles, untuk miniatur truk, Fatkhur menyebut prosesnya akan lebih cepat daripada miniatur vespa. “Kalau truk kan tinggal mencocokkan polanya saja, sehari jadi, kalau vespa ini kan harus dicat dulu, biasanya dua hari jadinya, kalau tidak ada matahari bisa lebih lama jadinya,” tambahnya.
Ia biasa menjual miniaturnya ini seharga Rp 70 ribu untuk miniatur truk, dan Rp 100 ribu untuk miniatur vespa. “Kalau sampai sekarang penjualannya selain di Jombang juga sudah sampai Medan, Jakarta dan beberapa wilayah lain,” imbuhnya.
Bagi Fatkhurrohman, membuat miniatur memang bisa disebut iseng-iseng berhadiah. Produksinya inipun hingga kini masih tergantung dengan pesanan yang masuk. Dan pemasaran hanya dilakukan secara online.
Usaha ini, disebutnya sudah ditekuninya sejak setahun terakhir, berawal dari niatnya yang ingin membuatkan mainan untuk anaknya dengan bahan baku murah. Berbekal melihat beberapa tutorial di laman online, ia kemudian mencoba membuat miniatur truk kontainer.
“Waktu itu coba bikin truk awalnya, saya kreasikan pakai lampu juga, ada juga yang bisa di-remote control, terus bikin vespa juga, setelah itu saya posting di facebook,” imbuhnya.
Tak disangka, postingan itu banyak dilirik orang, bahkan beberapa diantaranya ikut memesan miniatur ini. Ia pun mulai kebanjiran pesanan, puluhan miniatur kemudian harus ia buat setelah makin banyak pemesan. “Ya buat memang kalau ada pesanan saja buatnya, mau bentuknya bagaimana atau diberi ornamen apa bisa saya buatkan,” lanjutnya.
Sementara untuk pemesanan, ia mengaku hingga kini masih mengandalkan sistem online, lantaran ia belum punya lapak atau tempat berdagang selain di rumahnya. “Ya kalau mau lihat bisa datang, tapi paling banyak masih di online mas,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Perayaan natal 2019 di GKJW Mojowarno kemarin pagi terlihat beda. Ribuan jemaat tumplek blek mengikuti rangkaian kebaktian sejak pagi, memakai kebaya dan diiringi musik gamelan sebagai bentuk melestarikan uri-uri budaya. Bahkan, bahasa pengantar yang disampaikan pendeta Muryo Jayadi gunakan Bahasa Jawa.
”Gereja kita ini Gereja Kriten Jawi Wetan dimana kita tetap melakukan kegiatan ibadah namun tidak meninggalkan tradisi,” ujar Rudy Prasetyoati, ketua panitia kemarin. Sehingga, semua prosesi kebaktian dikemas dengan tradisi Jawa. Mulai dari musik, pakaian, iringan lagu hingga bahasa yang digunakan.
”Seperti saat kita membawakan lagu pujian kidung pasamuan, kita juga menggunakan Bahasa Jawa, meskipun bisa gunakan Bahasa Indonesia,” tambahnya. Meski begitu, ia tak menampik jika kesulitan melatih generasi muda yang mau melestarikan budaya Jawa.
Terutama dalam memainkan musim gamelan yang butuh lebih dari satu jemaat. ”Sehingga dalam momen ini kita juga ingin mengenalkan ke generasi muda,” jelas dia. Total jemaat yang mengikuti kegiatan kebaktian kemarin 2.400 orang dari berbagai desa sekitar Kecamatan Mojowarno dan Kecamatan Bareng.
Diantaranya ada 40 remaja yang mengikuti kegiatan sidhi atau pengakuan iman seorang dari masa remaja ke dewasa. ”Harapannya bisa membangun rasa persauadaraan, persahabatan, kepada semua orang karena hidup itu tidak boleh memilih teman,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang, Radar Jombang – Keterbatasan fisik tak membuat Slamet Hari Budiyono, difabel asal Kelurahan Jombatan, Kecamatan Jombang, putus asa dalam menjalani hidup. Belajar secara otodidak, Slamet kini sukses menjadi pengusaha sarung keris. Bahkan dalam bulan Suro tahun ini, pesanan sarung keris buatan Slamet meningkat.
”Saya membuat warangka sejak 1982,” ujar dia ditemui Jawa Pos Radar Jombang kemarin (1/9). Pria kelahiran Jombang 12 Januari 1960 ini mengalami lumpuh kaki karena terserang polio sewaktu masih kecil. Akhirnya, seumur hidupnya dia menggunakan bantuan kruk dan gledhekan untuk berjalan.
Kendati demikian, tak pernah membuatnya patah semangat. ”Ya memang begini keadaannya. Harus tetap bersyukur,” sambungnya. Membuat warangka keris merupakan satu-satunya keahlian untuk meneruskan hidup. Sebab, di zaman sekarang ijasah SD tak akan laku untuk melamar pekerjaan. Apalagi kondisinya yang tak memungkinkan untuk bekerja ekstra.
”Saya dulu suka koleksi barang-barang antik. Termasuk keris dan pusaka,” tutur dia. Namun, setelah mengetahui harga warangka cukup mahal diapun belajar secara otodidak dari kayu sonokeling. Untuk belajar membuat warangka, dia menghabiskan waktu sekitar empat bulan. ”Setelah saya tekuni ternyata ada yang pesan. Bahkan, lumayan ada yang mencari saya untuk membuat warangka,” sambung dia.
Hampir 37 tahun menggeluti kerajinan warangka, nama Slamet kini terus dikenal. Pelanggannya tidak hanya dari Jombang, juga dari Tuban, Kediri, Gresik, Surabaya dan daerah lain juga sering mendatanginya. Harga yang ditawarkan juga bersaing, mulai Rp 100 ribu dengan ukuran yang paling kecil hingga Rp 500 ribu dengan balutan kuningan.
”Harganya tergantung model. Kalau yang standar begini Rp 300 ribu,” jelas dia. Untuk membuat warangka keris, tidak sembarang kayu bisa dipakai. Hanya beberapa kayu yang memiliki kualitas bagus untuk membuat warangka misalnya sonokeling, timongo dan kemuning. ”Sebab kayu ini ringan tapi kuat,” jelas dia.
Memasuki bulan Suro seperti ini, diakui untuk pesanan warangka mulai banyak. Sebagian masih menawar nawar harga dan sebagian lainnya sudah memesan. ”Ini saya dapat pesanan dua warangka,” tandasnya. Tidak hanya memesan warangka, khusus pelanggan tetap biasanya hanya datang untuk mereparasi warangka tersebut. ”Kalau reparasi murah, tinggal melihat apa yang diperbaiki,” pungkasnya. (ang)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang, Radar Jombang – Wilayah utara Brantas sejak dulu memang dikenal sebagai tempatnya kuliner ekstrim. Selain belalang, bekicot, dan katak hijau yang banyak dijual di berbagai warung. Ada pula menu kuliner ekstrim lain yaitu rica-rica biawak.
Menu ini bisa didapatkan di warung milik Sesta Linggara, 25, di Jalan Raya Kabuh-Tapen, Dusun Panemon, Desa Bakalanrayung, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Rasa utamanya adalah pedas gurih, dan tak hanya digandrungi warga utara Brantas namun juga dari luar daerah.
Biawak yang diolah menjadi rica-rica adalah dagingnya, sedangkan kulit diolah menjadi keripik. Harga makanan ini cukup terjangkau. Satu porsi rica-rica biawak ditambah nasi dan es teh, hanya Rp 20 ribu. “Daging biawak dikirim dari Ngimbang Lamongan, disana ada pengepul daging biawak yang sudah siap olah,” kata Sesta kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Setiap dua hari sekali, ia mendapat kiriman sebanyak 10 kilo daging biawak siap olah. “Jadi yang datang bukan biawak hidup, tapi sudah potongan dan siap masak. 10 kilogram itu rata-rata habis dalam dua hari,” imbuhnya. Dalam proses memasak, daging biawah diracik dengan bumbu tradisional yang kaya rempah.
“Bumbunya mulai dari bawang merah, bawang putih, serai, kunyit, daun jeruk, dan rempah lainnya,” lanjutnya. Lama memasak kurang lebih 30 menit, lumayan lama karena daging biawak harus benar-benar matang agar lunak saat dimakan. Karena dimasak rica-rica, kuahnya tak begitu banyak. Jika dilihat dari fisiknya, biawak memang terlihat menjijikkan.
Bentuk reptil penunggu sungai ini memiliki nama latin ‘Varanus Albigularis’. Sepintas agak mirip kadal, hanya saja warnanya hitam kelam dengan bintik putih. Namun meksi begitu, ternyata pelanggan rica-rica biawak cukup banyak dan beragam profesi. Mulai dari aparatur pemerintah, sopir truk, petani, hingga kalangan muda mudi.
Rica-rica biawak buatan Sesta bahkan pernah dibawa beberapa pelanggan ke Sulawesi untuk merantau. Ia sendiri menekuni usahanya kurang lebih 5 tahun lalu, bersama kedua orang tuanya. ”Dulu memang niatnya buka usaha warung, dengan menu makanan ekstrim,” imbuhnya.
Tak hanya olahan biawak, warungnya juga menjual berbagai macam olahan bekicot, katak hijau, mentok, belut, dan ikan gabus. Namun yang bertahan hingga saat ini, adalah menu olahan biawak, bekicot, dan mentok. (*)
(jo/mar/bin/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang, Radar Jombang – Di Dusun Dukuh, Desa Dukuhklopo, Kecamatan Peterongan mulai dikenal sebagai sentra bunga pacar air, akrab disebut cimbong. Hasil panennya sebagian besar dijual ke Surabaya.
Salah satunya milik Kasan. Dia sudah menanam bunga itu sejak 10 tahun silam. “Sebenarnya sudah lama, kalau bapak saya (Kasan) itu 10 tahun lebih,” kata Kurniawan Santoso, anak Kasan.
Menurut lelaki usia 24 tahun ini, jumlah petani yang menanam bunga itu sekarang ini terbilang masih sedikit. Tak sampai 10 orang. “Kalau di sawah memang tidak banyak, hanya lima orang saja. Tapi kalau yang di pekarangan dan kebun itu bisa lebih dari 10 orang,” imbuh dia.
Bunga pacar air yang ditanam Warga Dusun Dukuh, Desa Dukuhklopo, Kecamatan Peterongan. (Ainul Hafidz)
Sawah milik Kasan misalnya, dengan luas banon 500 atau sekitar 7.000 m2 kini ditanami bunga itu. Di setiap tahun petani di wilayah setempat mesti menanam bunga dengan nama latin impatiens balsamina. Terutama ketika mendekati Ramadan.
Mereka mesti kembali menggarap sawahnya dengan menanam bunga pacar air. “Di luar puasa dan hari raya, sawah tetap ditanami padi atau jagung. Kalau cimbong itu menjelang puasa itu sudah pasti,” imbuh dia.
Menurut dia, alasan petani menanam bunga itu karena beberapa hal. Selain dinilai lebih praktis, juga karena harga. Jika saat ini sekantong kresek merah besar dijual Rp 15.000-Rp 20.000 lain lagi saat mendekati Ramadan dan hari raya. Harganya bisa mencapai Rp 100 ribu.
“Panennya juga cepat, sekitar 35 hari setelah tanam itu sudah bisa dipetik. Biasanya punya bapak saya itu petik setiap hari, cuma per spot, jadi tidak seluruhnya dipetik,” beber Iwan lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Biasanya sekitar tiga bulan berbunga, setelahnya pohon pacar air mati. Para petani akan kembali menanam pada tahun berikutnya. “Kalau soal bibit kita sudah ada persiapan. Jadi bunga itu kan ada bijinya, nah biji itu dikeringkan kemudian disemai. Jadi setiap tahun itu terus berputar, jadi kita tidak perlu cari atau beli bibit,” urai Iwan.
Sembari menunjukkan biji bunga, menurut dia, untuk perawatan tanaman itu hampir sama dengan tanaman bunga pada umumnya. Hama dan penyakit menjadi momok petani. “Untuk hama bisanya kepik atau ulat. Kalau cuaca memang cocoknya ditanam saat musim kemarau, biar pun namanya pacar air tapi kalau terlalu banyak air akan layu dan bisa-bisa mati,” beber Iwan.
Bunga pacar air memiliki banyak warna. Namun warna merah ternyata menjadi ciri khas Jombang. Asma salah seorang petani menuturkan, warna bunga pacar air yang dijual dari petani Jombang berbeda dengan daerah lain. “Kalau Pasuruan dan Malang itu benar merah tapi ada bintik-bintik putihnya. Kalau Jombang ini yang khas merah merona,” kata Asma.
Sembari memperlihatkan bunga yang baru saja dipetik, karena warna tersebut khas hampir seluruh petani yang menanam warna bunganya seragam. Seluruhnya menanam bunga pacar air merah. “Untuk varietasnya kurang tahu, memang ada yang campur putih. Di Jombang dulu pernah begitu, tapi lama kelamaan beralih ke yang merah,” ungkap dia.
Penjualannya kata wanita berkerudung ini tak hanya berkutat di Jombang. Mereka yang menanam di area sawah biasanya menjual langsung ke Surabaya. Panen miliknya contohnya setiap dua hari sekali selalu dikirim ke Surabaya. “Ada yang jual di Jombang, biasanya itu mereka yang langsung ke pembeli. Tapi kalau kita lebih banyak ke Pasar Kupang,”’ sambung Asma.
Usai dipetik lanjut dia, tidak butuh waktu lama kemudian dijual. Petani juga tak perlu kerepotan melakukan penjemuran. Hanya saat bunga terkena air hujan dikeringkan. “Kalau panas begini tidak pakai dijemur, sudah kresekan besoknya dibawa ke Pasar Kupang,” papar dia.
Selain bunga pacar air lanjut dia, terkadang petani melengkapi bunga lainnya. Seperti kamboja dan gading kuning. Maklum, bunga-bunga itu lebih banyak dijadikan untuk ziarah ke makam dan upacara adat. “Di Kupang pusatnya jual bunga, semua jenis bunga untuk keperluan ke pesarean pasti ada. Makanya lebih banyak yang jual ke sana dari pada di Jombang,” pungkas Asma. (fid)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Pendahuluan
Di era modern saat ini, banyak sekali bermacam – macam kreativitas maupun inovasi yang telah dikembangkan oleh masyarakat. Hal tersebut menciptakan sebuah potensi yang dapat dikembangkan sebagai terobosan sebuah bisnis yang menguntungkan. Di dalam dunia bisnis, keuntungan dapat ditunjang oleh beberapa faktor yaitu dari tingkat SDM dan pengembangan teknologi yang telah dimutakhirkan. Inilah alasan mengapa seorang pebisnis melihat secara komprehensif faktor yang dapat mempengaruhi keuntungan sebuah bisnis.
Teknologi merupakan salah satu media penunjang dalam sebuah bisnis. Beberapa tempat di dunia sudah mengembangkan teknologi yang tidak membutuhkan banyak sumber daya dalam penggunaannya dan hasil yang di dapatkan juga berlipat ganda. Namun, tidak menutup kemungkinan beberapa daerah masih menggunakan teknologi konvensional. Alasan mengapa hal tersebut terjadi adalah SDM yang rendah juga terbatasnya informasi yang di dapatkan. Tingkat edukasi yang dimiliki juga dapat mempengaruhi kualitas dalam pengoptimalan teknologi yang dipakai. Sehingga produksi yang dihasilkan belum mencapai titik maksimal dikarenakan hal tersebut.
Dilihat dari potensi masyarakat untuk mengembangkan bisnis di dunia perairan sangatlah rendah. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat, khususnya Dusun Glugu belum pernah mencoba mengembangkan potensi bisnis di bidang lain. Sehubungan dengan adanya program Kuliah Kerja Nyata dari Universitas Muhammadiyah Malang, Tim KKN 64 yang bertugas di Dusun Glugu memiliki inisiatif untuk mengembangkan potensi baru dibidang perikanan. Salah satu program unggulan dari Tim KKN 64 yaitu Pengenalan Teknologi Akuaponik.
Dusun Glugu, Katemas, Kudu, Jombang
Dusun Glugu merupakan salah satu bagian dari Desa Katemas yang berada di Kecamatan Kudu dimana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan peternak. Menurut data Pemerintah Kabupaten Jombang pada tahun 2014, jumlah jiwa yang menempati Kecamatan Kudu yaitu 28.908 jiwa, sedangkan menurut sensus pada tahun 2009 yang dilakukan di Desa Katemas berjumlah 4.225 jiwa. Dilihat dari kondisi topografi, dusun ini termasuk wilayah yang kering dan tidak memiliki intensitas air yang cukup tinggi untuk mengembangkan potensi pertanian. Menurut data Kabupaten Jombang tahun 2016, panjang sungai Desa Katemas yaitu 10.440 Km dan debit air yang dimiliki sebesar 0,77 m3 (min) dan 20,00 m3 (maks). Untuk wilayah Glugu sendiri, menurut data Kabupaten Jombang 2012, Luas waduk yang dimiliki yaitu 0,48 Ha, Volume waduk 5.760 m3 untuk pengairah diseluruh sawah yang berada di dalam dusun.
Mayoritas petani di Dusun Glugu merupakan petani tembakau, dikarenakan intensitas air yang rendah dan juga kondisi tanah yang kering juga menunjang kualitas tembakau yang dihasilkan. Inilah alasan mengapa petani masih mempertahankan tembakau sebagai aset terbesar yang dimiliki oleh dusun tersebut. Seiring pergantian musim, petani juga menanam padi atau jagung pada musim hujan. Kurangnya air juga menjadi kendala saat musim kemarau tiba, maka dari itu petani lebih memilih menanam tembakau. Peternak di wilayah tersebut sebagian besar memilih untuk beternak sapi, kambing, dan ayam. Penghasilan dari peternakan juga cukup untuk menunjang sebagian besar perekonomian masyarakat di dusun tersebut.
Pengenalan Teknologi Akuaponik Kepada Masyarakat
Akuaponik adalah teknologi yang diciptakan untuk menggabungkan budidaya perikanan serta pertanian dalam satu wadah. Teknologi ini memiliki keuntungan dalam sistem pengolahannya yaitu penghematan sumber daya air dan listrik. Sehingga teknologi ini terbilang ramah lingkungan serta dalam penempatannya juga tidak memerlukan ruang yang luas. Teknologi ini biasanya memakai ikan air tawar konsumsi seperti ikan lele, bandeng, nila dan lain-lain. Begitupun juga dengan tanaman yang menggunakan tanaman pangan seperti kangkung, sawi, selada dan lain-lain. Perawatan pada teknologi ini sama seperti budidaya pada umumnya, yang berbeda yaitu tidak perlu mengganti air media (sipon), hanya saja perlu menambah debit air dikarenakan pasti berkurang akibat digunakan tanaman untuk tumbuh.
Akuaponik merupakan terobosan bagi masyarakat di wilayah Dusun Glugu yang memiliki debit air yang minim. Disamping itu pemanfaatan Akuaponik juga memiliki keuntungan tersendiri. Ditinjau dari keuntungan yang dihasilkan, hal ini dapat meningkatkan produktivitas ekonomi di wilayah Dusun Glugu. Dilihat dari potensi masyarakat khususnya, penerapan teknologi ini difokuskan kepada ibu – ibu yang tidak memiliki aktivitas selain kegiatan rumah. Tim KKN 64 Universitas Muhammadiyah Malang mencoba memberikan pengenalan serta pengarahan terkait proses pengolahan Akuaponik tersebut. Respon yang di dapatkan cukup interaktif. Melalui teknologi ini Tim KKN 64 memiliki harapan untuk menunjang perekonomian masyarakat Dusun Glugu. Dilihat dari pendapat masyarakat yang telah dihasilkan selama ini, mayoritas masyarakat dusun setempat masih berharap tinggi kepada pertanian.
Dengan adanya teknologi ini, masyarakat memiliki pandangan lain mengenai dunia bisnis. Keuntungan lain yang di dapatkan dari teknologi ini adalah ramah lingkungan. Disisi lain, hal ini menjadi terobosan baru untuk memaksimalkan ruang yang tersedia sebagai lahan bisnis. Sebagai permulaan, Tim KKN 64 UMM mencoba menerapkan teknologi ini di dalam sekolah MI Muhammadiyah sebagai harapan agar nantinya dapat dimanfaatkan oleh para siswa dan siswi yang ada di sekolah tersebut. Hal ini didukung oleh para guru yang berada di wilayah sekolah sebagai aset agar suatu saat dapat dimanfaatkan sebagai metode pembelajaran baru dan memberikan dasar tentang pembudidayaan ikan dan sayur dalam satu wadah.
Kesimpulan
Dari seluruh data yang telah diutarakan sebelumnya, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa teknologi ini termasuk ramah lingkungan dan memiliki fleksibilitas tinggi dalam pengolahannya dikarenakan tidak membutuhkan ruang yang luas serta penggunaan sumber daya yang rendah sebagai salah satu keuntungan besar bagi teknologi tersebut. Sasaran dari program tersebut tidak hanya pada Ibu – Ibu dusun setempat namun juga para murid yang berada di dalam sekolah beserta para guru. Teknologi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai metode pembelajaran baru bagi masyarakat yang berada di dalam area Dusun Glugu. Tim KKN 64 UMM juga berhasil mengenalkan serta memberikan pelatihan dalam menerapkan teknologi tersebut. Ini juga menjadi salah satu tolak ukur bahwa Tim KKN 64 UMM berhasil memberikan ide kepada masyarakat terhadap lingkungan dunia bisnis baru.
Jombang, Radar Jombang – Meski produksinya masih minim dengan perajin yang masih bisa dihitung jari, namun knalpot produksi warga Desa Sambong ini tak kalah kualitasnya. Bahkan harganya pun terhitung sangat miring harga knalpot di kawasan Jawa Timur.
Lokasi bengkel-bengkel ini juga bisa ditemukan dengan mudah. Berada di sepanjang Jalan Brigjen Kretarto, bangkel ini berjajar di sepanjang jalan nasional ini. Setidaknya ada sembilan perajin yang menyediakan knalpot untuk berbagai kendaraan juga dengan berbagai ukuran dan modelnya.
“Sambong memang sudah tempatnya mas kalau untuk bengkel-bengkel knalpot. Jumlah bengkelnya sekarang di daerah sini saja sudah sembilan bengkel,” terang Agus Yuli, 39, salah satu pemilik bengkel.
Bengkel-bengkel knalpot ini, disebutnya sudah ada sejak tahun 1990-an, bermula dari dua orang warga yang membuka bengkel. “Tahun pastinya tidak ingat saya yang jelas tahun 1990-an, dulu asalnya dua saja, Pak Takin sama Barokah itu,” lanjutnya.
Jumlah bengkel terus bertambah dengan makin banyaknya karyawan dua bengkel knalpot itu yang mandiri dengan membuka bengkel sendiri. Bahkan, kini “alumni” bengkel ini disebutnya juga sudah menyebar ke beberapa lokasi lain dan membuka usaha sendiri.
Meski berbentuk kecil, bengkel-bengkel ini telah jadi langganan banyak pengguna mobil dan motor, hampir di seluruh Jawa Timur. Harga yang cukup miring ditambah kualitas yang tak kalah dengan banyak produksi knalpot di kota lain lah yang jadi alasan.
“Kalau yang ke sini biasanya dari Malang ada, Sidoarjo, Surabaya, rata-rata anak club biasanya. Ya karena harganya pasti murah, kalau kualitasnya juga sama kok dengan knalpot bikinan kota-kota besar,” tambah pria yang akrab disapa Kechenk ini. (riz)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang, Radar Jombang – Keuletan Tajudin, 60, membikin miniatur mobil-mobilan klasik berbahan dasar kayu triplek patut diacungi jempol. Selain bernilai jual tinggi, minatur mobil buatannya ini juga tembus hingga Singapura.
Jemari Tajudin terlihat begitu ulet memotong kayu triplek sebagai bahan dasar miniatur mobil-mobilan klasik. Satu per satu balok triplek disulap menjadi mobil klasik apik yang memiliki nilai jual tinggi.
Tajudin merupakan warga asli Desa Sumberagung, Kecamatan Perak yang sudah delapan tahun menekuni kerajinan kayu membuat miniatur mobil-mobilan klasik. Semua bahan dasarnya menggunakan kayu, misalnya untuk bagian bodi mobil, Tajudin memakai triplek, lalu untuk roda Tajudin menggunakan kayu mahoni yang sudah dibubut.
Beberapa jenis mobil klasik buatan Tajudin yang sering dijual diantaranya, Chevrolet Deluxe keluaran tahun 1950-an, Chevrolet Master, Toyota Hardtop, Jeep hingga Volkswagen Beetle atau yang lebih umum disebut VW kodok. “Saya sejak dulu suka dengan mobil klasik, makanya hal itu saya ekspresikan dalam bentuk miniatur mobil-mobilan ini,”’ ungkap dia.
Tajudin sejak muda memang memiliki keahlian di bidang arsitektur. Dia sering membikin perabotan rumah tangga seperti kursi dan meja. Namun dia menilai membuat miniatur mobil-mobilan jauh lebih menguntungkan daripada membikin perabotan. “Apalagi, membuat mobil-mobilan klasik mengingatkan zaman dulu,” tambahnya.
Bapak lima anak ini mengaku sudah delapan tahun menggeluti miniatur mobil mobilan klasik. Karyanya sudah dipasarkan kemana-mana mulai pasar lokal, luar Jawa seperti Bali, Bangka Belitung hingga Singapura. “Kebetulan ada orang yang sering pesan ke sini, kalau pesan langsung 10 unit dan katanya dijual lagi ke Singapura,”’ tambah dia.
Untuk menyelesaikan satu mobil ukuran 50×10 cm, Tajudin membutuhkan waktu paling cepat sekitar lima hari. Itupun jika bagiannya tidak terlalu rumit seperti mobil jenis Buick Super yang dulu dipakai Presiden RI Soekarno. “Paling cepat memang lima hari. tapi kalau mobilnya minta detail ya bisa molor hingga 12 hari,” terangnya.
Satuan mobil klasik dijual dengan harga Rp 350 ribu. namun terkadang, pembeli masih menawar dengan harga jauh di bawahnya. “Saya jualnya 350 ribu. tapi biasanya ditawar hingga 275 ribu,” terangnya.
Tajudin tak bisa memproduksi dalam jumlah banyak sekaligus, selain terkendala alat di rumah, Tajudin juga terkendala dengan modal. ”Kalau alatnya memang terbatas tidak semua alat saya punya. Misalnya untuk bubut kayu itu saya pesankan ke tetangga,” pungkasnya. (ang)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com