JOMBANG – Belum banyak yang tahu, jika di Jombang ada pembuat gantungan baju. Ya, Viki Maulana, warga Dusun/Desa Jogoloyo Kecamatan Sumobito, menggeluti usaha gantungan baju yang dirintis orang tuanya.
“Usaha ini sebetulnya dirintis ayah saya sejak tahun 1996, saya hanya meneruskan, ceritanya dulu memang hanya iseng memanfaatkan kawat bekas gantungan timba. Karena ada saudara yang membuat gantungan timba, ayah saya mencoba membuat gantungan baju, terus berhasil dan sampai sekarang tetap jalan,” begitulah sepenggal cerita yang diungkapkan Viki, sapaan akrabnya kemarin.
Berawal dari yang sangat sederhana itulah, tak disangka usaha yang dirintis ayahnya bertahan hingga saat ini. Tentu saja kini sudah tidak menggunakan kawat bekas lagi, karena banyaknya pesanan dari pelanggan. Namun ia tetap memanfaatkan limbah kayu dari pabrik besar dari Gresik untuk diolah kembali.
Ia sengaja tak membeli kayu gelondongan, alasannya karena harga yang terlalu mahal dan pengerjaan yang lebih rumit. Berbeda dengan serpihan kayu bekas, ia hanya perlu memotong sesuai panjang yang diinginkan.
“Kalau kayu gelondongan mahal sekali, apalagi memotongnya nanti masih dalam bentuk besar, jadi sampai saat ini hanya menggunakan kayu limbah dari pabrik di Gresik,” tambahnya.
Sejak gantungan bajunya banyak diminati, ia tak lagi membuat gantungannya dengan menggunakan kawat bekas. Sayangnya semakin berkembangnya usahanya semakin mahal pula bahan baku.
Kenaikan dolar yang membuat kenaikan semua bahan baku tentu berimbas pada kenaikan harga jualnya pula. Beruntung, kenaikan harga tak berlangsung drastis sehingga masih cukup bisa diterima masyarakat.
“Kenaikan tidak langsung banyak, jadi masih dimaklumi, kita juga menyesuaikan harga bahan baku dengan harga jualnya, agar tidak rugi,” jelasnya. Dari tahun ke tahun, Viki mengaku mengalami kenaikan harga secara berkala. Dulu awal penjualan, gantungan bajunya hanya dijual mulai Rp 1.800 hingga Rp 2.500 saja. Tapi sekarang bisa mencapai Rp 5 ribu sesuai dengan ukurannya.
Untuk ukuran paling pendek yaitu enam gantungan harganya Rp 6 ribu, untuk tujuh gantungan Rp 4,5 ribu dan yang paling besar atau delapan gantungan Rp 5 ribu. “Harga ini sudah naik berkali-kali lipat dari awal pembuatan dulu, kita sesuaikan dengan bahan bakunya,” tambahnya.
Di awal-awal mengembangkan pasar, cukup sulit. Hanya saja saat ini sudah memiliki banyak jaringan dan pelanggan yang otomatis datang sendiri untuk memesan. Pelanggannya menyebar di hampir seluruh wilayah Jatim, termasuk Jombang sendiri.
Viki sudah berani produksi masal, karena pesanan datang sewaktu-waktu, dengan dibantu dua karyawannya, ia menghasilkan sekitar 240 gantungan per harinya. Dan bisa terjual sekitar 2.000 biji setiap bulan.
“Kita cukup kesulitan cari karyawan, sebetulnya mudah dan banyak yang berminat, tapi keterampilannya yang kurang memadai, karena buat gantungan baju harus ulet dan telaten,” tambahnya.
Ya, pembuatan gantungan baju memang cukup rumit. Yang pertama pengolahan limbah kayu dirapikan menjadi ukuran yang diinginkan, kemudian dibungkus menggunakan plastik khusus, setelah itu baru menempelkan kawat yang sudah diberi slang untuk jadi pengaitnya. Baru di ujung kawat diberi hiasan agar tidak merusak baju.
“Pembuatannya butuh tenaga orang-orang ulet, jadi memang harus teliti dan sabar, apalagi ngelem hiasannya itu satu per satu,” jelasnya. Pemasaran dulu awalnya hanya dari toko ke toko, namun sekarang sudah melalui reseller grosir perabotan rumah tangga di berbagai kota di Jatim.
Sayangnya, dibalik laku kerasnya gantungan baju yang dibuat Viki, gantungan baju miliknya belum diberi label. Sehingga banyak dijiplak orang lain. “Ayah memang tidak ingin ada label, katanya terlalu ribet pengerjaannya, sedangkan harganya tidak seberapa. Tapi yang jiplak gantungan baju milik kita cirinya kawat lebih kecil, kita menggunakan kawat yang besar, jadi lebih awet,” jelasnya.
Meski bukan menjadi kebutuhan yang dibeli orang setiap hari, Viki mengaku penjualannya dari tahun ke tahun meningkat. “Alhamdulillah semakin tahun semakin meningkat, paling ramai jelang kenaikan kelas sama Ramadan,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
SURYA.co.id | JOMBANG – Ada kabar gembira bagi pengguna jalan yang melintas di tol Jombang-Mojokerto (tol Jomo).
Para pelanggan tol Jomo ini akan mendapatkan hadiah istimewa dari pengelola tol Jomo, ASTRA Infra Toll Road Jombang Mojokerto (ASTRA Tol Jomo).
Kegiatan program Terima Kasih Pelanggan ini merupakan rangkaian kegiatan menyambut hari ulang tahun ke 13. Terdiri dari program Point Reward dan program Undian.
Direktur Teknik dan Operasi ASTRA Tol Jomo, Anggoro Legowo mengungkapkan, program ini merupakan salah satu bentuk apresiasi ASTRA Tol Jomo kepada seluruh pelanggan setia pengguna jalan tol Jomo.
“Jadi program ini merupakan wujud besarnya rasa terima kasih kepada para pelanggan setia tol Jomo,” ujar Anggoro Legowo didampingi Corporate Communication, Zanuar Firmanto kepada SURYA.co.id, Senin (3/12/2018).
Dikatakan, selama ini pelanggan telah memberikan kepercayaannya kepada layanan Astra Tol Jomo.
“Kepercayaan dan kepuasan pelanggan, kunci bagi kami guna terus berkembang sebagai penyedia layanan jalan tol,” jelas Anggoro.
Zanuar Firmanto menimpali, untuk mengikuti program ini, pengguna jalan tol Jomo cukup menukarkan struk transaksi dengan ‘point rewards’.
Point reward itu sendiri dapat ditukarkan dengan berbagai macam hadiah langsung.
“5 ASTRA Tol Points mendapat 1 kupon undian. 10 ASTRA Tol Points mendapat gratis isi ulang uang elektronik (e-money) Rp 25.000 dan 1 kupon undian,” tambah Zanuar.
Kemudian, jika pelanggan punya sebanyak 15 ASTRA Tol Points, akan mendapat gratis isi ulang uang elektronik Rp 50.000 dan 1 kupon undian.
Sedangkan persyaratan dan ketentuan rewards atau hadiah bagi pelanggan adalah; kesatu, 1 struk sama dengan 1 ASTRA Tol Point.
Kedua, struk merupakan struk transaksi hanya di gerbang tol (GT) Bandar pada hari Senin sampai dengan Kamis (tidak berlaku hari Jumat/Sabtu/Minggu dan hari libur nasional). Nomor uang elektronik (UNIK)-nya harus sama.
Ketiga, struk yang ditukarkan adalah struk pada bulan yang sama dan dalam kondisi tidak rusak (dapat terbaca, tidak sobek atau basah).
“Dan keempat berlaku untuk semua golongan kendaraan dengan transaksi nontunai dan saldo mencukupi. Kartu Dinas tidak berlaku,” terang Zanuar.
Kelima, penukaran poin dapat dilakukan di GT Jombang, GT Bandar dan GT Mojokerto Barat.
“Dan keenam, periode penukaran poin dilaksanakan mulai 3 Desember 2018 hingga 31 Januari 2019,” tutur Zanuar.
Tidak hanya itu, ASTRA Tol Jomo juga menggelar undian berhadiah yang akan dilaksanakan bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun pada 16 Februari 2019.
Pemenang undian berhak atas salah satu hadiah 1 unit Honda Vario, 3 unit smartphone OPPO F9, 5 unit Samsung Smart TV 32 inch, 5 unit sepeda Polygon Monarch.
“Kemudian 5 unit mesin cuci Sharp, 5 unit mini drone Visuo Battle Shark dan 30 unit UNIK nominal saldo Rp 250.000,” beber Zanuar Firmanto.
Bagi pengguna jalan tol Jomo, dapat mengumpulkan kupon dari penukaran poin tersebut mulai 3 Desember 2018 hingga 15 Februari 2019 pada drop point yang berada di kantor GT Jombang, GT Bandar maupun GT Mojokerto Barat.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
OMBANG – Keuletan Mochamad Yajid, 48, dalam memproduksi tape besek sejak sepuluh tahun lalu tetap dijaga hingga sekarang. Kini, permintaan tape beseknya datang dari berbagai daerah. Mulai Kediri, Mojokerto dan beberapa destinasi wisata religi di khawasan Jawa Timur.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung beberapa hari lalu, Yajid sibuk dengan singkong-singkongnya. Di belakang rumahnya, ada beberapa pekerja yang membantunya mengupas satu per satu singkong mentega berwarna kuning itu.
Alat yang digunakan mengupas kulit singkong, bukanlah pisau, melainkan potongan velg motor yang dilancipkan sedemikian rupa. Tangan mereka begitu lihai saat mengupas singkong. Tak butuh waktu lama, sekarung singkong sudah terkupas dalam waktu sekitar 30 menit saja.
Ya, di tangan M Yajid ini lah tape manis diproduksi setiap harinya. Selama 10 tahun menggeluti usaha tape tentu jalannya tak mudah. Dia sempat jatuh bangun dalam mengembangkan usahannya. ”Saya memulai usaha sejak 2002. Namun baru buka setahun tidak lanjut karena rugi,” ujar dia.
Sejak bangkrut pada 2002, Yajid sengaja tak memulai usahanya secara konsisten. Dia memilih belajar dan bereksperimen dahulu. Hingga pada November 2008, M Yajid kembali memulai usahannya membuat tape besek. ”Lalu saya tekuni karena sudah mulai paham caranya dan pemasarannya,” sambungnya.
Tape manis sebenarnya adalah khas Bondowoso, namun dirinya ingin mengenalkan tape manis khasnya Jombang. ”Karena dari Jombang ini kualitas singkongnya juga bagus,” sambung dia.
Untuk membuat tape manis, dia memilih singkong kuning jenis mandera (mentega). Singkong jenis ini banyak tumbuh di daerah yang berhawa dingin seperti Bareng dan Wonosalam. Tekstur singkong ini cenderung keras dan tidak empuk. ”Memang lebih cocok yang keras, karena lebih awet dan tidak mudah ber-air atau lembek saat difermentasi,” jelas dia.
Berbeda dengan singkong jenis kastal yang cenderung empuk. Dia menilai singkong jenis itu cocoknya untuk gorengan bukan untuk bahan tape. Sayangnya, kata bapak tiga anak ini, singkong mandera belakangan kini sulit didapat. Selain harganya naik, singkong ini ternyata mulai diburu pembeli dari luar Jombang.
”Jadi setiap hari saya mengambilnya di Wonosalam dan Bareng. Per hari sekitar dua kuintal, namun sekarang sulit karena banyak yang minat,” beber dia. Normalnya, untuk harga satu kilo singkong mandera dihargai Rp 2 ribu. Namun karena bahan sulit kini menjadi Rp 5 ribu. Mau tidak mau, Yajid harus membelinya dengan harga Rp 5 ribu demi mencukupi kebutuhan produksi tape manisnya.
“Ya agak kebingungan juga. Saya sementara ini hanya membeli dari petani di Wonosalam dan Bareng. Untuk daerah lain belum, karena khawatir harganya lebih mahal,” papar dia. Kendati demikian, usaha tape beseknya kini tetap bertahan bahkan makin diminati. Ini setelah Yajid secara rutin diminta mengirim ke pelanggannya di beberapa daerah.
Sebut saja, ada beberapa pelanggan di Kediri, Mojokerto dan beberapa daerah jujugan wisata Religi seperti makam Gus Dur, hingga makam Syeh Jumadil Kubro, Troloyo. ”Sehari selalu rutin dua kuintal,” beber dia. Dalam memproduksi tape manis, kebersihan adalah hal yang dia jaga.
Setelah singkong dikupas, akan ada proses kupas yang kedua. Itu dilakukan untuk menghilangkan kulit arinya. Lalu, dicuci hingga tiga kali menggunakan air bersih. ”Karena jika ada kotoran maka proses peragian atau fermentasinya bisa gagal. Sehingga, sebelum difermentasi singkong harus benar-benar bersih,” jelas dia.
Untuk harga tape manis buatannya, dia menyediakan dalam dua varian. Pertama dalam kemasan mika dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan, untuk satu ikat besek (isi tiga besek) dihargai Rp 10 ribu. ”Biasanya selisihnya 2 ribu dari saya, ketika sudah dijual,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) 2018, PT PLN (Persero) menanam 22.000 pohon di wilayah-wilayah operasional PLN, Rabu (28/11). Aksi ini dilakukan serentak oleh 22 unit kerja PLN se-Indonesia.
Di Kabupaten Jombang, PLN bersama Pemkab Jombang menanam 793 pohon di di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang sebagai desa argo forestry kawasan binaan PLN.
”Rabu (28/11) PLN melakukan aksi tanam pohon sebagai upaya kami dalam menjalankan bisnis ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan. Ini merupakan misi kami,” ujar Senior Manager General Affair PT PLN (Persero) Dwi Suryo kemarin.
PT PLN (Persero) menyerahkan bantuan dana sebesar Rp 75 juta kepada Pokmas Bukit Hijau Desa Wonomerto untuk program gerakan penghijauan (ANGGI FRIDIANTO/JAWA POS RADAR JOMBANG)
Dwi Suryo menjelaskan, penanaman pohon oleh PLN merupakan bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR) PLN Peduli. Bentuk kepedulian PLN terhadap lingkungan ini bertujuan mencegah efek rumah kaca dan mengurangi pemanasan global. Efek gas rumah kaca adalah penumpukan gas Karbon dioksida (CO2) pada atmosfer yang menyebabkan berlubangnya atmosfer.
Berdasarkan penelitian, setiap 1 hektar hutan tropis dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton Oksigen (O2). ”Program penanaman pohon ini juga bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan karena kegiatan ini melibatkan masyarakat dan stakeholder PLN,” sambungnya.
Luas lahan yang ditanami pohon oleh PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur sekitar 5,5 hektare, dimana empat hektare terletak di TPA Benowo Surabaya dengan 2.018 pohon dan sekitar 1,5 hektare ada di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang dengan 793 pohon.
Sehingga di Jawa Timur ada 2.811 pohon dari berbagai jenis pohon seperti: pohon tanjung, cempoko, nyamplung, bintaro, keben, pandan laut, kupu-kupu, bambu jakarta, kemoneng, kenonggo.
Juga buah-buahan, seperti duren, manggis, jambu kristal, pete, nangka, jeruk, dan mangga dengan tinggi dari satu hingga tiga meter.
Hadir dalam kesempatan itu, Sucipto Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Jombang. Sucipto menyampaikan terima kasih atas bantuan PLN karena dengan 793 pohon yang ditanam akan membantu menanggulangi terjadinya potensi bencana banjir maupun longsor, mengingat Desa Wonomerto terletak pada ketinggian 280 mdpl.
”Disamping itu juga membangkitkan ekonomi warga karena jenis pohon yang ditanam merupakan buah-buahan sehingga diharapkan bisa mendorong meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui Agro Forestik,” pungkas Sucipto.
Total dana yang digelontorkan PLN Peduli untuk penanaman 22.000 pohon sebesar Rp 3,19 miliar. Dana tersebut selain untuk penanaman pohon dipergunakan pula untuk pemeliharaan pohon agar tetap tumbuh dengan baik.
Aksi tanam pohon yang PLN lakukan dalam rangka HMPI 2018 ini merupakan kelanjutan dari aksi tanam pohon tahap I yang dilakukan pada 5 Juni 2018. Melibatkan 32 unit PLN se-Indonesia, PLN menanam total 34.000 pohon. Total dana yang dikeluarkan PLN Peduli pada Tahap I ini sebesar Rp 4,64 miliar.
Sedangkan, HMPI yang ditetapkan dalam Keppres RI No. 24 Tahun 2008 merupakan langkah untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menanam pohon. HMPI juga dilakukan sebagai wujud kepedulian dalam memulihkan kerusakan hutan dan lahan. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Pertunjukan seni budaya di Jombang makin tak terdengar. Salah satunya, kesenian jaranan atau yang paling sering dikenal kuda lumping dari Desa Kemambang, Kecamatan Diwek, semakin sepi tanggapan.
Kesenian jaranan dengan label jaranan dor di Desa Kemambang, Kecamatan Diwek, Jombang telah ada sejak 1925. Saat ini, kesenian ini masih cukup terawat. Sang pemilik saat ini Musman, 56, merupakan generasi ke empat.
Menurut Musman, kesenian ini sempat mati, kemudian oleh Musman, dicoba untuk dihidupkan lagi. ”Dulu sempat berhenti, kemudian saya mencoba untuk menghidupkan kembali, agar generasi penerus bisa mengetahui atau bahkan meneruskan jaranan ini nantinya,” ujarnya.
Musman berharap kepada pemerintah agar kesenian-kesenian asli Kabupaten Jombang seperti miliknya ini, lebih diperhatikan lagi ke depannnya. Sehingga, kesenian di Jombang tidak akan mati dan terus ada sampai nanti.
”Selama ini soal dana, dari dulu saya cari sendiri. Baru dua tahun ini diperhatikan, cuma ya itu, dana itu dibuat untuk acara 17-an. Terus yang kemarin itu, saya kan sudah nggak punya dana lagi, ada dana saya buat karnaval,” tutur Musman.
Menurutnya, ciri khas yang membedakan kesenian jaranan dor dengan jaranan lainnya adalah, digunakannya alat musik tanjidor. Sehingga muncul kata ‘dor’ di belakang jaranan..
”Tradisionalnya itu, kembangannya itu tidak sama, dornya itu tidak sama,” kata Musman. Selain memiliki atraksi jaranan yang biasanya dibawakan oleh empat orang, kesenian jaranan dor ini juga menampilkan jaranan dengan model kesurupan atau ndadi (Jawa) bersama celengan, atraksi ganongan, bantengan, dan atraksi naga.
Kesemuanya tampil secara berurutan, jika kesenian ini tampil full tim dengan 30 orang anggota. ”Kesenian ini asli Jombang, tahun 1925. Tapi kami adil (ketat, Red) mas, istilahnya kalau main itu cok bakal (sesaji, Red) nya kurang, saya tidak berani,” lanjutnya.
Ia juga berkeinginan untuk membesarkan jaranannya ke depan. “Untuk itu saya berharap pemerintah ke depan lebih peduli lagi dengan kesenian,” ujarnya lagi.(*)
(jo/yan/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
SURYA.co.id | JOMBANG – PT Cheil Jedang Indonesia (CJI) Jombang menyalurkan beasiswa kepada 520 orang pelajar di wilayah Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Selasa (27/11/2018).
Beasiswa diberikan sebagai bentuk komitmen dari perusahaan dengan fasilitas Penyertaan Modal Asing (PMA) asal Korea Selatan tersebut dalam mendukung pendidikan di Kabupaten Jombang.
Penyerahan beasiswa dilakukan langsung Bupati Jombang Mundjidah Wahab dan Eksekutif Vice President PT CJI Kim Hak Yun, di Aula PT CJI, Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang.
Terdapat tiga kategori beasiswa dari perusahaan produsen penyedap rasa itu.
Yakni 3 siswa dengan kategori excellent. Ketiganya Salma Aulia Az-zahroh dari SDN Bawangan 2 Ploso, Eka Alicia dari SMPN 2 Ploso, dan Shirotul Nur Qoiroh dari SMAN Ploso.
Kemudian kategori kedua, siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu, 201 pelajar.
Rinciannya 114 siswa SD, 47 siswa SMP, dan 40 siswa SMA/SMK/MA. Selebihnya, 316 siswa berprestasi, terdiri 219 siswa SD, 50 siswa SMP, dan 47 siswa SMA/SMK/MA.
Eksekutif Vice President PT CJI, Kim Hak Yun, mengatakan, pemberian beasiswa ini sebagai bentuk dan upaya PT CJI untuk meningkatkan pendidikan kepada anak-anak di Kecamatan Ploso.
Khususnya bagi anak-anak yang berprestasi. Diharapkan beasiswa ini mampu membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.
Bupati Jombang Mundjidah Wahab mengapresiasi langkah yang dilakukan PT CJI. PT CJI dinilai Mundjidah terbukti begitu peduli kepada pendidikan anak, dan sudah bertahun-tahun dilakukan PT CJI.
“Terlebih lagi bagi anak-anak berprestasi, dari keluarga kurang mampu,” tandas Mundjidah Wahab. Ke depan, imbuh Mundjidah, Pemkab Jombang akan melakukan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan lain agar melakukan kegiatan serupa.
“Akan kita kumpulkan perusahaan-perusahaan, untuk CSR (corporate social responsibility)nya agar ada koordinasi dengan Pemkab Jombang,” imbuhnya.
Mundjidah menuturkan, Pemkab Jombang konsisten dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Selama ini, Pemkab Jombang sangat serius menangani dan meningkatkan mutu pendidikan.
“Dana dari pusat, provinsi dan daerah kita sharing. Untuk seragam gratis sudah kita programkan dan sudah kita anggarkan kurang lebih Rp 30 miliar. Itu akan dilakukan tahun ajaran baru 2019,” pungkas Mundjidah.
General Manager PT CJI, Mulyono mengatakan, selain penyerahan beasiswa kepada pelajar berprestasi, PT CJI juga menyerahkan bantuan bagi sekolah peduli lingkungan.
Penghargaan tersebut diberikan ke SDN Rejoagung.
“Kenapa sekolah peduli lingkungan, karena kami ingin menanamkan budaya bersih dan peduli lingkungan sejak di bangku sekolah,” tutur Mulyono.
Dikisahkan, pada 20 tahun silam, ketika PT CJI berdiri di Kecamatan Ploso, kondisi lingkungan masih sangat bersih. Tidak ada sampah-sampah di sepanjang aliran sungai.
“Tetapi sekarang ini, sungai sudah menjadi tempat pembuangan sampah. Harapan kami, 10 tahun ke depan sudah tidak ada sampah di sungai,” harap Mulyono.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tarakantimes.com
Tribunjatim.com, Jombang – Di Indonesia ada beragam jenis seni wayang.
Wayang hadir dalam berbagai bentuk dan medium ekspresi.
Ada Wayang Kulit, Wayang Orang, Wayang Golek, Wayang Klitik, Wayang Beber, dan ada juga ‘Wayang Topeng’.
Menonton ‘Wayang Topeng’ berarti menonton taeter pitutur khas Indonesia.
Berbeda dari seni wayang kebanyakan, yang sumber ceritanya dari kisah “Mahabharata” dan ”Ramayana” (India). Sebaliknya Wayang Topeng, menjadikan cerita “Panji” (khas Indonesia) sebagai sumber lakon.
Kisah-kisah klasik inilah yang ditampilkan oleh para penggiat seni dan budaya dari Kabupaten Jombang, dengan menyajikan kesenian ‘Wayang Topeng’ di Anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Minggu (25/11/2018).
Sajian Wayang Topeng Jati Duwur dengan lakon ‘Patah Kuda Narawangsa – Bumi Santri Nggayuh Wohing Pakarti Mring Lelaku Suci’_ ini, menjadi bagian dari perhelatan Anugerah Duta Seni Budaya Jawa Timur, yang diselenggarakan Badan Penghubung Daerah Provinsi Jawa Timur.
Cerita Panji, adalah kumpulan cerita masa Jawa periode klasik. Isinya mengenai kepahlawanan dan cinta, terkait dengan tokoh utamanya, Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana).
Beberapa cerita rakyat seperti ‘Keong Mas’, ‘Ande-ande Lumut, dan ‘Golek Kencana’ juga merupakan turunan dari cerita ini.
Banyak orang tidak tahu bahwa ‘Cerita Panji’, adalah karya sastra dan budaya Indonesia, yang pengaruhnya hingga ke luar negeri.
Dalam siaran pers yang diterima TribunJatim.com, Senin (26/11/2018), ‘Cerita Panji’ memiliki banyak versi, dan telah menyebar ke seluruh jazirah Nusantara; Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina.
“Wayang Topeng sudah mendapat pengakuan dari Negara. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wayang Topeng ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018,” kata Bupati Jombang, Hj Mundjidah Wahab, saat memberi sambutan pada acara Anugerah Duta Seni Jawa Timur tersebut.
Pengakuan tersebut, lanjut Mundjidah, mendorong masyarakat khususnya warga Jombang terus berupaya ikut melestarikan karya budaya ini.
“Wayang Topeng Jatiduwur merupakan salah satu dari kekayaan budaya yang dimiliki Jombang. Oleh karena itu, kita terus berupaya menampilkan seni pertunjukan ini pada masyarakat luas. Salah satunya tampil di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah ini,” terangnya.
Selain Wayang Topeng, Duta Seni Kabupaten Jombang juga menampilkan kesenian lainnya, antara lain, musik ‘Qasidah Rebana’, tari ‘Kidung Abdi Praya’, nyanyian ‘Bumi Santri’ disertai peragaan busana komoditas batik khas Jombang, gending dolanan ‘Kelinci Ucul’ serta tari ’Kelono’ untuk mengawali sajian drama wayang topeng.
Jombang Bumi Santri Berkarakter
Bupati Jombang, Hj Mundjidah Wahab, mengharapkan, Jombang tidak hanya dikenal sebagai bumi santri, melainkan juga sentra seni dan budaya yang berkarakter.
Kabupaten Jombang, kata Mundjidah, merupakan salah satu dari banyak wilayah di Jawa timur yang kaya akan budaya. Oleh karena itu, menurutnya, perlu wadah yang dapat menampung berbagai kegiatan seni dan budaya ‘Jombangan’.
“Kita akan bangun sebuah pusat edukasi dan rekreasi budaya yang representatif yang nantinya dapat difungsikan sebagai sarana edukasi, komunikasi, sekaligus rekreasi,” terangnya.
Turut menyaksikan acara ini Kepala Sub Bidang (Kasubid) Pengelolaan Anjungan Badan Penghubung Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Timur, Samad Widodo, SS, MM Hadir juga Ketua DPRD Kabupaten Jombang, Drs H Joko Triono, Kapolres Jombang, AKBP Fadli Wiydanto, jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten Jombang, serta warga dan pengurus Pawarta (Paguyuban Warga Jakarta) asal Jawa Timur.
Para seniman yang terlibat di pergelaran ini, Fandi Ahmad, SPd (Penulis Cerita dan Sutradara), M. Habibudin (Penata Artistik dan Panggung), Ayu Titis Rukmana Sari, M.Sn, (Penata Tari), Wahyudi M. Sn, (Penata Musik), serta puluhan pengrawit, aktor, aktris panggung, penyanyi dan penari.
Duta Seni Kabupaten Jombang ini langsung di bawah pembinaan Bupati Jombang, Hj Mundjidah Wahab, selaku Pelindung.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jombang, Drs. Bambang Nurwijanto M. Si, sebagai Penasehat, Kepala Bidang Kebudayaan, Suparno, SH, sebagai Penanggung Jawab.
Bertindak sebagai Juri Pengamat adalah, Suryandoro, S.Sn (Praktisi dan Pengamat Seni Tradisi), Eddie Karsito (Wartawan, Penggiat Seni & Budaya), Dra Nursilah, M Si (Dosen Seni Tari Universitas Negeri Jakarta), dan Catur Yudianto (Kepala Bagian Pelestarian dan Pengembangan Bidang Budaya TMII).
Pergelaran selanjutnya, Anjungan Jawa Timur TMII akan menampilkan duta seni dari Kabupaten Malang (2 Desember 2018), dan Kabupaten Jember (9 Desember 2018) mendatang.
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
JOMBANG – Kampoeng Djawi salah satu destinasi wisata yang unik dengan suasana khas pedesaan asri dan sejuk di Kabupaten Jombang. Seperti namanya, Kampoeng Djawi yang terletak di Dusun Gondang, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, mengusung tradisional Jawa dalam setiap detailnya.
Mulai dari pintu masuk hingga berbagai tempat dan fasilitas penginapan khas Jawa membawa pengunjung pada era tempo dulu.
Apalagi didukung udara sejuk Wonosalam membuat pengunjung betah berlama-lama. Kampoeng Djawi berada di ketinggian 750 di atas permukaan laut dengan udara yang cukup segar dikelilingi pegunungan dan hamparan sawah, memperkuat suasana desa yang menyatu dengan alam.
Penginapan di Kampoeng Djawi berbentuk rumah joglo Jawa Timur sangat nyaman untuk pengunjung.
Memasuki Kampoeng Djawi, disambut gapura candi lengkap dengan hiasan janur yang memiliki nilai Jawa yang kuat. Lobby Kampoeng Djawi berbentuk pendopo begitu unik dengan ukiran, kursi, meja dan interior dari kayu jati memperkuat suasana Jawa.
Selanjutnya, pengunjung semakin hanyut dalam suasana tradisional Jawa Timur. Meski demikian, pengunjung tidak perlu khawatir sebab rumah joglo ini sudah dimodifikasi, sehingga terasa nyaman. Fasilitas kamar tidur, kamar mandi dan lainnya, tetap dengan sentuhan zaman dulu.
Kolam renang dengan air yang begitu jernih dan segar, dengan latar belakang pemandangan sawah dan hutan begitu indah. Pengunjung selalu mengabadikan momen liburan mereka berenang di Kampoeng Djawi ini.
Selain itu, kuliner di Kampoeng Djawi juga begitu memanjakan lidah pengunjung. Kampoeng Djawi memiliki fasilitas pawon alias dapur sebagai tempat memasak dan sekaligus tempat makan ala zaman dulu. Berbagai menu makanan Jawa Timuran bisa dipesan. Dapur ini juga dilengkapi dengan area makan outdoor yang cantik dihiasi dengan deretan meja dan bangku berbahan kayu. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Website Kampoeng Djawi
JOMBANG – Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan kayu limbah. Seperti yang dilakukan Zainal Fanani, 22, asal Desa Kedungbetik, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang.
Jawa Pos Radar Jombang beberapa hari lalu berkunjung ke rumah produksi Zainal yang berada di Jalan Kapten Tendean, Pulo Lor, Jombang. Tangannya terlihat begitu lihai mengukir setiap sudut kayu yang sudah dipola. Matanya, fokus menatap gerakan mata pisau pada mesin gergaji tripek yang dipegangnya.
Sesekali, dia melepas dan membersihkan bekas ukiran kayu yang menutup desain di kayu berukuran 20 x 20 sentimeter itu. Seni ukir wajah berbahan kayu memang lebih sulit dibandingkan melukis dengan kanvas. Tingkat risiko juga lebih tinggi. Namun, Zainal mengaku, membuat kerajinan ukir wajah lebih menarik dan menantang.
“Ada serangkian proses yang harus dilalui. Pertama, membuat pola pada kertas HVS,” ujar dia. Setelah pola dibuat, kemudian dia mempersiapkan kayu yang diukir. Dia memilih kayu limbah peti kemas. Selain teksturnya lebih empuk, kayu yang berasal dari jati belanda tersebut memiliki tekstur yang menarik.
”Ada semacam galih-nya. Lebih memiliki seni juga,” sambung dia. Setelah kayu dipilih dan dipotong sesuai ukuran, barulah kayu tersebut diukir menggunakan alat ukir atau mesin gergaji triplek yang sudah dimodifikasi. “Ini saya pakai mata pisau tiga milimeter, agar kayunya tidak pecah,” jelas dia.
Untuk membuat satu karya ukiran wajah, dia membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga hari. Lamanya waktu itu juga bergantung pada tingkat kerumitan pola. Mahasiswa Unwaha Jombang ini mengaku, dia belajar seni ukiran wajah secara otodidak.
Belajar dari youtube karena ingin meringankan beban orang tua untuk membayar biaya kuliah. ”Saya coba-coba. Sejak sekitar setahun lalu, dan uangnya untuk tambahan biaya kuliah,” papar pra usia 22 tahun tersebut.
Zainal hanya memanfaatkan media sosial untuk memasarkan ukirannya. Dia menggunakan facebook dan instagram untuk menjual sekaligus menawarkan ukiran wajah kayu. ”Saya tawarkan sesuai ukuran dan tingkat kerumitan,” jelas dia.
Misalnya, untuk ukuran 20 x 20 cm dihargai Rp 80 ribu. Untuk ukuran 40 x 30 dihargai 100 ribu dan ukurang paling besar yakni 40 x 50 dijual dengan harga Rp 125 ribu. “Alhamdulilah banyak yang pesan juga. Kadang kadang untuk hadiah wisuda, suvernir, dan pajangan di rumah,” beber pria berpeci hitam ini.
Selama ini, ukiran wajahnya paling laris dipesan teman-teman kuliahnya. ”Kadang di pesan orang dari luar kota. Misalnya Mojokerto dan Malang. Mereka pesannya pakai chat di medsos,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
OMBANG – Keberadaan wayang potehi di Museum Potehi Klenteng Hong San Kiong Gudo sudah terkenal. Namun belum banyak yang tahu bagaimana pembuatan wayang mungil berbagai karakter tersebut.
Beberapa waktu lalu Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke klenting ini. Sekira pukul 09.00 WIB, ratusan wayang potehi setengah jadi dijajar di halaman museum. Bentuknya masih banyak yang belum sempurna, namun karakter alias wajah wayang potehi sudah mulai tampak.
Ada karakter raja, putri, prajurit hingga anak anak dengan wajah lucu. Ya, hampir setiap pagi pekerja membuat wayang potehi untuk keperluan pertunjukan.
Ratusan wayang potehi tersebut dibuat dari kayu warung gunung. Dipilihnya kayu warung gunung karena bahannya empuk, mudah dibentuk dan tidak mudah pecah ketika dipahat. ”Apalagi kayu warung gunung memiliki tekstur warna yang bersih. Sehingga memudahkan pewarnaan,’’ ujar Alfian, 32 dalang wayang potehi.
Setelah dipahat, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses ini sangat krusial karena pemilihan warna menentukan karakter setiap wayang. Misalnya, karakter raja biasanya diberi paduan warna merah dan hitam. Hal itu tentu berbeda degan pemberian warna untuk karakter ratu maupun anak anak. ”Ada ribuan karakter diwayang potehi. Karena setiap cerita beda pula karakter yang dimainkan,’’ sambung dia.
Setelah pewarnaan kelar, kemudian wayang potehi dipasangkan baju. Baju tersebut terdiri dari baju dalam, baju utama dan dan topi. Setiap wayang juga diberikan asesoris tambahan seperti senjata dan kipas tergantung dari setiap karakternya. ”Kalau baju dalam itu terbuat dari kain karung, sedangkan baju utama terbuat dari kain santen,’’ jelas dia memerinci.
Baju baju itu, tidak dibuat di Jombang melainkan didatangkan dari Kabupaten Tulungagung. itu dikarenakan tidak semua penjahit bisa membuatkan busana untuk wayang potehi. ”Kalau di Jombang itu hanya pembuatan wayangnya,’’ beber dia.
Dalam membuat wayang potehi, waktu yang dibutuhkan kadang sampai berminggu-minggu. Karena dalam sekali membuat ada puluhan wayang yang dikerjakan. Sehingga waktu yang dibutuhkan juga lama. ”Untuk pewarnaan juga menyesuaikan cuaca. Kalau kondisi terik, mungkin satu hari sudah kering,’’ papar dia.
Wayang potehi terdiri dari tiga kata yakni poo yang berati kain, tee kantong dan hi pertunjukan. Yang berarti, adalah pertunjukan kantong kain. Tujuan utama pertunjukan wayang potehi tidak hanya sebagai tontonan, namun juga sebagai tuntuan tentang arti kehidupan, perjalanan hidup maupun kematian. ”Selain itu, tujuan pertunjukan wayang potehi adalah untuk menghibur dewa-dewi yang ada di klenteng,’’ papar pria asli Sidoarjo ini.
Sejarah wayang potehi pertama kali dikenalkan oleh suku hokian, salah satu suku di China. Kemudian meluas hingga ke daratan China dan akhirnya sampai ke wilayah Indonesia dan Taiwan ketika dibawa pedagang China. ”Kalau di Jawa Timur itu pusatnya ada di Jombang dan Surabaya. Di daerah lain juga ada tapi tidak membuat,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com