• info@njombangan.com

Author Archive

Gentong Antik Mojotrisno Tembus Pasar Dalam Negeri dan Mancanegara

OMBANG – Salah satu produk kerajinan tangan yang sudah menjadi salah satu ikon kebanggan Kabupaten Jombang adalah kerajinan gentong antik atau jambangan di Dusun Sanan, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung.

Tak-tanggung-tanggung, produk gentong antik hasil polesan tangan kreatif Tiyamun, 69, sudah tersebar di berbagai belahan negara di dunia, lantaran memiliki nilai seni yang tinggi. ”Mbah sering dapat pesanan dari turis, ada dari Australia, Myanmar, dan beberapa negara lainnya,”  terang Tiyamun.

Tidak hanya peminat dari mancanegara, produk-produk gentong antik buatan Tiyamun juga banyak tersebar di wilayah  kota di Indonesia. ”Ada yang pesan dari Kalimantan, Sumatera, serta sejumlah provinsi lainnya. Kalau untuk wilayah Jawa, hampir merata, mulai pemesan dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta. Apalagi Jawa Timur apalagi, saking banyaknya sampai tidak ingat,” imbuhnya.

Dirinya pun tidak ingat berapa jumlah gentong antik yang sudah dihasilkan, termasuk jenis dan modelnya. ”Kadang-kadang kirim satu truk besar, itu beragam modelnya, jenisnya termasuk ukurannya,” terangnya.

Produk-produk gentong hasil buatan Tiyamun bisa dimanfaatkan beragam. ”Umumnya dibuat hiasan di taman-taman, hotel, kawasan wisata, perkantoran serta banyak contoh lainnya,” bebernya.

Tidak jarang dirinya menerima pesanan beragam jenis gentong dari pihak pengelola museum di Mojokerto. ”Sering orang museum ke sini minta dibuatkan gentong, di museum sana, kemarin juga barus pesan beberapa gentong, sudah selesai,” bebernya.

Di usianya yang sekarang ini sudah menginjak hampir 70 tahun, setiap harinya Tiyamun masih terus bersemangat membuat gentong antik. ”Tiap hari Mbah Mun kerjaannya ya membuat gentong, ada atau tidak yang memesan, Mbah Mun tetap buat senang membuat gentong,” singkatnya. (*)

(jo/naz/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

 

admin

Hanya dengan Budidaya Cacing Tanah, Sukartono Raup Omzet Puluhan Juta

Jombang – Sampai kini pun  cacing dianggap hewan yang menjijikan. Namun bagi Sukartono, warga Dusun Rejosari, Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, hewan ini sangatlah berharga.

Ia bahkan harus berani membuang jauh jauh rasa jijiknya terhadap cacing. Itu dimulai Sukartono sejak setahun yang lalu tepat ketika dia tertarik budidaya cacing tanah jenis lumbricus rubellus atau sering disebut cacing ekor kuning.

Kini, dengan keuletannya budidaya cacing ada puluhan kotak sebagai tempat penangkaran cacing di depan rumahnya. Sukartono tak butuh tempat khusus untuk membudidayakan cacing, dia bisa memanfaatkan halaman, ruang kosong hingga kandang ayam.

Beberapa cacing dewasa berukuran 10 – 14 cm juga ada yang diletakkan di bawah tanah di sekitar tanaman cabai. Namun terlebih dulu tanah tersebut diberi kotoran ternak yang sudah mengering.

Ditemui di rumahnya kemarin (14/1), bapak tiga anak ini menceritakan bagaimana dia tertarik dengan hewan menggeliat ini. ”Dulu awalnya saya jijik dengan cacing, namun itu perlahan lahan hilang setelah menggeluti hobi atau budidaya cacing ini,” ujar dia.

Cacing tanah asal Eropa ini memang hampir mirip dengan cacing pada umumnya. Namun bedanya, ekor pada cacing ini berbentuk pipih dan berwarna sedikit kekuning-kuningan. Selain itu, cacing ini juga tak bisa hidup di dalam lumpur laiknya cacing tanah cacing sawah. ”Memang hampir mirip, tapi ada perbedaan,” jelas dia.

Awal mula Sukartono budidaya cacing dimulai pada akhir 2017 lalu. Dia mendapatkan informasi bisnis menjanjikan budidaya cacing dari saudaranya, yang kemudian diminta langsung membeli bibit cacing dengan modal Rp 50 ribu. ”Langsung saya coba membeli bibit karena saya pertimbangkan unsur ekonomisnya, beli bibit cuma sekali dan bisa dipanen tiap bulan,” beber pria usia 56 ini.

Lambat laun sembari mempelajari tentang siklus hidup cacing, akhirnya dia mulai mengerti. Apalagi, budidaya cacing tak membutuhkan makanan yang mahal. Sebab, cukup diberi sayuran busuk cacing sudah bisa berkembang dengan maksimal. Namun, karena sayur busuk agak sulit dicari dia hanya memberi makan cacing-cacingnya dengan kotoran hewan.

”Kotoran  ternak terutama sapi dan kambing saya dapatkan gratis. Bahkan orang-orang sangat suka ketika kotoran ternak mereka saya ambil. Kan kandangnya jadi bersih,” beber dia.

Dalam sehari, satu petak tempat pembudidayaan cacing yang berisi sekitar 10 kilogram cacing, hanya diberi makan sekali saja. Yakni pagi hari sekitar pukul 09.00, dia cukup meracik kotoran ternak dengan beberapa serbuk gergaji. ”Ya menggunakan serbuk gergaji agar tanahnya makin lembab. Karena cacing akan mati ketika terkena panas,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

admin

Perahu Tambang Brantas; Penghasilan yang Tak Sebanding dengan Modal

JOMBANG – Ada dua jenis perahu tambang. Pertama perahu ukuran sedang untuk menyeberangkan kendaraan roda dua. Perahu jenis ini terbuat dari kayu dan umumnya memiliki rata-rata ukuran panjang 14-17 meter dengan lebar sekitar 3 meter.

”Perahu bisa memuat sekitar 15-17 sepeda motor kalau ditata dengan baik dan rapi,” ujar Giyanto, penambang Moroseneng di Kesamben kemarin (2/12). Semua perahu tambang ini menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar. Satu perahu selalu memiliki dua mesin diesel namun hanya satu yang digunakan.

”Satu mesin untuk cadangan, jadi kalau misalnya satu mesin mati, maka pakai diesel satunya,” lontarnya. Penambang menggunakan dayung dan baling-baling perahu untuk mengendalikan perahu. Dalam sehari rata-rata perahu ini dapat menghabiskan sekitar 10 liter solar. 

Sebagian besar penambang  masih menggunakan perahu kayu buatan sendiri. Satu buah perahu jenis ini menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta sampai Rp 25 juta untuk pembuatannya.

Jenis kedua, perahu ukuran besar yang dapat mengangkut kendaraan roda empat. Perahu ini umumnya berukuran panjang 24 meter dengan lebar 7 meter. Dapat mengangkut lima mobil sekaligus, jika hanya roda dua bisa mengangkut hingga 45 sepeda motor. 

Pembuatan satu perahu besar ini menghabiskan sekitar Rp 200 juta. ”Yang mahal itu besi geladaknya ini, kebetulan saya buat sendiri. Jadi tidak beli,” paparnya.

Untuk penghasilan maupun sistem setiap wilayah dan perahu tambang berbeda-beda. Di  Kesamben terdapat tiga shift dalam sehari. Penambang setiap shift setor Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu ke pemilik perahu tambang, sisanya dibagi untuk penambang sendiri. 

Sedangkan di Megaluh, terdapat dua shift pertukaran penambang. ”Hasilnya bervariasi naik turun, kalau ramai ya lumayan. Yang jelas dibagi dua atau tiga tergantung ada berapa yang ikut bantu,” tandasnya. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Kumkum di Sendang Made; Tradisi Para Sinden Sejak Zaman Airlangga

JOMBANG – Sendang Made merupakan salah satu situs cagar budaya di Kabupaten Jombang. Tepatnya berada di Dusun/Desa Made Kecamatan Kudu. Sendang Made ini menjadi salah satu petilasan Raja Airlangga bersama permaisuri dan para dayang saat dalam pelarian.

Mereka dikejar pasukan Prabu Wora-Wari lalu diselamatkan Prabu Narotama hingga akhirnya menyepi beristirahat di Sendang Made. Raja Airlangga berserta permaisuri dan para dayang pun akhirnya menyamar menjadi pengamen.

”Kala itu mereka menyamar menjadi pengamen, nah mandi nya di Sendang Made ini,” lontar Supono, juru pelihara situs Sendang Made. Setelah itu grup pengamennya pun semakin laris. Dari cerita rakyat inilah lahir tradisi wisuda sinden di Sendang Made.

Terdapat enam sendang berdekatan di areal Sendang Made ini, diantaranya Sendang Pomben, Sendang Pengilon, Sendang Condong, Sendang Drajat, Sendang Widodaren dan Sendang Sumber Payung.

”Setiap sendang ini beda ceritanya tapi yang jelas Sendang Drajat ini yang paling banyak dikunjungi. Termasuk kumkum sinden dilakukan di Sendang Drajat,” tuturnya.

Tak hanya budaya, ternyata banyak juga benda bersejarah yang ditemukan di tempat ini, termasuk batu bertulis. Sendang Made ini sebelumnya hanya berupa beberapa sumber air, lokasi ini baru dibangun pada 1924 oleh RM Tjokro Diputro, asisten Wedono Kudu.

Meski demikian, suasana tenang dan teduh Sendang Made ini pun masih tetap dipertahankan hingga kini. Banyak pohon besar berusia ratusan tahun di sekitar Sendang Made. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Tikar Pandan Utara Brantas; Usaha Turun Temurun, Tembus Pasar Jatim

JOMBANG – Tikar tradisional berbahan daun pandan sudah lama menjadi produk kerajinan tangan masyarakat di wilayah utara Brantas. Tidak hanya dibeli masyarakat lokal, namun terjual hingga luar kabupaten.  

Saat ini tidak banyak warga yang masih menekuni seni kerajinan anyam ini. Di Desa Katemas, Kecamatan Kudu tercatat hanya beberapa keluarga saja yang masih bertahan melestarikan tradisi leluhur ini. Itu juga sudah tidak aktif seperti dulu.  

“Alhamdulillaah, sampai sekarang perajin tikar pandan masih bertahan,” ungkap Muhammad Aris, salah satu perajin tikar pandan di Desa Katemas. Menurutnya, tikar pandan memiliki pangsa pasar tersendiri. “Karena selain lebih sehat memakai tikar pandan, juga tikar pandan lebih adem,” ujar Aris.

Kurang lebih 2008 silam, Aris mengaku bersama sejumlah perajin tikar lainnya pernah mendirikan kelompok perajin tikar pandan. Tujuannya untuk memaksimalkan akses pemasaran serta mempermudah upaya pengajuan bantuan modal kepada pemerintah.

“Karena hampir seluruh rumah di Katemas membuat kerajinan tikar pandan, kami mencoba membuat semacam kelompok kerja,” katanya. Tapi keberadaan kelompok kerja itu tetap tidak mampu meningkatkan pendapatan perajin. Sulitnya akses pemasaran menjadi penyebab, para perajin mengalami kesulitan mengembangkan usaha.

“Tikar pandan hanya dipamerkan ketika ada event saja. Sementara tidak setiap hari pameran itu diadakan, padahal perajin ini butuh makan setiap hari. Sedangkan kalau menjual sendiri, hasilnya tidak maksimal,” lanjutnya.

Pernyataan sama juga disampaikan kalangan pengrajin dari wilayah Kecamatan Ngusikan. Meski kondisi semakin tidak berpihak, namun para pengrajin mengaku tetap akan membuat tikar pandan.

Selain mengisi waktu luang, menganyam tikar pandan juga menjadi keterampilan yang diwariskan turun-temurun. “Kalau tidak ada pekerjaan di sawah, ya nganyam tikar,” ujar Karti, salah satu warga Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan. Ia menyebut jika yang menganyam tikar sebagian besar adalah ibu-ibu dan lansia.

Tak hanya dari Jombang, ada pula tengkulak dari luar daerah yang datang ke tempat tinggal para perajin untuk membeli tikar. “Kalau tidak ada yang datang, ya dijual sendiri dengan cara keliling,” pungkasnya. (*)

(jo/mar/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Candi Arimbi; Peninggalan Majapahit di Kaki Gunung Anjasmoro

JOMBANG – Candi Arimbi, salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang berada di wilayah Kabupaten Jombang tepatnya di Desa Pulosari, Kecamatan Bareng. Berbeda dengan candi Majapahit lainnya di wilayah Trowulan Mojokerto yang dibangun dari bata merah, Candi Arimbi ini terbuat dari batu andesit.

”Tapi dasar atau pondasi Candi Arimbi ini terbuat dari bata merah,” ujar Suparno, juru pelihara Candi Arimbi. Namun sayang candi yang dibangun sekitar abad 14 ini sudah tidak utuh lagi, bagian atas candi hanya tinggal separo.

”Sejak dulu bentuk Candi Arimbi sudah rusak begitu. Dulu pernah dilakukan pemugaran pada 1990, batu-batu ini sudah diangkat diatas tapi diturunkan lagi karena tidak cocok,” jelasnya. Hanya beberapa bagian kecil seperti sudut maupun relief pada tubuh candi yang diperbaiki.

Sedangkan atap atau puncak candi tetap dibiarkan seperti awal, batu-batu bagian candi akhirnya diletakkan kembali di sekeliling candi. Candi Rimbi menghadap ke barat. Candi Arimbi ini termasuk candi Hindu dengan panjang 13,24 meter, lebar 9,10 meter dan tinggi 12 meter.

Candi Arimbi masih berdiri kokoh di areal seluas 896,5 meter persegi. Candi Arimbi ini mempunyai ruangan pusat tempat Arca Purwati, kini arcanya disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Berada di kaki Gunung Anjasmoro, Candi Arimbi memang memiliki pemandangan yang indah. Sehingga banyak menarik wisatawan mengunjunginya. Lokasinya yang tepat berada di tepi jalan raya, sangat mudah diakses oleh masyarakat. ”Belum ada penelitian lebih lanjut tentang sejarah Candi Arimbi. Sehingga kami belum bisa memastikan sejarah pembangunan candi ini,” lontarnya.

Ia menuturkan cerita rakyat menyebut  candi itu pintu  gerbang masuk Kerajaan Majapahit di bagian Selatan. Namun ada beberapa sumber sejarah lain menyebut candi tersebut hanyalah petilasan dari tentara Majapahit. Candi ini sendiri menjadi representasi dari Tribuwana Tunggadewi, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1328-1350 Masehi.

Representasi Prabu Tribuwana Tunggadewi itu terukir dalam sebuah arca Purwati yang  berada di pusat candi. ”Arca tersebut tersimpan di Museum Nasional Jakarta,” tandasnya.

Sementara nama Candi Arimbi sendiri sebagai nama salah satu tokoh pewayangan Mahabarata yakni Dewi Arimbi istri dari Prabu Bima Sena atau Werkodoro, salah satu Pendawa Lima. Dewi Arimbi yang merupakan adik dari Raja Raksasa Prabu Arimbo ini dimakamkan di salah satu tempat di  dusun tersebut, nama dusun ini dinamakan  Dusun Ngrimbi. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Candi Arimbi; Ada Cerita Misterius dari Relief Wanita Membawa Payung

OMBANG – Meski sebagian besar bagian atap Candi Arimbi  sudah rusak tinggal separo, namun bagian tubuh dan kaki candi masih dalam kondisi baik. Tampak relief yang menghiasi dinding candi dengan berbagai gambaran yang menarik.

Mulai dari cerita kegiatan sehari-hari, gambar binatang, ritual keagamaan dan sebagainya. Namun belum diketahui apa isi cerita dari relief tersebut. ”Memang belum diketahui pasti maknanya apa. Belum ada yang mengkaji arti dari relief Candi Arimbi ini,” ujar Suparno, juru pelihara Candi Arimbi kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Seperti  pada dinding Candi Arimbi sisi utara terdapat terdapat 17 bidang relief. Salah satunya relief sepasang pengantin yang berada di dalam gentong. Ada pula relief sepasang pria dan wanita. Pria sedang mencangkul, sedang yang wanita membawa payung.

Pada kaki sisi timur, juga dihiasi 17 bidang relief cerita binatang dan kegiatan keagamaan. Sedangkan pada sisi selatan terdapat 8 buah bidang relief. Selain itu, terdapat ukiran relief sosok binatang yang digambarkan berbeda-beda dan sangat menarik.

Sebagian besar posisi binatang itu digambarkan menghadap ke kanan dan kiri secara bergantian. Namun ada juga yang sama arah hadapnya pada dua relief sela yang berdekatan. ”Memang seperti kelinci itu banyak muncul pada relief Candi Arimbi,” lanjutnya.

Sementara itu, pemeliharaan Candi Arimbi terus dilakukan agar candi terawat dan nyaman dikunjungi wisatawan. Perawatan yang dilakukan mulai dari membersihkan areal candi setiap hari, membersihkan relief, penataan taman dan sebagainya.

Saat ini terdapat tiga juru pelihara di Candi Arimbi yaitu Suparno, Kamaji dan Sodim. Mereka standby di lokasi Candi Arimbi setiap hari untuk melayani pengunjung. ”Untuk musim kemarau seperti ini tidak begitu berat, pada musim hujan saja banyak yang lumutnya,” pungkasnya. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Tak Banyak yang Tahu, Inilah Sang Pencipta Logo Kabupaten Jombang

JOMBANG – Rubrik tokoh Jawa Pos Radar Jombang kali ini mengulas sosok yang sangat berjasa bagi Kabupaten Jombang. Dia adalah sang maestro alias pencipta lambang daerah (logo) Kabupaten Jombang. 

Namanya singkat, Mulyono. Namun buah karyanya bakal dikenang sepanjang zaman. Pensiunan PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang ini satu-satunya orang yang menciptakan logo Kabupaten Jombang bergambar padi dan kapas dengan kombinasi warna ijo (hijau) dan abang (merah).

Cerita itu bermula pada 1971 silam, ketika masa pemerintahan dipimpin Bupati Ismail. Kala itu, ada sayembara dari tim lambang daerah untuk membuat logo Kabupaten Jombang. Siapa saja boleh ikut, baik dari masyarakat sipil, pegawai PNS/non PNS bahkan tidak ada batasan bagi peserta dari Jombang maupun luar Jombang.

Akhirnya peserta yang mengikuti sayembara itu cukup banyak. Salah satunya Mulyono. Ia sejak awal tertarik untuk mengikuti lomba itu lantaran sejak kecil mempunyai bakat menggambar.

”Awalnya, saya itu ingin memberi kenang-kenangan kepada teman kerja di Dinas Pendidikan, namun kebetulan pada 1971 ada lomba dari panitia lambang daerah Kabupaten Jombang,” ujarnya, saat ditemui di kediamannya, pagi kemarin (12/1).

Pria kelahiran 11 Juli 1941 ini mengaku optimis ikut lomba dengan mengirim dua karya, yang didesain dengan gambar dan desain logo berbeda. Salah satunya, gambar pendopo dengan kombinasi warna ijo dan abang. Sayang, harapannya menjadi pemenang kandas setelah ada pengumuman bahwa logo hasil karyanya menempati peringkat 3.

”Akhirnya yang menjadi  juara 1 peserta dari luar Jombang,” tambah dia. Logo Mulyono pun tersingkir. Kemudian logo dari peserta yang terpilih sebagai juara 1 dimintakan persetujuan kepada Kemendagri melalui Gubernur.

Namun di tengah jalan, usulan persetujuan logo itu ditolak langsung Kemendagri karena desainnya hampir mirip dengan logo Pemprov Jatim yang sudah dulu diresmikan. Akhirnya sebagai pengganti, logo pemenang juara 2 dan juara 3 yang diusulkan ke Kemendagri. Harapannya pun kembali terbuka.

”Alhamdulilah yang disetujui Mendagri logo saya, kalau tidak salah saat itu dijabat Pak Amir Machmud,” kenang Mulyono sambil matanya menerawang ingatan masa lalu. Dengan bangga, logo hasil karyanya terpilih menjadi lambang daerah Kabupaten Jombang.

Tepat pada 19 Agustus 1971, Mulyono diundang ke Pendapa Kabupaten Jombang untuk meresmikan lambang daerah hasil ciptaannya. Hadir dalam peresmian itu sejumlah tokoh penting, mulai dari Ditjen Pemerintahan Umum dan Otoda, Gubernur Jatim dan jajaran kepala SKPD.

”Dulu yang mengundang saya Bupati Ismail, bahkan dihadiri juga Gubernur Jatim Mohammad Noer,” tandas dia. Mulyono menjelaskan, desain logo yang dibuatnya terdiri dari beberapa paduan gambar. Pertama, gambar Pendopo yang di tengahnya ada lambang masjid dan bintang.

Dipilihnya gambar pendopo karena merupakan simbol rumah masyarakat Jombang dan dipilihnya lambang masjid dengan bintang merupakan simbol toleransi umat beragama.

”Kalau saya pilih Ringin Contong tidak mepresentasikan masyarakat Jombang, oleh sebab itu saya pilih pendopo. Saya juga pilih gambar masjid dengan bintang di atasnya karena Jombang ada banyak agama, namun seluruh umat beragama dapat bertoleransi dengan baik,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Raih 73 Medali, Inkanas Jombang Juara Umum di Piala Kapolda Jatim

JOMBANG – Kontingen Jombang pulang dari Kejuaraan Institut Karate-do Nasional (Inkanas) se Jawa Timur di GOR Gajah Mada, Kota Mojokerto, dengan kepala tegak. Dari 115 karateka yang dikirim, Kabupaten Jombang memborong sedikitnya 73 medali.

Jumlah medali yang diraih juga terbanyak dari kontingen lain, sehingga dengan hasil ini kontingen Jombang dinyatakan sebagai juara umum dalam kejuaraan yang merebutkan Piala Kapolda Jatim tersebut. Hasil ini memenuhi target yang ditetapkan Pengurus Daerah FORKI Kabupaten Jombang. Juara umum yang diraih tahun ini juga mengulang hasil sukses pada kejuaraan dua tahun lalu.

“Hasil yang bagus di awal tahun, mudah-mudahan semangat anak-anak tidak kendor. Ini baru awal, kami minta jangan sampai tergiur dengan prestasi tinggi. Apalagi bermalas-malasan dalam latihan,” kata Ade Rengga, pelatih Forki Jombang kemarin. 73 medali yang diraih terdiri dari 22 medali emas, 22 medali perak, dan 29 mecdali perunggu.

Banyak nomor pertandingan yang diikuti karateka Jombang. Tidak hanya kumite yang dibagi menjadi banyak kategori sesuai berat badan, tapi juga kata. Rengga mengatakan hasil ini setimpal dengan usaha yang sudah dilakukan karateka yang dikirimkan. Ia melihat semua karateka bertanding dengan maksimal dan penuh semangat.

Para karateka menurutnya bahkan rela meninggalkan kejuaraan terbuka tingkat nasional di Pasuruan akhir Desember lalu, agar bias melakukan persiapan untuk kejuaraan ini. “Karena jika keduanya diikuti, khawatir fokus latihan akan terpecah dan berimbas pada target yang tidak dapat diraih,” imbuhnya.

Kualitas karateka asal Kabupaten Jombang di Kejurda ini memang terlihat jauh lebih unggul dibandingkan karateka kabupaten/kota lain. Hal itu bisa diukur dari jumlah medali yang diraih juara kedua, yang hanya meraih 31 medali.

Kejuaraan ini sendiri dibuka Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Toni Harmanto, Jum’at (4/1) lalu. Sedikitnya 1200 karateka ikut dalam kejuaraan Inkanas ke IV ini, mulai dari tingkat amatir hingga remaja. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

admin

Pengentasan Kemiskinan dengan Merubah Pola Pikir

No Poverty
Oleh Fatin Nur Janah

 

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial budaya, politik, dan partisipasi dalam masyarakat. Ada berbagai bentuk kemiskinan yang ada di Indonesia serta berbagai ragam faktor penyebabnya. Secara umum suatu penduduk dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal maupun non formal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal. Dari segi pendidikan saja, efeknya hampir menyuluruh, dengan ini alahkah baiknya kita tingkatkan pendidikan untuk mengurangi kemiskinan.  

 

Pembangunan manusia tidak hanya diutamakan pada aspek ekonomi, tapi yang lebih penting ialah mengutamakan aspek pendidikan secara universal terutama bagi kepentingan orang miskin guna meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonominya. Adanya program sekolah 9 tahun ini kurang membuat hasil yang baik, karena sebagian besar mereka tidak mampu menyekolahkan karena faktor biaya. Padahal pemerintah sudah memberi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap sekolah. Ini merupakan tugas setiap orang untuk lebih mengedepankan pendidikan untuk hidup yang akan datang.

 

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan di antaranya;

Pertama, kemiskinan selalu dikaitkan dengan ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi, hal ini berkaitan dengan mahalnya biaya pendidikan, walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan uang bayaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP), namun komponen biaya pendidikan lain yang harus dikeluarkan masih cukup tinggi, seperti uang buku dan seragam sekolah.

 

Kedua, kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan. Dengan demikian tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian menyebabkan kemiskinan di antara kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor lainnya.

 

Ketiga, hubungan antara kemiskinan dengan gender, di Indonesia sangat terasa sekali dimensi gender dalam kemiskinan, yaitu dari beberapa indikator kemiskinan seperti tingkat buta huruf, angka pengangguran, pekerja di sektor informal dan lain-lainnya. Keempat, hubungan antara kemiskinan dengan kurangnya akses terhadap berbagai pelayanan dasar infrastuktur, sistem infrastruktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan kondisi sanitasi yang lebih baik.

 

Kelima, lokasi geografis, ini berkaitan dengan kemiskinan karena ada dua hal. Pertama, kondisi alam yang terukur dalam potensi kesuburan tanah dan kekayaan alam. Kedua, pemerataan pembangunan, baik yang berhubungan dengan pem-bangunan desa dan kota, ataupun pembangunan antar provinsi. Selain itu dalam melihat kemiskinan ada dimensi lain yaitu dimensi bukan pendapatan, seperti rendahnya pencapain di bidang pendidikan dan penyediaan akses pada pelayanan dasar di berbagai daerah terutama di wilayah timur Indonesia hal ini semakin mempertegas adanya kesenjangan berdasarkan lokasi geografis (Nurwati : 2008).

 

Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Sebenarnya masyarakat Jombang sebagian besar itu mampu dalam persaingan sumber daya manusia, akan tetapi hanya motivasi dan cara berfikirnya kurang berorientasi ke arah depan. Mereka hanya memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sekarang ini. Sehingga mungkin saja apabila dikatakan memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Sehingga menjadikan rumah tangga miskin.

 

Rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di daerah pedesaan, karena berpendidikan rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan yang akan diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada generasi berikutnya.

 

Penyebab kemiskinan sangat komplek dan saling mempengaruhi, artinya kemiskinan terjadi bukan disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi multi faktor.  Demikian bila disimpulkan dari faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, secara garis besar faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya kemiskinan di antaranya; pendidikan, pendapatan, lokasi, keterbatasan akses di antaranya akses ke kesehatan, keuangan dan pelayanan publik lainnya. Faktor-faktor tersebut ada keterkaitan satu sama lainnya yang membentuk lingkaran kemiskinan.

 

Kesadaran akan kemiskinan akan dirasakan ketika membandingkan kehidupan yang sedang dijalani dengan kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai tingkat kehidupan ekonomi lebih tinggi. Meskipun demikian belum tentu mereka sadar akan kemiskinan yang mereka jalani. Hal ini menyulitkan pemerintah ketika akan menentukan penduduk miskin, karena mereka (penduduk) sendiri tidak sadar akan kemiskinannya (Sayogya 2000). Jika mau jujur, masalah-masalah tersebut dapat berubah menjadi penyebab instabilitas yang sangat membahayakan pelaksanaan pembangunan daerah maupun negara.

 

Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan khususnya di Jombang , umumnya berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis (gepeng), dan pengangguran. Kelompok miskin ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan kultural dan struktural, bila tidak ditangani secara serius, terutama untuk generasi berikutnya. Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah “golongan residual”, yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti di daerah yang jauh dari pemerintahan kota kalau di Jombang daerah Pojok Klitih di sana akses jalan kurang memadai begitu juga dengan lembaga kesehatan, terutama akses menuju sekolah kurang efektif sehingga mempersulit siswa untuk pergi ke sekolah.

 

Dalam memahami masalah kemiskinan di Jombang, solusi yang perlu diperhatikan lokalitas yang ada di masing-masing daerah, yaitu kemiskinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas dan pemerintah setempat. Dengan demikian kriteria kemiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Tidak hanya pemerintah saja yang terlibat dalam peanganan kemiskinan ini. Seharusnya kita sebagai masyarakat mengubah pola pikir kita, bagaimana cara mengubah ketidakberdayaan dalam segi ekonomi, penndidikan, dan lainnya menjadi lebih baik lagi. Selalu mengedepankan masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

 

Diharapkan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan percepatan pembangunan dengan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Masalah kemiskinan yang bersifat lokal spesifik dapat ditangani dengan cepat dan tuntas oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan cara-cara yang adil tanpa mengecualikan masyarakat miskin akan meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak asasi manusia, non diskriminasi, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung merupakan hakikat paradigma pembangunan sosial.

admin