Jombang – Sosok pahlawan ini pernah turut berjuang mempertahankan kemerdekaan di Jombang periode 1945-1950. Namanya Brigjen R Kretarto, bagi warga Jombang nama ini tak asing. Maklum, namanya memang terabadikan sebagai salah satu jalan di wilayah Jombang yang juga ruas jalur nasional.
Dikutip dari buku karya Moch. Faisol, Jejak Perjuangan Laskar Hizbullah Jombang R Kretarto tercatat sebagai salah satu orang yang memimpin operasi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Jombang. Berbagai macam pangkat juga diperolehnya. Sebut saja Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada awal Kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi salah satu unsur pembentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karirnya di jalur militer terus naik dengan memegang berbagai jabatan. Didukung pengalaman lapangannya yang terlibat dalam berbagai pertempuran sejak 1945 di Surabaya, Mojokerto hingga harus mempertahankan benteng terakhir di Jombang. Sebab, pasukan NICA Belanda sudah berhasil menguasai Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Malang.
Monumen Brigjen R Kretarto yang terdapat di Jombang. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
“Sejak 1947, dia sudah menyandang pangkat Letnan Kolonel, R. Kretarto, dipercaya menjabat Komandan Resimen 32 dari Divisi VI / Narotama, sebelum dilebur menjadi satu dalam Divisi I Jawa Timur. Sebelumnya, pada 1946 pernah menjabat Komandan CoPP VI (Commando Pusat Pertempuran) Divisi VI/Narotama. Hingga dirinya menjadi salah satu anggota tentara Nasional Indonesia (TNI),” tulis Faisol dalam bukunya.
Pak Kret, sapaan akrabnya, salah satu orang yang berjasa ketika agresi militer Belanda II dilancarkan dan sempat membuat pasukan Indonesia mundur, setelah gagal mengebom jembatan Ploso yang saat itu jadi lokasi perbatasan Indonesia dengan wilayah Belanda.
Tak banyak dokumen yang bisa diungkit untuk menjelaskan siapa sebenarnya dia dan seberapa besar kiprahnya. Namun satu dari dua patung R Kretarto yang dibangun Pemkab Jombang menyebutkan, lahir di Bandung Jawa Barat 16 Januari 1913, dan wafat di Jawa tengah tanggal 26 Oktober 1961. Dalam monumen tersebut disebutkan jika R Kretarto berpangkat terkahir Brigjend, dengan jabatan Sekretaris Komando Tertinggi (KOTI).
Meski minim dokumen yang menjelaskan peran R Kretarto di Jombang melawan Belanda. Namun tak berarti hilang begitu saja jejaknya di Jombang. Hingga saat ini, setidaknya terlihat dari beberapa monumen yang ada di Jombang selain jalan nasional yang menggunakan namanya.
Setidaknya ada dua buah monumen berupa patung dia di Jombang. Satu monumen sangat besar dan megah terletak di samping PG Jombang Baru. “Monumen Patung Brigjen R. Kretarto di pertigaan Jl PB. Sudirman sebelah utara PG Djombang Baru itu didirikan semasa pemerintaham Bupati Soewoto Adiwibowo. Monumen ini diresmikan pada peringatan HUT TNI 5 Oktober 1997,” jelas Moch Faisol kembali.
Dan satu buah patung lagi terletak di Desa Gongseng, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang. Patung yang terletak tepat di pertigaan tak jauh dari Kantor Desa Gongseng itu hingga kini masih berdiri tegak meski terlihat kurang dirawat. Ini terlihat dari beberapa cat yang telah memudar dan bangunan yang mulai lapuk. “Sudah lama ini didirikan, mungkin tahun 70-an, memang kurang diperhatikan sepertinya, padahal ini peninggalan sejarah penting,” celetuk Adit, salah satu warga yang ditemui di lokasi. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Munir mengaku jika dirinya tidak pernah promosi, karena sudah cukup legendaris, pelanggan datang sendiri untuk memesan. “Katanya bagus dan awet, itu yang menilai mereka, saya hanya membuat yang terbaik saja,” kata Munir.
Selain kenyamanan saat dipakai dan kualitasnya terjaga, salah satu yang membuat Sepatu Topik begitu dikenal, yakni membuat sepatu khas. Karena sepatu-sepatu itu sulit ditemui di toko sepatu. Misalnya, sepatu mayoret drumband yang unik, juga sepatu polisi, selop pasangan manten.
“Yang banyak memang pesanan, seperti pasukan pengibar bendera, pasukan drum band lengkap dengan mayoretnya, polisi, TNI, kepala desa, hingga jasa rias pengantin yang banyak memesan,” urainya. Tidak hanya sepatu, Munir juga membuat jaket, tas, dompet, ikat pinggang dan sandal.
Untuk satu pasang sendal wanita dan laki-laki, harganya antara Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu. Untuk sepatu wanita ia biasanya menjual antara Rp 225 ribu, sampai Rp 400 ribu. Untuk sepatu laki-laki, ia biasanya menjual Rp 250 ribu sampai Rp 700 ribu per pasang.
“Kalau jaket karena bahan baku yang dibutuhkan banyak, saya biasanya menjual Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” imbuhnya. Meski saat ini populer pemasaran melalui online, Munir mengaku tak tertarik. Karena untuk melayani pelanggan saja, dia mengaku sudah kuwalahan.
“Di kartu nama, tidak ada nomor whatsapp, hanya nomor telepon biasa. Nggak melalui online seperti sekarang, tetapi datang langsung ke sini,” jelasnya.
Jika kehabisan bahan baku atau pesanan sedang menumpuk, Munir lebih memilih untuk menolak pesanan pelanggan. “Daripada mengecewakan pelanggan, lebih baik saya tolak,” pungkasnya.
Selain memiliki beberapa model yang ia buat sendiri. Munir juga menerima pesanan semua bentuk yang diinginkan. Bahan yang digunakan juga bisa dipilih, bisa dari kulit asli atau bisa dari kulit imitasi. “Kalau pemesan menggunakan gambar dan saya memprediksi ini hasilnya akan jelek jika dibikin dengan kulit asli, maka saya tolak,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Nama Ali Markasa tak asing lagi bagi para pecinta ludruk maupun pengreman di Jawa Timur, khususnya Jombang. Pria kelahiran Dukuh Arum, Desa/Kecamatan Tembelang 9 Juli 1942 ini Maestro Tari Remo Jombangan. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kasemin dan Kaini ini puluhan tahun melanglang buana di dunia ludruk khususnya Tari Remo.
”Saya memang suka kesenian tradisional sejak dulu. Ayah saya itu bayan tapi juga merupakan pengrawit,” ujar Ali Markasa kepada Jawa Pos Radar Jombang. Kecintaannya pada Tari Remo dibuktikan dengan bergabung pada grup ludruk sebagai penari remo sejak lulus SD. Bahkan ia rela meninggalkan bangku SMP demi menjadi penari remo.
”Saya dulu sudah kelas 3 SMP Sawunggaling tapi tidak melanjutkan, padahal tinggal dua bulan sudah lulus,” sambungnya. Pria 75 tahun ini mengaku kerap ditegur gurunya lantaran kerap tertidur di kelas. Dia sendiri tidak dapat menahan kantuk setelah semalaman ikut tanggapan ludruk.
Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda. (RICKY VAN ZUMA/JAWA POS RADAR JOMBANG)
Mulai tahun 1956 ia telah menjadi bagian dari grup ludruk Margo Rukun di desa tempat tinggalnya saat itu. Tiga tahun berselang, Ali Markasa muda pindah ke grup ludruk lainnya Margo Utomo di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh. Tiga tahun selanjutnya ia pindah ke grup Sinar Budaya Lamongan tahun 1962. Tak hanya itu, Ali Marksa juga pernah bergabung dengan sejumlah grup ludruk populer saat itu yaitu Marhaen Muda, Gaya Baru hingga Gaya Marhaen.
”Saya cukup lama jadi satu grup dengan Mbah Bolet di Gaya Baru. Tapi saat itu saya tidak pernah menari karena saya kurang suka dengan gaya Tari Remo Boletan,” paparnya.
Mbah Bolet juga menyadari jika Ali Markasa tidak menyukai Tari Remo Boletan yang dibawakannya. Ali Markasa pun pindah ke grup ludruk Bhiyana Mayangkara Jombang tahun 1966. Berbeda dengan pengreman lainnya, Ali Markasa ini belajar tari remo secara otodidak.
Hanya dengan sekali menyaksikan pengreman menari, ia sudah bisa menirukan tarian remo tersebut. Berbagai gerak tari remo yang bagus dari penari yang disaksikannya pun diterapkannya dan disempurnakan dengan gerak saduk sampur (tendangan selendang, Red).
Konsep gerak Tari Remo Jombangan ini dibentuk dari berbagai pengalaman Ali Markasa selama menari bertahun-tahun. Pada 28 Nopember 1967 terciptalah Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. Bahkan Tari Remo Jombangan ini telah diakui nasional, namun baru dipatenkan 27 Januari 2009 silam. ”Pada tahun 1974 Pak Slamet, ketua ludruk Bhiyana Mayangkara meminta Mbah Bolet untuk datang ke salah satu tanggapan menyaksikan saya menari remo di Pulodadi,” lanjutnya. Mbah Bolet pun menurutnya kagum dengan gaya Tari Remo Ali Markasa tersebut.
Mbah Bolet berpesan beberapa hal kepada Ali Markasa. ”Le aku sing nyiptakno Tari Remo Boletan, lek ngremoku iku ngremo Sudrun ora nggawe pakem. Ngremoku iku ngremo banyolan. Ngremo mu apik ono ojo kalah karo Suroboyo, opo maneh saduk sampur iku awakmu tok. Tarian mu iku Remo Jombangan, (Nak, aku yang membuat Tari Remo Boletan, tari remo ku ini Remo Sudrun tidak menggunakan pakem. Tari Remo ku ini tari komedi. Tari Remo mu itu bagus apalagi gerak tendang selendang itu asli hanya dirimu saja, Red),” ucapnya.
Pesan lain yang disampaikannya juga membahas terkait gerakan Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. ”Ojo nggawe gerak ayam alas model Suroboyoan, kekalemen kurang keras. Tanjak e sikil ojo digawe dlosor, sikile kudu siku (Jangan menggunakan gerakan ayam hutan gaya Surabaya, terlalu lembut kurang keras. Tanjak kaki jangan dibuat panjang sebelah tapi kaki harus membentuk siku, Red)” tuturnya.
Sehingga Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa ini semakin diperkuat dan masih sama sejak dulu hingga kini. Tak banyak yang tahu jika Tari Remo Boletan jauh berbeda dengan Tari Remo Jombangan. Tari Remo Boletan diciptakan Mbah Bolet Sastra Amenan, sedangkan Tari Remo Jombangan diciptakan Ali Markasa. Tari Remo Jombangan sudah didaftarkan hak paten sehingga gerakan, irama, ketukan, kostum hingga rias sudah baku.
Sedangkan Tari Remo Boletan masih belum didaftarkan hak cipta, sehingga beberapa gerakan sudah tidak sesuai dengan Tari Remo Boletan ala Mbah Bolet dulu. ”Kebanyakan orang menganggap Tari Remo Boletan itu sama dengan Tari Remo Jombangan, itu perlu diluruskan,” tandasnya.
Ali Markasa sendiri sebenarnya juga pernah membentuk grup ludruk sendiri dengan nama Asmara Murni dan menjadi ketua. Meski bertahan cukup lama, namun grup ini bubar. Ali Markasa bergabung dengan grup ludruk Kopasgat Madiun mulai 1984-1994. Ia juga pernah menjadi anggota Sari Murni, Karya Budaya, Budhi Jaya dan yang terakhir Mustika Jaya Jombang tahun 2005.
Ali Markasa juga pernah melakukan battle dance (lomba menari, Red) dengan para penari remo papan atas di Jombang. ”Ada delapan penari remo terbaik yang diundang menari remo di Kodim tahun 1971, termasuk Mbah Bolet,” lontar Ali Markasa.
Ia menuturkan jika juara pertama Tari Remo tersebut diraih Mbah Bolet. Menurutnya kelebihan Mbah Bolet sangat menonjol terutama pada gerakan tanjak sangat bagus. Olah tangan dan kaki Mbah Bolet juga luar biasa. Sedangkan Ali Markasa yang belum sempurna tariannya saat itu meraih juara tiga.
”Gerakan saduk sampur itu memang saya saja yang melakukan. Itu yang membuat saya berbeda dan juara tiga padahal tarian saya saat itu belum maksimal,” tambahnya. Namun ia mengakui jika pesona dan karakter Mbah Bolet sangat kuat melekat di tengah masyarakat dengan segala kelebihannya. Meski demikian, ia mengaku kurang suka untuk menari Remo Boletan.
”Saya tidak suka tariannya karena tidak pakem, kalau dengan Mbah Bolet sangat baik. Tari Remo Boletan mengikuti pakem pada awalnya saja,” ungkapnya. Namun pada bagian pertengahan hingga akhir, gerakan tari Mbah Bolet itu sudah diluar pakem bahkan diselingi berbagai banyolan.
Ketika selesai menari di satu panggung, gaya tari Mbah Bolet sudah berbeda keesokan harinya saat di tempat lain. Hal itu disesuaikan dengan humor yang sedang hangat saat itu. Meski demikian, gaya Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa tak kalah dinamis dari Remo Boletan. Ia mampu mengolah sampur dikombinasikan dengan tendangan menghasilkan visualisasi yang sangat atraktif, berkarakter dan cermat.
Gerakan yang detaik dan ekspresif ini menggunakan teknik gerak tinggi. Gerakan Tari Remo Jombangan ini tak hanya menghibur tapi juga menyampaikan pesan moral kepada para penonton. Ali Markasa pun cukup berprestasi dalam bidang Tari Remo dan ludruk. Ia meraih juara 1 Tari Remo se-Provinsi Jawa Timur tahun 1981. Grup ludruk yang diikutinya pun meraih juara 1 Jawa Timur serta juara 2 lomba tari remo tahun 1994.
Selain itu ia juga sering meraih penghargaan sebagai penari Remo Jombangan. Ia juga kerap menjadi bintang tamu, pengisi workshop dan juri lomba sejenis pada jamannya. Meski tak ada perhatian dari pemerintah, Ali Markasa tetap semangat melestarikan Tari Remo Jombangan. Ia mengaku cukup prihatin dengan kondisi kesenian asli Jombang yang hampir punah. Kini dia dibantu isterinya mengajarkan tari kepada anak-anak, remaja dan masyarakat umum untuk belajar menari remo. Bahkan dia tetap mengajar menari di usia senja 74 tahun.
”Saat ini saya sudah tidak sanggup menari. Usia saya sudah sepuh 75 tahun, kaki saya juga asam urat,” terang Ali Markasa. Dia dan isterinya, Winarsih pun dengan sabar mengajari ratusan penari yang belajar kepada mereka. Tak sekedar mengajar, ia juga menunjukkan nama-nama gerakan dan sejarahnya. Hanya saja menurutnya regenerasi ludruk dan tari remo di tempat lahirnya sendiri dalam kondisi cukup kritis. ”Sudah jarang orang nanggap ludruk di Jombang kalah dengan hiburan modern. Justru ludruk lebih berkembang di daerah lain,” cetusnya. Ia berharap dengan apa yang dilakukannya ludruk dan Tari Remo tidak punah. ”Tari Remo itu bukan sekedar tari. Remo itu ngerem lewat agomo,” jelasnya.
Dia mengaku gemas melihat tari remo yang berkembang di Jombang sudah meremehkan nilai-nilai sakral tari remo. Remo sejati tidak asal-asalan dibuat, gerakan yang melenceng sudah mengubah filosofi gerakan remo itu sendiri. Ia mencontohkan gerakan manembah pada tari Remo Boletan yang miring, sudah tidak sesuai dengan tari Mbah Bolet sendiri.
”Tari Remo Mbah Bolet itu manembah yang benar lurus. Manembah itu ibarat menghadap kepada Tuhan, lurus itu kebenaran atau agama,” paparnya. Sedangkan kepalan tangan melambangkan persatuan, lima jari menunjukkan Pancasila. Hentakan musik yang dinamis berarti mengajak masyarakat untuk bersatu bersama Pancasila. Ia tidak menampik hal ini berhubungan dengan sejarah perpecahan bangsa yang terjadi pada 1965 silam.
Sementara itu, tarian Remo Jombangan telah didokumentasikannya dalam CD (compact disk). Terdapat Remo Jombangan untuk TK, SD, SMP dan SMA atau umum. Perbedaan terletak pada durasi dan pengulangan gerakan namun tetap mengikuti pakem. Meski telah diakui hak ciptanya, penghargaan dari Pemkab Jombang sangat kurang. Ia pun menghabiskan tabungan belasan juta rupiah untuk biaya dokumentasi Tari Remo Jombangan ini.
”Mulai dari upah maupun sewa panjak, gamelan, sound, makan, jasa shooting video, busana tata rias dan lain-lain cukup banyak. Itu kami tanggung sendiri, pernah mengajukan bantuan ke bupati katanya disetujui tapi saat saya ke dinas terkait bilangnya tidak tahu,” tandasnya kecewa. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Bahan-bahan alam, misal serat daun, kulit pepohonan ternyata menyimpan bahan pewarnaan yang tinggi. Salah satunya, bahan untuk produksi batik warna alam.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, terlihat tiga perempuan paruh baya tengah duduk melingkar, sambil tangannya sibuk memegangi kain dan kuas. Di tengah-tengah mereka, ada bejana berukuran sedang berisikan cairan yang dipanaskan di atas tungku mini.
Secara bergantian, tangan ketiganya mencelupkan kuas ke dalam cairan di bejana dan menempelkannya ke permukaan kain sesuai motif yang diinginkan. Nampak pula di sudut lain, seorang pria tengah sibuk menjemur potongan-potongan kain basah di belakang rumah.
Mengetahui orang asing datang, bapak tiga anak ini segera melempar senyum sambil tangannya menyambut jabat tangan. Itulah sekelumit, gambaran suasana rumah Nusa Amin, warga Dusun Sanan Selatan, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung. Salah satu perajin yang mulai berdikari berkat keuletan dirinya menekuni kerajinan batik pewarna alam.
Suami Suniah ini dengan senang hati berbagi pengalaman menggeluti usaha kerajinan produksi batik pewarna alam. Tepatnya, sekitar 2005 lalu, Nusa Amin kembali menginjakkan kaki di Jombang dengan kondisi ekonomi keluarga yang carut marut. ”Punya tanggungan hutang cukup besar. Usaha batik saya di Bali bangkrut, sebab kena tipu orang, tapi bergerak di batik sintesis,” bebernya.
Dalam kondisi ekonomi keluarganya yang guncang, Amin, sapaan akrabnya berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan. ”Sampai kerja jadi kuli bangunan, sebab tidak punya pekerjaan tetap. Yang terpenting kebutuhan nafkah keluarga terpenuhi,” imbuhnya.
Ternyata dalam benaknya, Amin masih punya keinginan mengembangkan ketrampilan membatiknya di Jombang. Namun, dirinya kurang yakin dengan segmen pasarnya akan bisa berkembang.
Rupanya, di sela-sela bertahan menjadi kuli batu, Amin, masih terus memendam semangat menekuni kerajinan batik. Dirinya pun terus membaca peluang usaha tersebut. ”Nah, ingat saya Oktober 2009, batik mendapat pengakuan dari Unesco sebagai warisan bangsa Indonesia. Setelah itu, batik seolah menjadi primadona, banyak dicari orang,” bebernya.
Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Amin pun mulai mencari jalan untuk merintis kembali usaha kerajinan batik. ”Kebetulan, saya dapat tawaran mengerjakan pesanan batik tulis dari perajin di Mojokerto,” bebernya.
Karena sudah kenyang pengalaman membatik, Amin pun dengan mudah menyelesaikan pekerjaan. ”Itu saya jalani setahun lebih. Pulang pergi ke Mojokerto setor barang bawa sepeda pancal,” bebernya.
Seiring berjalannya waktu, dirinya pun mulai mengembangkan jaringan di Jombang. ”Terus saya kenal dengan perajin di Jombang, akhirnya ditawari ikut kerjakan pesanan. Saya kerjakan di rumah,” imbuhnya.
Singkatnya, 2012, dirinya mendapat tawaran mengikuti program pelatihan membatik difasilitasi dinas. Tanpa pikir panjang, dirinya pun berangkat. ”Pelatihannya di Jogjakarta, fokus batik warna alam,” bebernya.
Sepulang dari kegiatan pelatihan tersebut, selain mendapat wawasan baru di dunia membatik, Amin juga sedikit mendapat bantuan modal untuk mengembangkan usaha. ”Mulai saat itu, saya mulai merintis kerajinan batik warna alam,” bebernya.
Berbeda dengan batik sistetis, menurutnya batik warna alam memiliki daya tarik sendiri, salah satunya dari bahan pewarnanya yang berasal dari bahan-bahan alami, bukan pewarna buatan (kimiawi). ”Jadi bahannya, misalnya dari kulit pohon mangga, mahoni, serabut kelapa, dedaunan dan bahan-bahan alam lainnya. Itu kemudian di ekstrak, diambil sarinya untuk bahan pewarna,” bebernya.
Karena menggunakan pendekatan tradisional, otomatis produksinya memerlukan proses relatif lebih lama. Misalkan, untuk membuat batik warna alam miliknya, prosesnya cukup panjang.
Mulai dari mencari bahan kain, setelah kain siap, selanjutnya lanjut Amin diketel. Dicelupkan dengan larutan air bekas bakaran merang. Terus berulang-ulang, celup kering-celup kering sampai tujuh kali. Proses ini memakan waktu cukup lama.
Setelahnya, kain-kain tersebut dicuci bersih baru setelahnya siap dipola. ”Biasanya menggunakan pensil, belum lagi proses canting,” bebernya.
Selanjutnya proses pewarnaan, ini juga membutuhkan waktu cukup panjang. ”Sama prosesnya, celup kering-celup kering sampai tujuh kali, itu kalau produk saya. Terus juga ada proses penguncian, menjaga warna agar tidak pudar. Jadi dicelupkan dalam ari tawar atau juga air batu tunjung,” imbuhnya.
Kebanyakan motif batik warna alam yang banyak dicari pelanggannya motif kuno, namun demikian, Amin juga mengembangkan sejumlah produknya dengan motif kontemporer. ”Motif kuno, misal parang, udan liris, sekar jagad. Selain indah, motif-motif ini juga menyimpan nilai filosofi yang tinggi, ada ceritanya. Misalnya, udan liris, biasanya dipakai perempuan yang sudah menikah, sekar jagad filosofinya junjung derajad dan masih banyak lagi,” bebernya.
Melihat proses pembuatannya yang njlimet, tak pelak produk batik warna alam memiliki nilai jual cukup tinggi. ”Harga per lembar, kisaran Rp 350 ribu hingga Rp 1,5 juta juga ada. Harga menyesuaikan teknik pembuatan dan kualitas bahan,” tegasnya. (*)
(jo/naz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Pembudidaya tanaman bonsai mulai jarang ditemui. Namun tidak dengan Ikwanto, yang hingga kini masih getol merawat tanaman bonsai hasil buruannya di hutan.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, Ikwanto terlihat sibuk menggunting beberapa tanaman mungil yang ditanam dalam pot. Dengan beberapa peralatan seadanya, dengan cepat dia merangkai tanaman bonsai yang cantik dan enak dilihat.
Ya, pria 40 tahun ini mulai tertarik budidaya bonsai alias pohon yang dikerdilkan dalam pot sejak 2001. Kala itu, saat budidaya tanaman bonsai sempat booming, banyak rekan-rekannya yang ikutan budidaya.
Hanya, jika teman-temannya membudidayakan cara membeli, tidak dengan Ikwanto. Dia sering blusukan keluar masuk hutan untuk mencari koleksi tanaman. ”Saat awal awal ramai, saya sering berburu di hutan,” ujar dia.
Karena hobi, dia tidak mengenal waktu. Mulai pagi hingga sore dia jalani blusukan ke beberapa tempat di Jawa Timur mulai Lamongan, Gresik dan beberapa daerah lainnya. ”Dari dulu memang karena hobi, bahkan saya tidak ingat berapa biaya yang saya keluarkan untuk tanaman-tanaman ini,” jelas dia.
Di rumahnya, hingga kini masih ada berbagai macam tanaman bonsai. Mulai jenis lokal seperti pohon serut, asem kranji, hingga beberapa jenis yang sulit ditemui seperti beringin amplas, sisir, dan mustam, gulo gemantung dan beberapa jenis lainnya.
Pada dasarnya, kata bapak empat anak ini, semua tanaman bisa dibonsaikan. Asalkan, daunnya kecil, memiliki batang keras dan bisa hidup bertahun-tahun. ”Jenis yang paling saya sukai adalah pohon asam belanda,” jelas dia.
Tingkat keunikan dan keindahan suatu bonsai juga tergantung pada tingkat kekreatifan yang dimiliki pembudidaya bonsai. Jika sering bereksperimen dan mencoba hal baru, tentu bisa membuat bonsai yang biasa menjadi lebih unik. Selain itu, dari sekian jenis tanaman ada satu tanaman yang sulit ditanam. Yakni pohon asem kranji.
”Kalau pohon asem ini tidak bisa ditaman langsung. Tapi harus melalui bibit otomatis kan harus menunggu bertahun tahun hingga tumbuh besar,” jelas dia.
Selain itu perawatan bonsai ini juga butuh perhatian khusus, misalnya harus disiram setiap hari dan diberi pupuk seminggu sekali. ”Jika daunnya sudah agak lebat, kita potong dan kita beri kawat agar alur pohonnya tidak tumbuh ke atas, namun tumbuh sesuai konsep kita,” papar dia.
Saat booming, bonsainya sering dilirik bahkan dibeli sesama penggemar bonsai. Harganya juga cukup bervariatif, mulai Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta tergantung dari keunikan pohon tersebut. namun saat ini, jarang ada yang melirik tanaman tersebut karena sudah tidak begitu diminati. ”Kalau sekarang ya jarang, Cuma tanya tanya saja,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Quality Education
Oleh Ifa Aulia Cahyani
Pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk anak atau kita karena pendidikan suatu jenjang mendidik karakter kita. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang harus diperhatikan, disiapkan, dan diberikan sarana dan prasarananya dengan baik. Harapan kita masyarakat Jombang dapat mendapatkan generasi penerus yang berkompetensi, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan atau sering kita dengar afektif, kognitif, dan psikomotorik yang terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan di indonesia khususnya Kota Jombang harus memiliki sauri tauladan yang baik untuk di contoh dan guru memiliki pedagogis yang baik.
Apalagi di Jombang juga terdapat Sekolah Tinggi Keguruan yang tentunya dapat membentuk guru-guru yang baik serta dapat meningkatkan kemajuan pendidikan dan membentuk suatu karakter bangsa. Dan juga Kota Jombang sudah banyak dikenal dengan potensi teater yang cukup produktif baik di kalangan pelajar, mahasiswa, maupun di masyarakat umum. Sehingga dapat kita kaitkan kebudayaan bangsa dengan kemanfaatannya di peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Kota Jombang.
Seorang guru atau instruktur adalah aktor ketika melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar di depan kelas. Sebagai seorang aktor yang sedang memainkan “pertunjukan”, maka tidak salah jika dia harus tampil sebagai aktor yang memukau para peserta didiknya agar tercipta sebuah pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
Bagi seorang guru yang tidak menyadari kedudukannya sebagai seorang aktor, maka tidak jarang jika dia sering menghadapi persoalan–persoalan, seperti peserta didik malas mengikuti pembelajaran, mengantuk, atau ngobrol sendiri. Jika yang mengantuk berjumlah 1–2 peserta didik maka ada sebuah persoalan dari guru tersebut tak mampu “memasuki dunia mereka dan mengantar dunia kita ke dunia mereka” lantaran penampilan tidak menarik, tidak menyenangkan, tidak memberikan inspirasi baru, menjenuhkan dan tidak menggairahkan.
Ketika seorang guru menjumpai para peserta didiknya mengantuk atau ngobrol sendiri, pernahkah guru tersebut menanyakan alasannya? Jikalau seorang peserta didik tersebut berani menjawab secara jujur, maka mungkin berbunyi
“cara mengajar Bapak, Ibu yang membuat kami mengantuk” atau
“Bapak, Ibu berbicara sendiri maka kami juga ngobrol sendiri”.
Di sinilah akhirnya, seorang guru harus membuka diri bahwa ada masalah dalam penyampaian ketika mengajar.
Menyimak peristiwa tersebut di atas, maka secara tegas saya katakan bahwa penampilan seorang guru mau tidak mau harus membuat siswa “tak berhak” mengantuk dan mengobrol saat proses belajar mengajar berlangsung. Andaikan peserta didik mengobrol, maka obrolan itu berkaitan dengan belajar mengajar yang sedang berlangsung.
Berbicara perihal teater, tentunya pertama kali yang terbersit di pikaran adalah melakukan suatu sandiwara dengan membawakan suatu karakter tokoh tertentu yang biasanya meliputi antagonis, protagonist, dan tirtagonis. Tetapi bagaimana jika sorang guru merasa bukan seorang yang menyukai teater, ataupun merasakan bahwa dirinya bukanlah suatu pribadi yang baik dalam bermain teater, ataupun seorang seniman teater? Yang jelas, bahwa teater bukanlah suatu yang eksklusif bagi kalangan seniman. Setiap orang boleh dan berhak menyelami teater dan mengambil manfaat dari teater, tanpa harus menjadi orang teater.
Tujuannya dari teater tak lain adalah agar kita mampu berkomunikasi dengan baik, mampu menjaga, mampu “menghipnotis” lawan bicara sehingga yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Saya pikir seorang guru mustinya mendapat pelatihan prinsip-prinsip dasar teater untuk meningkatkan performanya dalam berkomunikasi, dan saya pikir para guru tersebut tidak harus 100% menerapkan prinsip–prinsip yang dijalani oleh seorang pemain monolog, karena tantangannya tak sebesar seorang pemain teater yang harus menguasai perhatian penonton sebanyak satu gedung teater, dengan jumlah yang mencapai ratusan orang. Seorang guru hanya perlu menguasai perhatian siswa satu kelas saja, yang umumnya hanya berjumlah puluhan siswa. Jadi, baik cakupan maupun kedalamannya, cukup 50% saja seorang guru mendalami dan menerapkan prinsip-prinsip dasar pertunjukkan drama/ teater.
Bahwa belajar teater bukanlah suatu yang sulit atau asing buat orang yang awam karena pada dasarnya insting atau intuisi manusia sudah memahami prinsip-prinsi dasar teater. Semisal soal bloking atau tata letak pemain. Kesadaran mengatur letak dan posisi tubuh sebenarnya sudah dimiliki semua orang setiap kali terlibat dalam situasi komunikasi, namun tak semua orang menyadari untuk memaksimalkan urusan bloking ini.
Pengaturan bloking dalam teater diatur untuk melancarkan komunikasi dan membangun dinamika, selain memudahkan penonton menyimak setiap tokoh di panggung. Dalam pertunjukan teater, kekayaan bloking menjadi krusial karena potensi pertunjukan teater lebih besar peran dan fungsinya. Pertujukan monolog bisa dilakukan dan bisa disamakan dengan situasi mengajar di kelas. Seperti halnya pertunjukan monolog, para penonton bisa dijadikan pemain. Di dalam kelas, para siswa musti dijadikan lawan bicara dan diskusi, sehingga perlu diatur juga blokingnya. Oleh karena itu, guru juga bisa menjadi sutradara dalam pengaturan bloking bagi dirinya dan para peserta didiknya karena tata letak yang ideal untuk sebuah bangunan komunikasi adalah bahwa setiap orang dalam kelas diupayakan untuk dapat saling melihat satu sama lain. Maka, tempat duduk siswa diorkestrasi sedemikian rupa, orkestrasi ruang kelas model arena, tapal kuda, ataupun yang alian (seperti pada pola estetik teater tradisi) dapat diterapkan agar terbangun dinamika dan situasi dialogis karena jauh dari kesan formal.
Setelah menyusun bloking untuk peserta didik, kini tinggal mengatur bloking untuk dirinya. Pemain monolog yang melulu hanya berdiri di satu titik dan pelit movement akan lebih mudah membuat penonton bosan. Pergerakan guru dari suatu titik ke titik lain diperlukan untuk menjaga intensitas peserta didik pada saat proses pembelajaran berlangsung, maka seorang guru tidak boleh pelit untuk memberikan perhatian kepada siswanya.
Bertalian dengan oleh vokal, kesadaran mengatur volume suara perlu untuk diperhatikan bagi setiap orang yang terlibat dengan situasi komunikasi, tidak semua orang sadar dan peka dengan urusan olah vokal ini. Prinsipnya sederhana, yang serba terlalu pasti tidak baik untuk dilakukan. Volume terlalu lemah akan membuat siswa sulit mendengar, dan ujung-ujungnya bisa mendatangkan rasa kantuk. Terlalu keras bisa membuat telinga sakit. Volume suara sebaiknya disesuaikan dengan ruangan kelas dan jarak guru dengan siswa. Pengaturan volume sesekali bisa dikeraskan pada saat guru melihat siswa yang bergelagat ngantuk atau sedang ngobrol tidak memperhatikan penjelasan.
Demikian pula dengan ekspresi. Jika artikulasi guru tidak bagus, akan terdengar seperti orang yang sedang berkumur-kumur, tidak jelas apa yang disampaikan. Teknik pemberian isi dan ekspresi pendialogan yang diatur datar-datar saja akan tercipta situasi monoton. Monotonitas menimbulkan proses pembelajaran yang membosankan dan berlangsung secara tidak efektif. Yang jelas vokal guru harus melebihi audible, possible, dan intelektebel.
Apabila guru di Jombang diajari dan menguasai teknik teater maka akan dapat mendukung mereka dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Diharapkan hal itu menjadi menarik dan meningkatkan minat para murid untuk lebih giat dan kreatif belajar, demi pendidikan Jombang yang lebih berkualitas.
Jombang – Berawal dari coba-coba mengolah limbah kain perca, kini Ike Norawati bisa mulai merasakan kerja kerasnya. Ike yang memulai usaha kerajinan sejak akhir 2014 lalu, hingga kini terus berkembang.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, sejumlah ibu-ibu tampak serius mengerjakan beberapa kerajinan tangan di sebuah teras rumah sederhana Dusun Kemambang, Desa/Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Mulai dari bross, tas berbahan dasar pandan hingga dekorasi rumah.
Ya, di rumah Ike inilah setiap harinya diproduksi kerajinan tangan ciamik dengan model yang kekinian. Ike memulai usahanya sejak 2014. Ia awalnya adalah seorang penjahit baju dengan omzet pas-pasan. Namun kala itu, dia mencoba memutar otaknya dengan memanfaatkan kain perca sisa dari potongan kain.
”Lalu saya coba buat bross dari kain perca,” ujar dia kemarin sembari membuat kerajinan. Lambat laun, ia terus berjuang menekuni apa yang sudah dirintis. Pertama memang rintangan berat, mulai dari pemasaran hingga beberapa bahan yang harganya saat itu cukup mahal.
Namun dengan ulet dia terus mengembangkan usahanya. ”Saya dari awal fokusnya ke pemanfaatan kain perca. Karena saya kuwalahan mengerjakan sendiri, makanya saya ajak ibu-ibu di RT sini,” sambung perempuan 36 tahun tersebut.
Dengan memberdayakan ibu-ibu, beban Ike sedikit berkurang. Mulai saat itulah dia perlahan-lahan mengembangkan pemasaran. Mulai membuat beberapa akun di media sosial, hingga mengenalkan ke ibu-ibu yang notabene istri pejabat.
Mulai dari jajaran ibu-ibu PKK Jombang, jajaran ibu-ibu Persid (istri tentara), Forsid (istri anggota DPRD) hingga Bhayangkari (istri polisi). ”Bahkan saya tak percaya jika tas buatan saya pernah diborong sama Ibu Iriana (istri Presiden Jokowi),” tandasnya dengan wajah sumringah.
Singkat cerita, tas bikinan Ike dibawa oleh Dewi Agung Marliyanto, istri mantan Kapolres Jombang Agung Marlianto untuk mengikuti kegiatan pameran di Cibodas, Bandung pada 2016 silam. Ternyata hiasan unik di sebuah tas pandan buatan Ike memikat hati istri Presiden Jokowi kala itu.
Tak banyak yang diucapkan, ibu Iriana langsung memborong 30 tas bikinannya. ”Awalnya saya ditelepon sama bu kapolres, dipesan 200 dengan waktu seminggu. Saya ngomong saya tidak bisa karena keterbatasan karyawan. Akhirnya yang dibawa itu cuma 30 tas saja,” beber dia.
Meski begitu dia mengaku bangga, sebab, kerajinan berbahan kain perca asal Jombang ternyata mampu bersaing di tingkat nasional.
Dalam memproduksi tas dan sejumlah kerajinan lainnya, Ike memang tidak membuat sendiri. Untuk tas pandannya dia memesan dari sentra kerajinan tas pandan di Ngusikan sedangkan untuk bross dan dekorasi rumah dia memanfaatkan tetangganya.
Namun tentunya dengan pelatihan yang dilakukannya. ”Dan Alhamdulilah produk saya digemari,” jelas dia. Kini penjualannya terus merambah ke berbagai penjuru di Indonesia, apalagi harga yang ditawarkan cukup terjangkau.
Mulai bross dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu. Per bulan, omset ibu satu anak ini mencapai Rp 20 juta. ”Bross saya juga pernah dipesan hingga ke luar negeri, seperti Australia, Singapura, Brunei Darusslam,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Minggu ini, rubrik Tokoh Jawa Pos Radar Jombang akan membahas tentang sosok salah satu mursyid Thariqat yang lahir dan besar di Jombang. Kiprahnya dalam dunia tasawuf tak diragukan lagi dengan kini berkembangnya thariqat yang diasuhnya secara nasional bahkan Internasional.
Ia adalah Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, tokoh agama yang juga mursyid Thariqah Shiddiqiyyah ini adalah sosok yag cukup disegani. Serta sangat berpengruh mengingat pengikutnya yang di klaim kini telah mencapai lebih dari lima juta orang.
Kiai Muctar, atau banyak juga masyarakat awam menyebutnya kiai Tar, adalah putra dari seorang tokoh agama di wilayah Ploso yang bernama H Abdul Mu’thi, yang merupakan putra dari kiai Ahmad Syuhada, pendiri Pesantren Kedungturi.
Lahir Minggu Kliwon 14 Oktober 1928 atau 28 Rabiul Awal 1347 H di Desa Losari kecamatan Ploso Jombang, kiai Muchtar adalah anak ke 6 dari H Achmad Mu’thi dari perkawinan keduanya dengan Nyai Nasichah atau anak ke 12 dari total 17 anak H Mu’thi dari dua perkawinannya.
Karena berasal dari keluarga yang beragama taat, sejak kecil kiai Muchtar telah akrab dengan berbagai pelajaran dan ilmu agama. Termasuk ilmu kepesantrenan yang awalnya memang berasal dari didikan ayahandanya. Bahkan, mengutip dari buku Sepenggal perjalanan hidup Sang Mursyid karya A. Munjin Nasih, dirinya menulis “Bahkan saat bersekolah di MI Ngelo, di usia 8 tahun beliau telah menghafal 6 Juz Alquran,” tulisnya.
Darah Pesantren yang mengalir deras di dalam darahnya, serta dukungan orang tuanya membuatnya meneruskan pendidikannya berlanjut ke dua pesantren besar di Jombang yakni Pesantren Darul Ulum Rejoso, serta Pesantren Bahrul ulum Tambakberas Jombang, saat usianya remaja.
Meskipun dua kali masuk keluar di dua pesatren tersebut juga tak mulus. Yakni hanya selama 6 bulan di Pesantren Rejoso selanjutnya 8 bulan di Tambakberas. Hal ini dikarenakan beberapa insiden mewarnai proses belajarnya. Kembali dikutip dari buku yang sama, selama di Pesantren Rejoso, dirinya dikenal sebagai santri yang nakal, beberapa masalah kerap dilakukannya baik berupa pembangkangan maupun provokasi hingga berujung pada dikeluarkannya dia dari pesantren tersebut.
“Meski sebelum sempat dijatuhkan hukuman kepadanya, kiai Muchtar memutuskan untuk keluar dengan sindirinya dari pesantren tersebut sehari sebelumnya,” kembali Nasih menulis.
Keluar dari Pesantren Rejoso, kiai Muchtar melanjutkan nyantri-nya ke Pesantren Tambakberas, di Pesantren ini dirinya menghabiskan waktu hingga 8 bulan. Meski kebiasannya nakal sempat terulang kembali, namun di Tambakberas dirinya tercatat menempuh pendidikan lebih lama serta sempat menjadi santri kesayangan kiai Hamid.
Sejumlah kitab juga dirinya pelajari, sebut saja Kitab Taqrib, Nahwu dan Sharaf, Tafsir Jalalain dibawah pengasuhan kiai Hamid, kitab Hadits Shahih Bukhari diasuh kiai Fattah, juga Kitab Fathul Mu’in dibawah asuhan kiai Masduqi.
Hingga ahirnya memutuskan untuk keluar dari pesantren Tambakberas karena ketebatasan ekonomi yang melanda keluarganya. Meski demikian, selama belajar di pesantren, kiai Muchtar lebih aktif menghafal Alquran. Tercatat 12 juz Alquran mampu dirinya hafalkan selama nyantri, hingga jika ditotal dengan hafalan yang telah ia lakukan sebelumnya jumlahnya adalah 18 juz. Pasca keluarnya dari Pesantren Tambakberas inilah dirinya memulai kehidupanya sebagai tulang punggung keluarga.
Terlebih tak lama setalah keluarnya ia dari Tambakberas, ayahanda tercintanya H Mu’thi harus menghadap sang khaliq untuk selama-lamanya. Perjuangannya dalam menghidupi keluarga dengan berbagai cara hingga dirinya memutuskan jalan tasawuf dari hasil renungannya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Wana wisata Sumberboto di Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno selain dikenal dengan sumber airnya juga terdapat monumen perjuangan perjuangan Pasukan Wanara. Lokasinya di samping kolam renang, tempat gugurnya lima anggota pasukan akibat kena bom.
Suasana wisata alam Sumberboto saat ini juga lebih banyak sepi pengunjung. Yang ada beberapa petugas tengah sibuk membersihkan area kolam renang. Sementara petugas lainnya duduk-duduk santai di area parkir depan.
Di area kolam juga demikian, yang ada hanya tiga anak setempat tengah bermain air. “Ramai saat liburan saja. Kalau nggak begitu ya pas ada yang kemah,” Surono salah seorang petugas.
Tepat di samping kolam renang terdapat monumen yang sudah puluhan tahun berdiri. Yakni monumen perjuangan Pasukan Wanara (Komando Pasukan Gerilya Kehutanan). “Dibangun tahun 1970, waktu itu diresmikan Dirjen Kehutanan. Itu di prasastinya ada,” kata dia sembari menunjuk monumen.
Menurutnya, didirikan monumen, lantaran dulunya lokasi ini menjadi tempat gugurnya lima anggota Pasukan Wanara. Mereka gugur ledakan bom 500 kilogram peninggalan jaman Jepang yang berusaha dijinakkan. “Tiga orang dimakamkan di Jombang,” sebut dia.
Di area monumen itu sudah ditulis komplet siapa saja yang gugur saat berusaha menjinakkan bom itu. Meski untuk saat ini sudah tak ada sisa-sisa ledakkan menurut dia, dulu terdapat semacam peluru b di dekat monumen. “Bentuknya seperti peluru kendali, tapi sudah hilang tidak tahu kemana. Sekitar 1999-an, bentuk ujungnya lincip ada di dekat tiang bendera,” tutur salah seorang warga Dusun Sedah ini.
Sementara itu, Arif Bijaksana, Humas Perum Perhutani KPH Jombang mengakui selain wana wisata alam, di lokasi itu terdapat monumen perjuangan. “Jadi di sana (monumen) sekitar April 1948 itu bomnya meledak. Dulu kan di sana tempat merakit dari bom menjadi amunisi seperti peluru dan geranat,” kata Arif dikonfirmasi.
Meski begitu, untuk saat ini yang ada hanya monumen itu. Sementara sisa meledaknya bom itu sebagian ditempel di area monumen. “Sisanya ditempel, itu saja kalau yang lain sudah tidak ada lagi,” sambung dia.
Di awal pendirian monumen, ada beberapa sisa serpihan bom, peluru dan granat yang ditaruh di monumen. Dalam perjalanannya, sisa-sisa itu pun kini hilang. “Memang benar dulu banyak di situ, nggak tahu disimpan dimana tidak jelas. Kita sendiri kepinginnya menggali lagi dan dihimpun lagi, akan tetapi sudah sulit untuk melacaknya,” pungkas Arif. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Khetan Merdeka. Ya, warung ketan ini sengaja ditulis Khetan yang sudah terkenal itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Warungnya berada di Jombang kota yakni di Jalan KH Abdurrahman Wahid (Jalan Merdeka).
Sri Utami pemilik warung Ketan Merdeka menceritakan, dia merupakan generasi ketiga penerus dari kuliner itu. “Jadi sebelum ketan ini dulunya sudah jualan getuk, perintisnya Mbah Warni, kemudian Mbah Wage baru saya,” kata Utami kemarin (24/2).
Dia sendiri tak begitu hafal tahun berapa warung yang berada di jalan protokol itu mulai berdiri. Seingat dia, generasi kedua (Wage) yang merintis panganan ketan itu. “Kalau jualan ketan full itu Mbah Wage sekitar 1960-an. Sekarang sudah meninggal,” imbuh dia.
Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, warung ketan itu pun semakin populer hingga sekarang dengan sebutan Ketan Merdeka. Bukanya pun sampai sekarang masih tetap sama, yakni selepas salat Subuh.
Menurut wanita usia 62 tahun ini, tidak ada batasan pukul berapa warung itu buka. “Pokoknya setelah turun dari salat Subuh sudah buka, nggak ngerti jam berapa. Sampai pukul berapa juga tidak dibatasi. Pokoknya mau habis sudah nggak melayani lagi, kita sudah tahu ancer-ancernya,” imbuh dia.
Saking ramainya, hampir setiap hari dalam hitungan jam Ketan Merdeka itu habis terjual. Bahkan pukul 05.30 WIB saja beberapa pelanggan harus kembali dengan tangan hampa. “Sehari itu biasanya habis 20-30 kilogram ketan. Baik ketan hitam maupun putih, kalau ditambahi saya yang nggak kuat,” sebut dia diiringi dengan tawa.
Ada dua varian ketan, yakni ketan hitam dan putih. Yang menjadikan beda yakni adanya pelengkap berupa sambal atau bumbu yang terasa gurih. Sehingga perpaduan antara ketan dengan bumbu itu bercampur jadi satu, antara gurih dan sedikit manis.
“Khasnya mungkin ada di bumbunya, ada bumbu kedelai dan kelapa. Ditambahi parutan kelapa,” beber istri Sujali ini. Menuru Utami, untuk membuat bumbu itu memang agak sulit. Terutama pada bumbu kelapa.
“Yang susah itu sambal kelapa, miniml lima sampai enam butir untuk sehari, itu buatnya harus telaten. Gorengnya minimal tiga jam, kemudian ditumbuk soalnya kalau digiling nggak bisa,” urai dia.
Ketan yang dipakai juga tidak ada jenis ketan tertentu. Menurut dia, yang terpenting dia bisa menjaga mutu dan kualitas. “Kalau bisa, berusaha meningkat,” tutur dia. Harganya juga terbilang masih ramah di kantong, sebab bila campur jadi satu antara ketan hitam dan putih dibandrol 5000. Bisa dibungkus atau dimakan di warung. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com