Jombang – Desa Pagerwojo dikenal dengan kerajinan rebana, instrumen musik tradisional yang biasanya untuk kosidah dan banjari. Meski untuk menghasilkan suara rebana yang nyaring bergantung insting dan perasaan. Namun setiap hari, tiga set dihasilkan.
“Satu hari tiga set, semua pesanan karena kita tidak punya toko untuk memasarkan rebana,” ucap Muhibbin, salah seorang perajin rebana ditemui di rumahnya, kemarin (29/2). Hanya, di saat musim hujan seperti sekarang, dia tidak produksi banyak. Sebab, pembuatan rebana membutuhkan panas matahari agar kulit benar-benar kering.
Sehingga ia tak mau ambil risiko menjemur terlalu lama hingga berhari-hari ketika hujan turun. “Kalau pagi saya lihat mendung, hanya bikin satu/dua set, kalau panasnya bagus bisa sampai tiga set,” ungkapnya. Menjemur kulit rebana tak terlalu lama, cukup satu hari jika panas terik. Kecuali jika mendung bisa sampai lebih dari dua hari.
Sebagai perajin rebana, ia mengerjakan mulai dari pemotongan kayu, bubut, penempelan kulit pada kayu hingga pemasaran. Dengan dibantu empat karyawan. Kayu yang digunakannya selain kayu mangga, ada mahoni dan kayu pohon nangka. Kayu-kayu ini dipotong sendiri. Kemudian dibubut menjadi bentuk dasar rebana. Baru setelah itu dicat dan tahap pemasangan kulit.
Muhibbin memiliki banyak stok kayu yang sudah melalui proses pemotongan dan pengecatan. Ia tinggal memasang kulit dan menjemur. Setelah dijemur, rebana diberi paku, kemudian dilapisi dengan pelipit. Sebagai tahap finising, diberi paku pines memutar.
Kerajinan rebananya banyak terjual di Jawa Timur, sekitar Nganjuk, Kediri dan Jombang. Tapi terkadang ia mendapat pesanan dari Lampung. “Tapi jarang, paling sering Jatim, kemarin Ning Emma (putrinya Bu Mundjidah) juga pesan 50 set,” ungkapnya.
Satu set rebana yang dijual harganya bervariasi, bergantung jumlah jenis yang dipesan. Kisarannya Rp 500 ribu yang berisi tujuh jenis rebana, dan ada yang Rp 1,7 juta untuk lima jenis banjari. “Beda karena banjari ada kepingannya, jadi agak mahal,” tambahnya.
Kulit yang digunakan untuk membuat rebana adalah kulit kambing betina. Muhibbin tak pernah menggunakan kulit kambing jantan karena dinilainya terlalu tebal. “Kalau yang betina itu tipis dan bisa melar, kalau jantan kulitnya tebal dan tidak bisa melar,” beber dia.
Selain rebana, terkadang menerima pesanan bedug yang dibuat secara khusus dari kulit lembu. Hanya saja, bedug tidak dibuat setiap hari. “Kalau ada pesanan saja, kalau tidak ada ya tidak buat,” imbuhnya.
Menurut Muhibbin, pembuatan rebana memerlukan insting yang kuat. Terutama saat memasang kulit secara benar karena tidak semua orang bisa melakukan. Menghasilkan rebana dengan suara yang diinginkan, katanya, tergantung dari pemasangan kulit.
“Khusus untuk yang masang kulit harus saya tangani sendiri. Agar menghasilkan bunyi yang pas karena harus pakai perasaan,” terang dia sambil menunjuk ke arah rebana.
Satu rebana baru, bisa bertahan kurang lebih satu tahun. Biasanya, rebana butuh pembaruan kulit karena biasanya kendor. Pemesan pun bisa membawa datang ke tempatnya untuk memperbaiki rebana. “Kalau sudah diganti dengan kulit baru, bisa bertahan bertahun-tahun. Karena kulitnya sudah kering,” pungkasnya.
Penyimpanan rebana setelah dipakai juga harus dilakukan secara benar. Tidak boleh diletakkan di tempat lembab agar tidak menjamur. Tak heran, produksi rebana yang diteruskan sejak 1984 lalu, masih bertahan sampai sekarang. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang